FOUR

"Bagaimana keadaannya, dokter?"

Soobin merasa mampu bernapas lega saat dokter bertubuh tambun yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan Jisu menampakkan senyum. Baiklah, setidaknya ia tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Seketika rasa cemasnya menguap dan keringat dingin sudah berhenti keluar dari pori-pori kulitnya.

"Nona Jisu baik-baik saja. Beruntung kau segera membawanya ke rumah sakit, kalau tidak ia bisa mengalami pendarahan yang cukup serius di kepalanya."

"Bolehkah saya melihatnya?"

Dokter itu terkekeh pelan. "Tentu saja. Tapi sebaiknya biarkan dia istirahat dulu. Jangan terlalu boleh bergerak. Atau lebih baik kau mengajaknya jalan-jalan ke taman rumah sakit, itu tempat yang bagus untuk mencari udara segar, terlebih untuk gadis yang sedang syok berat seperti itu."

"Baik. Terima kasih banyak, dok," ucap Soobin sambil menundukkan kepala sebagai ucapan terima kasih.

Setelah dokter itu berlalu dari hadapannya, Soobin langsung membuka pintu ruang rawat Jisu, masuk, dan menutupnya dengan pelan. Tampak sesosok tubuh lemah sedang terbaring di ranjang rumah. Kepalanya dibalut perban, lengannya, begitu juga dengan kakinya. Infus menancap di pergelangan tangannya. Dan banyak lagi bagian tubuhnya yang diperban yang tidak dapat dilihat oleh mata Soobin. Kalau dilihat-lihat, cukup parah juga.

Soobin mendekat perlahan. "Choi Jisu," panggilnya.

Perlahan, kedua kelopak mata itu terbuka. Pandangan gadis itu memburam sesaat, namun tak selang lama kembali normal. Jisu merasakan napasnya tercekat ketika kedua maniknya bertabrabrakan dengan manik mata Soobin. Buru-buru ia terduduk dari tidurnya, namun sesuatu yang terasa menyengat pada kakinya membuatnya sedikit kesulitan melakukan itu.

"Hati-hati," ucap Soobin segera membantunya duduk.

"Choi Soobin, kenapa kau masih ada di sini?" tanya Jisu kebingungan. Lalu tanpa sengaja matanya turun kepada kedua kakinya yang dibalut perban. "Mwoya? Aku lumpuh?" (Apaan?)

"Aniya," jawab Soobin. Ia ikut menatap kaki gadis itu. "Itu hanya terluka saja. Beberapa saat kedepan kau pasti akan sembuh." (Tidak)

"Oh." Jisu menganggukkan kepalanya beberapa kali, lalu mulai menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan.

Selama beberapa saat, pandangan mata Soobin tak lepas dari wajah seorang Choi Jisu  yang sedang kebingungan menatap ke sekeliling ruangan. Apa ia belum pernah ke rumah sakit sebelumnya? Rasa penasaran Soobin membuatnya enggan untuk menatap ke lain arah kecuali gadis itu.

Gadis itu amat polos. Kedua mata bulat, hidung mungil, dan bibir tipisnya benar-benar  terlihat menggemaskan. Setidaknya itu penilaian Soobin saat mampu melihat wajahnya dari dekat. Bagaimana seorang gadis bisa terlihat begitu polos natural? Tanpa disadari, sudut bibir Soobin sedikit terangkat ketika melihat pemandangan itu. Pemandangan yang langka. Bahkan, sebentar Soobin merasa bahwa Hwang Yeji tidak terlihat sepolos itu.

Damn. Stupid.

Memelototkan mata, Soobin lantas buru-buru menggelengkan kepalanya kuat-kuat ketika pemikiran absurd itu tiba-tiba datang. Bagaimana mungkin sekarang ia mengakui kalau Choi Jisu jauh terlihat lebih menarik daripada Hwang Yeji? Jelas-jelas status Hwang Yeji sekarang ini adalah kekasihnya.

"Soobin-a, kau baik-baik saja?"

Soobin kembali menatap Jisu yang terlihat cemas. Kecemasan itu benar-benar nyata, tidak dibuat-buat. "Ya, aku baik-baik saja." Ia memaksakan sebuah senyum, kikuk, malu ketahuan melamun. "Ehm... kau tidak gerah?" tanyanya mengalihkan suasana.

"Gerah?" Jisu menunjuk ke atas, tepatnya di sudut pojok ruangan. "Ada AC."

"Ah, matta AC." (Ah, benar AC) Aish... memalukan. Soobin mengelus tengkuknya dan mencoba memutar otak untuk mencari alasan. "Ya, kan, AC tidak baik untuk kesehatan. Bagaimana kalau kita keluar saja untuk mencari udara segar?"

"Keluar? Kemana?"

Aish, kenapa gadis ini banyak tanya?

"Ke taman rumah sakit. Ayo!" Soobin tidak ingin berbasa-basi, juga tidak ingin terlalu mendengar banyak pertanyaan polos. Ia segera mengambil kursi roda yang telah tersedia di ruangan ini dan membantu Jisu duduk di atasnya. Setelah posisi gadis itu sudah terlihat nyaman, Soobin segera mendorong kursi roda itu ke arah taman rumah sakit.

***

"Kau kedinginan?"

Soobin cukup bodoh memang. Dan ia benar-benar tidak berbohong kalau ia serius khawatir melihat gadis itu bergerak-gerak gelisah dalam duduknya. Beberapa kali gadis itu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya sendiri, sembari meniup-niupnya pelan. Bodoh sekali ia lupa membawa selimut.

Jisu meringis. "Sedikit."

Sedikit apanya? "Baiklah aku akan—"

Ucapan Soobin terputus oleh nada dering ponsel yang tidak asing di telinganya. Buru-buru Soobin merogoh saku celananya dan mengeluarkan benda yang menjerit-jerit minta diangkat itu. Ia menatap Jisu sekilas, "Tunggu sebentar." Ia membelakangi tubuh gadis itu dan mengangkat panggilan, "Halo?"

"Soobn, kau dimana?" 

Hwang Yeji. Gadis itu tanpa balik menyapa langsung bertanya tempat, khas sekali seperti kebiasannya.

Soobin menatap ke sekeliling sejenak. "Memangnya kenapa?" tanyanya kemudian.

"Memangnya kenapa?" gadis di seberang berhenti sejenak, sebelum melanjutkan, "Memangnya aku salah bertanya seperti itu kepadamu?"

"Permisi, Soobin-a,... sebenarnya aku benar-benar merasa dingin," kata Jisu cemas sembari mengusap-usap kedua lengannya. Suaranya terdengar sedikit menggigil, "Bisakah kau mengambilkan selimutku di dalam kamar? Aku akan menunggumu di sini."

"Itu... suara siapa Soobin?"

***

Hwang Yeji merebahkan punggungnya ke permukaan ranjang dengan cukup keras. Beberapa kali ucapan Yeonjun masih terngiang-ngiang begitu jelas di benaknya. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh anak itu? Yeji benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa Yeonjun tadi... wah... gila.

"Bagaimana bisa ia berkata seperti itu tentang Soobin? Soobin kan sahabatnya sendiri!" Ia menggerutu sendiri tanpa henti. "Dia gila, ya?"

Mengingat Soobin membuat rasa rindunya membuncah, padahal baru beberapa jam saja mereka berpisah. Senyumnya mengembang. Ia segera mengobok-obok tasnya untuk mencari ponsel. Setelah menemukan benda itu, ia langsung mengetikkan nomor yang sudah dihapalnya di luar kepala. Seperti rutinitasnya setiap hari, selalu menelepon Soobin, tidak peduli waktu, tidak peduli suasana, dan tidak peduli pulsa tentunya.

Sambungan telepon terdengar. Belum lama Yeji menunggu, telepon diangkat.

"Halo?" suara Soobin benar-benar seperti kicauan burung di pagi hari. Manis dan merdu. Padahal kalau ia tidak buta, sekarang sudah hampir petang.

"Soobin, kau dimana?"

'Sedang di kamar, kau sendiri?'

'Sedang di supermarket membeli bahan makanan untukku dan hyung. Kau mau titip sesuatu?'

'Sedang di warnet. Kenapa? Jangan menyusul. Di sini banyak laki-laki buas.'

Sepertinya Yeji benar-benar hapal setiap rinci jawaban Soobin selama ini.

"Memangnya kenapa?"

Senyumnya memudar perlahan. A-apa? Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Apa aku salah dengar? 

"Memangnya kenapa?" Yeji mengulang kata Soobin. Kedua alisnya bertaut menjadi satu. "Memangnya aku salah bertanya seperti itu kepadamu?"

"Permisi, Soobin-a,... sebenarnya aku benar-benar merasa dingin." Jantung Yeji mencelos seketika. Ia menajamkan pendengaran. "Bisakah kau mengambilkan selimutku di dalam kamar? Aku akan menunggumu di sini."  

K-kamar? Soobin-a? Apa-apaan itu barusan?

"Itu... suara siapa Soobin?" tanyanya curiga, nada suaranya berubah.

"Ya?" sahut Soobin. "Itu suara—"

"Siapa? Suara siapa itu Choi Soobin?"

"Soobin-a, chuwo." (Dingin)

Tidak salah lagi. Itu suara seorang gadis. Seingatnya, Soobin tidak punya teman dekat perempuan, saudara juga tidak punya. Soobin hanya punya satu kakak kembar laki-laki. Dan demi apapun juga, dunia Yeji seketika jungkir balik.

"Soobin-a, suara siapa itu?!"

"Nanti kutelepon lagi."

"Choi Soobin! Ya! Halo? Halo? Hal—"

Telepon diputus sepihak.

Tut... tut... tut...

"Ya! Halo? Soobin? Soobin? Soo... bin..."

Yeji menatap ponselnya nanar. Tatapannya mematri nama Soobin yang masuk ke dalam daftar panggilan.

Ya, apa-apaan ini? Choi Soobin, kenapa kau... tunggu, sebenarnya ada apa? Suara siapa tadi? Siapa gadis itu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top