Tale 05 - 101 Cara Mengusir Hantu

.
.
.

Tekadku sudah bulat. Bagaimana pun caranya, aku harus terbebas dari gangguan arwah nyasar yang beberapa hari ini terus mengganggu. Toh, Mas Yudhis sendiri juga ingin segera kembali ke tubuhnya. Aku memberanikan diri mengetuk rumah ibu kos yang berada tepat di sebelah indekos. Rumah Bu Nining tampak asri, halamannya dipenuhi tanaman termasuk pohon mangga dan belimbing.

"Mbak Shanin, ada apa, Mbak?" Bu Nining membuka pintu sambil menggendong anaknya yang berusia sekitar dua tahun.

Aku tersenyum tipis. "Anu, Bu ... saya mau tanya. Di sini ada ustadz yang terkenal bisa ngusir hantu nggak, ya?"

Mata Bu Nining melotot. Ia lalu membuka pintu lebar-lebar, mempersilakanku masuk. "Usir hantu? Ada apa to, Mbak? Kosane Ibu, nggak angker to?"

Aku duduk di sofa berhadapan dengan wanita yang memakai daster hitam dengan motif bunga-bunga kuning terang. "Saya diikuti hantu, Bu."

Lipatan terlihat jelas di keningnya. "Tenane, Mbak? Aduh, piye, ya? Tapi di sini nggak ada ustadz yang terkenal bisa rukiyah, eh, Mbak. Adanya dukun. Gimana?"

Aku menggaruk-garuk tengkuk sambil menyengir. "Dukun ya, Bu?"

"Ho'oh. Dukun kuda lumping iku. Biasa bantu orang kesurupan yang nonton kuda lumping, sama pemainnya juga," terang Bu Nining. "Memangnya Mbak Shanin udah pernah lihat hantunya?"

Aku jadi tak yakin meminta bantuan Bu Nining. Ya kali, Mas Yudhis mau diusir sama dukun kuda lumping? "S-sekilas aja, Bu," kataku bohong.

"Dibacain ayat kursi aja, Mbak. Insya Allah, setannya nanti lari sendiri."

Yang ada Mas Yudhis ikut baca ayat kursinya, Bu. Dia bukan setan biasa. Batinku dalam hati.

"Udah berapa kali sih gue bilang, gue bukan setan." Suara cebikan kesal menelusup ke telingaku, membuatku langsung menoleh mencari sosok itu. Mas Yudhis dengan tangan bersedekap di dada, terlihat berdiri di dekat pintu ruang tamu.

"Oh, iya, Bu. Ya udah, kalau gitu. Saya pamit pulang."

Bu Nining ikut berdiri mengantarku sampai ke teras. "Eh, Mbak... tapi duit nggak ada yang hilang to?"

Aku menggeleng. "Nggak sih, Bu. Kenapa, ya?"

"Kalau ada yang kehilangan uang, langsung bilang sama saya. Ketoke iku gang sebelah ngingu babi ngepet."

Aku cuma manggut-manggut lalu berjalan menuju indekos, dengan Mas Yudhis di sisiku. Dia masih diam. Tapi tatapannya yang setajam pisau terus diarahkan padaku sampai aku merinding. Kenapa sih, ini setan tiba-tiba ngambek?

"Gue bukan setan, ya!" protes Mas Yudhis dengan lirikan tajam dan bibir mengerucut.

"Kita harus mulai cari cara gimana balikin lo ke badan lo, Mas," ujarku sembari membuka pintu kamar. Anehnya, meskipun bisa menembus tembok dan benda-benda padat lainnya, Mas Yudhis setia menunggu di belakangku sampai pintu terbuka.

"Ada ide?" tanyanya dengan satu alis terangkat. Ia lalu menyisir rambut panjangnya ke belakang.

Aku duduk di kursi belajar sedangkan Mas Yudhis, tanpa sopan santun membaringkan diri di kasur. Untung saja, arwah tidak membuat seprei berantakan. "Dulu, ada Drama Korea, ceritanya si tokoh utama koma dan arwahnya gentayangan. Dia nggak bisa balik ke badan sebelum dapat tiga tetes tangisan murni dari orang-orang sekitar, selain keluarga. Dan, kalau setelah 49 hari nggak ada yang nangis buat dia, ya bablas."

"Anjir, ini udah berapa hari ya, Nin?" Mas Yudhis langsung bangkit dan menghitung dengan jari sudah berapa lama ia gentayangan. "Gue kecelakaan seminggu yang lalu."

"Tapi kan itu drama. Bisa jadi cuma khayalan penulisnya aja," tukasku. "Tapi, kalau bener, lo punya temen yang beneran sayang sama lo, kan? Yang beneran bakal nangisin lo kalau lo sakit?"

Mas Yudhis tercenung. Keningnya mengernyit dan pandangannya tampak kosong. Aku membuka buku catatan kecil dan mengambil bolpoin, siap mencatat nama-nama teman Mas Yudhis. "Mas? Mas?"

Dia lalu menoleh ke arahku dan tersenyum kecut. "Nggak tahu, Nin. Pakai cara lain aja, deh."

Aku mengembuskan napas lalu menelengkan kepala, memikirkan kemungkinan apa saja yang membuat Mas Yudhis jadi arwah gentayangan seperti ini. "Oh, gue tahu!" pekikku girang.

"Apa?"

"Kalau di novel-novel---"

"Tadi drama, sekarang novel? Nggak ada yang lebih rasional?"

"Arwah lo ada di sini aja, padahal lo koma, udah nggak rasional, Mas!" Aku mendengkus lalu memicingkan mata ke arahnya. "Mau dilanjutin nggak?"

Lelaki itu memutar mata, meskipun akhirnya mengangguk.

"Biasanya, arwah gentayangan tuh karena punya dendam, keinginan, atau pesan yang belum disampaikan," tuturku sambil mengetuk-ngetukkan bolpoin ke dagu. "Coba inget-inget, lo punya dendam nggak sama orang?"

"Bukannya kalau dendam itu arwah penasaran orang yang udah mati?" sahut Mas Yudhis dengan mata menyipit ke arahku. "Jangan ngaco lo!"

"Terus, apa? Lo punya penyesalan, apa keinginan, atau apa kek, yang belum terwujud?"

Mas Yudhis mendengkus kecil. "Banyak, lah! Gue bukan Rafathar yang bisa dapat semua yang gue mau."

"Coba diurutin dari yang paling lo pengenin. Bisa pengin minta maaf, pengin barang, atau pengin ketemu orang," pancingku berharap ada secercah harapan.

Mas Yudhis terdiam sejenak, suasana tiba-tiba hening. Lelaki itu duduk di tepi tempat tidur dengan kaki terjulur ke lantai. Kedua telapak tangannya bertumpu di kasur, dengan kepala mendongak, seolah-olah ada sesuatu yang menarik di langit-langit kamarku. Ia tampak menghela napas beberapa kali, sebelum bibirnya berkedut, dan membentuk senyum tipis yang menyedihkan. Entahlah, aku tak yakin.

"Kalau keinginan gue kesampaian, apa ada jaminan kalau arwah gue bakal balik ke badan, nggak pulang ke Tuhan?" tanya Mas Yudhis sambil perlahan mengalihkan pandangannya ke arahku.

"G-gue nggak tahu, Mas," jawabku tergagap dan menggeleng pelan.

"Keinginan gue banyak, Nin. Gue pengin minta maaf sama orang karena nggak bisa nepatin janji gue. Gue pengin banget ketemu sama seseorang, tapi gue terlalu malu karena gue udah jadi pengecut. Gue pengin minta penjelasan dari seseorang kenapa memilih jalan yang bakal melukai banyak orang. Gue pengin ... tanya seseorang yang udah pergi jauh." Mas Yudhis terkekeh kecil. Namun, tawanya terdengar menyedihkan. "Gue pikir-pikir dulu, mana keinginan gue yang paling gue penginin."

Sosok itu langsung lenyap dari hadapanku, sebelum aku sempat membuka suara. Helaan napas lolos dari bibirku begitu saja setelahnya. Aku jadi memikirkan pertanyaan Mas Yudhis tadi. Bagaimana jika, lelaki itu tak akan pernah kembali ke tubuhnya, bahkan setelah keinginannya tercapai? Bagaimana jika, ini adalah tempat singgah sementara sebelum ia menghadap Tuhan?

***

Tuhan selalu punya rencana. Itu yang selalu orang-orang katakan. Apa pun jalan yang kau lewati, apa pun situasi yang kau hadapi, apa pun rencana yang kau pilih, itu adalah campur tangan dari Sang Maha Kuasa. Aku setuju dengan itu. Aku percaya di atas sana, di luar semesta yang luar biasa ini, ada suatu entitas yang mengendalikan dan mengatur ini semua. Ada Tuhan di setiap hela napas yang kita ambil.

Dan, meskipun terdengar gila, aku percaya munculnya Mas Yudhis di hidupku, bukan kebetulan semata. Ada sesuatu yang menghubungkan kami, atau ada sesuatu yang memang ingin semesta hubungkan di antara kami. Fakta bahwa tidak ada orang lain yang dapat melihat sosoknya sekarang, membuatku perlahan meyakini jika aku memiliki peran penting di sini, di kegilaan yang terjadi ini.

Setelah kupikirkan matang-matang, mungkin aku bisa membantu Mas Yudhis kembali ke tubuhnya atau---jika memang takdir lelaki itu---ke pangkuan Tuhan. Namun, sebelum bisa membantunya, aku harus mengenalnya lebih jauh. Itulah mengapa aku berada di rumah sakit tempat Mas Yudhis sekarang. Tanpa sepengetahuan orang lain, bahkan Desi dan Nashwa sekalipun.

Rosela II/B

Aku mengingat-ingat nama kamarnya setelah bertanya pada resepsionis. Kamarnya berada di lantai dua sayap kanan. Aku melihat papan nama besar bertuliskan Rosela di atas pintu kaca besar. Aku memasuki ruangan tersebut lalu menatap pintu-pintu yang saling berhadapan. Aku berjalan ke pintu terdekat dan membaca informasi yang berada di papan sebelah pintu.

Rosela II/A
Nn. Anggita Sari (15)

"Berarti kamar sebelahnya."

Senyumku pun terbit saat menemukan nama Mas Yudhis di sana. Aku lalu mengetuk kamar dengan pelan. Tak lama, pintu pun terbuka dan menampakkan sosok wanita dengan rambut sebahu, berusia sekitar empat puluh tahunan. Kerutan samar terlihat di sudut mata dan bibirnya.

"Oh, cari siapa?" tanya wanita itu. "Atau temannya Yudhis?"

Aku mengangguk sembari mengulas senyum tipis. "Iya, Tante. Mau jenguk Mas Yudhis."

"Mas?" Satu alis wanita itu terangkat naik. "Pacar Yudhis?"

Aku tertawa kecil dan menggeleng cepat. "Adik tingkat."

"Mari masuk ... kebetulan saya jaga sendirian." Wanita itu menyingkir dari ambang pintu, dan setelah aku melangkah masuk, ia menutup pintu. "Saya mamanya Yudhis."

"Saya Shanin, temennya Mas Yudhis di kampus, Tante ... "

"Tante Nuri. Panggil aja Tante Nuri," tukasnya sembari mendekat ke tempat tidur Mas Yudhis. Aku mengikutinya dari belakang. Rasanya seperti mimpi. Sosok yang hampir tiap hari kuajak bicara raganya terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Jangankan bicara, membuka mata pun tidak.

Lengan kanan Mas Yudhis tampak dibebat perban. Lehernya diberi penyangga. Dan yang paling mencolok adalah kepalanya yang dililit perban sampai rambutnya tak nampak. Sepertinya rambut gondrong Mas Yudhis sudah dipangkas habis.

"Tiga hari yang lalu, temen-temen satu kelas Yudhis udah datang. Teman band-nya juga." Tante Nuri menoleh ke arahku. "Kalau Shanin kenal Mas Yudhis lewat apa?"

"Ehm, lewat ... lewat ... " Mendadak aku jadi gugup. "Oh itu, lewat motor! Iya, lewat motor."

Kedua alis Tante Nuri langsung berkumpul di tengah. "Motor?"

"Iya Tante ... Mas Yudhis bantuin aku nyalain motor, waktu motorku mogok."

Tawa kecil meluncur kecil dari bibirnya. "Oh, gitu. Tante kira kamu sama Yudhis ikut geng motor. Kalau beneran gitu, nanti waktu Yudhis bangun, Tante jewer."

"Masa tampang polos begini ikut geng motor sih, Tante?" sahutku dengan tertawa. "M-maaf Tante, kalau boleh tahu, gimana keadaan Mas Yudhis?"

"Seperti yang kamu lihat." Tante Nuri menghela napas. "Yudhis tulang lehernya ada yang retak, tapi untungnya nggak kena syaraf. Rusuknya juga. Ada dua ruas. Kata dokter nggak perlu operasi. Tulang hastanya patah, dioperasi empat hari lalu, dipasang pen. Yang terparah, tentu kepalanya. Terjadi pendarahan di otak."

Aku menyusuri wajah damai Mas Yudhis yang pucat. Bibirnya kering dan pecah-pecah. Aku mengulurkan tangan untuk mengelus lengannya yang dibebat perban. "Kata dokter, kapan Mas Yudhis bisa bangun, Tan?"

"Harusnya dia sudah bangun. Kondisi vitalnya stabil. Kata dokter, kita cuma harus menunggu. Dan, walaupun nggak banyak, tapi memang ada pasien yang koma setelah operasi otak," terang Tante Nuri.

"Mas, lo harus bangun. Gue belum pernah lihat lo nge-band," pintaku sungguh-sungguh.

"Tante ... nggak bisa bayangin kalau harus kehilangan Yudhis. Ada banyak hal yang ingin Tante sampaikan ke dia." Tante Nuri lalu duduk di kursi plastik yang memang terdapat di sisi tempat tidur. Ia mengaitkan jemarinya dengan jemari putranya. "Mama punya banyak salah sama Yudhis. Mama, pengin minta maaf langsung ke kamu ... Bangun ya, Nak ... bangun. Mama lebih rela Yudhis cuekin tiap hari daripada harus lihat Yudhis begini."

Suara Tante Nuri bergetar. Setiap kata yang terucap terasa penuh luka dan penyesalan. Tersendat-sendat. Hatiku ikut tersayat bagaimana mendengar helaan napas yang berat dan tersengal-sengal dari wanita di sebelahku.

Mas Yudhis, lo harus bangun. Buat ibu lo.

.
.
.


Kayaknya idup yudhis berat ya bestiee.. 🧐
Yang penasaran sama derita hidup kang yudhis siapa yeh? Haha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top