chapter 09
Sudah dua hari berselang dan belum ada panggilan kerja untukku!
Aku memasukkan beberapa helai pakaian kotor ke dalam mesin cuci ketika matahari sudah merangkak naik. Sebenarnya pakaian yang harus kucuci tidak banyak, tapi aku tidak mau terlihat nganggur dan menumpuk cucian di dalam keranjang seperti yang selama ini aku lakukan. Aku tidak mau dikatakan tidak bisa mengurus diri sendiri seperti kata Radit. Kakak sepupuku itu memang paling suka membuatku terlihat buruk.
Setelah menyalakan mesin cuci, aku beralih ke sofa dan menyambar lembaran koran yang kubeli tadi pagi. Lagi. Aku harus bergelut dengan kolom iklan lowongan pekerjaan karena usahaku dua hari yang lalu tidak membuahkan hasil. Tidak ada panggilan masuk ke ponselku dari salah satu tempat yang kudatangi melamar kerja.
Aku meletakkan kembali lembaran koran itu di atas meja dan menyandarkan kepala pada sandaran sofa. Sejak beberapa menit yang lalu aku sudah merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhku. Perutku terasa tidak nyaman. Sepertinya isi dalam lambungku sedang bergolak ingin naik ke kerongkongan.
Memejamkan mata dan membaringkan tubuh ternyata tidak bisa membuatku merasa lebih baik. Perutku bertambah mual dan tak butuh waktu lama untuk menguras isi lambungku. Aku berlari ke kamar mandi setelah merasa seluruh isi lambungku bergerak naik ke kerongkongan dan siap dimuntahkan.
Apa saja yang kulahap pagi ini kumuntahkan sampai tak bersisa. Menjijikkan memang, tapi aku benar-benar melihat butiran nasi dan potongan ayam yang sudah berwujud mirip bubur keluar dari mulutku dan menyisakan rasa yang luar biasa tidak enak. Hidungku juga mengalami hal yang sama.
Usai mencuci muka dan berkumur, aku melangkah kembali ke sofa ruang tengah dan menjatuhkan tubuh di sana. Entahlah, tempat itu menjadi tempat terfavoritku akhir-akhir ini padahal tempat tidur sudah pasti lebih nyaman. Tapi faktanya aku sering menghabiskan waktu di atas sofa itu dan tak jarang tidur atau tertidur di sana.
Aku sakit dan sendirian. Ya, Tuhan. Ini sangat menyedihkan, tapi tak sampai membuatku ingin menumpahkan air mata. Biasanya saat aku sakit Mama akan selalu ada di sampingku untuk merawat dan membujukku mati-matian agar mau pergi ke dokter. Dan keadaan sekarang jauh berbeda. Tak ada siapapun di sampingku. Kenapa ya, nasibku mengenaskan seperti ini?
"Dit, gue sakit." Aku menggumam usai menekan dial pada nomor Radit. Menghubungi Mama jelas tidak mungkin kulakukan saat ini. Wanita itu bisa-bisa menyeretku untuk tinggal di rumahnya jika tahu kondisiku yang sebenarnya. Hanya Radit satu-satunya opsi yang tersisa mengingat hubungan kami yang cukup dekat. Kalau dulu aku masih bisa menghubungi Reza kapanpun aku membutuhkan seseorang di sampingku, namun sekarang Yolanda-lah yang paling berhak melakukannya.
"Sekarang loe di mana?" balas Radit terdengar panik.
"Di rumah."
"Oke, gue ke sana sekarang!"
Telepon mati sedetik kemudian dan aku yakin Radit sedang bergegas meluncur ke rumahku. Aku hanya perlu menunggu selama beberapa menit sampai ia datang.
Sekitar setengah jam kemudian aku mendengar suara deru mobil memasuki halaman rumah. Pasti Radit, batinku lega. Tadi pagi aku sempat pergi keluar untuk membeli koran dan Radit bisa leluasa masuk ke dalam rumah karena aku belum sempat mengunci pintu depan. Ia bisa menerobos masuk tanpa perlu mengetuk terlebih dahulu.
"Loe sakit apa?"
Dugaanku benar. Radit muncul tiba-tiba dan memberondongku dengan pertanyaan. Tangan kanannya juga menjulur ke permukaan keningku tanpa permisi.
"Cuma muntah aja," sahutku.
"Kenapa? Loe masuk angin? Emang loe makan apa tadi?" Radit sudah selesai dengan pengukuran suhu tubuhku lalu bersila seenaknya di atas karpet seraya menatapku dengan pandangan menginterogasi.
"Makan nasi sama ayam," sahutku.
"Loe beli di mana emang?" desaknya persis seorang detektif dadakan.
"Nggak beli. Nasinya gue masak kemarin, terus ayamnya dikirim Mama dua hari yang lalu. Gue simpen di kulkas dan tadi pagi baru gue panasin... "
"Itu dia!" seru Radit membuatku tercekat dan langsung menghentikan kalimat. "loe keracunan makanan, Sas."
Aku mengernyit bingung. Aku menyimpan makanan itu dengan sangat baik di dalam kulkas dan memanaskannya sampai mendidih. Harusnya makanan itu baik-baik saja, kan?
"Keracunan gimana?" tanyaku bingung. "gue nyimpen makanan itu di kulkas, Dit. Nggak mungkin basi... "
"Mungkin nggak basi, tapi lambung loe yang sensitif. Ngerti?" Laki-laki itu mendorong keningku dengan ujung telunjuknya. "udah yuk, gue anter ke dokter." Radit berdiri dan mengulurkan tangan kanannya padaku.
"Dokter?"
"Iya. Kenapa?"
"Gue kan, cuma keracunan makanan. Ngapain dibawa ke dokter? Lagian gue udah muntahin semuanya kok," ujarku mengarang alasan agar Radit mengurungkan niatnya untuk membawaku ke dokter.
"Emang loe udah muntahin semuanya, tapi loe butuh sesuatu buat memulihkan stamina loe. Emangnya badan loe nggak lemes?" Radit berkacak pinggang sambil memasang wajah galak ala seorang senior pada juniornya.
"Ya, lemes sih. Tapi... "
"Loe mau gue anter ke dokter atau gue panggilin Mama loe biar ke sini?" tawar Radit dengan nada mengancam. Buatku kedua opsi yang ditawarkan Radit sama-sama buruknya dan tidak ada yang bisa kupilih. Aku jadi menyesal meneleponnya tadi.
"Makan sesuatu dan istirahat udah cukup buat gue, kok. Lagian gue udah merasa baikan sekarang," ucapku seraya membuat sebuah lengkungan di bibir. Berlagak jika aku sudah lebih baik dari sebelumnya.
Radit mendengus cukup keras dan mengeluarkan ponsel andalannya dari dalam saku jaket. "Beneran loe mau gue telepon Mama loe?" ancamnya. Entah ia sedang benar-benar menelusuri daftar nama di kontak teleponnya atau sedang berpura-pura, tapi aku segera menahan perbuatan laki-laki itu.
"Nggak, Dit! Jangan!" Aku menarik ujung jaket kulit milik Radit dan berteriak sekencang-kencangnya sebelum ia terhubung dengan ponsel Mama.
"Jadi loe milih yang mana?" Radit mengangkat ponselnya setinggi mungkin agar tidak dapat terjangkau oleh tanganku. Ekspresi wajahnya yang menyebalkan seolah menunjukkan sebuah kemenangan yang sebentar lagi akan diraih oleh Radit.
Aku menghela napas cukup panjang. Apa boleh buat?
"Oke." Aku menyerah dan terpaksa harus memilih. "gue mau ke dokter, tapi loe harus janji nggak bakalan telepon Mama. Deal?"
Radit menyeringai penuh kemenangan. Ia menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku. "Loe masih kuat jalan, kan? Gue ogah banget kalau disuruh gendong loe ke mobil," ucapnya.
"Siapa juga yang mau digendong sama loe?" balasku sengit. "mending minta gendong sama Sehun... "
Radit meledakkan tawa cukup keras mendengar kalimatku. "Dasar ngigau loe. Yuk, cepet. Sakit juga masih sempet ngayal," makinya sambil membantuku bangun dari atas sofa.
"Ambilin cardigan gue di kamar, dong," pintaku setelah tersadar kalau kaus yang kupakai tak ada lengannya. Warnanya juga sudah tidak menarik lagi.
"Ribet banget, sih." Radit mengeluh pelan seraya mengacak rambut di belakang kepalanya. "masih untung loe jadi adik sepupu gue," ocehnya mulai beranjak ke kamarku.
"Yang warna item aja, Dit!" teriakku sekuat tenaga.
Tak ada jawaban sampai beberapa detik.
"Loe tuh sakit masih teriak-teriak," omel Radit tiba-tiba. Ia mengusap kepalaku dari belakang. "yuk."
Aku menggamit lengan Radit dan melangkah di sisinya menuju mobil. Padahal aku sangat tidak suka dengan dokter dan segala jenis obat-obatan beserta baunya...
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top