Part 14 - Lebih Baik

I'm Back

Vote dulu sebelum baca.

Kita simbiosis mutualisme ya. Kalian vote dan komen, aku up part  selanjutnya.

Jangan silent readers. Yang siders pantatnya bisulan.

Play List|| Hivi ~ Tersenyum, Untuk Siapa?

Happy Reading



_______
Hatiku yang kosong sedang mencari tempat untuk membuatku merasa aman. Yang terbaik itu di kamu, atau orang yang baru?
***




Sesuai saran dari Akriel, hari ini Alteza datang ke peristirahatan terakhir Omanya Estrella. Saat di pemakaman, Alteza hanya diam, memperhatikan Estrella dari kejauhan. Gadis itu sedang menangis di pelukan ibunya ketika orang yang dia sayang sudah pergi untuk selamanya.

Alteza membiarkan Estrella merasa tenang dulu. Lalu, ketika kembali ke rumah duka, dia memutuskan menemui Estrella, yang kebetulan sedang duduk di teras, dengan mata yang masih berair.

"Ella." Cowok berpakaian serba hitam itu memanggil pelan.

Estrella mendongak, kala mendengar suara yang begitu familier di pendengarannya. Dia terkejut kala menemukan Alteza. Estrella tak menyangka, kalau Alteza sudi melayat ke rumahnya. "Teza."

"Gue turut berduka cita atas berpulangnya Oma. Semoga Oma tenang di atas sana." Alteza berucap tulus. "Lo yang tabah, ya."

"Terima kasih atas doanya." Estrella bangkit dari duduknya. "Kamu udah dari tadi apa baru datang? Maaf aku gak perhatikan."

"Gapapa. Gue paham lo dan keluarga lo sedang berduka." Alteza tersenyum tipis. "Dari pemakaman Oma, gue lihat lo. Tapi baru berani samperin sekarang. Kayaknya lo terpuruk banget."

"Semua orang pasti akan terpuruk kala kehilangan keluarganya, kan?" Estrella tersenyum singkat. "Tapi aku berusaha ikhlas. Gimanapun, takdir Tuhan gak bisa dihindarkan."

Alteza mengangguk paham. "Boleh ngobrol sebentar?"

"Emang dari tadi kita gak ngobrol, ya?"

"Maksud gue, yang lebih intens. Ngobrol empat mata."

Estrella mengangguk. Lalu mereka menuju taman halaman rumah Estrella. Karena di situlah tempat yang sepi. Sehingga, tidak ada pelayat lain yang mendengar.

"Teza, makasih, ya. Kamu udah menyempatkan waktu datang ke sini."

"Gue ingin mendoakan Oma, La. Gimana pun juga, Oma lo baik banget ke gue." Pernah dulu ketika awal-awal Alteza dekat dengan Estrella, Oma Estrella membuatkannya makanan yang banyak, bahkan memberikan Alteza koleksi novel lawas miliknya juga. Alteza sudah dianggap seperti cucunya sendiri.

"Sekalian gue mau minta maaf sama lo," lanjut Alteza, tulus dari hati.

Estrella memandang Alteza penuh rasa terkejut. Apa barusan dia tidak salah dengar?

"Gue minta maaf atas sikap gue ke lo, Estrella," ulang Alteza lagi.

Gadis yang memakai pakaian hitam-hitam, serta selendang hitam di kepala itu menatap Alteza lekat. "Kenapa kamu yang minta maaf? Harusnya aku yang minta maaf, Za. Aku yang sakiti kamu, aku yang manfaatin kamu, dan aku juga yang ninggalin kamu."

Alteza menghela napas panjang. "Karena di sini gue juga salah, La. Gue udah mengabaikan permintaan maaf lo yang tulus, bahkan menghindar dari niat baik lo. Padahal gue tahu, menyimpan dendam dan benci itu gak baik."

Apalagi pada orang yang pernah gue cintai. Lanjut Alteza dalam hati.

"Aku emang pantas dibenci. Aku jahat ke kamu, dan hancurin  hati kamu." Estrella tidak bisa menangis, air matanya telah habis saat di pemakaman tadi.

"Gue udah maafin lo." Alteza menggenggam tangan Estrella. "Lo jatuh cinta sama siapa pun itu hak lo, La. Sayangnya gue dulu egois. Ingin cinta yang terbalaskan, tapi malah memaksakan."

"Apa lo juga mau maafin gue?" Alteza menatap Estrella penuh harap.

"Eja." Estrella langsung berhambur ke pelukan Alteza. Sungguh, dia merindukan dekapan hangat cowok itu. Seorang yang selama ini menjadi sahabat baiknya. Bahkan, dia sudah menganggap Alteza sebagai keluarga sendiri.

"Gue kangen lo manggil gue pakai nama itu."

"Yakin? Kemarin-kemarinnya lagi gak mau."

"Kan, Kemarin-kemarinnya lagi gue kerasukan, La. Sekarang udah enggak."

Estrella terkekeh. Lalu melepaskan pelukannya. "Jadi kita baikan?"

"Iya, Ella."

"Mari, lupakan masa lalu dan sahabatan kayak dulu."

"Kayak dulu berarti sama aja masa lalu dong." Alteza protes. "Yang bener itu lupakan masa lalu, dan buka lembaran baru."

Estrella menautkan jari kelingkingnya di jari kelingking Alteza. Dia berjanji, tidak akan mengecewakan Alteza lagi.

"Za, aku boleh tanya satu hal?"

"Tentang Bang Riel?"

"Bukan." Estrella sudah tidak memikirkan Akriel, dia ingin fokus pendidikannya sekarang. "Kemarin, waktu aku pulang, kamu gak marahin Alora, kan?"

Pertanyaan itu sontak membuat Alteza terdiam. Dia sudah meminta maaf dengan Estrella, tapi tidak dengan Alora. Padahal, gadis itu ikut andil agar pikirannya kembali terbuka.

"Kok diem? Pasti kamu marahin, ya?" Estrella bertanya penuh selidik. "Kalau iya jahat banget kamu. Padahal Alora cuma bantuin aku."

"Gue emang sempet cekcok sama Alora. Bahkan, udah tiga hari ini gak ketemu dia," aku Alteza pada akhirnya.

"Gak mau tau, ya, pokoknya kamu harus minta maaf ke Alora."

"Iya, besok gue minta maaf."

"Kenapa gak sekarang?"

"Sekarang gue mau nemenin lo, Ella. Lo sedang berduka, dan gue gak mungkin ninggalin lo dalam keadaan begini."

"Terus Alora gimana?"

"Dia udah gede. Kalau dijelasin pasti paham. Lagian, gue sama Alora gak ada hubungan apa-apa."

***

Hari telah berlalu, baru saja malam tiba, kini sudah pagi kembali. Alora dan Cakra, telah sampai di butik milik Ratu. Butik yang bernama Queen & King Boutique itu memang sangat terkenal di kalangan menengah ke atas.

Bagaimana tidak? Baju-baju yang dijual di sana didesain oleh Bu Ratu sendiri, seorang istri dari pengusaha sukses di Jakarta.

"Gede banget, ya, Ra, kayak di mall." Cakra menatap kagum.

"Pagi, Alora, Cakra, selamat datang di Queen and King Boutique." Ratu datang bersama Raynar.

"Pagi juga, Bu," Alora dan Cakra menjawab serempak.

"Alora, kamu langsung ikut Raynar saja, ya. Soalnya ada hal yang mau saya bicarakan sama manajer kamu."

"Oh ... baik, Bu." Alora dan Cakra saling tatap, lalu Cakra mengekori Ratu dari belakang. Sepertinya ada urusan pekerjaan yang harus mereka bicarakan empat mata. Buktinya, sampai harus ke ruang atas segala.

"Hei? Melamun?" Raynar mengibaskan tangannya di depan Alora, membuat gadis itu tersentak.

"Enggak, Ray." Sebenarnya Alora canggung hanya bersama Raynar. Apalagi dia belum terlalu kenal cowok itu.

"Kita pemotretan di ruang tengah." Raynar mulai menjelaskan. Alora mengikuti cowok itu dari belakang. Dia harus paham agar tidak melakukan kesalahan di hari pertamanya bekerja.

"Nanti kita foto ala-ala pre-wed gitu. Soalnya baju yang mau dipromosikan cauple untuk orang yang mau nikah." Raynar membawa Alora ke ruang makeup. "Nah, Ra. Ini Mbak Mawar, dia yang akan mendandani kamu."

Alora tersenyum pada Mbak Mawar yang menyapanya.

"Mbak, tolong dandani Alora, ya. Nanti baju yang sudah disiapkan, tolong bantu Alora pakaikan." Pandangan Raynar beralih ke Alora. "Saya tunggu di ruang tengah."

Alora didandani dengan cantik. Dia seperti flasback di dunianya dulu. Alora terlihat anggun mengenakan dress brukat lengan panjang bewarna ungu, yang panjangnya sampai mata kaki. Sedangkan rambutnya dibiarkan terurai, dengan dibuat keriting di ujungnya. Serta hiasan jepit bunga warna senada menghiasi rambut cokelat gadis itu.

"Cantik banget, Mbak. Kayak Bidadari," puji Mbak Mawar. "Mari saya antar ke ruang tengah."

Alora mengangguk. Di rumah tengah sudah ada Raynar, dan fotografer. Ruangan itu sudah dipenuhi properti untuk pemotretan. Bahkan, Raynar sudah memakai stelan jas hitam dengan kemeja putih di dalamnya.

Raynar memandang Alora dari bawah hingga atas. Bibirnya menyunggingkan senyum. Dia tidak salah memilih pasangan. "Perfect."

Raynar menghampiri Alora, jaraknya begitu dekat dengan gadis itu. Tangan Raynar terulur, membawa beberapa helai rambut Alora ke depan. "Gini lebih cantik lagi."

Alora tersenyum canggung. Lalu, sang fotografer mengarahkan pose seperti apa yang harus mereka lakukan. Pertama, Raynar duduk di kursi bulat dengan sebelah kaki yang menindih kakinya yang lain, lalu Alora berdiri di sampingnya, memegang bahu cowok itu.

Kedua, Alora dan Raynar saling bertolak belakang. Seperti video klip the virgin saja. Bedanya, yang ini dilakukan dengan berdiri.

Dan yang ketiga, mereka saling berhadapan. Bahkan, sebelah tangan Raynar berada di pinggul Alora. Membuat gadis itu sedikit risih. Namun, ini sudah menjadi tuntutan pekerjaannya, dalam dunianya dulu pun, Alora pernah begini.

"Coba deketan lagi, Mbak. Terus mata Mbaknya natap Masnya," ucap sang fotografer.

Mau tak mau, Alora melakukan hal itu. Dia mencoba menatap wajah Raynar. Cowok itu memang tampan. Apalagi ada kumis tipis di wajahnya. Murah senyum lagi, tidak seperti Alteza yang selalu ketus padanya.

"Senyum, Alora," bisik Raynar.

Alora menyunggingkan senyum. Lalu, jepretan kamera terdengar.

Setelah selesai, Alora memberi jarak pada Raynar.

"Gimana hasil fotonya?" Raynar menghampiri Mas Bagus, fotografer profesional langganan butik mamanya.

"Bagus, Mas."

"Saya kan, tanya hasil fotonya, bukan nama kamu."

"Maksud saya, hasil fotonya yang bagus, Mas," ralat Mas Bagus. "Mas Raynar sama Mbaknya terlihat serasi. Pasti booming nih kalau masuk majalah."

"Bisa aja." Raynar menghampiri Alora yang sedari tadi diam di tempat. "Kamu ganti baju untuk pemotretan selanjutnya, ya, sekalian istirahat. Soalnya, habis ini ada pemotretan single buat baju lainnya oleh model lama."

Alora mengangguk. "Permisi."

Alora berjalan ke ruang makeup untuk menemui Mbak Mawar di sana. Rupanya Mbak Mawar sedang mendandani model yang sepertinya sudah lama bekerja di sini.

"Eh, Mbak, udah selesai pemotretan pertamanya? Sebentar, ya, saya ambil baju selanjutnya." Setelah selesai mendandani model selanjutnya, Mbak Mawar keluar untuk mengambil baju yang dipakai Alora nanti.

"Leda." Alora terkejut ketika gadis yang baru selesai berdandan itu membalikkan badannya. Dia masih ingat betul, kalau cewek itu orang yang pernah mendorongnya di kampus.

Sama seperti Alora, Leda pun terkejut, dia berdiri dari tempatnya. Mengamati Alora yang sialnya lebih cantik dari dia.

"Oh, ternyata model baru itu lo?" Leda memandang Alora sinis. "Gak cuma deketin Alteza, lo deketin Raynar juga, ya?"

"Maaf, maksud kamu apa, ya?"

"Halah. Gak usah pura-pura polos lo. Cewek kayak lo tuh cuma perek doang."

"Leda!" teriakan itu membuat keduanya menoleh. "Jaga omongan kamu, ya! Mau dipecat?!"

"Jangan dipecat dong, Ray. Masa gara-gara dia saya dipecat." Leda mendengkus sebal.

"Makanya kalau punya mulut dijaga. Sekali lagi kalau saya lihat kamu menghina Alora, saya gak akan segan-segan pecat kamu." Raynar menggenggam tangan Alora. "Ayo, Ra. Kita pergi."

Raynar mengajaknya ke lantas atas. Dia menyerahkan segelas air mineral untuk Alora. Niatnya ke ruang makeup untuk menemui Mbak Mawar, Raynar malah melihat Alora sedang dimaki oleh anak teman papanya.

"Kamu gapapa?" Saat ini keduanya telah duduk di sofa panjang di sana.

"Gapapa."

"Seperti kamu dan Leda udah kenal, ya?"

"Gak juga. Leda itu orang yang naksir temen saya, jadi dia cemburu sama saya karena mengira saya saingannya."

"Oh. Lain kali, kalau dia bermasalah sama kamu, kamu panggil saya, ya?"

"Kenapa memangnya?"

"Sekarang tugas saya harus jaga kamu, Alora. Kamu, kan, partner saya."

Bibir Alora menyunggingkan senyum tipis. "Saya rasa gak perlu segitunya."

Dahi Raynar mengerut. "Kenapa? Takut pacar kamu marah?"

"Saya gak punya pacar."

"Kalau saya daftar jadi pacar kamu, berarti bisa dong?"

Melihat Alora yang mematung mendengar perkataannya, lantas Raynar tertawa. "Bercanda. Lucu banget, sih, kamu kaget gitu."

"Ra, lo udah pemotretan?"

Alora menghela napas panjang, ketika dia melihat Cakra yang berjalan menghampirinya. Syukurlah, setidaknya cowok itu bisa menjadi penyelamatnya dari rasa kurang nyaman bersama Raynar.

Batin Alora mengatakan kalau Raynar sebenarnya orang baik, tetapi di tidak nyaman berduaan dengan pria yang baru dikenal. Apalagi, postur tubuh Raynar mengingatkannya pada si bajingan Farsyan, kekasihnya.

***

"Cakra belum berangkat?" Alteza meletakkan tasnya di kursi, melirik bangku sebelahnya yang masih kosong.

"Gak berangkat dia, makanya nitip absen ke gue."

"Tumben?"

"Lho, emang lo belum tahu, Cakra, kan, nemenin Alora pemotretan hari ini?"

Alis Alteza terangkat. "Alora diterima kerja?"

"Iya." Vaela mengernyit heran. "Lo belum di kasih tau? Gue kira, lo ikut mereka kemarin."

"Enggak, gue kemarin melayat. Omanya Estrella meninggal. Sekalian berbaikan sama Estrella."

Vaela yang mendengar itu terkejut. "Jadi sekarang, lo sama Estrella udah balikan?"

"Baikan, bukan balikan," ralat Alteza cepat. "Lagian, gue sama Ella gak pernah pacaran."

"Gue juga gak mungkin lama-lama nyimpan rasa benci dan dendam." Alteza menghela napas. "Kalau aja, Bang Riel sama Alora gak menasihati, pasti gue tetep keras kepala gak mau maafin dia."

Vaela hanya tersenyum tipis untuk menanggapi. Kemudian, Pak Dika, dosen mata kuliah pertama masuk ke kelas. Membuat suasana riuh menjadi hening.

Namun, sebelum memulai perkuliahan, Alteza sempat mengirim pesan kepada Cakra.

Cakra Tepung Terigu.

Cak, hari ini Alora pemotretan di mana?

Tolong kirimin gue alamatnya!!!





                               TBC


Mas Tejo keknya kangen Mbak Ola nih.

Gimana tanggapan kalian tentang part ini?

Sorry typo. Kesalahan itu memang sifatnya manusia.

Yang udah baca cerita ini jangan lupa vote, komen, dan share ke temen-temen kalian ya!

Satu vote dari anda, sangat berarti untuk saya.

Love you readers

Dedel

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top