⿻⃕⸵Chapter X៚݈݇
Langit merah masih setia menaungi Nerobuio. Sebenarnya tanah Nerobuio dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Animare, tetapi ketika kaum Darkness-yang seharusnya tinggal di dunia bawah, atau yang biasa disebut dunia iblis atau neraka-mulai bangkit dan memunculkan diri, mereka mengambil alih daerah itu dan menjadikannya sebagai markas.
Zzrrtt ....
Sebuah lingkaran sihir berwarna ungu muncul di antara pepohonan, lingkungan sihir itu merupakan portal yang meneleportasi Vy dan Nell ke tempat Agares yang sedang menunggu kebangkitan pemimpin Kaum Darkness sesungguhnya-Rael.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Agares tanpa menoleh sedikit pun, pandangannya masih fokus pada kristal seukuran manusia di depannya, kristal yang menyegel rajanya.
"Sesuai dengan dugaan Anda," jawab Nell dan dibalas senyuman kecil oleh Agares.
K-krek ... krakk!
Asap hitam melewati atas kepala mereka dan berkumpul mengelilingi kristal segel Rael. Asap-asap hitam itu merupakan energi negatif yang diciptakan para Kaum Darkness setelah membuat kekacauan seperti di kota Giallmont. Energi negatif itu melemahkan segel, semakin banyak retakan di kristal tersebut.
"Apa energi negatif Yang dikumpulkan sudah cukup untuk membangkitkan Yang Mulia?" tanya Vy.
"Jika Dia kembali, maka seharusnya Yang Mulia juga kembali." Agares tetap tenang menatap krostal segel Rael yang terus retak dan mulai hancur.
Krekk! Krakk!
DZUUAR!
Kristal itu benar-benar hancur. Bagian-bagian kecilnya berserakan ke mana-mana. Sedikit berasap membuat pandang sedikit terganggu.
"Fuahh!"
Tap tap tap.
Rael kembali bebas. Segel yang dibuat 6 tahun lalu itu sudah tidak bisa menahannya. Rael melangkagkan kakinya melewati pecahan kristal yang selama ini mengunci dirinya, membiarkan surai putihnya tertiup sepoi angin.
"Oh, astaga tahun berapa sekarang? Fuahhh! Rasanya pegal sekali tubuhku!" ucapnya sembari meregangkan tubuh seperti orang baru bangun tidur.
"Selamat datang kembali, Yang Mulia," ucap Agares, Vy, dan Nell serentak sembari menunduk hormat pada raja mereka.
"Jadi, apa saja yang kulewatkan? Bagaimana kabar saudaraku setelah dia menguringku?" tanya Rael menatap para pengikutnya.
"Dia menghilang. Tidak ada yang tau ke mana dia pergi. Bahkan Alverd menghapus ingatan semua orang tentang rupanya, hanya menyisakan cerita yang seperti dongeng anak sebelum tidur tentang pahlawan yang mengalahkan penjahat," ujar Agares.
Rael sedikit tertawa. "Tapi tiba-tiba dia kembali, seolah tahu bahwa Anda akan terbebas. Mereka juga telah bertemu dengannya," lanjut Agares sembari mellirik ke arah Vy dan Nell yang berdiri berdampingan.
"Hmm? Kalian bertemu dengannya?" tanya Rael. Ia mendekatkan wajahnya guna menatap lekat dua orang di depannya. Tatapan Rael membuat keduanya ketakutan. Ini pertama kalinya baik Vy maupun Nell bertemu dengan Rael-raja mereka sesungguhnya-setelah selama ini mereka hanya memperhatikan Agares yang berbicara pada batu kristal.
"Anak rubah itu yang pertama kali menemukannya. Mungkin Anda ingin memberinya sebuah hadiah, Yang Mulia?" ucap Agares disertai senyum kecil pada sudut bibirnya.
"Hadiah?" Rael mengalihkan pandangannya ke Agares, kemudian menjauhkan wajahnya dari Vy dan Nell, ia kembi berdiri tegak. "Tentu aku punya hadiah untuknya, sebuah tugas yang sangat istimewa."
⿻⃕⸙͎
Sementara Agie dan kawan-kawannya masih menjalani hari di dalam sel, penjara Kota Ardville. Agie mengusap wajahnya kasar, ia khawatir. Zen belum juga kembali.
"Kau mengkhawatirkannya? Dia pasti sudah kabur dan meninggalkan kita," tukas Dennis, ia masih tidak menyukai Zen.
Agie hanya menatap malas, temannya yang satu ini memang agak keras kepala.
Grekk!
Terdengar suara pintu besi diujung lorong terbuka, sepertinya para Knight yang membawa Zen sudah kembali. Agie mendekat ke pintu sel. Namun, betapa terkejutnya ia ketika yang datang itu bukan Zen, melainkan ....
"Rena?" ucap Lucy terkejut. Akhirnya kekhawatiran yang selama ini mengganjal pikiran Lucy tiba. Ia selalu mengkhawatirkan Rena yang berada di luar sana sendirian saat yang lainnya dikurung di sini.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Knight yang membawa Rena langsung mendorongnya memasuki sel, bergabung dengan anak-anak jalanan lainnya. Kemudian kembali mengunci pintu sel dan pergi meninggalkan mereka. Oh, tapi sebelum itu ia berkata, "Jangan nakal, anak-anak! Atau tidak akan ada jatah makan untuk malam ini."
"Rena ...," lirih Lucy menghampiri dan memeluk tubuh mungil Rena. "Kenapa ada di sini? Apa mereka menyakitimu?"
Rena menggeleng pelan, lalu mulai bercerita. "Kakak yang menolongku waktu rumah kita diserang, dia mengantarku kemari, dia juga membantuku melewati para Knight di depan, tapi ..." Rena menggantungkan perkataannya.
"Tapi?" tanya Reno.
"Tapi tiba-tiba dia menghilang. Aku tidak tahu harus ke mana dan bagaimana. Saat aku sedang mencari kalian, aku ketahuan, lalu dibawa ke sini," lanjutnya menjelaskan.
"Kakak yang waktu itu? Siapa?" tanya Lucy.
"Kakak yang waktu, ya?" ucapan Reno pelan. Ia sedikit mengingat ketika dirinya menyuruh Rena ikut dengan orang yang sebenarnya ia sendiri tidak mengenalnya. Tetapi situasi sedang tidak menguntungkan mereka, ia pun membiarkan Rena pergi agar tidak tertangkap atau setidaknya tidak terluka akibat serangan para Knight yang menyerbu.
"Kau kenal?" tanya Agie. Dibalas tatapan yang masih berusaha mengingat rupa orang yang dimaksud Rena.
⿻⃕⸙͎
Aroma daging panggang berhasil masuk ke indra penciuman Zen, rasanya sudah lama sekali ia tidak memakan makanan lezat. Saat ini Zen, Roen, dan Alwen sedang dijamu sarapan oleh Earl di kota Giallmont.
Tersaji berbagai hidangan yang lezat, mulai dari buah-buahan, roti, sampai ke berbagai jenis olahan daging seperti Brawn En Peurade, yaitu potongan daging sapi dan babi dalam kuah anggur dan lada kental. Atau sekedar daging babi dan kambing yang panggang.
Ada juga Frumente, yaitu bubur yang terbuat dari biji-bijian gandum dan susu almon. Biasanya frumente dihidangkan dengan buah-buahan kering sebagai pemanis. Oh, dan ada susu almond juga dihidangkan sebagai minuman.
Dan tentu saja jangan lupakan anggur. Minuman beralkohol ini biasanya selalu ada di meja makan kelas atas. Tenang, tidak semua anggur beralkohol, ada juga anggur yang tidak beralkohol yang biasanya hanya berupa sari buah. Teh dan roti pun ada. Ah, pokoknya hari ini Zen makan enak setelah berhari-hari mengkonsumsi makanan penjara yang tidak enak.
"Jadi namamu Zie? Keponakannya Tuan Alwen, benar?" tanya Vienette, ia adalah seorang Earl yang mengurus kota Giallmont. Rambutnya pirang, dengan iris mata coklat, dan setelan jas berwarna navy.
Zen menganggukkan kepala. Ia menurut saja ketika Alwen dan Roen menyarankannya untuk menyamarkan namanya. Yah, daripada terjadi hal hal tidak terdiga lainnya. Mengingat belakangan ini ia selalu mendapat masalah karena namanya.
"Jadi jenis sihir apa yang kau miliki?" tanya Vienette. Ia diberi tahu bahwa Alwen sedang dalam perjalanan kembali ke Istana setelah menjemput keponakannya-Zen-yang tinggal di Desa Roddle untuk mengikuti pelatihan Knight Kerajaan Luce. Sedangkan Roen diceritakan seolah mereka bertemu tidak sengaja saat perjalanan kembali setelah menyelesaikan beberapa tugas yang mengharuskannya keluar wilayah.
"A-aa mmm ... itu ...." Zen tidak tahu harus menjawab apa, ia bahkan tidak tahu apa ia juga diberkahi sihir selama berada di sini.
"Sihirnya berelement angin," jawab Alwen yang dibalas anggukan kecil sambil ber-oh.
"Hei, Nak. Bagaimana kalau kita pemanasan?" seru Vienette. Ia ingin mengetes kemampuan Zen sebelum masuk ke pelatihan Knight.
"Keponakan saya pasti akan senang sekali jika bisa bertarung degan Anda, tapi saya mohon maaf, kami tidak bisa berlama-lama di sini," sahut Alwen.
"Ayolah, hanya sebentar. Anggap saja ini bayaran karena kalian bermalam di sini," kata Vienette disertai tawa kecil.
Bayaran? Padahal dia yang memaksa kami bermalam di sini. Sudah kuduga lebih baik cari penginapan saja, cicit Roen dalam hati. Mereka memang tidak terlalu akrab dengan Earl satu ini. Begitu pun sebaliknya.
Vienette merasa bahwa Roen itu tidak pantas menjadi penerus Duke Kerajaan. Ia heran kenapa Sang Duchess tidak menikahi bangsawan lain saja dan malah menikahi seorang Knight biasa yang bahkan merupakan Ras Cane Mage. Atau ... kenapa tidak menikahinya saja? Ras hewan, ras rendahan seperti mereka tidak pantas menjadi bangsawan. Begitu pikirnya.
Ia jga kurang suka dengan Alwen karena Alwen juga tadinya hanyalah seorang Knight, tapi tiba-tiba ia diangkat menjadi ajudan pangeran pertama. Ia tidak mengerti sebenarnya apa yang dipikirkan keluarga kerajaan. Kenapa mereka mengangkat derajat orang-orang biasa dan bukannya mempercayakan kerajaan pada orang yang sudah jelas kemampuannya.
Kembali ke cerita. Kini Vienette beralih melirik Roen dengan senyum meremehkan tentunya. "Aku juga ingin melihat kemampuan Duke muda kita," ucapnya.
Roen menghela napas sembari menatap malas, kemudian meletakan garpu dan sendoknya. "Boleh saja," jawabnya enteng.
Hei, hei! Yang benar saja? Aku berpedang? Bagaimana caranya?! Sekarang Zen yang panik. Mana mungkin ia bisa berpedang. Pedang mainan mungkin iya.
Mau tidak mau, setelah sarapan, mereka pergi ke halaman belakang temat biasa Vienette berlatih.
"Jadi, siapa dulu yang akan melawanku? Apa Anda juga bersedia, Tuan Alwen?" tanya Vienette.
"Tentu, jika Anda berkenan," jawab Alwen.
Roen yang pertama bermain adu pedang dengan Vienette. Roen memang seorang Cane Mage yang pada umumnya lebih sering menggunakan cakar dan kemampuan hewannya, tapi bukan berarti ia tidak bisa menggunakan senjata.
Kedua belah pihak memasang kuda-kuda, fokus menatap lawan satu sama lain dengan pedang yang sudah menempel di tangan masing-masing.
"Ayo mulai!" seru Vienette.
Hap!
Roen maju duluan, ia menghunus kan perangnya namun Vienette dapat menangkisnya dengan mudah. Roen menarik kembali pedangnya, kemudian menghunuskannya lagi ke sisi kiri pinggang Vienette. Serangan meleset. Sekarang giliran Vienette yang menyerang, tapi Roen tidak akan membiarkan itu. Ia menyerang lagi, kali ini ia mengincar sisi kanan.
Vienette mundur beberapa langkah, kemudian balas menghunuskan pedang. Roen juga dapat menghindarinya dan kembali menyerang balik.
Tring! Trang!
Suara dengingan pedang yang beradu terdengar keras. Sementara Zen terkagum melihat aksi yang ditujukan mereka. Alwen? Wajahnya masih tetap tenang seperti biasa.
Roen terus memukul mundur Vienette. Earl Kota Giallmont nyaris terpojok. Namun, ia berhasil membalikkan keadaan. Ia membuat pedang Roen terlepas dari tangannya dengan sekali ayunan pedang.
Srett!
Pedang Roen tertancap ke tanah penuh rumput. Senyum meremehkan kembali terpajang di bibir Vienette. Ia terus menghunuskan pedangnya ke kiri dan ke kanan, walau Roen selalu berhasil menghindar dari serangannya.
"Agh!" Vienette menendang kaki kanan Roen sehingga keseimbangannya pun terganggu. Melihat ada kesempatan, ia pun menghunuskan pedangnya lagi.
Dugh!
Roen berhasil menghindari pedang, tapi kakinya yang tidak seimbang membuatnya terjatuh. Kesempatan besar bagi Vienette, ia mengarahkan pedangnya tepat ujung hidung Roen. "Anda kalah," ucapnya senang.
"Oh, ya?" Roen tersenyum balik, kemudian ia menendang perut Vienette hingga terlempar beberapa meter darinya.
Vienette masih memegang pedangnya, berjaga-jaga dengan Roen yang sedang berjalan ke arahnya dengan sepasang cakar anjingnya. Pedang mungkin melayang, tapi Roen masih punya senjata.
"Hei, hei, ini pertarungan pedang, bukan kuku hewan!" protes Vienette.
Roen tertawa kecil seraya berkata, "Memang." Ia masih meneruskan cakarannya, membuat Vienette kembali mundur dan terpjok.
Srett!
Roen juga berhasil membuat pedang Vienette terlempar dan tergeletak tidak jauh dari miliknya.
Dugh!
Kemudian menendang kaki Vienette yang sedang kurang fokus karena memperhatikan pedangnya yang melayang. Roen kembali di atas, posisinya seperti sedang menerkam mangsa.
Keduanya terengah-engah, cukup lelah dengan adu pedang baru saja mereka lakukan. Kemudian sama-sama menyunggingkan senyum. Roen bangkit lebih dulu, lalu mengulurkan tangan dan disambut hangat oleh Vienette yang ikut berdiri.
"Hebat seperti yang dirimorkan," tutur Vienette memuji.
Pelayanan di kediaman Earl menyodorkan segelas air pada keduanya. Vienette mengambil gelasnya lebih dulu, lalu meminumnya sampai habis. Roeen juga turut mengambil pedangnya.
"Terima kasih, aku memang hebat." Roen berbangga diri, lalu ikut menyambar air dan menyegarkan tenggorokannya.
Vienette meletakkan gelasnya ke nampan pelayan. Ia mengambil kembali pedangnya yang terlempar, sedikit memutar-mutarnya di udara, kemudian menghunuskannya ke arah Zen. "Sekarang giliranmu, Nak."
"E-eh? A-aku? Haruskah aku?" tanya Zen takut. Bagaimana bisa amatiran sepertinya melawan petarung hebat seperti yang baru saja ia lihat.
"Tentu. Seorang Knight harus berani melawan musuh."
Zen melirik Alwen penuh harap, memberi isyarat bahwa ia tidak bisa melakukan ini, tapi Alwen tidak menanggapinya sama sekali. Zen berdecak sebal, kemudian beralih menatap Reon yang baru selesai bertanding.
"Semoga beruntung." Pupus sudah harapannya, Roen bahkan meminjamkan pedang miliknya dan meletakkannya langsung ke tangan Zen.
Semoga keberuntungan memihakmu, Zen.
⿻⃕⸙͎
#Chapter X
Note.
Halo! Update lagi nih!
Typo? Pasti deh:)
Oh iya untuk panggilan Sir Alwen mulai bab ini kuubah jadi Tuan aja ya, untuk bab sebelumnya akan kurevisi setelah certa ini tamat mungkin
Oke, see you!
Jangan lupa voment nya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top