37 | Rencana Baru
Kalau kejutan hari ini bisa ditukar uang, maka aku yakin aku sudah kaya saat ini. Pembicaraan Ayah dan Herman memenuhi kepalaku, karena Bunda belum juga bangun-bangun, aku izin kepada Herman untuk pergi menjenguk ayahku.
Hari ini beliau sudah baikan, aku mengucap syukur pada Allah, dibalik beratnya cobaan yang aku terima hari ini, aku masih menemukan satu hal bahagia. Kupeluk tubuh kurus beliau, aku sangat rindu pada dirinya. Memang aku baru menikah enam bulan, tapi setelah bertemu dan berada dekat dengannya, aku baru menyadari betapa ia kini tidak sekuat dulu.
Tubuhnya melemah bersamaan dengan kulitnya yang mengendur, hitam legam terbakar sinar matahari. Ayahku hanya seorang kuli bangunan, ia harus kerja banting tulang setiap harinya demi menghidupi keluarganya, mungkin kini aku bukan lagi tanggungan mereka. Tapi kedua adikku, yang masing-masing kini sedang duduk di bangku kelas sebelas dan dua belas SMA butuh banyak biaya.
Satu sebentar lagi lulus, tidak mau mengikuti jejakku yang gagal masuk kampus negeri, Ibu dan Ayah sepakat untuk membuat, Nabila, adikku untuk les lebih awal.
Orang tua ku punya prinsip, anak-anaknya harus bisa punya kehidupan di tas mereka, ibu pernah bilang, kalau jadi miskin itu gak enak, cukup Ibu dan Ayah yang menderita selama ini katanya.
Dan, itu adalah salah satu alasan mengapa aku menerima Herman saat kami ta'aruf adalah benar, karena dia punya kerjaan yang baik. Tidak mau munafik, Herman kaya, aku harap dengan menikahinya setidaknya aku bisa mengurangi beban orang tuaku dan bisa membantu ekonomi mereka suatu saat nanti.
Tidak kusangka, menikahi Herman bukan pilihan yang tepat. Pria ini gila, begitu pun keluarga nya. Bagaimana bisa mereka merahasiakan Herman suka main perempuan, padahal tahu kini pria itu punya aku, istrinya.
Meskipun mencoba untuk sabar, tapi terkadang aku kerap menangis membayangkan menyedihkan hidupku. Apalagi tahu ternyata suami yang aku cintai tidak pernah balas mencintai ku, ia hanya menjadikan aku sebagai penutup aibnya, juga sebagai pelampiasan birahinya.
"Nak, kamu baik-baik saja?" Ibu mengetahui ekspresi ku, ibu memang peka sekali.
"Iya, Buk. Anna hanya kepikiran Ayah." Aku berbohong, masih tidak sanggup menceritakan masalah rumah tangga ku pada Ibu.
"Kata dokternya, udah tahap penyembuhan, mungkin dua tiga hari lagi boleh pulang, lalu nanti sebulan balik lagi untuk lepas venn nya," ucap Ibu meyakinkan aku bahwa ayah baik-baik saja.
"Alhamdulillah, Bu."
"Kalau mertuamu gimana?"
Ya, aku tadi sudah menceritakan tentang Bunda. Ibu dan ayah sempat mau menjenguk, tapi aku bilang jangan dulu, Bunda belum sadar, lagi pula sebenarnya aku malas membawa Ayah Ibu ke sana, mungkin efek mengetahui kebusukan mereka aku jadi malas.
"Belum berubah, terakhir kali aku tanya Mas Herman, dia bilang Bunda belum juga sadar."
"Ya, Allah. Semoga dia bisa segera sadar. Kamu harus selalu menguatkan suamimu, ya. Dia pasti sedang bersedih sekarang."
Cih, bersedih? Aku tidak peduli, kesal sudah aku padanya hari ini. Kalau saja bunda tidak sakit, ia masih bersenang-senang bersama wanita lain.
"Iya, Bu. Anna bakalan selalu menemani Herman."
***
Aku dan Herman pulang saat sudah tengah malam Bunda belum juga sadar, sedangkan ayah mertuaku tinggal untuk menjaga Bunda. Selama perjalanan aku melihat wajah kusut Herman, apa kah ia masih sedih melihat Bunda? Atau memikirkan perdebatannya dengan Ayah tadi siang?
Entahlah, aku terlampau lelah untuk sekedar mempertanyakan keadaan nya saat kondisiku pun sedang tidak baik-baik saja.
Dari rumah sakit ke rumah kami hanya memakan waktu sepuluh menit, soalnya jalanan telah sepi di jam segini, jadi kami bisa melaju kencang.
Sesampainya di rumah, aku menyiapkan air hangat untuk mandi Mas Herman, meskipun kesal, aku masih ingat kewajiban ku sebagai seorang istri.
Selagi ia mandi, aku menyiapkan pakaian untuk ia pakai di atas kasur. Saat itulah kulihat ponsel Mas Herman menyala, deringnya ia matikan, tapi aku masih bisa tahu itu panggilan.
Aku melotot melihat nama yang tertera di sana.
Sayang.
Sayang?! Sialan, dia bukan hanya main perempuan tapi selingkuh! Kulihat pintu kamar mandi, memastikan pria itu tidak akan keluar dengan cepat.
Aku mengangkat panggilan tersebut.
"Om, gimana keadaan Bunda?"
Napasku tercekat, suara itu begitu familiar di telinga ku.
"Jangan sedih, pasti bunda akan baik-baik saja."
Aku diam saja membiarkan perempuan itu terus berbicara, berharap bisa mengetahui identitas nya, untuk memastikan persepsiku salah.
"Om boleh datang kemari kalau sedih, Lisa akan buat Om bahagia."
Aku buru-buru mematikan panggilan saat bunyi knop Pintu terbuka, panik aku segera meletakkan kembali ponsel Mas Herman dan berlari keluar kamar.
Beberapa menit di luar, aku masuk lagi, berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
"Sekarang kamu bersih-bersih sana, Dek."
Aku mengangguk langsung masuk kamar mandi, berharap apa yang aku lakukan tidak ketahuan.
Jadi Lisa selingkuhan Mas Herman adalah Lisa yang kukenal?
Ironi macam apa ini? Aku benar-benar tidak percaya, apa ini hanya kebetulan saja nama dan suaranya sama, atau perempuan itu beneran Lisa sahabatku?
Kalau benar, bisa-bisanya.
Entah kenapa, aku tidak menangis kali ini, jiwaku telah dipenuhi rasa amarah, ketimbang bersedih aku lebih memilih memikirkan bagaimana cara terlepas dari Herman.
Cerai?
Itu adalah ide terbaik, sangat masuk akal. Tapi bukan keputusan yang bagus, memangnya setelah cerai bagaimana?
Aku akan kembali jadi beban orang tuaku, aku akan digibahin tetangga karena.telah jadi janda padahal baru enam bulan menikah.
Cerai bukan keputusan mudah. Terlalu banyak yang harus dipikirkan, jadi untuk saat ini, sampai aku bisa secara langsung memergoki Herman dan selingkuhan nya, aku akan pura-pura tidak tahu.
Aku juga sekarang akan memikirkan bagaimana bekerja untuk dapat penghasilan, tidak mau bergantung pada Herman lagi. Cukup pria itu membayari pengobatan Ayah adalah hal terakhir aku bergantung padanya.
Memakai piyama, aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang sudah bersih. Di kamar tidak kutemukan Herman, akhirnya aku keluar mencari sosok pria itu.
Ternyata ia tengah bertelepon di teras, tanpa aku ke sana, aku tahu siapa peneleponnya. Aku sungguh saat ini tidak cemburu, hanya takut saja Herman menyadari aku tahu ia punya selingkuhan.
***
Dobel update karena chapter sebelumnya ramai, hihi aku senang. Yah, walaupun 100 vote belum terpenuhi 🙈😂
Kelen vote dong, cuma pencet-pencet doang kok, soalnya jujur deh, kalau cerita diapresiasi tuh rasanya senang dan buat semangaaat....
Anna mode kuat tidak menye-menye lagi, wkwkw
Oh, aku ada pertanyaan:
Menurut kalian cerai itu mudah ngga? Apalagi udah tahu suami punya selingkuhan.
Okey, semoga kalian suka chapter ini, salam penuh cintaaaa,
Cangtip1
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top