14). His Smile

Alvian bukan tipikal yang suka memaksakan kehendak sahabatnya hanya untuk memenuhi rasa keponya. Selama ini, dia tidak pernah sekali pun menanyakan apa tepatnya masalah yang terjadi pasca kecelakaan tiga tahun lalu yang mana setelahnya, sikap dan temperamen Nevan berubah total, berbanding terbalik dengan Nevan yang dikenalnya sewaktu SMP.

Meski penasaran, toh Alvian tidak bertanya. Bukannya dia tidak peduli pada sahabatnya, melainkan karena dia mengerti terkadang tidak semudah itu menceritakan kisah hidupnya pada orang lain meski pada sahabatnya sendiri. Gimana ya, mungkin juga karena mereka bukan cewek yang apa-apa harus curhat pada siapa pun setiap mengalami kegundahan di hati, termasuk mengalami sejenis kehaluan setiap melirik cowok random.

Oleh karena itu, Alvian hanya bisa berspekulasi sendiri dan bisa dibilang hasilnya tidak jauh-jauh amat dari kebenaran yang sebenarnya. Itulah sebabnya, setelah dia mendengar secara detail cerita yang sebenarnya di ruang Kepala Sekolah dari Vio, cowok itu tidak terlalu kaget.

Vio cukup dekat dengan Alvian mengingat keduanya pernah satu kelas dan duduk bareng. Lagi pula, sudah menjadi berita umum kalau Alvian cepat akrab dengan siapa saja, bahkan tidak sedikit yang curhat padanya tentang masalah apa pun. Dalam hal ini, subjeknya kebanyakan dari kubu cewek. Namanya juga pandai bersosialisasi, jadi Alvian tidak hanya akrab dengan para cowok saja.

Oleh karenanya, kembali lagi ke impiannya menjadi Ketua OSIS, Alvian yakin sekali kalau dia bisa menang karena selain memenuhi kriteria, dia juga telah menarik banyak dukungan dari hampir semua murid di sekolah berkat pergaulannya.

Jika ditanya, mengapa dia pengen banget sih jadi Ketua OSIS? Jawabannya....

"Karena jadi Ketua OSIS itu keren," jawab Alvian atas pertanyaan Clarissa yang mulai penasaran atas obsesinya pada jabatan itu. "Menurut gue, kapan lagi sih lo bisa memanfaatkan kesempatan untuk menunjukkan pada seisi sekolah betapa kerennya diri lo?"

"Mulai lagi deh narsisnya," ledek Clarissa yang tampak menyesal telah bertanya tadi. "Sebenarnya nggak salah sih karena lo emang ganteng, tapi entah kenapa gue rasa nggak terima aja setiap lo bersikap terlalu percaya diri."

"Hati-hati loh, Clarissa Vindy. Terlalu banyak nge-judge gue bakal bikin lo jatuh cinta sama gue," kata Alvian memperingatkan.

"Ya nggak mungkinlah gue bakal jatuh cinta sama lo. Lo lupa ya siapa yang berhasil menjatuhkan lo ke lantai?" tanya Clarissa sambil terbatuk sendiri.

"Apa hubungannya sama itu?" protes Alvian, sementara ekor matanya menangkap sosok Nevan yang mendekat, lantas dia mengalihkan atensinya untuk berbasa-basi sebentar dengannya.

Tidak lama, perhatian Alvian kembali lagi ke Clarissa. "Oh ya, omongan gue belum selesai. Lo lupa hasil kartu tarot cinta lo? 'Kemungkinan besar lo akan menata perasaan lo untuk seseorang'."

"Kartu tarot cuma permainan. Gue nggak percaya," kilah Clarissa yang berusaha untuk terlihat tenang, padahal hatinya sempat mencelus.

"Tapi gue percaya," kata Alvian dan itu membuat Clarissa gagal paham. "Soalnya ramalan kartu gue tepat banget. Gue yakin keberuntungan ini ada hubungannya sama impian gue jadi Ketua OSIS."

"Hati-hati loh, Alvian Febriandy. Terlalu banyak berharap bakal bikin lo dua kali lebih sakit nantinya," kata Clarissa, gantian memperingatkannya.

Namun sayangnya, peringatan tersebut tidak memberikan efek pada Alvian karena dia sudah telanjur percaya pada hasil kartu tarotnya.

Tamara tiba di kelas, yang kali ini mengundang banyak tatapan ingin tahu dari teman-temannya. Bagaimana tidak? Selain mereka menemukan fakta sekilas tentang masa lalunya yang terkait erat dengan Naura-Nevan serta Rio-Vio, pukulan satu sisi dari Harris ke Nevan juga menunjukkan kalau dia sepeduli itu pada Tamara. Ini menjadi informasi yang hangat pagi ini, meski tidak ada satu pun dari mereka yang memberanikan diri untuk bertanya langsung.

Alih-alih bertanya, mereka sekarang tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menyaksikan sendiri bagaimana kelanjutannya.

Tamara terlihat biasa-biasa saja, seakan tidak mengalami guncangan sebelumnya. Ini sukses membuat takjub Vio karena sempat mengira kalau cewek itu bakal absen atau setidaknya menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja.

"You... are you okay?" tanya Vio tepat ketika Tamara baru saja duduk di bangkunya dengan gaya yang lebih anggun dari biasanya.

"Me? Hmm... I'm that fine. Thanks, ya. Ternyata lo seperhatian itu sama gue," jawab Tamara dengan senyum tulusnya.

Senyum dari Tamara sepertinya memberikan efek yang menular karena Vio ikut menunjukkan senyum manisnya. "Gue kira lo cewek lemah. Ternyata lo jauh lebih kuat dari yang gue bayangkan."

"Nggak usah sok dekat sama Tamara deh, ya." Ada suara lain yang bergabung, membuat keduanya menoleh ke sumber suara.

Itu jelas adalah suara milik Harris, yang diikuti oleh Vica di belakangnya, lantas keduanya meletakkan tas mereka di atas meja secara bersamaan.

"Itu bukan sok, gue memang tulus mau berteman dekat sama dia," kilah Vio dengan memicingkan matanya pada Harris.

"Sejak kapan lo jadi sensian gini, Ris?" tanya Tamara yang berusaha mengajak bercanda. "Vic, lo tau kenapa dia begitu?"

Tamara memang termasuk cewek tegar karena dia tidak mau menarik banyak perhatian jika dia masih terkurung dalam kesedihan. Lagi pula, meski dia telah mengetahui kebenaran yang terjadi tiga tahun silam, dia masih belum mengingat bagaimana dia mengenal Nathan secara detail. Cewek itu yakin kalau masih banyak kebenaran lain yang belum diketahuinya.

Dari sekelebat memori yang sempat muncul dalam otaknya kemarin, Tamara menyadari sesuatu di saat Nathan mengakui kalau namanya adalah Nathan Anindira. Bukankah itu berarti selama durasi pertemanan mereka sebelum kecelakaan, dia mengenal cowok itu bukan sebagai dirinya yang asli?

Tamara melirik Nevan sekilas yang sekarang sedang memusatkan perhatiannya ke luar jendela lagi. Dari sisi seperti ini, wajah tampannya tampak mendominasi karena sinar matahari menerpa wajahnya sedemikian rupa seakan dia sedang melakukan rekaman video klip.

Apakah Tamara benar-benar tidak pernah berteman dengan Nevan Anindira sebelumnya?

Tamara sedikit terhenyak ketika mendengar jawaban dari Vica. Dia hampir saja lupa kalau dia sedang mengajukan pertanyaan pada cewek itu.

"Sejak lo ingat sama kebenarannya, Ra. Karena Harris cemas banget sama lo."

Tamara menemukan kalau Harris sedang menangkap basah dirinya memperhatikan Nevan tadi, yang segera saja memasang ekspresi muram. Cowok itu menghela napas panjang sebelum membuka bungkusan roti isi, lantas membelahnya dengan gigitan beringas seakan dia sedang melampiaskan perasaannya pada roti itu.

Tamara memutar bola matanya dengan jengah. "Better eat more, Ris. That really suits you."

"Me too," timpal Vica yang mengikuti jejak Harris di sebelahnya, mengoyak roti isi dengan napsu makan yang sama besarnya dengan cowok itu. "Eating always be my favorite."

"Tumben bahasa Inggris lo lancar," ledek Harris.

"Nilai gue mungkin paling rendah di kelas, tapi conversation gue nggak seburuk itu."

Sementara itu, Talitha masuk ke kelas diiringi deringan bel masuk, yang menjadi alarm bagi semua murid yang masih berada di luar kelas.

"Gimana kemarin, nggak ada masalah, kan?" tanya Talitha berbasa-basi pada Vio.

"Nggak ada, sih. Cuma gue mempelajari dua hal berkat kebenaran kemarin."

"Apa itu?"

"Yang pertama, jangan terlalu fokus pada pendapat lo sendiri karena belum tentu apa yang lo persepsikan itu adalah benar. Yang kedua, hargai dan sayangi mereka yang berada di sekitar lo karena kita nggak tau berapa lama eksistensi mereka dalam hidup kita. Dan itu berlaku buat lo."

"Berlaku buat gue?" tanya Talitha yang gagal paham.

Vio mengangguk, lantas menatap Talitha dengan intens. "Berkat lo, gue bisa baikan sama Tamara dan gue bahagia bisa mendapatkan kesempatan itu sebelum semuanya terlambat. Kehadiran lo membuat gue berani ngomong sama Tamara. Oleh karena itu, gue percaya sama takdir."

Lidah Talitha mendadak kelu tetapi itu tidak membuat Vio berhenti berbicara. Cowok itu mendekatkan kepalanya untuk berbisik ke telinga cewek itu.

"Jadi kesimpulannya, gue akan menghargai dan menyayangi lo. Boleh, kan?"

Talitha tidak bisa membedakan apakah itu adalah sebuah pernyataan perasaan Vio padanya sebagai teman dekat atau pria, yang jelas ini adalah pengalaman baru untuknya.

Tidak pernah ada cowok yang berani berbicara seperti itu padanya. Juga, kesannya jadi polos karena dia bertanya dengan begitu sopan.

Apakah Talitha harus menolak? Tetapi mengapa suaranya seperti tertahan di tenggorokannya?

zZz

Nevan menyerahkan buku panduan kartu tarot pada teman sebangkunya. "Gue udah hapal semuanya."

Perkataan yang begitu singkat, tidak jelas, dan tanpa embel-embel nama Tamara padahal Nevan jelas sedang berbicara padanya.

Tamara mengernyitkan alisnya, tidak tahan untuk tidak berkomentar. "Lo yakin?"

"Lo meragukan kemampuan gue?" Nevan malah menjawab pertanyaan dengan bertanya lagi.

"Oke, gue nggak nanya lagi deh." Tamara merasa sebentar lagi akan stres jika dia melanjutkan debatnya dengan Nevan.

"Lo boleh menguji kemampuan gue," kata Nevan yang tidak disangka-sangka, membuat Tamara harus mengerutkan alisnya lagi.

Untung saja Pak Jacob sedang membuka forum diskusi sehingga suasana kelas kelihatan sedikit heboh karena masing-masing mengajak teman di sebelahnya untuk bertanya jawab.

"Sejak gue jadi teman sebangku lo, lo nggak pernah sekali pun membuat gue paham apa mau lo sebenarnya," komentar Tamara setelah menghela napasnya berat.

"Lo nggak perlu memahami gue, ikuti aja apa maunya gue."

"Dan kenapa gue harus lakuin itu? Gue kira, kita nggak sedang dalam hubungan yang mendorong gue harus mendengar apa maunya elo."

"Lo mau kita dalam hubungan apa emangnya?" tanya Nevan polos tetapi ekspresinya jelas memiliki maksud lain, apalagi matanya. Sekilas, Tamara yakin cowok itu sedang mengajaknya bercanda.

"Bisa nggak sih, setiap pertanyaan gue nggak dibalas sama pertanyaan juga?"

"Jawab pertanyaan gue. Lo maunya kita dalam hubungan apa?"

"Nevan Anindira, gue nggak lagi bercanda."

"Lo kira gue lagi bercanda?"

Tamara merasa sedang dalam level yang geregetan parah hingga dia rasanya ingin sekali membenturkan kepalanya di permukaan meja.

Nevan tertawa dalam hati. Mau tidak mau, dia teringat kenangan masa lalunya di saat dia begitu menikmati menjahili Tamara hingga cewek itu menekuk wajahnya saking kesal pada dirinya.

Jujur saja, Nevan begitu merindukan masa itu.

Tamara selalu mengira kalau dulu Nevan menjahilinya karena ingin membuatnya marah saja. Padahal, itu hanyalah sebagai alasan supaya cowok itu bisa sering berinteraksi dengannya.

Tamara tidak tahu bagaimana Nevan berusaha mencari kesempatan untuk memancing emosinya supaya bisa lebih dekat dengannya. Tamara tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya yang sedang marah justru menambah kecantikannya. Tamara juga tidak tahu kalau ekor mata Nevan akan mengikuti kemana pun cewek itu pergi semampu kedua matanya bisa menjangkau.

"Gue maunya hubungan kita seperti layaknya teman sebangku. Oke?" Tamara akhirnya menjawab setelah berhasil mengendalikan dirinya untuk tidak emosi.

"Sayangnya gue nolak soalnya lo nggak layak jadi teman sebangku gue."

"Apa?" pekik Tamara, makin tersulut emosi sementara Nevan menahan senyumnya, lantas tertawa untuk pertama kalinya.

Kemarahan Tamara menguap begitu saja saat melihat tawa Nevan. Tawa tersebut membuatnya berkali lipat lebih tampan tetapi bukan itu yang membuatnya terdiam secara mendadak.

Ada memori lain yang melesat dalam otaknya. Tawa itu memberikannya sensasi dejavu lagi. Jelas, dia pernah melihat senyum itu. Senyum yang membuatnya merasakan desiran dalam jantungnya.

Sama seperti sekarang, membuat Tamara bertanya-tanya, apakah pelaku yang berada di dalam memorinya barusan adalah Nevan Anindira yang sama.


Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top