36. Mengisahkan
Andaikan kau datang kembali
Jawaban apa yang kan kuberi
Adakah jalan yang kau temui
Untuk kita kembali lagi
(Ruth Sahanaya - Andaikan Kau Datang)
***
Andro berlari, memisahkan papanya dari ibu Salma. Tangan kirinya lalu mencengkeram kerah baju Antariksa.
"Awas ya, Pa! Kalau sampai Papa bilang Salma adalah anak Papa, kita selesai! Andro nggak terima!" sentak Andro.
Bugh. Satu bogem mentah mendarat di wajah papanya. Antariksa terhuyung, setengah limbung. Segumpal cairan merah menetes dari sudut kiri bibirnya.
"Andro! Jangan kurang ajar kamu! Dengar dulu penjelasan papamu!" Utami tegak berdiri. Lemas yang baru saja melanda hilang seketika. Dihampirinya Antariksa, menggenggam erat-erat jemarinya.
Papa menenangkan mama, tersenyum menatap Angkasa Andromeda.
"Harusnya sekarang ini papa boleh marah sama kamu. Sepanjang jadi papa kamu, nggak pernah sekalipun papa mukul kamu. But it's okay. Papa memang salah. Harusnya menahan emosi dulu, menjelaskan pada kalian dulu, bukan langsung menghampiri Dita. Papa minta maaf, sama kamu, sama mamamu. Duduklah dulu, Ndro. Biar papa jelaskan siapa ibu mertuamu ini."
"Andro belum butuh itu sekarang, Pa! Kondisi Salma lebih penting. Papa cuma harus bilang, kalau Salma bukan anak Papa!" Napas pemuda dua puluh tahun itu masih tersengal.
"Oke, Ndro, dengar papa baik-baik. Demi Allah, Salma bukan anak papa."
Andro lega, dipeluknya Salma yang masih terbaring kehilangan kesadarannya. Bu Miska pun lega, gemetarnya perlahan menghilang. Utami tak berbeda, dia yang paling lega, meskipun kepercayaannya kepada Antariksa masih tetap sama.
Andro berusaha menggendong Salma ke kamarnya, tak mau dibantu, meski harus bersusah payah turun tangga. Salma siuman saat Andro baru saja membuka pintu kamar. Dia berteriak dan meloncat begitu saja dari gendongan Andro.
"Jangan, Mas! Kita nggak boleh, Mas! Kita nggak boleh!" Histeris. Air matanya berlelehan, hatinya teramat sangat sakit. Andro yang sudah menjadi separuh nyawanya, ternyata adalah....
"Bukan, Sal. Kamu bukan anak papa. Kamu istriku, Sal. Kamu Salmaku. Sekarang dan sampai kapanpun. Kamu Salmaku." Andro mendekat, lalu mendekap.
Tangis Salma tumpah di dada suami yang begitu dicintai. Tangis paling parah yang pernah Andro terima sepanjang mereka berstatus suami istri. Keduanya bertangisan dengan penuh kelegaan, saling memeluk dengan penuh keharuan.
"Kamu istirahat ya, Sal. Aku nggak mau kamu sakit." Ditangkupnya pipi mulus Salma, menenggelamkan pandang pada kedua bening matanya. Salma menggeleng, mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
"Yang lain masih di atas, Sal. Apa kita akan ke sana, atau cukup aku saja?" Salma menggeleng lagi.
"Oke. Kita ke atas. Kurasa penjelasan papa harus kita dengar secepatnya. Kamu siap?" Salma mengangguk.
"Kamu masih mirip Maudy Ayunda lho, Sal. Kalau dia---"
Senyum lebar mengembang di wajah Salma. "Sal mau jalan aja, nggak mau digendong."
Andro meraih tangan Salma dalam genggamannya. Mereka bergandengan, kembali ke ruang di mana pertemuan diadakan.
Papa memulai penjelasan dengan permintaan maaf, khususnya kepada mama, sebab refleks main peluk saja. Mereka --Antariksa dan Nerudita-- sama sekali tak ada pertalian darah atau hubungan lain yang membuat mereka boleh berpelukan. Benar-benar hanya spontan karena luapan kegembiraan.
"Dita ini sudah seperti adik buat papa, Ndro, bahkan melebihi tante-tante kamu, karena dia lahir lebih dulu dari mereka. Dia anaknya Opa Johan dan Oma Luci, kamu ingat, kan?" Andro mengangguk.
Waktu kecil dia selalu dapat sebutir permen setiap kali bertemu dengan tetangga sebelah kakeknya, yang saking dekatnya hubungan dua keluarga, sampai dibikin pintu sebagai penghubung ke halaman rumah masing-masing. Andro mana tahu, istrinya ternyata cucu dari sang pemberi permen.
"Waktu papa masih jadi anak satu-satunya, suka kesepian karena nggak punya teman main yang sebaya, keluarga Dita datang dari Sulawesi, pindah ke sebelah rumah kami. Waktu itu papa umur empat tahun, Dita baru dua tahun. Keluarga Opa Johan sama sekali tak punya keluarga di Surabaya, bisa dibilang orang terdekat ya keluarga kami. Makanya hubungan keluarga papi dengan keluarga Opa Johan jadi sangat dekat, begitupun papa dengan Dita."
Papa berhenti bicara dan melihat pada mama. Diulangnya penjelasan tentang orang tua Nerudita. "Dita anaknya Om Johan sama Tante Luci, Tam. Dia si anak hilang yang dulu kadang suka disebut oleh papi mami. Yang diusir dari rumah dan kadang suka tiba-tiba baliknya ke kostku. Yang nggak pernah kamu temui, tapi selalu kamu cemburui, sampai akhirnya dia bener-bener menghilang sama sekali."
Kemudian Antariksa kembali berbicara pada semua, bahwa dia mulai goyah begitu ibu Salma masuk ke ruangan bersama mama. Wajah Dita memang terlihat lebih tua, tapi sama sekali tak membuat papa lupa pada sosok yang sudah seperti adiknya, bahkan lebih. Itulah kenapa tugas berbicara mendadak diserahkan kepada Andro. Dan saat perempuan itu menyebut nama, yakinlah Antariksa bahwa yang di hadapannya adalah benar Nerudita.
"Waktu saya tahu bayi kecil saya sudah tumbuh dewasa, lalu Bu Miska menyebut nama Antariksa Sisiutara, sebenarnya saya sudah tidak ada lagi keinginan untuk mengganggu hidup Mbak Salma. Sudah cukup kebahagiaan bagi saya mengetahui Mbak Salma---"
"Tidak perlu menyebut mbak, panggil saya Salma saja." Salma menyela, canggung. Ibunya menelan ludah, merasa bersalah.
"I-iya, baik. S-Salma..., Salma. Saya sudah merasa bahagia mendengar kabar itu dari Bu Miska. Percayalah, Salma, saya sama sekali tidak berniat mengganggu kebahagiaan kamu. Saya sudah berniat pamit, ketika pagi itu Bu Miska mendadak harus dilarikan ke rumah sakit. Jadi saya masih di sana, karena menunggu Bu Miska sehat dan kembali ke panti. Saya minta maaf, terutama kepada Salma dan Mas Andro."
Bu Dita memberanikan diri memandang anak perempuannya. Mata mereka beradu. Dia berkaca-kaca, betapa inginnya dia memeluk Salma. Salma dingin saja, tak ada rasa.
"Apa sih, Dit? Jangan kaku begitulah. Kita sekarang resmi jadi keluarga malah. Come on, bergembiralah," timpal papa mencoba mencairkan suasana.
Tentu saja tidak demikian yang dirasakan oleh Dita dan Salma. Pertemuan ini bukan sesuatu yang mudah bagi mereka. Teramat sulit untuk dijelaskan dengan kata.
"Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih sudah menemui saya. Saya izin mau istirahat dulu," ucap Salma, masih canggung.
Tanpa menunggu persetujuan, diraihnya tangan Andro untuk undur diri dari tempat itu. Mereka masuk ke kamar. Salma menguncinya rapat-rapat. Kembali menumpahkan tangisnya di pelukan hangat suaminya, sampai puas, sampai dia merasa lega.
"Maafkan Sal ya, Mas. Sal nggak tahu kenapa, tapi Sal belum bisa mencerna semua kejadian ini. Sal butuh waktu untuk menerima keberadaan seorang ibu. Sal nggak tahu apa yang Sal rasakan sekarang ini. Sal nggak sedih, tapi juga nggak bahagia. Sal---"
"Ssstt, aku kan sudah mengiyakan waktu kamu bilang nggak harus langsung menerima ibumu. Nggak apa-apa, Sal. Meskipun aku nggak tahu seperti apa rasanya, tapi aku bisa memahami keadaanmu. Nggak usah terlalu dipikirkan, yang kamu butuhkan sekarang adalah istirahat. Tidurlah. Kamu pasti lelah."
Andro memeluknya sekali lagi. Memberi kecupan hangat di bibir yang selalu dia rindui. Salma menghayati ciuman Andro yang begitu tulus. Tak ada hasrat yang terpendam, hanya ada cinta dan kasih sayang. Salma tidur tak lama kemudian.
Kedua mata Andro menyusuri wajah cantik di hadapannya. Bening meleleh tanpa terasa, membentuk segaris basah pada wajahnya.
Dan tiadalah kehidupan di dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al An'am: 32)
Andro ingat tulisan yang sedang digunakan Salma sebagai wallpaper di gawainya.
Begitu pula yang dialaminya dengan Salma hari ini, tak harus mengubah yang sudah ada. Salma hanyalah manusia biasa, punya perasaan dan emosi. Menjadi tugasnya sebagai pasangan hidup, untuk menemani Salma melewati semua ini. Mengingatkan, bahwa yang terjadi hanyalah bagian dari permainan dan senda gurau dunia, sedangkan tujuan mereka tak pernah berubah. Akhirat adalah lebih baik, bagi orang-orang yang bertakwa.
Andro beranjak, meninggalkan Salma dan kembali ke atas. Bu Miska sudah tidak ada. Pulang. Diantar Bu Jani, juga ditemani Mbak Yanti.
Andro turut mendengarkan kisah hidup ibu mertuanya. Ya, dia punya ibu mertua sekarang. Ibu mertua yang sebenarnya, bukan ibu yang pernah mengasuh istrinya saja, seperti Bu Miska.
Nerudita muda adalah anak yang keras dan tangguh. Satu-satunya hal yang membuatnya lemah adalah laki-laki. Dia ketahuan hamil menjelang kelulusannya dari SMA. Kedua orang tuanya marah besar, memaksanya menggugurkan kandungan. Dita menyetujui, tapi kepercayaan orang tuanya padanya sudah hilang, dia tak lagi punya kebebasan.
Hari-harinya diwarnai pertengkaran dengan papa dan mamanya. Menurut Dita, seharusnya papa dan mamanya memperlakukan dia dengan mencurahkan perhatian lebih dan kasih sayang yang banyak, membersamainya dengan cinta, bukan melepasnya karena kesibukan, lalu menyalahkan ketika dia salah jalan. Maka dia mengambil keputusan untuk kabur dari rumah saat kedua orang tuanya lengah.
"Yang selalu sayang sama saya malah keluarga Om Jaya. Bang Iksa, dan adik-adiknya yang sudah saya anggap adik saya juga. Saya orangnya keras, kakak saya lebih keras lagi, tapi memang dia sangat galak sama laki-laki. Saya sebaliknya." Begitu kata Dita kepada Andro dan mamanya. Di bagian itu, Antariksa masih menjadi bagian dalam ceritanya.
"Waktu papa mulai pacaran sama mamamu, keluarga Opa Johan, terutama Sara, kakaknya Dita, masih selalu meminta papa untuk ikut mencari Dita. Papa jadi serba salah. Dita kadang datang ke kost, curhat, numpang tidur, numpang makan, ngutang. Tapi selalu mengancam nggak akan datang lagi kalau papa lapor ke keluarganya." Antariksa ikut melengkapi.
Kampus papanya Andro cukup jauh dari rumah. Tugas kuliah membuatnya tak mungkin menempuh perjalanan pulang pergi dari rumah ke kampus, itulah kenapa Antariksa tinggal di indekos meski kampusnya masih berada satu kota dengan rumah orang tuanya.
"Setiap kali Sara meminta papa mencari Dita, mamamu protes, Ndro. Kamu bukan keluarganya, kenapa jadi kamu yang sibuk ngurusin dia? Gitu, Ndro. Masih ingat, Tam?" Antariksa mengerling ke arah istrinya, Utami tersenyum.
"Waktu Tami habis bilang begitu, besoknya Dita datang dan papa cerita kalau ada yang cemburu. Sejak itu Dita nggak pernah lagi datang ke kost papa, malah menghilang entah ke mana. Tapi papa kenal baik wataknya, jadi nggak pernah sibuk tanya, dia tinggal di mana dan semacamnya. Percuma. Papa juga nggak pernah mencarinya, karena papa yakin anak itu bisa hidup sendiri dengan dengan prinsipnya.
"So..., kamu ke mana saja setelah nggak pernah lagi datang ke kostku, Dit?"
Cerita yang mengalir selanjutnya sungguh memprihatinkan sekaligus menggugah rasa iba.
"Aku ninggalin Surabaya, Bang." Antariksa yang meminta Dita untuk bercerita kepadanya saja, dua peserta yang lain boleh dianggap sebagai penggembira. Bukan apa-apa, hanya untuk meminimalisir kesan canggung saja, agar cerita yang disampaikan Dita lebih enak didengarkan.
"Waktu itu aku berhubungan dengan seorang laki-laki, Bang, dia asli Bandung. Lalu aku dibawa ke sana. Di sana aku kuliah, Bang. Kalau soal pendidikan aku tetap concern walaupun aku membiayai hidupku dengan cara yang salah. Laki-laki itu sudah beristri, Bang, waktu itu dia tinggal di Sidoarjo. Aku jadi perempuan simpanan, yang dia kunjungi setiap kali dia ada urusan di Bandung atau di dekat-dekat sana.
"Tapi Bang Iksa tahu sendiri kan, aku nggak bisa hidup tanpa laki-laki. Jadilah aku punya laki-laki lain saat dia nggak ada, tapi akhirnya ketahuan juga. Aku nggak punya lagi fasilitas, hidupku mendadak jadi serba susah. Lalu aku memutuskan untuk...." Perempuan itu menarik napas, ditundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Melacur," ucapnya lirih, disambut istighfar oleh Andro dan papa mamanya.
Andro merasa beruntung, Salma tak ikut mendengarkan kisah hidup ibunya. Dia tak bisa membayangkan betapa hancur hati istrinya. Dia saja perasaannya seperti diaduk-aduk. Campur baur tak keruan.
Melacur. Lebih tepatnya menjadi perempuan simpanan. Dita berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki lain, yang bisa memberinya fasilitas dan kehidupan, menjamin kelangsungan kuliahnya, juga gaya hidupnya. Setelah selesai kuliah, dia juga berpindah-pindah kota, tergantung kemauan laki-laki yang menjadikannya simpanan. Medan, Balikpapan, Salatiga, Jakarta.
"Aku bahkan bisa kuliah pasca sarjana juga, Bang. Ini yang akhirnya menjadi bekal ketika aku memutuskan kembali ke jalan yang benar."
"Salma?"
"Aku nggak tahu dia anak dari laki-laki yang mana, Bang." Dita mulai terisak-isak.
"Aku memang kotor, Bang. Aku berengsek. Beruntung, laki-laki yang menjadikanku simpanan kali itu nggak meninggalkan aku begitu saja ketika tahu aku hamil. Nggak dinikahi, karena nggak jelas juga anak siapa. Aku berhubungan nggak hanya dengan dia, dan pada akhirnya dia tahu juga. Tapi dia berbelas kasihan sama aku, Bang. Dia membiayaiku sampai aku melahirkan. Dia juga yang menemaniku saat menaruh Salma di depan rumah Bu Miska.
"Aku melahirkan di Surabaya, Bang. Setelah lebih dulu mencari tempat yang sekiranya baik untuk meninggalkan bayiku. Aku memang berengsek, tapi aku nggak mau anakku menjadi seperti aku. Lebih baik aku kehilangan selamanya, daripada membuatnya malu punya ibu seperti aku. Apalagi menyeretnya ke dalam kehidupan yang sama.
"Tapi aku juga punya keinginan, kalau umurku panjang, suatu hari kelak aku akan kembali ke Surabaya, menghabiskan masa tuaku di kota ini, biarpun harus hidup sendiri. Itulah kenapa aku meninggalkan bayiku di Surabaya, Bang. Berharap suatu saat nanti aku masih bisa bertemu dengannya, walaupun mungkin cuma melihatnya dari kejauhan. Tapi Allah berkehendak lain, bayi itu menjadi menantu dari keluarga yang sangat dekat dengan aku.
"Maafkan saya ya, Mas Andro, Mbak Utami." Dita menangis lagi. Utami memeluknya, membuat Dita merasa berarti sebagai manusia.
Dita kembali ke jalan yang benar tujuh tahun setelah meninggalkan Salma di depan rumah Bu Miska. Menghabiskan hidupnya dengan bekerja di sebuah kota kecil di ujung timur pulau Jawa. Hidup sederhana, menabung penghasilan, sebagai bekal untuk kembali tinggal di Surabaya. Juga menabung harapan, kelak bertemu kembali dengan bayi yang pernah dia tinggalkan.
Pintu ruangan diketuk, Andro membukakan dengan gegas. Eyang papi dan eyang mami ada di hadapannya. Papanya yang diam-diam menghubungi keduanya, memberitahu kalau si anak hilang berada di rumah mereka.
"Dita?!" pekik eyang mami begitu pandangan keduanya saling bertemu.
"T-Tante Ina?!"
Keduanya berlari mendekat, saling memeluk, dan menumpahkan air mata. Layaknya seorang ibu yang kembali bertemu anaknya setelah terpisah sekian lama. Mereka berpelukan, juga eyang papi.
Kisah hidup Dita kembali diulang setelah semuanya kembali tenang. Kali ini dirangkum oleh Antariksa. Aib dan hal-hal menyedihkan disampaikan dengan singkat, sebagian disembunyikannya.
"Mi, Pi...." Papa mengatur napas, menenangkan jantungnya yang berdegup keras.
"Dita ini..., emm..., Dita ini ternyata..., i-ibunya Salma, Mi."
"Allahu Akbar. Laa hawla wa laa quwwata illa billah." Mata eyang mami melebar, tangan kanannya menutup mulutnya yang menganga.
Mereka kembali berpelukan, bertiga, dengan eyang papinya Andro.
Andro sampai lelah sendiri menerima kejutan yang bertubi-tubi. Dia memohon diri untuk kembali ke kamar. Ingin merebahkan badan di sisi Salmanya. Salma yang sangat dicintainya. Memeluknya. Mengusap perutnya. Menyampaikan rasa sayangnya pada calon buah hati mereka. Akan disimpannya dari Salma tentang kisah hidup ibunya, juga tentang asal usulnya.
***
Ngeri banget yaaa cerita hidupnya Bu Dita. Naudzubillahi min dzalik.
Lagunya bikin nangis. Ini aslinya lagunya Koes Plus. Dan lagunya Koes Plus juga memang bagus-bagus yaaa. Nyambung kalau ngobrolinnya sama ibuku. Hehe.
Pas lagi mikir lagu yg pas, aku ingat sinetron yg soundtracknya lagu ini. Aku lupa judulnya, tapi yg main (kalau nggak salah) Dina Olivia sama Meriam Bellina. Sinetron Indonesia zaman dulu bagus-bagus, setuju nggak sih? Realistis banget, nggak mengada-ada.
Buku Harian, Abad 21, Kupu-kupu Kertas, Camelia, Si Doel Anak Sekolahan, dll. Telenovela juga aku dulu suka. Dari Maria Mercedes, Esmeralda, Esperanza, Kassandra, La Mentira, sampai La Usurpadora (Cinta Paulina). Mundur lagi ada Little Missy dan Tuan Baron Araruna.
Hahaha, tuaaaa :)
Udah ah, malah ke mana-mana bahasnya. Tapi mending sih, daripada sedih, ya nggak?
Baiklah. Terima kasih banyak untuk semuanya. Maafkan untuk segala kesalahan, kekurangan, kegajean, kejanggalan dari cerita, dsb. Semoga tetap berkenan dan terhibur yaaa.
See you :)
Semarang, 19072021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top