1 • invitation

Demi rambut minimalis dosen tadi pagi, Lyn akan mengutuk siapa pun yang dengan lancang menyentuh lengannya menggunakan botol kaca dingin. Sensasinya yang mengagetkan membuatnya hampir terjungkal dan merusak citra gadis badass yang dibentuk sejak OSPEK minggu lalu. Ia pun mengusap dada dan bersiap menoyor kepala Becca, kawan satu jurusan yang kini menjulurkan lidah ke arahnya, seolah merayakan kemenangan karena ia berhasil bangun plus mengumpat tanpa henti. Kalau saja kantin siang ini tidak terlalu ramai, ia sudah perang chiki-chiki yang berserakan di atas meja.

"Bentar lagi jamnya Pak Audi, jangan molor mulu."

"Gue nggak bakal molor kalau resume dari dosen kesayangan lo itu agak manusiawi."

"Biasa aja kali, Lyn." Becca memainkan sedotannya, lalu mendekatkan wajah. "Nggak perlu dikerjain kalau lo nggak mau, hitung-hitung cari muka."

"Ck, gue bukan lo, ya. Sana minggir!" Lyn menjentikkan jarinya di kening Becca dan beranjak sambil meraih tas kecil di dekat mangkok bakso.

"Mau ke mana?"

"Toilet."

Gadis berambut sebahu dengan gaya warna peek a boo hitam-blonde itu melenggang tanpa menghiraukan celotehan kawannya. Ia perlu mengisi kesadaran dengan mencuci muka dan memperbaiki riasannya. Dulu, sebelum memutuskan masuk jurusan Ilmu Komunikasi, ia tak pernah berpikir bahwa penampilan akan menaikkan kepercayaan dirinya dalam berbaur di rumah barunya ini. Melihat sisi kiri-kanan yang nyentrik dengan model yang ada-ada saja kadang membuatnya mengerutkan kening, mereka sedang menuntut ilmu atau berlomba fashion show? Ya, meskipun ada manusia normal yang tidak mau repot-repot masuk ke dalam circle itu, Lyn memilih untuk mendekati kaum mayoritas. Toh, ia sendiri yang bisa menilai kelas mana yang tepat untuknya.

Toilet siang ini lumayan ramai. Mungkin, banyak makhluk yang terkapar sepertinya barusan, pikir Lyn saat meletakkan pouch merah mudanya di samping wastafel. Gadis yang tentu saja asing dengan orang-orang di sebelahnya itu hanya tersenyum tipis, menunjukkan lesung pipinya yang menambah kesan anak baik-baik tanpa ia minta. Satu per satu entah kakak tingkat atau seumurannya--bisa dari jurusan yang berbeda--itu keluar tanpa bertegur sapa. Lagi pula, siapa Lyn yang harus beramah-tamah demikian? Ia pun melanjutkan aksinya dalam menggambar alis, setelah sebelumnya mengeringkan wajah menggunakan tisu.

"Eh, Lyn. Kebetulan banget ketemu di sini."

Sang empunya nama itu pun menoleh. "Kak Pat?"

"Lagi kosong?"

Lyn mengangguk kecil. "Iya, nih, Kak."

"Nanti malam datang, kan?"

Sejenak, otak Lyn yang di ambang batas rata-rata dipaksa mengeluarkan asap. Ia tidak merasa memiliki janji dengan siapa pun, apalagi dengan senior BEM FISIP yang sempat menjadi kakak pendampingnya ini. Lyn tidak segabut itu. Kalaupun iya, lebih baik dipakai menonton film di OTT favoritnya bersama keripik kentang hasil barter perpisahan Minggu kemarin. Seingatnya pula, kegiatan pengenalan fakultas pada mahasiswa baru sudah selesai, lantas apa yang ia lewatkan?

Terlalu lama hening dan tak kuat melihat muka dongok Lyn, gadis yang memakai setelan hitam-putih itu menepuk pundak adik tingkatnya. "Party, nggak ingat?"

Seketika mulut Lyn membentuk huruf ‘o’ lalu terkikik gemas. Ia tidak pernah memperhitungkan agenda itu hingga bisa melupakannya. "Nggak wajib, kan, Kak?"

"Kalau buat kamu wajib, dong."

Kok gitu? Hati Lyn refleks memprotes, tidak benar-benar ia ucapkan. Ia sungkan melakukannya terang-terangan. "Emang ada perlu apa, Kak? Kok saya diwajibkan?"

"Udah, dateng aja. Nanti kamu tau sendiri. Ajak yang lain juga, ya."

"O-oke, Kak."

Lyn berdecak dan segera menyelesaikan urusannya. Saat kembali ke kantin, rautnya tak jauh berbeda dari beberapa menit lalu, padahal seharusnya bisa lebih segar dengan bantuan blush dan touch up lipstik nude yang ia banggakan di mana-mana. Hal itu membuat Becca menautkan alis dan melambaikan tangannya di depan wajah Lyn, memastikan gadis itu tidak kerasukan jin toilet atau semacamnya. Sayang, yang ia dapat justru lebih seram sebab Lyn menatap sinis dan mendengkus berulang kali.

"Temenin gue ke pesta panitia ntar," ucap Lyn setelah menenggak es teh separuh botol hingga tandas.

"Lah, berubah pikiran? Kemarin gue ajak cari cowok katanya mending kencan sama yang gepeng."

"Berisik!" Lyn hampir melempar makaroni pedasnya pada Becca. "Tadi gue ketemu Kak Patrice, katanya gue wajib join."

"Kenapa?"

"Itu dia yang mau gue cari tau."

"Dia nggak bilang apa-apa?"

Lyn menggeleng. Ia juga tidak berniat menanyakan lebih jauh karena sudah dapat dipastikan kakak tingkatnya itu akan tetap bungkam. Apa pun alasannya, ia harus berusaha sendiri. Repot, memang, tetapi jiwa-jiwanya seakan siap ditantang untuk unjuk gigi.

"Jangan-jangan, ada kaitannya sama kelakuan lo kemarin?"

"Kalau iya, kenapa pake nunggu party segala?"

"Buat bully lo di depan anak-anak, mungkin."

"Seru, dong. Jadi nggak sabar," ucap Lyn sarkas.

"Sarap lo, ya." Becca melempar sisa gigitan bola-bola ubinya.

Lyn pun menyeringai. "Bawa enjoy, Ca. Misal mainnya emang gitu, ya, tinggal diladenin."

"Serah, deh. Jangan lupa dandan yang cakep. Dress code-nya klasik Eropa, pakai topeng. Ada nggak, lo?"

"Santai. Tinggal bongkar lemari. Prom night SMA kemarin temanya mirip-mirip."

"Baguslah. Masuk, yuk."

Lyn mengangguk. Setelahnya mereka mengikuti pembelajaran seperti biasa. Tiga SKS yang dikorupsi setengah jam karena dosennya buru-buru keluar diakhiri dengan tugas mencari literatur supermahal yang entah bisa dicari di mana. Dari hari pertama, hampir seluruh mata kuliah mewajibkan pembelian buku yang diharapkan dapat mengantar mereka selama satu semester awal ini. Sedikit merepotkan.

Tanpa berbelok ke sana-sini, Lyn pun pamit lebih dulu pada teman-temannya. Jarak kampus dan rumahnya lumayan dekat, sebenarnya ia tidak perlu hiperbola dengan tergesa-gesa pulang layaknya sekarang. Namun, waktu yang terus berjalan membuatnya ingin melakukan banyak hal. Ia bahkan rela mengambil sheet mask langka dari laci ibunya dan membawa ke kamar setelah berteriak kencang, agar beliau yang berada di dapur dapat mendengarnya.

Sambil berbaring menatap langit-langit kamar, ia memikirkan maksud ‘bully’ yang Becca katakan. Tanpa sadar, Lyn menggigit bibirnya yang sedikit lembap sebab terciprat cairan masker yang ada di dagu. Ia terus merenungi kelakuan chill-nya beberapa waktu lalu, yang sudah diluruskan dan baik-baik saja pula.

"Lyn, Mama udah bilang jangan yang itu!"

"Princess-nya Mama ini mau party, kerja sama dikit, lah."

"Iya?" Wanita yang hanya berjarak dua puluh tahun dari Lyn itu lekas mendekat. "Di mana?"

"Kafe belakang kampus, dekat swalayan biru itu, lho, Ma. Nanti berangkatnya sama Becca. Boleh, kan?"

"Oke, kalau pulang telat, jangan lupa chat Mama dulu, ya."

"Siap!"

Lyn lekas beranjak dan melepas masker saat ibunya keluar kamar. Ia kemudian mencari dress yang cocok dengan sample undangan yang dikirim di grup angkatan. Gadis itu bahkan meminta Becca mengirim foto pakaiannya agar ia tidak salah pilih. Tangannya pun berhenti pada gaun sepanjang lutut--sedikit di bawahnya--dengan aksen perak mencolok dan renda vintage ala 90-an. Ia lalu mencari heels yang tidak terlalu tinggi dengan warna senada agar cocok. Setelahnya, Lyn memamerkannya pada Becca, bersiap menikmati apa pun yang ia temukan malam ini.

Becca datang bersama senior jurusan sebelah yang mengincarnya sejak hari kedua. Gadis itu telah berbicara sebelumnya, jadi Lyn tidak bisa protes saat ia benar-benar harus duduk di belakang, menyaksikan pendekatan super-cringe yang membuatnya merinding luar dalam. Sesekali ia menatap jendela, memandangi beberapa lampu trotoar yang berkedip tak estetik. Ia juga memainkan topeng yang dibelikan Becca sebab ia tidak menemukan apa-apa di rumahnya untuk dipakai. Syukurlah, gadis itu memiliki selera fashion yang tidak payah.

"Gue ke anak-anak HI dulu, ya. Ketemu di tengah," ucap lelaki berdasi kupu-kupu pada Becca setelah turun dari mobil di parkiran.

"Oke, Kak."

"See you, Lyn."

Eh? Lyn refleks menunjuk dirinya sendiri. "Su-sure."

Dengan cepat Becca menggandeng tangan Lyn dan tersenyum lebar. "Yuk!"

"Langsung aja gitu?"

"Iya, nggak ribet. Pakai topeng lo."

Lyn mengembuskan napas panjang. Ia mengikuti langkah Becca yang memasuki kafe sekelas bar yang malam ini khusus dihuni panitia OSPEK dan mahasiswa baru di fakultasnya. Furnitur klasik yang disulap dengan berbagai perca, potongan kayu, dan lampu tumblr itu sungguh mendukung suasana. Perpaduan kuning keemasan dengan cokelat pekat mampu menonjolkan bermacam-macam gaya busana yang membuat Lyn mensyukuri pilihannya untuk berdandan secara serius. Ia pun menepi, mengambil segelas cocktail dan mencicipinya, lalu duduk di sofa yang masih menganggur. Hanya ada dua gadis yang duduk di sana.

"Hai, Lyn! Akhirnya dateng juga."

Sosok yang memang ditunggu-tunggu pun muncul. Lyn lekas tersenyum. "My pleasure."

"Kenapa Kak Pat spesial banget nyuruh Lyn ikut?" Bukan Lyn, melainkan Becca-lah yang bertanya. Ia tidak sabar. Lagi pula, kakak tingkatnya itu sendirian saat menghampiri mereka. Tidak ada yang perlu ditakutkan.

"Soalnya ada yang mau ketemu."

"Siapa?" Lyn mengerutkan kening.

"Ayo, ke sana."

Tangan yang sudah digenggam dan siap ditarik itu segera menghempaskan diri. Lyn memundurkan badannya dan menggeleng berkali-kali. Ia bahkan memajukan tubuh Becca untuk menutupinya. Siapa pun yang melihatnya tengah kini mengernyit heran.

"Kenapa?"

"Kalau ada yang mau ketemu, ya, dia-lah yang ke sini. Kenapa saya yang harus nyamperin, Kak?"

"Lyn," bisik Becca sambil mencubit kawannya.

Gadis bergaun abu-abu gelap itu sedikit tertawa lalu mengangguk. "Oke, deh. Bentar, ya. Aku panggil mereka dulu."

Sempat loading dengan tampang yang memprihatinkan, Lyn lekas menegapkan tubuh dan menghadap Becca. Mereka? Ia terus mengulang kata tersebut. "Jadi yang nyari gue nggak cuma satu?"

"I’ve no idea, Beb. Tapi--"

"Here she is."

Kalimat yang menggantung itu tak sanggup untuk dilanjutkan. Semua orang yang duduk di sofa sontak menyingkir, termasuk Becca dan terkecuali Lyn karena masih celingak-celinguk sendiri. Setelah menepuk pundak kawannya, Becca hanya menggumamkan kata ‘dicariin Ayang’ lalu kabur begitu saja. Lyn pun mendengkus dan mendongak, menatap empat lelaki bertopeng yang saat ini belum ia kenali. Satu per satu dari mereka duduk di sampingnya. Dua di kanan, dua di kiri. Aroma maskulin dari jas mereka langsung menusuk hidung, membuat Lyn memiringkan kepalanya dan mengusap tengkuk. Rambutnya pun tersibak, memperlihatkan warna pirang--mendekati putih--yang tersembunyi.

"Cantik juga."

Lyn memutar bola matanya malas. "Maaf, Kakak-Kakak ini siapa, ya? Dan ada perlu apa?"

"Lo beneran nggak ngenalin kita?"

Lyn lantas menoleh ke kanan, menatap lelaki yang memiliki bekas luka di bagian tengah bibir bawahnya. "Kalaupun kenal, sulit mengingat di kondisi kayak gini." Ia menunjuk topengnya.

"Make sense." Lelaki berkulit putih mulus bak model sabun kecantikan--berbeda dari lelaki sebelumnya--bangkit dari duduknya dan melepas topeng yang ia kenakan. "Kalau sekarang, gimana?"

Gila, Lyn menelan ludah. Satu kata itu ia gumamkan saat mengetahui siapa yang ada di hadapannya. Ia pun refleks mengedarkan pandangan, lekas mengenali keempat senyuman dan pemilik tatapan yang diberikan kepadanya dengan intensitas dan kenakalan yang berbeda. Ia tidak mungkin melupakan mereka, tadi sedikit tidak waras sampai lupa permainan saja. Seketika ia mengutuk diri, menyadari ke depannya mungkin tidak bisa terlepas dari huru-hara penguasa mahasiswa fakultasnya.

Semua bergantung pada alasan mereka mengelilinginya saat ini.

DAY 1
1 Juli 2022

Hai, selamat datang 🍻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top