Niskala 2 : Si Orang Kerdil

Mini note : terima kasih telah menunggu :)
-Lustree-

###

Aku tidak bisa tidur. Tubuhku kelelahan namun suasana di Desa ini tak lantas membuatku dapat beristirahat. Badanku ambruk di sebuah ruangan lantai dua setelah kelelahan mengangkut perabot semalam. Ya, ambruk. Aku tergeletak begitu saja di tengah barang yang berserak di lantai. Tak ada yang menyadari hal itu hingga mataku mengerjap merasakan terik mentari pagi ini. Aku terbangun dengan suasana hati yang sangat tidak menyenangkan.

Kami tiba semalam, tepatnya pukul 8, kami segera menurunkan beberapa perabot yang ada di bagasi mobil. Truk pengangkut barang sisa masih datang esok hari sehingga kami berusaha untuk membereskan apa yang ada terlebih dahulu.

Malam itu begitu sepi, desa ini tampak seperti desa mati. Terdapat jejeran rumah, agak jauh dari lokasi kami, yang berkerumun selayaknya pemukiman warga. Yang aneh adalah tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Sama sekali. Tidak ada cahaya, tidak ada suara. Gelap. Sepi.

Beberapa kali aku sempat melirik ke arah rumah-rumah itu, ketika menerima uluran kardus berat dari ayah, mengharapkan ada satu atau mungkin dua orang yang bersedia membantu kami berbenah. Pasti akan sangat menyenangkan. Namun hingga pukul 12 malam, tidak ada satu orangpun keluar menyapa. Aku merasa aneh, curigaku tak susut walau ibu selalu meyakinkan jika para tetangga sudah tidur dan kita tidak boleh mengganggu mereka.

Tidak, mereka tidak mungkin tidur. Setidaknya tidak jika semua warga tidur di waktu bersamaan.

Dan benar saja jika ada sesuatu yang aneh.

Pagi ini kulihat dari jendela lantai dua, terdapat begitu banyak warga desa yang berkerumun melakukan aktifitas mereka. Aku menopang dagu memperhatikan bagaimana orang-orang di sana berinteraksi dengan sangat normal namun bisa menyembunyikan hawa kehidupannya begitu petang datang. Hebat sekali.

Tampak beberapa perempuan tengah membawa keranjang penuh apel merah yang ranum, ada yang menggendong bongkok kayu, ada yang mendorong gerobak, ada yang menyiram tanaman. Mataku terus mengawasi satu per satu, dengan sudut ini aku bebas melihat seluruh sisi Desa Lumia hampir tidak ada titik buta.

Dari atas sini baru kusadari jika Desa Lumia terletak di tengah-tengah hutan rimbun. Dari segala arah, seolah kami ada di tengah sela pepohonan yang membentuk lingkaran sempurna. Hanya ada satu jalan yang dapat dilalui kendaraan untuk menghubungkan desa ini ke luar, dan kondisi jalan itu tak lebih dari sebuah petak dengan susunan batu licin yang cukup sulit dilalui. Tak terlalu berguna,

Namun kurasa warga di sini juga tidak membutuhkan jalan itu, mereka memiliki kebun di tiap halaman rumah dengan tanaman konsumsi pribadi. Mereka tinggal memanen hasilnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Cerdas, tapi sangat kuno.

Entah kenapa ada gejolak tidak menyenangkan yang berapi-api di dalam hatiku. Melihat mereka semua ada di sana sedangkan kami setengah mati ketakutan semalaman. Mungkin bukan kami, mungkin aku. Aku sangat takut dengan desa ini, lebih-lebih menyadari lokasinya berada di tengah hutan dan jauh dari fasilitas keamanan umum seperti kantor polisi atau pemadam kebakaran.

Aku yakin dengan hutan selebat itu pasti ada potensi muncul hewan berbahaya seperti beruang, atau kelompok serigala, atau jauh lebih buruk. Kudanil. Aku sebenarnya tidak yakin jika akan ada kudanil di sini, mereka pasti lebih memilih daerah lembab dengan banyak sungai mengalir, tapi itu gunanya memiliki kemungkinan terburuk. Kemungkinan aku atau keluargaku bertemu dengan seekor kudanil liar adalah sebuah kemungkinan terburuk, jadi kami harus terus waspada. Kapan saja. Di mana saja.

Jika para tetanggaku ini dengan baik hati mau menasehati satu dua hal tentang wilayah mana saja yang boleh dan tidak boleh kami kunjungi, Itu pasti akan sangat membantu. Terutama jika mereka dapat mengkonfirmasi tidak ada kudanil di sini. Aku akan sangat berterimakasih.

Tapi mereka dengan tidak sopan membiarkan kami begitu saja, menutup segala pintu dan jendela. Bahkan hingga pagi ini tak tampak mereka berindikasi untuk berkunjung kemari. Dasar angkuh.

Aku menghembuskan napas panjang. Menenangkan diri. Mataku masih setia memperhatikan bagaimana mereka bekerja pagi ini hingga ada satu sosok yang membuat bahuku menegang sesaat.

Keberadaan seseorang yang pendek, mungkin kerdil, tengah berdiri sembari menghadap ke arahku. Orang itu mengenakan topi segitiga besar yang cukup tinggi, hampir menyamarkan kekerdilannya. Ia tak bergerak, jubah gelapnya menjuntai menutupi jari sampai kaki. Wajahnya pun tak terlihat, bayang-bayang gelap dari topinya sukses menutupi rupa orang itu.

Semakin lama kami berpandang, aku semakin merinding. Ada sesuatu yang aneh dengan orang ini, selain pakaiannya yang super nyentrik, ia berdiri di sana dengan diam dan tidak ada seorangpun yang terganggu. Padahal jelas dia berdiri di tengah jalur. Seolah dia tak ada, atau mereka hanya kejam dan mengabaikannya.

"BOO!"

"AAAAA!!"

Aku melonjak kaget hingga sikuku membentur kusen jendela. Rasanya seperti tersengat listrik, bulu di sekujur tubuhku berdiri. Marrie tertawa lepas merayakan kesuksesannya. Aku mendengus, sedetik kemudian aku kembali menoleh ke arah si orang kerdil dan dia menghilang. Lenyap, seolah sejak awal memang dia tak pernah ada di sana.

***

Aku mendiamkan Marrie yang terus menerus membujukku untuk memaafkannya. Permasalahan kami belum selesai hingga di meja makan.

"Kenapa kau begitu marah? Kau tidak pernah sampai seperti ini jika aku menjahilimu ketika di kota."

"Masalahnya kita tidak lagi di kota."

Aku menyahut dengan memberi tekanan pada kata lagi dan kota. Menyebut batas jelas bahwa suasana di sini dengan di sana jauh berbeda, dan sebuah prank kecil mungkin bisa membuat jantungku copot. Marrie perlu memahaminya.

"Apa bedanya?"

"Di kota ada banyak orang yang tidak mengerikan."

"Memangnya di sini siapa yang mengerikan?"

Aku memilih diam daripada mendebat pola pikir Marrie yang jelas tidak memahami kondisi kami. Ia bahkan tak memendam sekelebat rasa aneh ketika aku memberitahu soal warga desa yang tiba-tiba muncul pagi ini. Marrie justru senang karena kami kini memiliki banyak tetangga, terlepas dari segala hawa angker yang menguar dari mereka.

Aku jadi kepikiran, bagaimana orang kerdil itu dapat bergerak begitu cepat dan menghilang di tengah kerumunan? Tidak mungkin rasanya jika dia berlari, dia pasti menyela beberapa orang dan membuat kegaduhan. Kemungkinan lain adalah dia menggunakan tubuh orang lain untuk menutupi badannya yang kecil. Tapi tidak, jika seperti itu harusnya aku tetap bisa menemukannya walau sedikit. Ini aneh, sungguh aneh.

Marrie sedari tadi mengaduk bubur, sedikit murung tampaknya karena kudiamkan, tiba-tiba terperanjat. Ia ingat sesuatu.  Ia menatapku dengan wajah sumpringah.

"Hei Mike! Coba tebak!"

Marrie berbisik. Kakinya sedikit naik ke atas kursi untuk lebih mencondongkan badan sehingga percakapan kami tidak terdengar oleh ibu yang sedang menyiapkan makanan.

"Apa?"

"Aku semalam menemukan mahluk ajaib!"

Ya. Itu dirimu sendiri. Ajaib karena masih tenang-tenang saja sejak kepindahan kita kemari.

"Sebenarnya bukan mahluk, aku tidak melihat wujudnya. Hanya ada suara, Dia terus berbisik, menyenandungkan kalimat-kalimat samar yang tidak terlalu kumengerti." Marrie meneruskan.

Aku hanya diam mendengarkannya sembari mengaduk bubur ayam yang mulai dingin, berbanding terbalik dengan segala hal di kepalaku yang semakin teraduk semakin panas.

"Kurasa mereka adalah peri, mereka seperti kebingungan mencari sesuatu. Mungkin itu hartanya."

"Marrie, untuk terakhir kalinya peri itu tidak-"

"Mereka nyata! Jika tidak lantas apa yang kudengar?"

"Entahlah, mungkin hanya angin atau hewan kecil."

"Tidak! Itu bukan angin atau hewan kecil, itu Peri!"

"Kau saja tidak melihat wujudnya."

Aku berucap santai, namun justru kata-kata itu semakin memancing emosi Marrie untuk lebih meninggikan suaranya.

"Aku tahu itu peri! Mereka sedang mencari hartanya!"

"Buku dongeng itu mempengaruhimu."

"Kau ini benar-benar menyebalkan!"

Entah sejak kapan kedua kaki Marrie telah sepenuhnya naik diatas kursi. Kini tingginya mengungguliku. Ia berdiri di sana sembari mengangkat kepalan tangannya tinggi, siap menyerang. Aku mengancang-ancang menutupi kepala sebelum tangan lain, yang lebih besar, menangkup pergelangan gadis itu.

"Jangan berdiri di atas kursi, Marriebelle."

Perdebatan kami terhenti ketika aku dan Marrie menoleh kompak. Itu ibu. Ia menyelamatkanku dari segala ancaman, yang sepertinya akan benar-benar dilakukan dan menjadi kekerasan oleh Marrie, karena lagi-lagi aku menentang keyakinannya.

Mendengar perintah dari pemegang kuasa tertinggi, Marrie beringsut duduk. Kulihat ia memanyunkan bibir tanda tak ingin menurut namun mau apa lagi, Marrie kembali melahap sarapannya.

Dan begitupula denganku yang sudah tidak selera sejak tadi. Kini buburku sudah dingin, rasanya hambar dan tidak enak. Aku tidak suka makan makanan yang hambar. Makanan hambar hanya masuk ke perut, namun tidak menghangatkan hati.

***

Aku membenahi kamar, beberapa barang masih belum selesai dirapikkan. Aku selalu berprinsip untuk menata barang-barangku sendiri. Hal ini meminimalisir kemungkinan jika barang itu hilang, jatuh atau terselip.

Kumulai dari memilah barang-barang besar. Aku mengeluarkan karpet, bantal, kipas angin, meja lipat, rak susun, dan tak kusangka, sebuah skateboard pemberian ayah. Aku menatapnya sejenak, lama sekali aku tak melihat skateboard ini. Aku jadi teringat, hari-hari ketika aku masih berusia 10 dan ayah memberikan skateboard ini sebagai hadiah ulang tahun.

Waktu itu aku senang sekali, anak laki-laki paling bahagia di dunia karena dapat menghabiskan banyak waktu bersama ayahnya untuk mempelajari cara berseluncur. Sudah tak terhitung berapa bekas luka kudapat berkat skateboard ini, ayah hanya tertawa ketika melihatku jatuh dan berakhir pada ceramah ibuku yang begitu panjang ketika ia menggendongku pulang dengan banyak lebam.

Jika jatuh, maka berdiri lagi. Jika sakit, maka akan sembuh kembali. Seorang laki-laki tidak boleh takut terluka,

Sebuah motto yang ayah wariskan kepadaku, aku menjadikan kata-kata itu sebagai sebuah idealisme hidup sejak pertama kudengar hingga sekarang.

Hari yang menyenangkan. Saat itu adalah masa di mana aku dan ayah menjadi sangat dekat. Kami banyak bercerita, namun ayah lebih sering mendengakan daripada mengekspektasikan aku untuk memahami segala keluhannya. Aku menceritakan segala hal yang kualami dan rasakan, menggerutu soal Marrie yang begitu manja, mempraktekkan gaya ibu yang suka mengomel. Terkadang terselip kekehan kecil Ayah ketika melihatku bertingkah dihadapannya.

Kenangan itu tak bertahan lama.

Ketika usiaku menginjak 14 tahun, Ayah semakin sibuk dengan pekerjaannya. Hampir setiap malam ia terlambat pulang karena lembur. Beberapa kali kulihat ia masih membaca dokumennya di meja makan, sesuatu yang orang dewasa lakukan ketika mereka terlalu sibuk bahkan untuk sarapan. Ia juga kerap tertidur di sofa dengan pakaian kantornya. Aku hanya bisa membawakan selimut hangat dan beberapa potong roti jikalau ia merasa kelaparan ketika bangun.

Ayah berusaha sangat keras hingga ia tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Muncul banyak garis halus di permukaan kulitnya. Rambutnya beruban. Matanya menghitam. Kulit tangannya kusam dan tampak ringkih. Aku sungkan untuk mengajaknya bicara, rasanya ayah memiliki urusan yang lebih penting dibanding mendengarkan ocehanku soal tingkah Marrie mencari para peri.

Bertahun-tahun beralu sejak ayah menjadi maniak kerja. Aku pikir usaha tidak akan menghianati hasil, tapi nyatanya takdir berkata lain.

Malam itu kulihat lampu di ruang makan masih menyala. Aku yang terbangun karena ingin ke kamar mandi, berganti tujuan dan mengintip dari ujung pintu ruang makan. Terdapat laki-laki tengah duduk di kursi dengan seorang wanita di sebelahnya, memeluk erat. Itu ayah dan ibu. Mereka belum tidur, dan kurasa mereka tidak tahu jika aku terbangun.

Ayah menunduk, menatap ke bawah, wajahnya tertutup bayang-bayang, dari gesturnya saja dapat kulihat betapa ia tak berdaya menerima segala kekalahan. Itu adalah pertama kali aku melihat ayah, sosok paling kuat dan jantan yang pernah kutemui, terpuruk dalam segala kelemahan yang ada pada dirinya. Kali pertama aku melihat ayah sebagai sosok manusia biasa yang rapuh dan penuh ketakutan.

Sedangkan ibu di sebelahnya, selalu menyabarkan. Tak banyak yang ia lakukan selain ikut menangis sembari mengelus pundak laki-laki itu, berharap setiap sentuhan dapat merontokkan beban di punggungnya.

Tanpa diberi tahu pun aku sudah mengerti. Sesuatu terjadi dengan pekerjaan ayah dan tak ada yang bisa kulakukan untuk membantu.

Esok harinya mereka berbicara padaku di meja makan. Memberi tahu soal rencana untuk pindah ke tempat kakek dengan beberapa alasan pekerjaan yang sedikit banyak ditutup-tutupi. Aku tak mendebat saat itu, yang kutahu hanyalah aku harus menerima dan mendukung setiap keputusan mereka. Dengan menurut, kurasa itu akan meringankan beban, walau sedikit.

Dan aku juga tidak ingin menimbulkan konflik baru di keluarga, maka aku berusaha untuk membantu membujuk Marrie agar tidak protes dengan rencana ini. Di luar dugaan bocah itu langsung setuju tanpa menuntut. Bahkan Marrie tampak lebih rela melepaskan segala kemewahan yang ada di kota daripada aku sendiri. Sekarang siapa yang sudah 'dewasa' di sini?

Aku hampir selesai dengan kardus terakhir berisi tumpukan buku dan koleksi komik. Aku mencoba mengangkutnya sekaligus, untuk menghemat tenaga dan waktu, kemudian membawanya ke rak yang ada di ujung ruangan. Buku-buku ini berat, kakiku terhuyung sedikit ketika mencoba berdiri. Namun aku tetap nekat dan berjalan walau tak dapat melihat arah.

Aku meraba-raba pijakan. Sejauh ini aman-aman saja.

Karena percobaan pertama berhasil maka aku melakukan hal yang sama pada buku berikutnya. Aku hendak melanjutkan pekerjaan sebelum ponselku berbunyi.

Aku menegakkan badan. Suara dering ponsel itu begitu nyaring namun aku tidak dapat menemukannya. Aku memeriksa di atas meja, ranjang, di bawah kursi, nihil. Hingga pendengaranku menajam ke arah bawah kolong kasur.

Aku merendah, melongok memeriksa kolong itu dan benar kutemukan ponselku terjatuh dengan layar menyala menunjukkan bahwa ada panggilan masuk.

"Bagaimana bisa sampai di bawah sana?"

Aku mencoba untuk meraih ponsel itu, membutuhkan cukup tenaga hingga akhirnya tanganku menyentuh sesuatu. Ketika terambil ternyata bukan ponsel yang kudapat, melainkan sebuah buku dengan sampul berwarna biru gelap dengan bau wangi yang aneh. Seperti campuran tanaman herbal yang sudah lapuk.

Aku menaikkan alis, buku ini tampak sangat kuno namun sekaligus menarik dengan relief-relief menyerupai akar pohon tua yang merambat di sampulnya. Tidak terdapat tulisan atau keterangan apapun di bagian sampul, hanya ada sebuah tali pengikat di ke empat sisi membuat buku itu utuh tertutup.

Sepertinya ini adalah buku milik kakek Albert, namun untuk apa ia menyimpan buku seperti ini di bawah ranjang?

Kusadari jika ponselku senyap, panggilannya telah berakhir. Kali ini aku berhasil mengambil ponselku kemudian memeriksa kiranya siapa yang menelponku tiba-tiba. Sebuah nomor tidak dikenal muncul pada log panggilan. Salah sambung, batinku.

Aku melanjut pekerjaan untuk membereskan buku-buku ini, termasuk juga buku biru kakek, untuk ditata rapi ke dalam rak yang tersedia. Ini adalah angkutan yang terakhir.

Setelah selesai, aku menyeka keringat mengapresiasi jerih payahku. Kini akhirnya aku mendapat ketenangan di kamarku sendiri, dengan kondisi rapi dan menyenangkan hati.

"Dengan begini terlihat jauh lebih baik bukan?"

"Benar, jauh lebih baik."

Seketika kakiku terasa lemas hingga hampir saja aku terjatuh.

Aku tak bermaksud melontarkan pertanyaan tetapi ada sebuah suara yang menyahut, berbisik, dekat sekali.

Kusisir setiap penjuru ruangan dan tampak jelas tidak ada seorangpun di sini selain aku dan sebuah jendela yang terbuka. Ada sesuatu dalam diriku yang mengatakan jika aku ingin menemukan suara itu, maka aku harus melihat keluar jendela.

Dengan langkah gemetar, aku memaksakan diri mendekat, berharap semua hal ini tidak terjadi sesuai ekspetasiku.

Aku mengintip dari ujung kusen dan terkejut ketika melihat apa yang ada di bawah sana.

Si orang kerdil kembali. Ia berdiri di tengah jalan desa. Di tempat ketika ia menghilang pagi ini. Dengan jubah hitam menjuntai. Ia menatapku.

Badanku kaku ketika menyadari jika orang itu tersenyum, sebuah senyum yang tidak menyenangkan, seolah mengkonfirmasi kebenaran dari segala kecurigaan yang kupendam di dalam kepala.

Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top