⿻⃕⸵Chapter I៚݈݇

Seorang pemuda berseragam SMA, alias Zen, hampir seharian ia berjalan menyusuri hutan untuk mencari jalan keluar. Awalnya ia mengira, jika dirinya masuk ke toilet lagi maka ia akan kembali ke dunianya, tapi sayangnya tidak. Dicoba berapa kali pun, ia tetap tidak bisa kembali dan masih terjebak di 'Dunia Toilet' ini. Begitulah Zen menamakan tempat ini, karena ia terbawa kemari gara-gara toilet.

Krucuuuk

Perutnya masih sakit akibat diare dan sekarang kakinya ikut sakit karena terlalu lama berjalan, ditambah sekarang ia kelaparan.

"Apa tidak ada yang jualan ketoprak di sini? Nasi uduk? Atau Cendol? AAAHH! AKU INGIN NASI PADANG!" Zen berteriak keras. Saking lapar dan hausnya ia sampai lupa bahwa sekarang ia berada di tengah hutan yang mungkin saja teriakannya barusan bisa memancing hewan buas keluar.

"Sekarang jam berapa?" Ia menengok sekeliling, memperhatikan warna langit langit di atas kepalanya. "Sepertinya sudah sore. Haah ... kenapa aku meninggalkan ponselku di tas? Harusnya aku bawa saja ke toilet. Kalau aku bawa ponsel, kan, bisa pesan Yo-jek untuk pulang," keluh Zen. Yo-jek adalah aplikasi ojek online yang biasa digunakannya untuk antar-jemput ke sekolah.

Tunggu! Kalau ia tahu akan terbawa kemari, bukankah sebaiknya ia tidak masuk ke toilet agar tidak terjebak di sini? Ahh! Yang paling penting baginya sekarang adalah ponsel!

"Oh, iya!" Tiba-tiba ia Teringat sesuatu. "Twins Guardian bab 149 update malam ini! Arghh! Aku ingin pulang!" Twins Guardian adalah salah satu serial komik favorit Zen di aplikasi NeToon dan NeToon sendiri adalah aplikasi komik online yang sangat populer hampir di seluruh negara. Ayolah, Zen! Di saat seperti ini kau masih memikirkan soal serial komik?

Srekk! Srekk!

Tiba-tiba semak di dekatnya bergoyang seperti ada sesuatu yang menggerakkannya hingga menimbulkan bunyi akibat gesekan ranting dan dedaunan.

"S-siapa? Keluar! Aku tidak takut!" Bohong. Sebenarnya sekarang ia ketakutan jikalau sesuatu yang rusuh di balik semak itu adalah hewan buas atau sekelompok penjahat.

Berusaha untuk tidak terlalu memedulikannya, Zen pun kembali melangkahkan kaki, tapi baru dua langkah ia berjalan, semak-semak itu kembali menimbulkan bunyi.

Srekk! Srekk!

"Hiks ...."

"HUWAA! APA ITU?!" Zen berteriak lebih keras dari sebelumnya ketika ia mendengar suara perempuan menangis. Bukankah disekitarnya tidak orang selain Zen? Apa hutan ini berhantu? Zen membalikkan badan guna melihat semak yang bergerak-gerak itu, penasaran sebenarnya makhluk apa yang sedang mengganggunya ini? Ia takut, tapi penasaran.

Srekk!

"HANTUUU!" Zen berteriak lagi karena terkejut melihat sesuatu keluar dari semak. Saking takutnya ia langsung menutup mata tanpa memastikan makhluk apa itu. "Jangan makan aku! Dagingku tidak enak! Rasanya pahit seperti hidupmu!"

Zen terdiam beberapa detik, tapi tidak terjadi apa-apa. Ia pun memberanikan diri membuka mata untuk melihat sebenarnya makhluk apa yang keluar dari semak itu.

"Eh?" Ternyata seekor rubah. Rubah berjenis Fennec yang dikenal sebagai rubah paling kecil di antara jenis rubah lainnya. Telinganya agak panjang, disertai banyak rambut halus di sekujur tubuhnya yang berwarna krem kemerahan, di sisi tubuh bagian bawahnya didominasi dengan warna putih dan ujung ekornya berwarna hitam. Kira-kira panjang kepala hingga tubuhnya adalah 30 cm, sedangkan panjang ekornya berkisaran 15 cm.

Zen terus memperhatikan rubah itu. "Lucunya!" ucapnya gemas. Zen ini memang seorang penyuka binatang, apa lagi yang berbulu seperti anjing, kucing, atau kelinci, ya pokoknya yang imut-imut.

Rubah itu tampak ketakutan, takut jikalau Zen akan melukainya seperti yang orang lain lakukan kepadanya hingga kaki depannya terluka.

"Eh? Kakimu terluka, ya?" tanya Zen setelah menyadari kaki kanan depan rubah kecil itu terluka. "Pasti sakit," katanya lagi walau ia tahu rubah itu tidak akan menjawab perkataannya.

Lalu ia jongkok, hendak menyamakan tingginya dengan si rubah, perlahan mendekat agar bisa melihat luka rubah itu dengan lebih jelas. Namun, rubah itu malah semakin takut, mundur dan menjauh dari Zen walau kakinya masih terasa sakit.

"Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu," ucap Zen lembut berusaha menenangkan rubah kecil itu agar tidak takut kepadanya meskipun sebenarnya ia sendiri takut.

Apa yang kau lakukan, Zen? Yang di depanmu ini hewan liar! Bagaimana kalau dia menggigitmu? Siapa yang akan menolongmu? ujarnya dalam hati.

Walau takut, Zen tetap memberanikan diri mendekati si rubah. Semakin dekat hingga ia berhasil menyentuh kaki rubah yang terluka, melihatnya dalam jarak dekat agar lukanya dapat terlihat jelas. Untungnya tidak terlalu parah, mungkin tergores kayu atau semacamnya.

"Aku bukan dokter, tapi,"-Zen mengeluarkan sapu tangan putih dari saku celananya-"semoga ini bisa membantu." Zen mengikatkan sapu tangan bermotif bunga anyelir merah itu di kaki si rubah untuk menutupi luka.

Zen tersenyum, ingin mengakrabkan diri dengan si rubah. Siapa tahu rubah ini bisa menjadi temannya selama ia terjebak di sini, bukan? Dan lagi, rubah itu mengingatkannya dengan anjing Chihuahua miliknya yang hilang beberapa bulan lalu karena warna bulu mereka mirip.

Krucuuuk

Perutnya berbunyi lagi, ia masih lapar.

"Hei, kau lapar tidak?" tanya Zen pada rubah. Kemudian ia berdiri, melihat ke sekeliling, barangkali ada buah-buahan atau semacamnya yang bisa ia konsumsi.

"Haah ...,"–Zen membuang napas panjang–"Apa isi hutan ini hanya pohon? Tidak adakah sesuatu yang bisa kumakan?!" Zen sedikit berteriak, ia mulai kesal, ralat, ia sudah kesal dari tadi karena tidak bisa membaca lanjutan serial komik favoritnya.

Rubah kecil itu memperhatikan Zen, sepertinya ia sudah tidak takut lagi pada pemuda itu, juga tidak peduli padanya.

"Hei, kau mau kemana?" tanya Zen saat rubah itu pergi meninggalkannya.

Merasa terpanggil, rubah itu berhenti sejenak, ia memperhatikan Zen lagi selama beberapa detik, lalu berjalan kembali, dan sekarang Zen sendirian lagi.

"Hahh ... kakiku pegal sekali," keluhnya. Lalu ia berbaring di tanah, menjadikan tempatnya berpijak sebagai kasur dan rerumputan sebagai seprainya.

"Hoam ...." Ia menguap, matanya mulai berat. Semalam ia begadang karena keasyikan membaca novel yang dipinjamnya di perpustakaan sekolahnya. Ia sangat lelah, kedua kakinya pegal, kelaparan, dan kehausan. Diare? Jangan khawatir, sakit perut diarenya kalah oleh rasa lapar.

"Aku lapar ... haus ... aku ingin pulang ...," lirih Zen. Ia mengerjapkan mata beberapa kali dan dalam beberapa detik ia langsung tertidur karena tidak sanggup menahan kantuk.

⿻⃕⸙͎

Di waktu yang sama, tetapi di tempat yang berbeda. Di tanah kerajaan Nerobuio, tepatnya di tanah BOA, bagian paling ujung dari Nerobuio, di sanalah sang pemicu disegel. Pemicu dari semua bencana baik yang sebelum atau yang akan datang.

Sebuah kristal berwarna ungu dengan segel berbentuk lingkaran yang dibagi menjadi delapan bagian dengan beberapa simbol di tengahnya seperti segitiga, wajik, api, tanda silang, dan tetesan air, tertanam di tengah hutan di BOA. Samar-samar terlihat bayangan seseorang yang terjebak di dalamnya. Seorang lagi berdiri tak jauh dari kristal itu, tidak sabar menanti kehancuran kristal agar yang terjebak segera terbebas.

Kretak!

Tiba-tiba muncul retakan kecil di permukaan kristal, membuat yang menanti kehancuran kristal itu mulai berharap akan sesuatu.

"Apa dia sudah kembali?" ucapnya sembari memperhatikan retakan di kristal itu, lalu menengadah ke langit, berharap rencananya kali ini akan berjalan lancar.

⿻⃕⸙͎

#chapter I

Apa narasi di atas terlalu membosankan? Aaah! Kurasa iya:(
Kuharap di chapter berikutnya bisa lebih menarik:3
Terima kasih buat semua yang sudah mampir & voment

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top