6 - Tuntutan Ganti Rugi
Kita pasti pernah dihadapkan pada situasi tidak nyaman. Adalah tugas kita untuk mengatasinya tanpa harus memberitahukan kepada dunia.
---
Nolan langsung menarik tangan Kania menjauh dari kelas, lalu memaksanya duduk di bangku besi di tepi koridor.
"Lo nggak bertanggung jawab banget, ya, jadi orang!"
Kania mengentakkan tangannya agar terbebas dari cengkeraman cowok beraroma mint ini. "Maksud lo?" Kania mendengak, berusaha tidak terintimidasi.
"Setelah nabrak gue, lo mau main kabur gitu aja?" Nolan bersedekap. Daripada duduk bersisian, ia lebih memilih tetap berdiri.
"Lo yang nabrak gue duluan."
"Lo!" timpal Nolan sambil membungkuk, sengaja mendekatkan wajahnya.
Kania gemas bukan main. "Tapi siapa yang nggak bertanggung jawab, sih? Udah bagus gue lapor ke Pak Eko. Kalau bukan gue, mungkin lo ditinggalin gitu aja."
Nolan tersenyum sinis sambil kembali menegakkan punggungnya. "Nggak akan!"
Yang terdengar di telinga Kania: mana ada yang tega ngebiarin cowok seganteng gue?
"Lagian lo tabrakan gitu aja pakai acara pingsan segala. Heran!"
Muka songong Nolan mendadak kikuk. Ia tidak menyangka cewek ini berani bicara begitu. Kalau cewek lain, mungkin dari tadi sudah minta maaf, menawarkan ini-itu sebagai tanda perdamaian, atau minimal tidak balik ngomong ketus. Tapi yang satu ini benar-benar beda.
"Bukan urusan lo!"
"Emang bukan! Tapi lo tabrakannya sama gue."
Rahang Nolan mengencang. Ia tidak menyangka ada spesies macam ini di Galaxy.
"Terus, lo maunya apa?"
Sebelumnya, Nolan pikir semua cewek di sekolah ini takluk pada pesonanya. Tapi nada menantang Kania barusan seolah menyibak fakta baru. Nolan salah. Cewek di depannya ini seolah tidak terpengaruh pada popularitasnya sedikit pun.
Nolan mengeluarkan kacamata dari saku seragamnya. "Lo harus ganti ini."
"Enak aja. Lo yang makainya nggak bener, makanya lepas. Akhirnya nggak sengaja keinjak." Detik selanjutnya Kania langsung mengutuk kalimat barusan dalam hati. Kenapa juga harus didetailkan sepanjang itu?
"Oh, jadi retak gini gara-gara lo injak?" Fix, Nolan makin punya alasan untuk menuntut ganti rugi. Tadinya ia pikir kacamatanya rusak murni karena terjatuh.
Kania meringis. Ia gagal menemukan sanggahan. "Iya, gue ganti," katanya sambil menyambar kacamata itu. Mukanya ditekuk sempurna.
"Gitu, dong." Nolan tersenyum puas.
Jika dilihat sedekat ini, senyuman Nolan benar-benar manis. Kania buru-buru menggeleng dalam diam. Sempat-sempatnya ia menilai senyuman itu.
Nolan beranjak setelah merasa menang. Lima langkah kemudian ia berbalik, memicing ke arah Kania yang masih bertahan di posisi semula. "Itu ori, ya. Awas gantiin pakai barang KW!"
Sekilas Kania memindai kacamata di tangannya. "Ori, kok, gampang banget pecah," gerutunya sambil mencibir samar.
Harusnya emosi Nolan kembali tersulut. Tapi ia malah tersenyum samar. Tingkah cewek ini terlihat lucu. Mengetahui ada satu cewek di sekolah ini yang tampak tidak takluk pada pesonanya, Nolan seperti menemukan mainan baru. Belum pernah ada yang berani memasang tampang ketus padanya, apalagi sampai meninggikan suara. Mendapati semua hal itu pada Kania, anehnya, Nolan justru melihatnya sebagai hiburan. Barangkali memang demikian, hal baru di hidup kita selalu menarik, sekali pun bukan pada posisi 'menyenangkan' yang sesungguhnya.
Tadinya Nolan tidak ada niat meminta ganti rugi atas kacamata itu. Toh, ia punya banyak di rumah. Sebenarnya ia hanya ingin memastikan cewek itu tidak menceritakan ke siapa pun soal insiden tadi. Tapi setelah menemukan kartu matinya yang tidak sengaja ia keluarkan sendiri, Nolan yakin, cewek yang tingginya hanya sepundaknya itu tidak akan macam-macam.
***
Tanpa kacamata, sebenarnya Nolan malas keluar kelas. Di jam istirahat pun ia berencana mendekam di bangkunya, tapi Arlan dan Tama tidak menyerah menyeretnya hingga tiba di kantin ini. Untuk meredam rikuh, cowok berleher jenjang itu mengenakan hoodie hitam kesukaannya dan sengaja memasang tudungnya hingga menutupi sebatas alis. Nolan mengaduk kuah baksonya tidak bersemangat. Bahkan belum ditambahi kecap atau sambal, masih dibiarkan bening. Untuk pertama kalinya ia merasa risi berada di keramaian. Bagaimana tidak, sedari tadi orang-orang melihat ke arahnya. Nolan memang sudah terbiasa jadi pusat perhatian, tapi kali ini tatapan yang diterimanya agak berbeda dari biasanya, tampak bertanya-tanya. Nolan paham, orang-orang pasti mempertanyakan kacamatanya. Tapi harus segitunya banget, ya?
"Wah, gokil, nih." Arlan menunjukkan postingan dari akun @olife_hqq. Seperti biasa, bukan Tama namanya jika tidak menyambut dengan antusias berlebih. Tampak foto bermodel potrait yang menampilkan penuh wajah Nolan, yang sudah di-like 1.834 orang dalam waktu sejam. Fokus ke caption-nya: Hari yang penuh berkah, tiba-tiba malaikat turun ke bumi memamerkan mata indahnya. Kiyuuuttt .... Arlan membacakannya dengan gaya ala-ala dedek gemes, kemudian terbahak tidak keruan.
Tama bahkan sampai memukul-mukul pinggiran meja saking larutnya dalam tawa. Matanya yang memang sipit kini tinggal segaris. "Istri-istri halu lo ada-ada aja," ujarnya di sela-sela tawa.
"Yah, beginilah jadi orang ganteng," komentar Nolan seadanya.
"Eh, ada lagi." Arlan membuka postingan yang menandai akun tadi dan menemukan puluhan foto Nolan tanpa kacamata yang tentu saja baru diambil hari ini secara diam-diam.
Arlan mengklik yang posenya menyamping, dengan caption: Tatap dedek, Bang.
Klik lagi foto yang sudah di-crop dan hanya menyisakan bagian mata, dengan caption: Bisakah gue memiliki sepasang manik cokelat ini?
Klik lagi yang posenya sedang berjalan dan menoleh ke belakang, dengan caption: Fenomena yang lebih langka dari kemunculan Komet Halley.
Klik lagi yang close up, dengan caption: Akhirnya terungkap sudah harta karun yang tersembunyi di balik tirai hitam selama ini.
Klik lagi yang hanya menampakkan setengah wajah Nolan, dengan caption: Masya Allah ....
Klik lagi yang paling baru, Nolan mengenakan hoodie dengan tudung terpasang, sedang memandangi mangkuk baksonya. Ini jelas diambil seseorang di kantin ini. Caption-nya: Black blindingly.
Selanjutnya, Arlan masih sedemikian semangat membacakan caption di masing-masing foto dengan nada dibuat-buat.
Ayah kiyuuuttt untuk anak-anakku.
Kak, di dalam matamu aku melihat pantulan masa depan kita.
Mama gue nyari yang begini buat calon mantu.
"Perlu banget, ya, dibacain satu-satu?" Akhirnya Nolan gerah juga.
Arlan dan Tama terkikik. Usaha mereka membuat sang idola jengkel, berhasil. Setelah puas, Arlan mengantongi ponselnya, kalau tidak ingin benda yang dibelinya bulan lalu itu dicelupkan ke kuah bakso.
"Jutek amat." Tama menyikut pelan lengan Nolan. "Harusnya lo senang, dunia sedang terpikat sama mata lo."
"Bukan cuma sama mata gue kali."
"Tuh, kan, dipancing dikit songongnya kumat."
"Jadi, koleksi kacamata lo bakalan dimuseumkan, ya?" Arlan menengahi, dengan mulut terisi bakso.
"Nggak bakal!" Tama yang menimpali. "Lo kayak nggak tahu aja. Kacamata hitam itu nyawa keduanya dia." Alih-alih benar-benar membela, nada suaranya lebih mengolok.
"Terserah!" Nolan memasukkan dua butir bakso ke mulutnya kemudian dikunyah secara brutal.
"Tanpa kacamata, lo jadi suka bakso kuah bening ya?" Tama menatap heran isi mangkuk Nolan yang belum diracik.
Nolan kembali melahap dua butir bakso sekaligus, malas merespons.
"Eh, nggak lama lagi pengenalan eskul, loh." Tama memulai obrolan, kembali menyikut pelan lengan Nolan setelah beberapa saat di meja mereka tidak ada yang bersuara. "Anak-anak baru diwajibkan ikut minimal satu, kan?"
"Terus?" sambut Nolan tanpa menoleh.
"Seandainya lo masih di klub musik, pasti klub kita dapat pendaftar paling banyak." Kedua sahabat Nolan ini memang anggota klub musik. Meski bukan ketua, peran mereka cukup penting. Bisa dibilang tangan kanan dan juru bicara sang ketua. Waktu kelas X Nolan juga gabung. Tapi setelah kelas XI ia keluar karena merasa belum nyaman harus sering-sering berinteraksi dengan dunia luar. Jika memang tidak terlalu penting, Nolan lebih senang menghabiskan waktunya di kamar. Padahal waktu itu, ditilik dari kemampuannya, ia kandidat terkuat untuk mengambil alih posisi ketua selanjutnya.
"Apa hubungannya, coba?"
"Gini, ya," Arlan menyela. "apa-apa yang lo lakukan, potensinya sangat besar untuk ditiru fans kamu. Seandainya kamu tiba-tiba khilaf gabung di klub tata busana, fans kamu juga pasti berbondong-bondong daftar ke sana."
"Ada-ada aja." Nolan terkikik. "Tapi tiap tahun klub musik nggak pernah sepi peminat, kan?" Nolan menatap kedua sahabatnya bergantian. "Jadi ada gue atau nggak, sama ajalah."
"Tapi ntar lo bantu-bantu di stan, ya. Nggak usah ngapa-ngapain, cukup majang diri doang sebagai jimat pemikat biar anak-anak baru milih gabung di kita."
Nolan mengacungkan jempol persetujuan sambil tersenyum geli.
Arlan dan Tama bersitatap, saling lempar isyarat 'beres'.
Nolan menyingkirkan mangkuknya, mengabaikan tiga butir bakso yang masih tersisa. Ia sudah kenyang. Kenyang perasaan tidak nyaman lebih tepatnya. Mulai besok ia pastikan akan membawa kacamata cadangan. Cowok berambut soft side parting itu sedang menenggak air mineral dingin ketika tiba-tiba melihat Kania sedang berjalan ke arahnya. Ia lekas menyudahi minumnya, menutup botolnya kembali kemudian bersiap untuk situasi apa pun yang dibawa cewek ini.
***
[Bersambung]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top