⿻⃕⸵Chapter XXVII៚݈݇
Putri malu bangun dari tidurnya, daun-daun mungil itu bermekaran, bersamaan dengan embun pagi yang menyelimuti tanaman di sekitarnya. Burung-burung bernyanyi ria pertanda matahari telah terbit meskipun batang hidungnya masih bersembunyi di balik tebing.
Wushh!
Muncul sebuah putaran angin kecil, dari tanah perlahan meninggi. Bayangan wanita terlihat dalam pusaran angin, lama-kelamaan bayangannya semakin jelas, dan saat pusaran angin itu hilang, mak saat itu pula Helene muncul. Disusul Zen dan yang lainnya yang juga muncul dari lingkaran angin.
Suara bedebum air terjun masih terdengar jelas di telinga. Lingkaran Elf tidak membawa mereka ke mana pun, mereka masih di tempat yang sama, tepat di seberang air terjun Wasserfall. Namun, pemandangan di depan bukan lagi sekedar hutan. Pepohonan besar yang menjulang itu menopang rumah-rumah kayu di batang dan dahannya yang dihubungkan dengan jembatan gantung antara satu rumah ke rumah yang lain.
"Wow ...." Tanpa sadar Zen bergumam kagum, begitu juga Xan dan Agie. Zen berbalik melihat air terjun, kemudian berbalik lagi melihat Desa Ventuarbor. Melihat ke bawah kakinya, lalu ke atas. Ia yakin sekali, ia masih ingat betul di mana dirinya berdiri sebelum lingkaran bunga itu berhembus dan mengelilinginya.
Zen mengucek kedua matanya. Sekali lagi memperhatikan sekitar. Masih pemandangan yang sama seperti sebelum ia mengucek mata. Sebuah permukiman yang berada di atas pohon. Di antara rumah-rumah kayu yang minimalis, berdiri satu rumah yang paling besar.
"Bukankah sebelumnya rumah-rumah itu tidak ada?" Zen menatap kagum, mau heran pun buat apa? Toh ini dunia sihir.
"Sihir Elf yang paling terkenal memang luar biasa, itulah sebabnya Ventuarbor disebut desa tersembunyi," ucap Roen. Melihatnya secara langsung lebih menakjubkan daripada mempelajarinya dari buku.
Helene tertawa kecil, kemudian berkata, "Benar. Ventuarbor memiliki alamnya sendiri. Bahkan ketika monster raksasa memporak-porandakan hutan, kekacauan itu tidak akan berpengaruh di sini. Kecuali dia masuk ke Lingkaran Elf, tapi lingkaran itu hanya akan muncul pada mereka yang diundang masuk."
"Bisa dikatakan ini adalah tempat paling aman," kata Helene lagi. "Nah, ayo naik!" Helene berjalan lebih dulu menuju pohon besar, mengetuk batangnya tiga kali, kemudian mendongak.
Zen ikut mendongak. Sebuah papan kayu besar bergerak perlahan ke bawah, papan itu berhenti turun ketika sudah menyentuh tanah. Tanaman merambat mengikat isi kiri dan kanannya, papan itu jadi terlihat seperti ayunan besar.
Helene naik ke atas ayunan, mengulurkan tangan. "Hati-hati dengan langkahmu, Pangeran," ucap Helene membantu Zen naik.
Berikutnya Xan jiga dibantu Helene. Zen mengulurkan tangannya menarik Agie ke atas papan. Roen dan Alwen bisa naik sendiri. Lagi pula akan terlihat memalukan jika mereka tidak bisa naik ke ayunan sendiri, kan?
"Sudah siap?" tanya Helene. Ia mengeluarkan tongkat sihirnya, mengacungkannya ke atas.
"Siap untuk ap-HUWAAA!" Xan tidak jadi bertanya, ia langsung memeluk Alwen di sampingnya. Ayunan besar itu melesat ke atas seperti lif. Alwen berdiri di ujung kiri, Xan di sebelahnya, kemudian Gain, Helene, Zen, Agie, dan di ujung kanan Roen.
Setelah menyadari dirinya tengah memeluk Alwen, Xan langsung melepas pelukannya dengan wajah agak merona. Malu karena ia jadi terlihat seperti anak kecil yang ketakutan, apa lagi hal memalukan ini juga dilihat Agie yang mana bagi Xan hanya rakyat rendahan.
"Anda baik-baik saja?" Alwen mengulurkan tangan.
"Tidak usah! Aku baik-baik saja, tadi itu hanya kaget!" Xan membuang muka, menolak uluran tangan Alwen.
"Bagaimana dengan Lilo dan Lila? Mereka tidak ikut naik?" tanya Zen. Ayunan besar itu terus membawa mereka ke atas, sedangkan hewan tunggangan mereka masih duduk santai di bawah.
"Jangan khawatir, mereka aman. Ruru akan menemani mereka," jawab Helene. Ayunan semakin tinggi, membuat yang dibawah jadi terlihat semakin menakjubkan. Lilo dan Lila tidak berbaring lagi, mereka berlarian di antara padang bunga yang berwarna-warni.
Ayunan berhenti naik, mereka sudah sampai. Di atas sini sepi, tidak terlihat satu pun Elf. "Mereka masih tidur, sebentar lagi juga bangun," kata Helene seolah tau apa yang Zen pikirkan, anak itu celingukan ke sana kemari.
Zen mengangguk, melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian terdengar bunyi 'krek-krek' dari jendela kayu yang dibuka. Stau Elf menyembulkan kepalanya. "Selamat pagi, Helene. Rupanya kau sudah kembali. Oh? Maafkan saya, Yang Mulia. Selamat datang di Ventuarbor," ucap Elf berkepang dua dari jendela, memberi hormat pada rombongan anggota Kerajaan.
"Selamat pagi, Emery." Helene membalas sapaan Emery.
Begitu juga Roen, "Selamat pagi, Nona." Sedang Alwen tersenyum ramah. Zen ikut tersenyum, malu-malu melambaikan tangan, tidak tahu apakah ini cara yang benar untuk menyapa seorang Elf.
"Emery itu sepupuku, usianya baru 250 tahun. Masih sangat muda dan cantik, bukan?" ujar Helen menerangkan. Kini mereka menyeberangi jembatan gantung menuju rumah pohon berikutnya.
Wow! Padahal sudah 250 tahun, tapi masih kelihatan seperti gadis remaja, kata Zen dalam hati. Elf memiliki usia yang relatif panjang, bahkan bisa lebih dari seribu tahun.
Setelah melewati beberapa rumah dan jembatan, mereka tiba di rumah paling besar, paling tinggi, paling indah di antara rumah pohon lainnya. Rumah kepala desa.
"Selamat datang, Yang Mulia. Syukurlah Anda sampai kemari dengan selamat. Kalian semua pasti lelah setelah menempuu perjalanan jauh. Sarapan dan istirahatlah dulu. Jika berkenan, istirahatlah semalam di sini," kata Baragound, tetua Elf sekaligus ayah Helene.
"Saya ucapkan banyak terima kasih atas tawaran baik Anda, tapi kita semakin kehabisan waktu, sudah hampir satu bulan sejak Azrael mendeklarasikan perang," ucap Alwen tegas. Mereka tidak bisa bersantai lebih lama lagi. Rael Sang Penguasa Kegelapan hanya memberi waktu tiga bulan sebelum perang besar berikutnya.
"Anda benar. Perjalanan ini harus secepatnya diselesaikan sebelum tiga bulan berlalu." Baragound meenghela napas, setelahnya suasana menjadi lengang sesaat. "Ah, sudah, sudah. Lebih baik kita sarapat dulu sebelum membahas hal yang berat-berat. Berpikir keras sebelum sarapan itu tidak baik untuk kesehatan. Helene, antar Yang Mulia ke ruang makan."
"Baik, Ayah." Helene mengantar Zen dan yang lainnya ke ruang makan, Baragound menyusul setelah memanggil putra-putrinya yang lain.
Sebilah bambu menjadi gelas masing-masing orang dengan susu di dalamnya, sebenarnya cairan putih itu lebih mirip yogurt daripada susu. Sepiring kue bundar berwarna hijau, sepiring lagi berwarna putih dengan kue yang sama. Serta masing-masing mamgkuk berisi bubur berwarna cokelat kemerahan, seperti gula aren.
"Maaf kami hanya bisa menyajikan ini, persediaan daging kami sedang habis," kata Baragound.
"Tidak apa, Tuan. Bubur ini lezat sekali. Selain itu, susu akan bagus untuk masa pertumbuhan para Pangeran dan juga temannya." Roen menyahut, mengangkat gelas bambu, lalu meminumnya.
Sarapan kembali di lanjutkan. Dua putra Baragound tidak banyak komentar, hanya bertegur sapa dan memberi hormat ketika keluarga mereka melakukan sarapan pagi dengaan Anggota Kerajaan. Sedangkan putri bungsunya tampak antusias, terlebih lagi kakak sulungnya, Helene, sudah pulang.
"Terima kasih atas makanannya. Sungguh suatu kehormatan bagi saya bisa makan sayur meja dengan Anda, Yang Mulia." Elegast berdiri dari kursi makannya, menunduk memberi hormat. "Tapi mohon maaf saya tidak bisa menemani Anda lebih lama, saya harus mengikuti kelas memanah pagi ini. Begitu juga dengan Ave. Saya yakin kehadiran Helene sudah cukup untuk mewakili kami," lanjutnya.
"Ah, tidak apa-apa. Kalau boleh aku juga ingin ikut berlatih, kemampuan memanahku masih payah," ucap Zen canggung.
"Yang Mulia selalu merendah, saya tahu Anda adalah pahlawan pada perang sebelumnya. Nah, kalau begitu kami mohon pamit. Ayo, Ave, salam pada Yang Mulia." Sekali lagi Elegast menunduk hormat sebelum akhirnya keluar dari ruang makan. Disusul Ave adik laki-lakinya yang juga akan mengikuti kelas memanah sebagai penerus garda depan Bangsa Elf.
"Oh iya, setahuku Elf itu pandai memanah, kan? Lalu kenapa Nyonya Helene menggunakan tongkat sihir?" tanya Xan, melirik Helene yang duduk di sebelah Baragound.
"Ah, itu ...." Helene bergeming, tidak melanjutkan kalimatnya. Raut wajahnya terlihat ragu menjawab.
"Tidak apa jika Anda tidak ingin menjawab. Elf kenalanku juga ada yang menggunakan tongkat sihir, dia sangat hebat dan cantik," kata Zen. Sepertinya jawaban dari pertnyaan Xan agak kurang menyenangkan bagi Helene.
"Terima kasih atas perhatian Anda." Helene tersenyum ramah. Tidak seperti saudra-sausaraku, mereka adalah keturunan Elf murni. Sedangkan ibuku bukan Elf, dia manusia seperti kalian. Mungkin karena itu aku tidak ahli dalam memanah. Selain itu, kemungkinan usiaku hanya sampai setengah dari usia Elf pada umumnya. Ngomong-ngomong, siapa Elf cantik dan hebat itu?"
"Ah! M-mm itu ... sebentar biar kuingat dulu. Oh, iya! Dia Frieren! Dia sangat cantik dan Hebat. Pokoknya luar biasa,"jawab Zen gelagapan. Akan berbahaya jika Helene minta dikenalkan dengan Frieren.
"Frieren? Dia Elf dari Kerajaan mana? Aku tidak pernah mendengar namanya," tanya Helene lagi. Dengan begini Helene lega bahwa ia bukan satu-satunya Elf tanpa panah.
"Mmm ... dia dari negeri yang sangattttt jauh. Dia sengaja tidak membesarkan namanya sebelum tujuannya tercapai. Dia tidak mau terkenal. Karena itu sangat sulit untuk bertemu dengannya," ucap Zen dengan jurus mengisi ujian Bahasa, yakni jurus mengarang kilat. Sebenarnya Frieren adalah salah satu karakter favoritnya dalam serial anime dan komik yang juga favoritnya.
⿻⃕⸙͎
Sepoi angin menyelinap lewat jendela serta celah kayu pada dinding, menerpa ujung rambut Zen yang terlelap. Padahal niatnya cuma duduk lima menit, tapi kurang dari sepuluh menit dirinya sudah tertidur di ruang tamu Baragound.
"Zen. Zen. Pangeran Zen." Agie berusaha membangunkan, tetapi sang pemilik nama belum juga membuka mata.
"Zen. Ayo bangun, yang lain sedang bersiap, sebentar lagi kita berangkat," ucapnya lagi, menepuk-nepuk pelan pipi Zen.
"Mmm ...." Zen mengerjap, matanya masih terasa berat. Rasanya nyaman sekali meskipun ia hanya bersandar di kursi ruang tamu Baragound, paling tidak di sini tidak ada serangan nyamuk.
"Sebentar lagi siang. Tuan Alwen bilang kita akan berangkat sebelum siang," kata Agie. Zen mengucak matanya yang mengantuk.
"Berangkat? Tapi kita belum bicarakan apa pun dengan Tuan Baragound setelah sarapan," ucap Zen yang masih mengumpulkan kesadarannya.
"Jangan khawatir, kami sudah bicara dengannya. Tuan Baragound memberi kita perbekalan makanan dan obat-obatan, dan katanya beliau ingin menemuimu sebelum kita pergi." Agie menarik kedua tangan Zen, membangun berdiri.
"Kenapa kalian tidak membangunkanku? Aku jadi merasa tidak enak. Kalian juga pasti lelah, tidak adil jika hanya aku yang beristirahat sedangkan kalian tidak." Kini mata Zen telah terbuka sempurna. Rasa kantuknya hilang.
"Ah, tidak apa. Lukamu, kan, belum sembuh. Kau butuh lebih banyak istirahat daripada kami." Agie terlihat tidak nyaman ketika dirinya sendiri yang menyinggung luka di perut Zen. Luka tusukan dari saatnya, Reno, sebelum anak itu menghilang.
"Yah ... Pangeran Xan agak cerewet tentang itu sih." Agie terkekeh, mengingat Xan yang protes ingin tidur pagi seperti Zen.
"Zen." Seseorang datang menyusul, itu Roen. "Kau baik-baik saja? Kalau merasa sakit, kita bisa istirahat dulu di sini," tanyanya khawatir.
"Aku baik-baik saja, ayo berangkat."
⿻⃕⸙͎
Perjalan dilanjutkan, akhirnya mereka berangkat lewat tengah hari. Zen memegangi sebuah kotak kayu tua dengan ukiran huruf-huruf yang tak bisa ia baca, kotak pemberian Baragound sebelum mereka meninggalkan Ventuarbor. Lingkaran Elf menjadi pintu keluar seperti bagaimana mereka masuk ke tempat itu. Pusaran angin mengelilingi tubuh orang yang masuk ke Lingkaran Elf dan orang itu menghilang bersamaan dengan lenyapnya angin serta lingkaran.
"Sampai jumpa di medan perang, jaga diri kalian baik-baik." Itu ucapan terakhir Helene sebelum mereka berpisah. Helene hanya mengantar Zen sampai ke Ventuarbor, yang di mana setelah melewati desa ini mereka akan tiba di hutan Limittera, hutan perbatasan antara Kerajaan Luce dan Kerajaan Luminosa.
"Sepertinya sekarang waktu yang tepat untuk mengembalikan ini." Teringat pula ketika Baragound menyerahkan sebuah kotak kayu kecil berwarna coklat, dengan ukiran unik menempel di atasnya, dan warna emas yang menyilaukan tepian.
Zen hanya memegangi kotak itu, belum ia buka sejak meninggalkan Ventuarbor. Baragound bilang 'mengembalikan', berarti Zen pernah memberikan kotak itu sebelumnya, iya, kan?
"Ada apa, Pangeran? Anda memikirkan sesuatu?" tanya Gain yang duduk di belakang Zen. Yap, karena sekarang Helene tidak ikut, dua kucing besar itu masing-masing membonceng tiga orang. Kasihan, semoga mereka tidak keberatan.
Gain duduk paling belakang, Zen di tengah, dan yang paling depan Alwen. Lalu Xan mau tidak mau dia duduk di antara Roen dan Agie. Xan sempat mengeluhkan itu ketika mereka baru berangkat.
"HULU HULU!"
Seseorang berteriak, diikuti beberapa pasukan di belakangnya. Orang-orang berkulit gelap, rumbai-rumbai daun kering menutupi pinggang sampai ke lutut, terlukis tulisan aneh berwarna putih di perut, serta bulu burung warna-warni menghiasi kepala mereka.
"Siapa mereka?!" tanya Xan. Wajahnya bingung sekaligus terkejut dengan alis yang mengkerut, mengintip dari belakang Roen.
"Mereka Suku Hulu Mediterranea, penghuni Hutan Limittera. Mereka itu netral, tidak memihak Kerajaan mana pun, mereka hanya memercayai keyakinan leluhurnya. Hati-hati!" Alwen menjelaskan. Kemudian ia turun dari tunggangannya, begitu juga yang lain, berjaga-jaga jikalau mereka harus bertarung.
Tombak-tombak bambu berujung besi runcing itu jelas sebuah ancaman. Orang-orang Hulu itu menganggap Zen dan rombongannya telah memasuki wajahnya tanpa izin.
"HULU HULU!" Orang Hulu paling cepat berteriak lagi, mengangkat tombaknya tinggi-tinggi, mengkomando anak buahnya untuk siap-siap menyerang.
"Apa mereka tidak bicara selain berkata 'hulu'?" tanya Xan berbisik ke telinga Roen.
"Bisa. Merek bisa bicara normal seperti kita, kata 'hulu' adalah gaya bicara khas suku mereka. Setiap 'hulu' yang diucapkan memiliki makna yang berbeda sesuai nada pengucapannya," jawab Roen yang juga berbisik.
Komandan pasukan Hulu menggeram, melihat Roen dan Xan yang berbisik-bisik membuatnya merasa diabaikan.
Banyak sekali pertanyaan di benak Zen, tapi tak satu pun diucapkannya. Kepalanya terlalu pusing, matanya berkunang-kunang. Racun dari belati yang menusuk perutnya beberapa waktu lalu bereaksi lagi. Tepat saat Zen menyadari hidungnya berdarah, ketika itu pula Zen kehilangan kesadarannya.
"Pangeran!" pekik Gain, menopang tubuh Zen yang terkulai. Situasi semakin kacau. Zen yang tidak sadarkan diri ditambah kepungan pasukan Hulu yang semakin riuh. Alwen, Roen, Xan, dan Agie memasang kuda-kuda, menarik senjata masing-masing.
"HULULU!"
Teriakan kali ini lebih tegas dan keras. Pasukan Hulu yang tadinya ingar-bingar langsung bergeming. Bahkan sang Komanan pun ikut diam. Mereka membelah pasukan, memberi jalan untuk pemimpin yang lebih tinggi.
Orang itu mengenakan rumbai yang sama dengan pasukannya, tetapi bulu burung warna-warni yang bertengger di kepalanya lebih besar dan tinggi, serat-serat kayu yang telah diolah menjadi pakaian menutupi bagian atas pinggang hingga ke pundak, ditambah taring-taring putih yang mengantung menjadi kalung di leher.
Orang itu berjalan di antara kerumunan, menghampiri kelompok yang baru saja dikepung pasukannya.
Kakinya terhenti dengan mata yang membelalak.
"Yang Mulia?!"
⿻⃕⸙͎
#Chapter XXVII
Note.
Hai halo 👋
Huwaa maaf banget ini sih telat seminggu updatenya (╥﹏╥)
Ku baru kelar ujian
Kuusahakan minggu depan lebih cepat
Arigatou untuk yang sudah baca sampai sejauh ini
Jangan lupa vomeny nya ᐠ( ᐛ )ᐟ
Typo? Otw benerin:)
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top