Chapter 12 - Senandung Cinta dan Sakit Hati

Banyu berdiri di ambang pintu dengan satu tangan masuk ke dalam saku celana jins. Manik cokelatnya menatap Lazuardi yang sedang sibuk dengan buku-buku pelajaran. Bisa-bisanya Lazuardi mengerjakan tugas dalam kondisi seperti ini. Banyu menghela napas panjang, sahabatnya ini terlalu antusias dengan pelajaran.

Lazuardi mendongakkan pandangan saat sudut matanya melihat keberadaan seseorang. Senyumnya mengembang melihat Banyu dengan baju santai berdiri di sana.

"Kalau mau nagih utang jangan masuk kamar. Berdiri aja di sana."

Banyu mulai memasuki kamar serba biru itu. Dia menyeret kursi yang ada di depan jendela. "Sempet-sempetnya ngerjain tugas." Kini Banyu sudah duduk di samping kasur Lazuardi.

Lazuardi hanya tersenyum miring dan kembali dengan kesibukannya.

"Gimana hari ini?"

Gerakan tangan Lazuardi terhenti sejenak sebelum menjawab, "Lancar."

Banyu mengembuskan napas sekali lagi. "Lo nggak demam, 'kan?" Entah kenapa perkataan Nuansa mempengaruhi pemikirannya.

Lazuardi terkekeh, "Gue nggak serentan itu." Dia meletakkan pulpennya kemudian menoleh ke arah Banyu. "Kalau dipikir-pikir, gue emang rentan."

Kali ini wajah Banyu menegang. "Ada kabar apa?"

"Mulai hari ini gue harus cuci darah setiap hari." Suara Lazuardi terdengar seperti desau angin. "Gue nggak mau koma lagi, Nyu."

Mulut Banyu langsung terbungkam mendengarnya. Ada rasa nggak rela jika harus melihat Lazuardi seperti itu.

"Gue mau ... gue mau hidup normal kayak lo."

Andai Banyu seorang cewek, mungkin saat ini dia sudah meneteskan airmata. Namun sayangnya, dia seorang cowok yang berpura-pura tegar. Banyu menepuk pundak Lazuardi dua kali.

"Lo bisa hidup normal kayak gue--"

"Kalau gue transplantasi ginjal. Dan sampai sekarang gue belum nemu ginjal yang cocok buat gue!"

"Lo jangan pesimis kayak gitu. Lo bisa hidup normal, anggap aja proses cuci darah adalah asupanmu setiap hari dan keesokan harinya kamu kembali segar."

Kepala Lazuardi menggeleng. "Lo nggak tahu rasanya abis cuci darah. Nggak sesegar itu, Nyu."

"Gue tahu, Di. Gue tahu. Gue cuma pengen lo nikmati hidup di tengah-tengah penderitaan lo."

Lazuardi tercenung mendengarnya. Nggak ada yang salah dalam perkataan Banyu.

"Lo masih bisa mengejar prestasi dengan keadaan seperti ini. Lo masih bisa jadi anak paling pintar dengan keadaan seperti ini. Semua itu karena apa?"

"Karena gue pengen dikenal sebagai orang yang paling hebat."

"Jangan pernah lupain motivasi ini, Di."

Lazuardi mengembuskan napas panjang. Dia menyandarkan punggung dengan mata menatap lurus. "Dan gue juga pengen bahagia."

Banyu bisa langsung menangkap perkataan Lazuardi. "Lo bener. Bahagia itu penting. Dan gue ada satu kabar buat lo."

Kepala plontos Lazuardi langsung menoleh. "Apa?"

"Nuansa nanyain kabar lo."

******

"Kak, Kakak nggak sakit, 'kan?"

Dimas yang berada di depan kamar Nuansa menggedor pintu kamar sambil berteriak. Citra berdiri dengan tangan terlipat ke depan dan wajah bengong.

"Kakak lihat sendiri, 'kan?" Dimas menoleh ke arah Citra.

Kepala Citra mengangguk patah-patah.

"Gue kira cuma di sekolah aja. Mungkin ada cowok yang dia suka. Tapi.... "

"Pasti kepala tuh anak abis kejedot. Kamu nggak denger kabar apa-apa lagi selain ini?"

Kehebohan seperti ini terjadi karena perubahan sikap Nuansa yang drastis. Biasanya saat mereka berada di lantai dua, mereka bisa dengan bebas bertingkah tanpa sepengetahuan Papa. Sore menjelang malam ini, tingkah Nuansa seperti kapal Titanic yang kejungkir di lautan. Berbeda 180 derajat! Citra dan Dimas yang menyaksikannya sudah seperti orang gila yang baru keluar dari rumah sakit jiwa. Bahkan mulut pun nggak sanggup menutup.

Sedangkan di dalam kamar, Nuansa berjalan mondar-mandir dengan latihan pernapasan untuk meredakan amarahnya. Pasalnya, tangan Dimas yang segede tandan pisang itu terus menggedor pintunya.

"Kak, keluar bentar deh!"

Oke, Nuansa harus keluar dan memberi penjelasan. Dia membuka pintu dengan sebuah senyum yang mengembang. Dimas dan Citra saling melemparkan tatapan ngeri.

"Sori kakak dan adekku yang cantik dan ganteng, aku sedang ada tugas. Jadi tolong jangan ketok-ketok pintu."

"Sa, lo nggak pernah kebentur pintu, 'kan?"

Nuansa tersenyum lembut dan menggeleng. "Maaf sekali lagi, ya. Aku tutup pintunya dan selamat malam."

Dimas dan Citra sudah mirip seperti orang kena gendam. Mereka hanya bisa melongo dengan mulut menganga. Nuansa mengembuskan napas panjang kemudian berjalan loyo ke tempat tidur. Dia mengempaskan tubuh di tempat empuk keagungannya. Begitu sulit menjalani hari ini. Banyak sekali rentetan penyangkalan yang ia terima, baik dari teman atau saudaranya sendiri. Apa harus menerima perlakuan seperti ini dulu baru mereka bisa menerima perubahannya? Hanya satu pertanyaan yang menggelayut di benak Nuansa: sampai kapan mereka bisa menerima perubahannya?

Nuansa bangkit dari posisi saat mengingat sesuatu. Dia beranjak dari tempat tidur untuk mengambil ponsel pintar yang tergeletak di atas meja belajar. Dia membuka aplikasi WA untuk menghubungi seseorang. Lazuardi. Jemarinya menekan nama itu dan mulai mengetikkan sesuatu.

Lo sakit, ya?

Merasa pertanyaan itu terlalu kasar, Nuansa menghapusnya cepat-cepat.

Hai, gimana kabar?

Nuansa menggelengkan kepala. Tentu aja nggak baik, secara dia kan nggak masuk sekolah!

Lo sakit apa?

Dia terdiam sejenak memandangi tulisan itu kemudian dengan yakin mengirimnya. Sebagai cewek yang ingin berubah, dia harus menumbuhkan sikap peduli dengan teman satu kelompoknya. Semua itu ia lakukan hanya untuk merubah dirinya sendiri dan nggak boleh lebih dari itu. Ingat, dia nggak mau jatuh lagi ke pelukan cowok yang hanya bisa nyakitin hatinya. Enggak! Titik!

Jauh berkilo-kilo meter dari tempat Nuansa, terdapat Lazuardi yang terkejut saat menerima pesan dari Nuansa.

"Ada apa?" tanya Banyu saat melihat ekspresi Lazuardi.

"Di-dia ngirim pesan ke gue!"

Kening Banyu mengernyit.

"Nuansa, Nyu. Nuansa!"

Dua sudut bibir Banyu terangkat sempurna diiringi rasa aneh yang begitu perih. Dia menyandarkan punggungnya sambil melipat tangan.

"Gue ... pengen nelepon dia."

Dan Banyu pun mengerti maksud Lazuardi. Dia mengangguk sambil menepuk pundak Lazuardi. "Gue balik dulu."

"Nyu ... lo nggak sakit hati, 'kan?" Lazuardi cukup tahu tatapan mata Banyu. Tatapan manik cokelat itu begitu tenang, tetapi menyimpan riak yang begitu kentara. Ada gelombang-gelombang yang mampu menggulung Lazuardi dalam tingkat kesadaran yang tinggi. Masih ada rasa untuk Nuansa.

"Gue? Sakit hati?" Tawa Banyu menderai. "Gue udah bilang kalau dia bukan tipe gue! Titik nggak pake koma!"

Lazuardi berharap bahwa nggak ada yang tersembunyi dari ucapan itu. "Thank you."

"Gue nggak suka lo ngomong kayak gitu. Ingat, di sini gue yang salah. Gue yang nyerobot lo duluan." Banyu mengangkat tanganya. "Gue balik dulu."

"Tutup pintunya," suruh Lazuardi saat Banyu sudah berada di depan pintu.

Dan pintu berukuran besar itu pun tertutup dengan rapat, menyisakan senandung yang sangat indah di hati Lazuardi. Ini pertama kalinya dia menghubungi Nuansa, dan ini pertama kalinya ia mendengar suara itu begitu dekat. Dan di sisi pintu yang satunya, berdiri Banyu dengan raut yang berantakan. Jantungnya seperti alunan gitar sedih yang dipetik dan pikirannya tengah menyenandungkan sebuah lagu; senandung sakit hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top