Jalan-jalan yang sibuk

warning : bloods and some other things :)

Saat hari Sabtu tiba, Amatsuki nyaut tepat di samping telingaku.

"Mafu-kun! Jalan-jalan yuk!" aku dapat mendengar kesenangan dalam suaranya.

Aku mengerutkan kening. Ngapain Amatsuki nyeret anak nolep kayak aku keluar coba?

"Buat apa sih, Ama-chan... Akhir pekan kan waktunya buat molor di kasur seharian..." jawabku males, semakin menarik selimut untuk menutupi diriku.

"Dame! Kau harus ikut denganku!"

Aku memekik saat dia menarik selimutku secara paksa dari tubuhku, terlebih lagi saat dia menyibakkan tirai di jendela kamarku. Refleks aja aku teriak dengan high note-ku kayak vampir yang terekspos sinar matahari.

"TUTUP TIRAINYA AMA-CHAN!!! SILAU AHHHHH!!!"

"AH LEBAY KAU MAFU-KUN!!"

.

Akhirnya aku ikut keluar deh.

Gak seperti Amatsuki yang santuy dan hepi, aku malah kayak sad boi, memakai masker untuk menutupi wajahku dan hoodie untuk menutupi surai saljuku. Tetap saja aku tak tega jika harus menolak ajakan Amatsuki ke sebuah café. Dia ngajaknya pake senyum lebar sih. Boku no kokoro mana kuat ngehadepinnya.

Kami memesan dua piring omurice, sepotong kue, segelas es teh, dan segelas kola. Setidaknya dengan makanan ini, mood-ku meningkat sedikit. Rasanya benar-benar enak, membangkitkan sel pengecapku yang biasanya makan mie instan setiap hari.

//jangan ditiru gaes. Kebanyakan micin tuh gak baik. Ntar jadi kayak Sakata loh.

Setelah kami patungan membayarnya, kami lanjut jalan-jalan di sekitar kota. Entah kenapa rasanya kita berdua kayak lagi kencan, padahal mah enggak. Saat kami mendekati sebuah taman, aku melihat sosok seorang pria berjaket tebal dengan kacamata hitam sembunyi di balik suatu pohon, berbicara pada seseorang lewat hp-nya.

Huh, kok perasaanku gak enak ya?

Aku terus memerhatikan pria itu, sengaja memperlambat langkahku biar dia bisa kupantau. Untung Amatsuki kayaknya gak menyadari kecepatan kami yang melambat. Aku melihat pria itu mengangguk, sebelum dia memasukkan hp-nya kembali ke saku celananya dan beranjak keluar dari balik batang pohon, tak lupa melepas kacamatanya.

Dia sesekali berhenti dan pura-pura melihat sekeliling, sebelum lanjut berjalan lagi. Terkadang, dia cepat-cepat sembunyi balik pohon lain atau semak-semak di sekitar dan keluar dari tempat persembunyiannya. Proses itu terus berulang, dan akhirnya aku tau apa yang dia lakukan.

Dia sedang membuntuti seseorang.

Awalnya aku tak peduli karena aku tak mau merepotkan diri sendiri. Ntar juga kalo salah kan bisa panjang lagi urusannya, tapi setelah melihat siapa yang dia ikuti, aku tergelak.

Itu Soraru-senpai.

Dia lagi berjalan santai di taman dengan jaket berhoodie biru tua, celana panjang hitam, dan sneakers merah. Balutan perban tebal dapat kulihat menyelimuti seluruh tangan kanannya, dan beberapa plester terpasang di bagaian bawah kakinya, menutupi luka gores yang kemarin dia dapat dari "duel"-nya dengan Kain-senpai.

Jika aku harus jujur, Soraru-senpai bukanlah tipe orang yang tak akan menyadari keadaan di sekitarnya. Maka apakah dia pura-pura tidak tau akan stalker-nya atau dia memang tidak tau? Eh, kalo kayak gitu, apakah dia juga tidak menyadariku yang sering nge-stalk dia di sekolah?

"Ama-chan, kamu balik duluan aja" ujarku padanya.

"Mm?" dia berhenti menyeruput kolanya, "Mau ngapain lagi, Mafu-kun?"

Aku menyeringai, "Kalau kuberitau, kau pasti akan mencegahku"

Amatsuki memandangku dengan skeptis, sebelum mengibaskan tangannya, "Iyalah. Kamu kan anaknya keras kepala. Pokoknya balik sebelum malam ya. Hati-hati" pesannya sebelum dia berjalan meninggalkanku.

Baiklah, mari kita mulai operasi "stalker yang nge-stalk stalker lain" ini.

.

Aku mengikuti pria berjaket itu sampai kami tiba di pusat kota pada waktu malam. Wah, kayaknya aku pulangnya bakal lama nih. Aku nyasarnya kejauhan gaes. Soraru-senpai sempat menolehkan kepalanya ke belakangnya, dan kami berdua langsung sembunyi. Dia menyipitkan matanya, sebelum mengangkat bahu dan lanjut berjalan. Aku tetap di luar saat dia masuk ke sebuah toko untuk membeli minuman, dan kembali mengikutinya saat dia berbelok.

Beberapa saat kemudian, aku sadar bahwa Soraru-senpai jalannya muter-muter. Soalnya aku yakin aku udah ngeliat toko yang sama sebanyak tiga kali. Apakah ini taktiknya untuk memastikan bahwa ada yang mengikutinya?

Soraru-senpai tiba-tiba berbelok ke sebuah gang lembab nan remang. Aku tetap berada di sisi mulut gang sementara pria itu masih mengikuti Soraru-senpai memasukinya. Aku mengintip saat mereka akhirnya saling hadap-hadapan.

"Kau, siapa yang mengirimmu?" tanya Soraru-senpai dingin. Walaupun ini memang sudah malam, aku jadi makin merinding karenanya.

"Kau tidaklah berdaya, Soraru-shi" pria itu terkekeh, mengucapkan nama Soraru-senpai dengan nada penuh ejek, "Boss sudah tau bahwa kekuatanmu yang sebenarnya ada di tanganmu. Tanpa itu, kau adalah rintangan mudah"

"Kau pikir aku tak bisa menggunakan kakiku?" Soraru-senpai mulai berpose kuda-kuda, pandangan matanya terkesan menantang, "Ditambah lagi, aku masih punya tangan kiriku. Jika kau anggap tak berdayanya satu tangan akan menghentikanku, maka kau salah"

"Tidak, kaulah yang salah" mataku membelak saat pria itu mengeluarkan sebilah pisau dari balik jaketnya, "Hilangnya satu tanganmu sudah cukup untukku" dan dia berderap maju.

Soraru-senpai sama sekali tak berpindah dari posisinya. Dia terus menangkis pergerakan pria itu walaupun cahaya di sekeliling sangatlah minim. Bisa kulihat bahwa wajah senpai itu mulai menunjukan sedikit ekspresi kesal, dan akhirnya dia memutuskan untuk menyerang. 

Pria itu tertawa lagi, dan itulah saat aku menyadari bahwa Soraru-senpai telah masuk ke jebakannya. Dia menghunus pisau kedua, dan berhasil mengiris bahu Soraru-senpai. Aku meringis, tapi tetap diam di tempat. Serangannya tak berhenti disitu, dia terus mengayunkan kedua pisaunya, dan entah kenapa mata Soraru-senpai tampak semakin sayu di penglihatanku.

Gak mungkin dia ngantuk di saat-saat kayak begini kan...?

Pria itu menanamkan salah satu pisaunya di perut Soraru-senpai, tapi senpai itu bahkan tidak meringis sedikit pun. Dengan gerakan yang semakin melambat, dia ambruk dengan pisau masih tertancap di tubuhnya, dan pria itu berlutut di hadapannya, masih tertawa licik.

"Sungguh wajah yang tampan... Sekarang aku mengerti kenapa boss mengingkanmu"

Mulutku mangap selebar-lebarnya sata dia meraup bibir Soraru-senpai.

WOOOOOOIIIIII!!! SEMBARANG AJA TUH ORANG MAIN NYOSOR SORARU-SENPAI!!! DIA BENER-BENER NYARI MATI APA HAH?!?!?! HAL SEPERTI INI TAK BOLEH KUBIARKAN!!!

Denagn langkah cepat dan ringan, aku berlari memasuki gang, dan menusukkan pisauku di punggung pria brengsek tersebut.

Dia mengeluarkan sebuah teriakan penuh kesakitan dan keterkejutan, tak menyangka akan ada yang menyerangnya. Dia bangkit dan membalikkan tubuhnya, masih dengan pisauku di punggungnya. Dia menatapku dengan sepasang mata seorang pembunuh ketika dia meraih pisauku dan mencabutnya.

"Siapa kau hah?! Seenaknya saja mengganguku!" bentaknya.

"YA KAU YANG NGECIUM ORANG SEMBARANGAN!!!" kemarahanku memuncak. Kuhunus pisau keduaku dan loncat ke arahnya. Dia berusaha menjatuhkanku, tapi aku bertahan dengan segala kekuatan yang kupunya. Mengunci kepalanya di antara kedua kakiku, aku menghujamkan pisauku tepat di ubun-ubunnya, meraih teriakan lain darinya.

Aku beranjak turun darinya, mengambil pisau ketigaku, dan menjatuhkannya di permukaan gang yang lembab. Darah yang indah mengalir dari pelipisnya dan menuruni wajahnya. Ekspresi menderitanya adalah ekspresi favoritku. Tapi aku gak punya waktu untuk membuatnya menunjukan ekspresi lainnya saking kesalnya diriku.

Aku mengiris bibir yang telah mengotori Soraru-senpai, memotongnya dari samping seperti sedang menguliti kulit sapi. Dikarenakan seluruh darah yang telah meninggalkan pembuluhnya oleh pisauku, dia tak punya tenaga lagi untuk melawan. Sedikit mengecewakan, tapi kesempatan seperti ini tak bisa kulewatkan.

Aku mencabut bibirnya dari wajahnya dengan paksa, meninggalkan bekas yang mengerikan, dan menatap onggokan daging itu penuh kebencian. Tapi mengingat bahwa ini telah merasakan bibir Soraru-senpai, aku tak bisa menyangkal tapi ingin merasakannya juga.

Maka aku memakannya.

Bajuku sudah penuh dengan darah, tapi aku tak memedulikannya. Aku dapat melihat ekspresi horror-nya dari sudut mataku saat aku melakukannya. Gumpalan daging itu terasa hangat dan empuk di mulutku, tapi ini belum cukup. Benar-benar belum cukup.

Aku... Ingin merasakan Soraru-senpai juga...

Aku memosisikan pisauku di atas mata kanannya, mata yang telah melihat Soraru-senpai dilumuri darah dan tampak tak berdaya. Tak adil. Aku ingin melihatnya juga...

Aku membenamkan pisauku di matanya. Aku menahan tubuhnya yang meronta-ronta dengan tanganku yang satu lagi dan kedua kakiku. Aku menggerakan gagang pisauku ke arah samping, dan aku tertawa senang saat matanya mencuat keluar dari tempatnya. 

Euforia di dalam dadaku mengembang karena telah mengambil nyawa orang yang telah merebut Soraru-senpai dariku, dan perasaan itu membuatku mencongkel mata kirinya juga sekalian. Kosong sudah matanya sekarang, wwwwww. Perasaan ini menyenangkan sekali! Apa aku harus mengambil tangannya juga yang telah menyakiti senpai-ku? Atau--.

"Mafu-san... Cukup..."

Seluruh kegembiraan dalam diriku memudar mendengar suara lirih orang yang kusuka di belakangku. Realita menghantamku dengan keras. Aku segera menjatuhkan pisauku dan merangkak menghampirinya, "So- Soraru-senpai! Daijoubu ka?!" tanyaku panik.

Dia memosisikan dirinya duduk dan tersenyum lemah, "Ya, ya, gue dah nyabut pisonya dan nahan pendarahannya, tapi serius deh, gue ngantuk bener sekarang..." Soraru-senpai bisa-bisanya menguap sebelum dia tiduran lagi di permukaan gang, "Btw, Mafu-san, aksi lu keren banget tadi, heheh..."

Aku makin panik. Soraru-senpai tak boleh mati disini! Ntar nasib cerita ini gimana?!

~~~

A/N : Kayaknya deskripsi pertarungannya rada kurang. Gomen ne, habis ini author masih harus nyalin tugas b.indo ke buku tulis. Masa jawabannya harus dikasih argumentasi segala. Emangnya perlu alasan buat milih jawaban yang author pilih?

Memangnya perlu alasan buat milih kamu--//udah woi.

See you next time!



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top