Epilog

NB : Terima kasih saya ucapkan pada teman-teman semua atas dukungannya, baik dari sosialisasi dalam grup Wattpad Facebook, DM pribadi di akun wattpad hingga segala vomen yang disematkan dalam setiap cerita yang saya publish 😁. Tanpa kalian, karya saya hanyalah tulisan yang tidak akan berkembang bahkan dikenal sampai kapanpun.

Jika ada kata-kata atau ejaan yang masih salah, mohon maaf ya. Oleh karena itu sangat diharapkan pada teman-teman semua untuk memberikan kritik dan saran secara terbuka 💪.

Dan di atas semuanya, semoga cerita ini menghibur kalian semua ya.

Semoga saya masih diberikan kesempatan untuk terus berkarya agar bisa menghibur pembaca sekalian 🙏.

zZz


Berkencan dengan Tamara bukanlah sesuatu yang menghebohkan hingga membuat Nevan merasa gugup atau salah tingkah layaknya gejala awal yang biasa dialami oleh cowok kasmaran, karena seperti yang pernah diakuinya sebelumnya, dia sudah terlalu nyaman dengan cewek itu.

Dengan kata lain, saking nyamannya hingga terlalu sayang untuk dilepaskan.

Sejak awal bertemu dengan Tamara, cewek itu sama saja seperti cewek biasa lainnya yang tidak membuat Nevan merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Malahan, cewek itu terkesan begitu polos hingga cowok itu merasa tidak tega untuk memaksanya menatap matanya terlalu lama.

Jika dipikirkan kembali, Nevan mulai menyukai Tamara bukan karena senang menjahilinya, melainkan karena tidak bisa melupakan kesan pertama dari cewek itu.

Jadi, menjahilinya hanya sekadar modus supaya Nevan mempunyai alasan untuk terus berinteraksi dengan Tamara.

Nevan masih ingat waktu Tamara mengunjungi rumahnya hanya untuk memenuhi misi Dare dalam permainan Truth or Dare. Alih-alih mengikuti jejak teman-temannya yang cukup menyelipkan surat cinta di sela-sela pintu rumahnya, Tamara justru menyerahkannya langsung ke Nevan, bahkan sempat mengucapkan maaf hingga menundukkan kepalanya.

Kesopanan tersebut secara alamiah menyentuh jantung Nevan yang tidak pernah tergapai oleh cewek mana pun sebelumnya, padahal kepopulerannya ngalah-ngalahin Alvian Febriandy.

Sesimpel itu, memang. Tetapi Nevan malah bersyukur karenanya. Bersyukur karena Tamara yang berhasil memenangkan hatinya.

"Kita mau ke mana, sih?" tanya Nevan heran karena tiba-tiba saja Tamara mengajaknya masuk ke toko Florist untuk membeli sebuket bunga, yang divariasikan sedemikian rupa menjadi susunan bunga yang cantik. "Lo mau beliin gue bunga?"

Tamara tidak langsung menjawab karena dia menyelesaikan transaksinya kepada penjual bunga. Cewek itu baru menolehkan tatapannya ke Nevan setelah mereka sama-sama keluar dari toko bunga tersebut.

"Ayo kita ziarah ke makamnya Nathan, gue udah nanyain lokasinya sama Bu Naura tadi pagi."

Ekspresi Nevan seketika membeku, mendadak sadar kalau dia belum pernah sekali pun mengunjungi makam Nathan sejak terakhir kali mengantar kepergiannya tiga tahun yang lalu.

"Ah ya, udah tiga tahun," bisik Nevan, nada suaranya terdengar parau. "Gue malah lagi mikir rencana kencan sama lo."

Tamara menghela napas panjangnya, lantas mendekati Nevan untuk menyentuh lengannya dengan tangan yang bebas dari buket bunga. "Wajar kalo lo masih belum berani mengunjungi Nathan. Gue paham perasaan lo. Lagian kalo dipikir-pikir lagi, gue juga belum pernah mengunjungi makam dia, bahkan gue nggak pernah mengantar kepergian dia karena trauma gue."

Nevan balas menatap Tamara dengan sedih, lantas berkata, "Itu wajar, Ra. Itu bukan kemauan lo."

"Kalo gitu lo juga sama. Kita perlu waktu tiga tahun untuk menerima semuanya. Jadi, yuk kita ke sana."

Satu jam kemudian, mobil pribadi Tamara telah sampai ke tujuan di mana batu nisan Nathan berada. Cewek itu membuka kenop pintu dan keluar duluan, kemudian memutari bagian belakang mobil untuk menghampiri Nevan, yang masih membeku di jok mobilnya.

"Yuk," ajak Tamara yang sukses membuat Nevan kaget seakan baru sadar kalau dia telah sampai di lokasi. Sempat ragu, tetapi pada akhirnya dia mengikuti jejak Tamara yang berjalan duluan, memimpin ke batu nisan saudara kembarnya.

Tamara tidak hanya jenius dalam pelajaran, tetapi dia juga handal dalam mencari batu nisan Nathan di antara makam yang lain. Sesuatu yang sangat dihargai oleh Nevan karena dia tiba-tiba saja merasa terlalu lelah untuk mencari dan terlalu gelisah untuk memikirkan apa yang harus dilakukannya saat berhadapan dengan Nathan nantinya.

"Ah ini dia. Nevan, Nathan di sini!" seru Tamara, yang tersenyum lebar seakan benar-benar bertemu dengan Nathan yang sebenarnya, alih-alih makamnya. Nevan sempat mencelus lantas berpikir dia cukup bodoh hingga bisa memikirkan hal ini dalam otaknya.

Tamara meletakkan buket bunga yang dibelinya di atas batu nisan yang terukir jelas nama 'Nathan Anindira', disusul keterangan tanggal kematian dan kalimat berisi doa di bawahnya. Cewek itu telah bertekad dalam hatinya untuk tidak menangis, tetapi ternyata itu sia-sia saja karena semua kenangan yang diingatnya bersama kembaran Nevan lantas muncul begitu saja tanpa bisa dicegah.

Setidaknya, Tamara mensyukuri tangisannya tidak sampai sesenggukan seperti terakhir kali dia mengingat Nathan di dalam memorinya. Air matanya hanya mengalir begitu saja ke bawah pipinya tanpa embel-embel dramatis.

Tamara melirik ke arah Nevan di sebelahnya. Cowok itu tidak menangis, meski matanya sudah memerah dan sepertinya dia membutuhkan kekuatan yang besar untuk mempertahankan dirinya.

"Nathan Anindira, do you still remember me?" tanya Tamara pelan, yang akhirnya memutuskan untuk menyampaikan beberapa patah kata duluan pada Nathan setelah yakin kalau Nevan tidak ingin berbicara."I'm Tamara Felisha, your only best friend, even I think I'm not deserve to be because I chose to forget you for three years. Hahahaha, sok pake bahasa Inggris banget deh, ya. Hmm... gue ganti bahasa gaul aja deh soalnya pribadi gue yang dulu anti banget ngomong bahasa Inggris. Hmm... gue mau minta maaf sama lo karena memilih untuk melupakan lo demi kepentingan diri gue sendiri. Mereka bilang, ingatan yang disimpan di bawah alam sadar itu sebenarnya semata-mata hanya untuk menyelamatkan diri sendiri, umumnya karena nggak mampu menerima kenyataan. Gue merasa bersalah banget sama lo dan nggak bisa menerima kalo lo mengorbankan hidup lo buat gue. Kedengarannya mungkin kayak mencari-cari alasan, tapi umur gue masih belia waktu itu dan gue terlalu takut untuk menghadapi semuanya selepas kepergian lo, karena di saat itu gue nggak pernah sekali pun menyaksikan kematian dengan kedua mata gue sendiri. Mungkin itu sebabnya, tanpa gue sadari, segala memori tentang lo dan Nevan mulai menghilang dan terkubur, sebagai bentuk dari cara gue bertahan hidup.

"Egois banget, ya?" tanya Tamara sembari tersenyum lebar meski jelas kelihatan kalau cewek itu juga sedang menertawakan dirinya sendiri. "Meskipun demikian, gue udah berusaha memenuhi keinginan terakhir lo. Setidaknya gue berhasil menghibur Nevan seperti yang lo bilang. Dan juga, gue bener-bener pacaran sama kembaran lo sekarang. Gue harap lo senang dengan kabar ini. Hmm... gue mohon doanya, ya? Doa restu dari calon ipar gue, boleh kan?"

Tamara mendengar suara sesenggukan di sebelahnya. Pertahanan Nevan telah hancur dan sepertinya itu memberikan efek yang luar biasa karena berhasil menulari Tamara juga. Tangisan keduanya telah pecah sekarang.

Nevan berusaha menghapus air matanya yang sepertinya tidak bisa berhenti. Meskipun demikian, dia masih mengumpulkan puing-puing keberanian untuk berbicara dengan saudara kembarnya—–Nathan Anindira, yang tidak akan pernah kembali lagi.

"Nat, gue minta maaf," ucap Nevan bersungguh-sungguh, sejenak memilih untuk membiarkan kenangan antara dirinya dengan Nathan mengalir dalam memorinya. "Gue nggak layak jadi saudara lo. Gue berdoa, semoga di kehidupan berikutnya, umur lo bisa lebih panjang, sehat, dan pastinya jangan sodaraan sama gue."

Tamara mendekati Nevan, lantas memeluknya erat untuk memberinya kekuatan menyelesaikan perkataannya, meski tindakan tersebut justru memperparah tangisan Nevan.

"Gue doakan kebahagiaan lo, Nat. Dan... terima kasih. Walau kehidupan lo di dunia cukup singkat, lo memberikan banyak kebahagiaan buat kami semua."

Benar. Kecelakaan tiga tahun lalu tidak hanya menyisakan luka dan trauma, tetapi juga memberikan banyak hikmah pada semua yang terlibat di dalamnya, serta menggariskan takdir yang menghubungkan keluarga Harvey pada Tamara dan keluarga Anindira.

zZz


Naura mengangkat kepalanya ketika pintu ruang guru diketuk oleh seseorang. Wanita itu lantas beranjak dari kursi putarnya untuk menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat.

"Kamu belum pulang?" tanya Rio setelah masuk ke dalam ruangan dan mendekati meja Naura, alisnya berkerut karena wanita itu satu-satunya guru yang belum pulang padahal hari sudah sore, hampir senja.

"Iya, saya lagi ada inspirasi buat soal untuk ujian berikutnya, juga kebetulan Nevan lagi nggak ada di rumah," jelas Naura.

Rio tersenyum, pria itu bersyukur karena tampaknya Naura mengalami banyak perubahan sejak pertemuan terakhirnya dengan Yusuf.

Setidaknya Naura lebih ekspresif sekarang dan bisa diakui kalau tatapan galaknya sudah jauh lebih melunak.

Meski tidak lunak-lunak amat sih, Naura Anindira masih cocok melanjutkan gelarnya sebagai guru killer di SMA Berdikari.

"Apa karena adikmu sedang mengunjungi makamnya Nathan?" tanya Rio, membuat Naura kaget.

"Kok Bapak bisa tau?"

"Jelas, saya cukup banyak koneksi untuk tau segala hal yang berkaitan dengan kamu," jawab Rio dengan mimik misterius dan juga menantang di sisi lain.

Naura mengernyitkan alisnya, hendak protes tetapi tidak jadi karena sekali lagi wanita itu masih memprioritaskan respeknya pada Rio.

"Kamu tau kenapa saya suka sama senja?" tanya Rio tiba-tiba sembari melangkahkan kakinya menjauh dari meja Naura untuk mendekati salah satu jendela, yang sekarang memantulkan cahaya senja yang berwarna jingga keemasan. Senja jelas telah memperlihatkan keindahannya di langit.

"Hmm... karena senja itu adalah momen yang singkat tapi keindahannya mengalahkan fenomena yang lain?" tebak Naura yang bersarat akan keraguan karena untuk pertama kalinya Rio menanyakan sesuatu padanya di luar konteks pekerjaan.

"Betul sekali," puji Rio ceria, meski matanya masih menatap jauh ke langit dengan senyum lebar.

Naura mau tidak mau agak terkesan dengan cara Rio memandang ke luar jendela seperti itu, dengan kedua tangan yang diselipkan ke dalam saku celananya.

"Tapi ada kesan lain menurut aku," kata Rio yang tiba-tiba saja mengalihkan tatapannya ke Naura hingga wanita itu merasa salah tingkah karena ketahuan memandang pria itu secara sembunyi-sembunyi. "Mendengar kata senja, kita pasti tahu kalau durasinya sangat singkat, dalam hitungan menit saja. Kita terlalu fokus pada durasi tersebut dan menyayangkan mengapa fenomenal seindah itu hanya berlangsung terlalu cepat, padahal jika kita fokus pada keindahan senja bukannya pada berapa lama durasinya, kita mungkin bisa lebih bahagia. Benar, kan?"

Naura tampak takjub, untuk sejenak tidak tahu harus merespons apa.

"Sama seperti kehidupan kita. Alih-alih memikirkan berapa lama eksistensi kita hidup di dunia atau memikirkan berapa banyak keringat yang harus kita keluarkan untuk menyambung hidup, bukankah alangkah baiknya jika kita memfokuskan pada hal-hal yang bisa memberikan kita kebahagiaan?"

Rio lantas melanjutkan langkahnya mendekati meja Naura, lalu menatapnya dengan tatapan intens. "Seperti yang pernah aku bilang ke kamu, Naura. Udah saatnya kamu mencari kebahagiaanmu sendiri. Seperti senja yang menunjukkan keindahannya, kamu juga perlu menunjukkan kebahagiaan yang bersumber dari dirimu sendiri."

"Bapak terlalu peduli sama saya," kata Naura yang tidak tersenyum meski tatapannya juga tidak galak. "Boleh saya tau apa alasannya?"

"Kamu udah tau semuanya, Naura. Tapi itu udah nggak penting lagi karena yang saya prioritaskan sekarang adalah kebahagiaan kamu, bukan kebahagiaan saya. Karena jika kamu bebas, saya juga akan merasakan hal yang sama. Begitulah hukum kasih sayang yang tulus, kan? Kita ikut bahagia jika orang yang kita sayangi merasa bahagia. Kasih adalah ikut bahagia meski orang yang kita kasihi tidak berada di sisi kita, tetapi bahagia dengan pilihannya."

Jeda yang cukup lama menyusul setelahnya, meski situasi ini terasa terbayarkan karena Naura menunjukkan senyum manisnya secara tidak terduga.

"Bapak tau nggak waktu saya ngomong sama Yusuf, sekilas saya memikirkan seseorang yang lain selain kenangan saya tiga tahun yang lalu. Mau tau siapa, Pak?

"Awalnya saya nggak menyangka, tetapi setelah Bapak ngomong semua ini ke saya, saya yakin pikiran saya tidak salah. Waktu itu bayangan Bapak muncul dalam pikiran saya," lanjut Naura, sukses membuat Rio menatapnya dengan ekspresi kaget yang kentara.

Naura tersenyum lagi hingga matanya melengkung persis seperti Nevan saat tersenyum. "Kalo gitu, apa kita bisa saling membahagiakan mulai sekarang, Pak Rio?"

Tamat






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top