Act 5: Toxic Perfectionist
Kembali Nocturne membawa Aria melintasi sebuah portal waktu. Kali ini, Aria memilih untuk menundukkan kepala dalam-dalam, segan menghadapi apa pun yang menantinya di seberang sana. Seketika, pemandangan berubah. Trotoar beton sirna berganti lantai berlapis panel-panel kayu berwarna cokelat tua yang mengkilap. Dinding-dinding berlapis wallpaper merah tua bermotif sulur-sulur keemasan mengapit mereka.
Aria menyibak rambutnya yang berantakan. Gadis itu menarik napas lega. Masa-masa yang gelap sudah berlalu. Sekarang mereka berdiri di lorong utama Akademi Musik Virtuoso, tempat yang disayangi Aria bagaikan rumah kedua. Di sekolah itu Aria menghabiskan seluruh masa remajanya. Ia langkahkan kaki menyusuri koridor-koridor yang familier, hingga tiba di depan sebuah ruangan bertuliskan "Kelas 1C - Seni Vokal".
"Itu kau?" Dengan mata menyipit, Nocturne menunjuk gadis yang duduk di dekat jendela pada barisan paling depan. "Kalau perhitunganku tidak salah, kita cuma melompat satu tahun dari kejadian yang lalu. Kau berubah banyak rupanya."
"Waktu aku diterima di akademi, aku memutuskan untuk mengubah penampilanku habis-habisan. Aku tidak mau dianggap sebagai anak culun lagi," jelas Aria. "Mama heran mengapa aku mendadak jadi suka berdandan, tetapi untunglah Mama tidak mempermasalahkan."
Sosoknya yang berusia tiga belas tahun memang berbeda jauh dengan dirinya di masa sekolah dasar. Rambut gadis itu berombak dan tergerai lepas di punggung, mirip dengan gaya rambut Aria dewasa. Tas sekolah, buku, dan alat-alat tulisnya berwarna merah tua senada. Seragam gadis itu, kemeja putih dan rok selutut bermotif kotak-kotak, membalut tubuh langsingnya dengan rapi. Ia duduk diam sambil mendengarkan guru menjelaskan sejarah musik.
Ketika bel istirahat berbunyi, murid-murid berhamburan keluar. Dua orang gadis langsung mengajak Aria remaja makan siang bersama. Mereka bersenda gurau sepanjang jalan. Di dekat kantin, datang lagi satu gadis dari kelas lain menggabungkan diri dengan mereka. Sambil menyaksikan pemandangan itu, diam-diam Nocturne melirik Aria dewasa. Wanita itu tidak menyadarinya, tetapi seulas senyum tipis muncul di bibir pria itu.
"Sekarang kami sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Naomi pindah ke Austria untuk studi pascasarjana, Lulla menjadi komposer untuk film-film Hollywood, Amelie jadi penyanyi pop indie yang terkenal di internet, Margaret bermain piano untuk sebuah orkestra di Swiss. Kami beruntung kalau bisa bertemu sekali dalam setahun. Ah, aku jadi ingat kalau sudah lama aku tidak menanyakan kabar mereka." Aria bercerita. "Agaknya, makin tua seseorang, makin rajin hidup mengisolasi mereka dengan berbagai kesibukan dan tanggung jawab."
"Yah, kalau kau hidup lebih lama, kau masih punya kesempatan reuni dengan mereka." Nocturne mengangkat bahu. "Salah satu penyesalan terbesar dari jiwa-jiwa yang bunuh diri muncul ketika mereka sadar mereka tidak bisa lagi bertemu teman-teman dan kerabat mereka."
"Tidak, untuk sekarang, aku tidak bisa bertemu mereka." Aria menggeleng lembut. "Kalau mereka tahu bahwa aku kehilangan pekerjaan, mereka akan kasihan padaku, dan aku paling benci dikasihani orang lain. Tuan Malaikat, kau sendiri melakukan ini karena kasihan padaku, kan?"
"Tidak juga, ini prosedur standar untuk sebagian besar jiwa-jiwa yang bunuh diri. Aku hanya melakukan pekerjaanku, dan aku pernah lihat yang lebih buruk," jawab Nocturne datar. "Bersyukurlah karena tidak semua orang memperoleh kesempatan ini. Beberapa orang terjun dari puncak gedung, atau menabrakkan diri ke kereta api, dan yah, tubuh mereka jadi terlalu hancur untuk diselamatkan. Betapa pun mereka menangis meraung-raung dan menyesali keputusan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak punya tubuh untuk kembali pulang."
"Lalu, bagaimana dengan tubuhku sekarang?" tanya Aria.
"Kau tidak perlu mengurusi hal itu. Waktumu tidak banyak," sahut Nocturne pendek. Pria itu mengintip jam saku perak di kantong jasnya, lalu beranjak pergi. "Ayo, waktu terus berjalan, dan malam masih panjang."
Aria mengernyitkan dahi. Malam masih panjang, batinnya mengulangi kata-kata Nocturne. Sudah dua kali wanita itu mendengarnya. Kira-kira, apa artinya? Rasanya tak mungkin ia bisa mengorek jawabannya dari si malaikat yang tampak selalu serius itu. Wanita itu terus berandai-andai, hingga tahu-tahu ia menabrak punggung Nocturne. Ia tak menyadari bahwa pria itu sudah berhenti di depan sebuah pintu.
"Ada ap— Oh." Aria batal bertanya begitu menyadari dirinya sendirilah yang ada di balik pintu itu. Jam dinding kini menunjukkan pukul lima sore. Sekolah sudah selesai, tetapi Aria remaja masih berada dalam ruang latihan bersama guru pembimbingnya. Gadis itu menyanyi, sedang gurunya mengiringi dengan piano. Walau dnding dan lantai ruangan berlapis panel kedap suara, jika Aria dan Nocturne berdiri tepat di depan pintu, mereka bisa mendengarkan suara dari dalam.
Aria menoleh ke kiri dan kanan, lalu mengajak Nocturne menyingkir sedikit. Ia tunjuk sebuah papan pengumuman yang memenuhi hampir keseluruhan dinding di depan deretan ruang latihan. Di sana, nama-nama seluruh murid tertempel di samping angka-angka. Mereka disusun dalam peringkat, urut dari atas ke bawah. Nama Aria Winter tertera di nomor satu barisan siswa-siswi jurusan seni vokal.
"Kau lihat ini? Ini adalah penentu kasta kami di sekolah. Murid-murid di peringkat atas adalah penguasa sekolah ini. Guru-guru menyukai mereka, murid-murid lain berebutan ingin dekat dengan mereka. Konon, belum pernah ada lulusan Akademi Musik Virtuoso dari peringkat sepuluh besar yang gagal dalam karier. Heh, mungkin aku sudah mencetak sejarah sebagai yang pertama." Aria menunjuk nama-nama di papan pengumuman itu. Ia tertawa ironis tatkala teringat kembali akan pemecatannya.
"Jadi itu sebabnya kau selalu berlatih hingga matahari terbenam." Nocturne mengangguk-angguk. "Kau benar-benar ingin jadi yang terbaik rupanya, eh?"
"Ya. Di sini, aku belajar sesuatu. Selama aku jadi yang terbaik, orang-orang tidak akan meninggalkanku. Jadi, gagal bukan pilihan." Jemari Aria menelusuri huruf-huruf keemasan di papan kayu tipis yang memuat namanya. "Asalkan namaku bisa bertahan di barisan sepuluh besar, aku tidak perlu khawatir akan apa pun."
"Sangat perfeksionis, eh? Itu bagus, sampai kau bolak-balik menghukum dirimu sendiri karenanya. Aku tahu kau melarang dirimu sendiri makan siang setiap kali memperoleh nilai buruk," komentar Nocturne. Spontan, Aria mendelik kesal. Ia tidak pernah memberitahu siapa-siapa, bahkan orang tuanya. Pada teman-temannya, sering kali Aria mengaku sedang diet, supaya ia tak perlu repot-repot menjelaskan alasannya tidak ke kantin. Memangnya para malaikat maut tidak tahu bahwa manusia punya hal berharga yang mereka sebut "privasi"?
"Nafsu makanku hilang kalau suasana hatiku buruk, tahu? Setidaknya bersyukurlah karena aku tidak gemar melukai diri sendiri, atau yang sejenis itu. Tubuhku harus sempurna supaya pantas ditampilkan di panggung," balas Aria ketus.
Dalam hal ini ia berkata jujur. Ia pernah mengenal beberapa murid yang diam-diam mengiris kulit lengan mereka sendiri, atau yang mencoba-coba rokok dan obat-obatan terlarang. Murid-murid itu tidak bertahan lama sebelum mereka jadi terlalu bermasalah untuk mengikuti pelajaran dengan baik, setidaknya menurut pengamatan Aria. Maka, demi citra dirinya, Aria remaja memutuskan untuk hidup seolah-olah sedang diawasi dua puluh empat jam setiap hari. Seluruh tindakannya harus sempurna. Emosi negatif tidak boleh ditunjukkan. Dilarang keras melakukan hal-hal yang hanya dilakukan oleh anak-anak aneh, atau ia akan kehilangan status sebagai gadis teladan yang populer.
"Tetaplah berbohong pada dirimu, dan kau takkan belajar apa-apa dari perjalanan ini. Ah, sepertinya tidak banyak yang bisa kita lihat di sekolahmu." Nocturne menyilangkan lengan, lalu mengedikkan kepala ke arah pintu keluar. "Ayo kita kunjungi tempat favoritmu yang satu lagi, tempat kau benar-benar mengawali karirmu. Mungkin setelah ini kau bisa membuka mata tentang betapa kacaunya penilaianmu akan diri sendiri."
"Kalau aku menolak?" Aria bergeming, masih kesal atas kritikan Nocturne.
"Maka jiwamu akan tersesat selamanya dalam kekosongan," tandas Nocturne. "Bukan ke surga, dan bukan juga ke neraka. Ini semua tidak nyata, cuma ilusi yang tercipta antara hidup dan mati. Jadi ikuti perjalanannya sampai selesai, kecuali kau ingin jadi arwah penasaran."
"Malaikat yang menyebalkan." Aria menggumam sambil mempercepat langkah, mengikuti Nocturne yang sudah lebih dahulu berjalan dengan langkahnya yang panjang dan cepat.
A little ironic fact for this chapter: aku bolak-balik hapus dan tulis ulang kalimat-kalimat di bagian ini karena diriku yang lagi kumat mode perfeksionisnya merasa susahhhh banget bikin kalimat yang memuaskan ಥ‿ಥ
Kisah hidup Aria memang 75% terinspirasi dari pengalaman-pengalaman pribadiku, sih. Soal mana yang nyata dan mana yang fiksi, silakan ditebak sendiri ;)
Hint: aku nggak bisa nyanyi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top