11. DISTORSI - Tarantula



Kulihat bayangan Mama meliuk di lantai, membentuk sulur-sulur hitam tebal seperti akar pohon yang gosong terkena sambaran petir. Semakin lama sulur-bayangan itu merayap membelit tubuh Mama. Mulai dari kaki, pinggang, dada, hingga hampir mencekik leher putihnya.

"Apa yang kamu lihat sekarang?" Papa bertanya padaku yang sedang duduk memakan sereal di meja. Mama mengalihkan pandangan dari layar TV, bergantian menatapku dan Papa. Wajahnya terlihat khawatir.

"Tidak ada, Pa." ujarku pelan.

"Benar? Awas kalau kamu bohong lagi." Papa menurunkan koran yang ia bentangkan. Tangan kanannya setengah terangkat, bersiap menghajarku kalau salah menjawab seperti biasa.

"Benar, Pa. Tidak bohong," aku mengangguk meyakinkannya.

Papa menatapku tajam, lalu membaca koran lagi. Mama menghembuskan napas yang sedari tadi ditahannya.

Bayangan Papa tidak bergerak seperti Mama. Tapi tempat di sekeliling Papa warnanya tampak lebih gelap. Kulit Papa yang cokelat terlihat makin cokelat. Koran yang ia pegang, yang harusnya berwarna putih, jadi semakin pekat. Kursi kayu yang ia duduki lebih hitam dari biasa.

Seperti..ada sosok besar yang berdiri di belakang Papa, menaungi tubuhnya.

Sayup-sayup terdengar suara di telingaku. Bercampur dengan suara pembawa berita di TV, beradu dengan denting sendok dan mangkok di meja. Seperti ombak di pantai, pertama-tama pelan, lalu makin lama makin keras terdengar. Memanggilku lembut, mengajakku bermain. Menyuruhku mengambil pisau buah lalu menusukkannya pada mata Papa, merayuku menyiramkan minyak pada tubuh Mama, kemudian membakarnya.

Suara itu memintaku menyebutkan namanya, memanggilnya datang entah dari mana asalnya.

Seperti biasa, aku berpura-pura tak melihat dan mendengar apa-apa.

***

Aku suka berlari kencang. Merasakan angin yang menampar wajah dan menyelusup selaput mata hingga memerah, lalu mengacak-ngacak potongan rambut sampai tak lagi berbentuk. Energi tubuhku meledak-ledak. Pusatnya di dada lalu merambat hingga seluruh tubuh. Rasanya panas. Rasanya sulit bernapas. Tapi itu sensasi yang enak luar biasa.

Contohnya sekarang ini, ketika aku mengejar buruanku memasuki hutan.

Hihihi.

Ia tak terlalu mahir bermain petak umpet. Terlalu berisik. Tergesa-gesa. Sepatu yang ia kenakan tinggal sebelah saja -sebelahnya lagi hilang entah kemana- menimbulkan suara langkah keras. Tangannya terlalu kuat ia ayunkan, menampar batang, daun dan semak tinggi yang menghalangi jalannya. Dan yang paling ribut itu isak tangisnya yang naik-turun diselingi teriakan histeris.

Hihihi.

Lagi-lagi aku tertawa geli. Mana bisa dia menang berpetak-umpet denganku kalau begitu?

"Argh!"

Terdengar pekik kesakitan. Suara benda berat jatuh mencium tanah. Lalu rintihan tertahan.

Pria itu sedang merangkak di tanah lembab. Rambutnya awut-awutan dengan banyak patahan-patahan dahan dan daun. Tubuhnya bersimbah darah, hasil tusukanku di paha dan lengannya. Bau amis menyeruak pekat.

Aku mendekatinya pelan.

"Sudah berhenti lari?"

"Tolong..ampun..tolong..ampun.."

Suaranya memuakkan. Begitu lemah, begitu tak berdaya.

Aku mengangkangi sosoknya yang meringkuk bak bayi. Mengamatinya dari ujung hingga ujung. Merekam tiap keping informasi yang masuk. Kulit cokelatnya, kumis tipisnya, tubuhnya yang sedikit gemuk, juga kacamata yang ia kenakan.

"Kau mirip Papa."

Kukeluarkan seutas kawat dari saku celana. Kukalungkan ke lehernya lalu kutarik kuat-kuat. Ia berontak, tentu saja. Menggelepar seperti ikan yang melompat keluar dari akuarium. Gerakannya makin lama makin lemah, makin patah, hingga akhirnya diam sepenuhnya.

Hihihi.

Aku tergelak seperti orang gila. Kukencingi tubuhnya. Sensasinya mirip seperti orgasme dengan pelacur lima puluh ribuan. Ingin aku berlama-lama bermain dengan mayat itu, tapi sayang, bulan sudah menggelincir lepas dari pucuk langit. Saatnya pulang.

Aku bersiul-siul keras selama perjalanan. Dari hutan di pinggiran kota sampai ke kosanku butuh waktu setengah jam saja. Kupacu motor bututku santai. Harusnya ini jadi malam yang menyenangkan. Sempurna. Tapi nyatanya, kepalaku sakit. Lagi. Makin lama makin membuat gembiraku menipis. Sampai di kos, rasa itu berganti jengkel sepenuhnya.

Kujatuhkan tubuh di ranjang. Mata terpejam. Capek sekali. Mana kepalaku berdenyut-denyut seperti kesetanan pula.

"Kau menikmati buruanmu kali ini?"

Mau apa dia muncul di saat-saat begini?

"Ayo cerita."

Kusetel radio transistor kuno yang bertengger di atas meja. Kubesarkan volumenya. Sebuah lagu pop lantang terdengar memenuhi seluruh kamar. Suara laki-laki, lembut mendayu-dayu seperti wanita.

"Apa ada makhluk yang mengejarmu malam ini?"

Denyut di kepalaku menggila.

Gedoran keras terdengar tiba-tiba di pintu. Pekik marah seorang ibu. Ia berteriak-teriak dengan suara cemprengnya. Entah apa yang ia katakan, bunyi radio menenggelamkan teriakannya. Baguslah.

"Sakit kepalamu kambuh lagi ya? Kasihan.."

Dasar brengsek!

"Tidak usah kasihani aku!"

"Kamu memang pantas dikasihani."

Beraninya dia! Aku melompat dari ranjang. Gerakan mendadak itu membuat kepalaku makin sakit. Aku agak terhuyung meski sukses mencengkeram lehernya. Namun pusing di kepalaku makin parah. Aku terpaksa melepaskannya; memukul-mukul batok kepala dengan buku-buku jari. Ada ruang kosong di dalamnya.

"Ada yang merayap di belakangmu."

"Hantu hanya mitos. Setan cuma ada di film-film horror. Monster sesungguhnya ada dalam diri manusia." gumamku pada diri sendiri.

Ia terbahak.

Kuludahi ia sambil berjalan menuju lemari. Mencari solusi agar dia enyah dari hadapanku. Masing-masing dua butir, Aspirin dan Vivarin, berjuang masuk lambungku. Persetan air minum. Aku harus tetap terjaga. Pueh! Pahitnya dua kali lebih terasa dari sebelum-sebelumnya.

"Kau hanya menolak kenyataan traumatis. Jujur saja, kau belum terlalu tua untuk melupakan kejadian itu, kan? Saat dulu kau memanggil-"

"DIAM!"

Aku meraung padanya.

Ia langsung bungkam. Cipratan ludahku mengenai wajahnya. Ia mendelik padaku dengan mata merah. Aku tak mau kalah. Pandangan kami beradu. Tanpa kedip.

"Kau pikir aku bodoh?"

"Tentu saja tidak."

"Itu hanya halusinasi. Bayangan itu cuma halusinasi. Suara itu juga."

"Aku cabut kata-kataku barusan. Kau bodoh."

Senyum melengkung bengis di wajah pucatnya. Ia menyeringai lebar. Giginya kuning, besar-besar dan tidak rata. Jelek sekali.

"Kau gila dan pembohong."

"Panggil saja dia lagi dan kita lihat siapa sebenarnya yang pembohong."

Kuhantamkan tinju ke wajahnya. Suara derak keras terdengar. Ia langsung diam tak berkutik. Wajahnya jadi penuh retak yang menyebar membentuk goresan-goresan tipis. Aku tersenyum penuh kemenangan.

Hihihi.

Saat itu juga sakit kepalaku hilang. Obatnya sudah bekerja. Syukurlah aku bisa bernapas lega.

Tak kuhiraukan sosok hitam yang bergerak-gerak ganjil di sudut kamar.

***

Sakit kepalaku kumat lagi dua hari kemudian, ketika aku berjalan menyusuri wilayah tak bernama di pinggiran kota. Kutemukan targetku di sebuah taman kecil berpenerangan redup: seorang pria paruh baya berkumis tipis yang sedang duduk sendirian di bangku marmer panjang, mengenakan jaket kulit dan kacamata. Ia tersenyum padaku ketika aku mendekat.

"Malam, mas. Sendirian?" tanyanya sambil tersenyum. Aku langsung merasa ada yang tak beres dengan gelagatnya.

Aku mengangguk.

"Sini duduk," katanya sambil menunjuk bangku di sebelahnya.

Homo! Apa tempat ini memang sarang mereka? Tapi aku tetap duduk, hanya menyisakan sepetak kecil jarak di sampingnya.

"Sakit ya? Dari tadi pegang kepala terus. Mau saya pijat?" ia berkelakar.

Kepalaku makin sakit mendengar rayuannya.

Taman itu dinaungi oleh barisan pepohonan yang cukup tinggi menjulang. Satu kolam air mancur yang sudah tak berfungsi lagi berada di tengah. Lampu-lampu taman kecil berbentuk kubah berderet mengelilingi. Angin malam berhembus cukup kencang, menggerakkan baying-bayang dedaunan yang tertiup angin.

Beberapa bayangan tetap menggeliat bahkan ketika angin berhenti menerpa.

Bunuh saja pria ini...

Ia tak berguna, sama seperti Papamu dulu...

Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir suara itu.

Lelaki paruh baya di sebelahku beringsut mendekat. Lutut kami beradu. Ia mengalungkan tangannya pada pundakku sambil menyunggingkan senyum memuakkan. Kutepis tangannya kasar.

Pelipisku berkedut-kedut makin keras.

"Jangan jual mahal dong!"

Aku murka ia berkata sekurang ajar itu padaku. Kuarahkan tinju kanan pada pelipis kirinya. Sekuat tenaga. Harusnya itu bisa membuatnya ambruk seketika. Tapi ia refleks mengelak. Laki-laki itu lalu melompat berdiri dengan dengan satu gerakan cepat, lalu menendang ulu hatiku dengan sepatu bot tentaranya. Keras. Aku jatuh terjengkang. Paru-paruku menolak mengambil napas. Dadaku perih. Kepalaku semakin ngilu.

"Perampok! Ada orang merampok saya!"

Terdengar gaduh suara-suara lain yang membalas teriakan pria itu. Makin nyaring, diikuti derap langkah berbondong-bondong yang mendekat cepat. Hanya satu-dua blok jauhnya.

"Pembohong!"

Aku bangkit terhuyung-huyung, mencoba lari. Tapi pria itu tak pernah memberiku kesempatan. Ia menyepak perutku. Aku tersungkur lagi. Kulihat orang-orang berlari sambil berteriak-teriak. Bergerombol dua-tiga, dari berbagai arah. Aku meraih pisau di saku, berniat melumpuhkan pria keparat itu agar aku bisa kabur.

Kepalaku sakit. Aku kehilangan orientasi. Sabetan pisauku tak ada sedikitpun yang melukai tubuhnya.

Lalu mereka datang bergerombol. Menghajarku bertubi-tubi. Kepala, punggung, perut, semua tak luput dari sasaran amukan. Aku muntahkan makan malamku sampai perutku kosong. Aku terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Bau amis memenuhi penciumanku. Aku meringkuk melindungi bagian-bagian vital, tapi mereka terlalu banyak. Aku hanya sendirian. Kesadaranku di ambang batas, memudar seiring dengan hantaman dan tendangan yang kuterima.

Kau tidak sendirian...

Kau tidak sendirian...

Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang. Ketika nyawa seseorang tinggal sejengkal dari kematian, seluruh hidupnya akan melintas di balik pelupuk mata. Persis seperti menonton film yang diputar dengan cepat. Putaran film itu akan melambat ketika mencapai momen terpenting dalam kehidupan. Momen yang selama ini kucoba enyahkan dari pikiran.

Itulah yang kualami dalam detik-detik menjelang kematianku.

Aku terbangun di tengah malam. Terjadi keributan di lantai bawah. Papa dan Mama bertengkar lagi. Biasanya, Papa akan berteriak-teriak marah, sedangkan Mama menangis. Papa akan menampar Mama, lalu Mama memohon-mohon ampun. Tetapi yang membuatku penasaran, pertengkaran mereka kali ini berbeda.

"Aku akan meninggalkan rumah ini! Aku akan membawanya bersamaku! Kau tidak akan bisa melakukan apa-apa!"

"Berani kau melawan suamimu?! Kau mau tahu apa yang bisa kulakukan? Ini!"

Terdengar suara teriakan, diikuti bunyi barang yang jatuh pecah ke lantai, lalu hantaman keras benda tumpul.

Hening.

Aku turun dari tempat tidurku menuju luar. Perasaanku selalu tidak enak saat mereka bertengkar, tapi kali ini jauh lebih kuat dari biasanya. Aku melongokkan kepala di celah selusur tangga, di mana aku bisa melihat ke ruang tamu dengan jelas.

Papa sedang duduk di meja. Menundukkan kepala. Ia terlihat sedang memejamkan mata. Dadanya naik turun. Tubuh mama tergeletak lemas di hadapan Papa. Mata mama masih terbuka, tapi pandangannya kosong. Lebih kosong dari biasa.

Otakku buntu.

Aku tak mampu memikirkan apapun. Tak mau. Jauh di dalam hati, di bagian yang gelap, lembab, dan penuh bayang-bayang kelam, aku sudah tahu akan begini kejadiannya. Papa adalah sebuah bom yang sewaktu-waktu pasti akan meledak.

Sayap-sayup suara membisiki telingaku dengan manis, seakan madu menyelimuti kata-katanya. Merayuku dan memikatku dengan janji.

Panggil namaku...

Dan Papamu akan membayar apa yang ia perbuat pada Mamamu...

Ribuan kali lipat...

Aku tak butuh waktu lama untuk memutuskan. Aku sendirian dan butuh bantuan. Maka aku berbisik memanggilnya dari tempat yang teramat jauh, menyebut namanya dengan bibir gemetar.

"Atlach-Nacha."

Aku kehilangan setengah kewarasanku sejak hari itu.

"Cuih!"

Seseorang meludahiku yang tak bergerak. Luka-luka parah di sekujur tubuhku. Aku menerima kematianku hari ini, di sini, di tangan orang-orang ini. Hidupku sama sekali tak ada artinya. Tak bermakna apapun bagi siapapun. Tetapi paling tidak, aku akan melihat sesuatu yang luar biasa tepat sebelum nyawaku tercabut. Sesuatu yang akan membalaskan dendamku, sama seperti dulu.

"At...lach...N-nacha..."

Suara KRAK KRAK KRAK luar biasa keras terdengar memekakkan telinga. Asalnya dari sebuah titik gelap di sudut taman. Retakan-retakan muncul di tengah udara, seperti cermin yang terhantam benda tumpul. Pecahan itu meluruh ke tanah, lalu hilang seketika. Sebuah lubang asimetris menganga. Kegelapan berpusat di dalamnya, membentuk pusaran dan gelombang, seperti ada yang memainkan tirai gelap pekat seenaknya.

Orang-orang menunjuk-nunjuk. Beberapa berteriak ngeri.

Lalu sesuatu muncul dari dalamnya. Melesat cepat, menyebar ke segala penjuru. Jaring-jaring raksasa yang terbuat dari benang berwarna putih-keperakan memayungi tanah. Pertama-tama tak ada tanda apapun akan terjadi. Lalu jaring-jaring itu bergetar. Makin lama makin keras hingga bergoyang hebat.

Sesuatu yang besar sedang mendekat cepat.

Makin banyak teriakan-teriakan ketakutan terdengar. Beberapa mulai lari berhamburan menyelamatkan diri. Tapi terlambat.

KRAAK!

Udara pecah ketika Atlach-Nacha muncul. Ia berwarna hitam dengan wujud besar. Tak bisa kulihat jelas tubuhnya kecuali kedelapan kakinya yang bergantian bergerak lambat mendekat. Merayap di atas jejaring yang Ia buat sendiri.

Apakah inderaku sudah rusak? Atau memang dunia berubahkarena kehadirannya? Kulihat langit melengkung ganjil, kontur tanah terpilin, bangunan dan kendaraan mencekung dan mencembung ke segala arah. Sejauh mata memandang, tak ada garis lurus yang terlihat, hanya ada lekukan dan lenturan yang membuat mata berkunang-kunang seperti terhipnotis.

Bahkan bunyi pun bertukar acak. Teriakan dan raungan ketakutan dari orang-orang yang menyiksaku terdengar asing di telinga. Bunyi desir angin, suara burung malam, klakson motor dan mobil di kejauhan, bahkan bunyi napas dan irama detak jantung, semua terdengar janggal. Suara dekat terdengar jauh, nada tinggi jadi rendah, bergema dan bergaung naik-turun. Bunyi-bunyian menjadi berlapis-lapis tertangkap telingaku.

Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya jika aku bisa. Meraung sekencang-kencangnya. Menangis sejadi-jadinya. Tubuhku memberat seperti terhimpit beban luar biasa dari segala arah. Aku tahu ini jeratnya agar mangsa tak bisa melarikan diri. Seperti lalat yang terjebak jaring laba-laba tanpa ada harapan sedikitpun untuk kabur.

Atlach-Nacha! Atlach-Nacha! Atlach-Nacha!

Ia menciptakan gelombang teror yang meledak-ledak dalam pikiran, menyelubungi akal dengan rasa panik luar biasa. Melihat tubuhnya langsung membuatku tenggelam dalam jebakan rasa takut yang menghimpit kuat. Kehadirannya membuat kesadaranku makin pudar. Ia mengoyak pikiranku, menggerogotinya. Hanya dengan melihat wujudnya saja.

Atlach-Nacha! Atlach-Nacha! Atlach-Nacha!

Orang-orang keparat yang menghajarku akan merasakan hal yang sama juga. Biar mereka mati karena Atlach-Nacha menyantap kesadaran mereka! Biar mereka mati dalam kegilaan! Biar mereka musnah bersamaku! Biar!

Suara raungan manusia makin keras terdengar. Makin putus asa. Makin gila.

Hihihi.

Kehadiran Atlach-Nacha memenuhi pikiran. Meraksasa. Menyelimuti tiap rongga akal. Memerkosa kesadaran. Tak ada lagi yang bisa dipikirkan. Keping-keping kewarasan pecah berantakan. Terdistorsi tanpa bisa dipulihkan lagi.

Tak ada lagi aku.

Begitu pula mereka.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top