[CERPEN] Lucas Drake - Luca's Ordinary Life
"Jadi, melihat hantu hanyalah imajinasi yang ditimbulkan oleh saraf di otak kita akibat mengeluarkan hormon adrenalin dalam jumlah berlebih. Bukankah itu lucu?"
Sebuah tawa yang terdengar cukup berat menggelegar. Sayangnya, yang tertawa dan yang memberikan lelucon adalah orang yang sama. Sebelum akhirnya, mereda dan makin mengecil dengan gestur kikuk.
"Itu sama sekali tidak lucu.
"Aneh."
"Ternyata, Lucas itu membosankan, ya."
Bagai ditembak petir di siang bolong, tubuh pemuda berambut cokelat madu itu membeku. Membosankan? Apa dia baru saja dikatakan membosankan? Lucas Drake? Lucas si bintang SMP Sightseeing adalah orang yang ...
"Membosankan."
Lucas melihat ke sekeliling, teman-teman sekelasnya kembali sibuk pada urusan masing-masing. Padahal, Lucas sudah mengerahkan seluruh keberaniannya untuk menarik perhatian mereka.
Pemuda itu mengembuskan napas berat, sebelum duduk kembali di kursi yang terletak di pojok dekat jendela. Sendiri. Terasing. Tanpa teman bicara, ataupun sosok yang menepuk pundaknya heboh saat tertawa. Lucas sendirian.
Kenapa? Padahal saat pertama kali membaca fakta itu, aku tertawa lima menit tanpa henti. Itu kan lucu sekali.
Satu hal yang Lucas simpulkan hari ini. Satu, sifat anak kota besar dengan anak kota kecil sangat berbeda. Dua, tidak banyak orang yang menjadikan fakta ilmiah sebagai lelucon. Tiga, sepertinya kesempatan Lucas untuk mendapat teman di kelas ini sudah pupus.
Label anak aneh dan membosankan sudah tersemat padanya.
Ini berbeda. Dulu, banyak sekali anak-anak yang akan menghampiri Lucas dengan senang hati. Tanpa diminta, sudah berusaha mati-matian untuk berada di pihak Lucas. Pokoknya, harus satu pikiran sama si Juuara Satu, itu adalah pola pikir teman-teman di kotanya.
Kota besar memang berbeda. Adaptasi sepertinya akan sulit.
"Lucas Drake, sudah menyelesaikan PR matematikamu?"
Lucas mendongak dengan wajah bosan. Tanpa menjawab, dia merogoh tasnya tanpa perlu melihat, mengeluarkan sebuah buku bersampul violet dengan judul "TUGAS MATEMATIKA" ditulis dengan huruf kapital yang rapi.
"Terima kasih sudah mengumpulkannya tepat waktu."
"Tentu," jawab Lucas singkat. Selanjutnya, manik cokelat Lucas sudah mengikuti gerakan orang yang tadi menagih buku tugasnya.
Yang tadi itu Devin Sake, ketua kelas X.A. Seorang pemuda dengan alis segaris, bermata sayu, tetapi punya postur jangkung melebihi Lucas. Pemuda yang selalu bersikap ramah pada siapa pun, memperlakukan mereka dengan sama, dan tentu saja, tipikal yang disukai semua orang.
Lucas yakin, Devin hanya berpura-pura baik pada Lucas, karena tugasnya sebagai ketua kelas. Namun, Lucas juga termasuk orang yang menyukai kepribadian Devin. Kalau diajak, tentu saja dia mau berteman dengan dia.
Kalau mengajak? Lucas tidak mau mengajak. Buat apa? Orang bisa lebih dulu menghampirinya, bukan?
Kalau dia yang mengajak, hasilnya pun akan sama saja dengan yang tadi. Salah bicara, lalu berakhir dengan disebut membosankan.
***
"Hari ini pun, membosankan." Lucas merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah mengganti baju sekolah. Sebuah kebiasaan baik yang sudah diterapkan oleh Ibunya yang merupakan guru SMP. Pemuda itu juga sudah selesai mencuci kaki dan muka.
Tatapan Lucas berpindah pada sebuah benda di sebelah bantalnya. "Kuma, ini sudah hampir satu bulan. Aku mengacaukannya. Lelucon itu tidak lucu," curhatnya pada sebuah boneka bebentuk karakter Rilakkuma berukuran setengah bantal. "Hidup sendirian, tidak punya teman di sekolah baru, tetangga yang kelihatan galak. Ini hukuman, ya?"
Lucas tidak bisa memelihara hewan di flat ini. Kalau boleh, Lucas mau memelihara kucing. Sebagai teman curhat. Supaya nasibnya tidak menyedihkan amat dengan curhat setiap pulang sekolah dengan boneka Rilakkuma kesayangannya.
Bukan salah Lucas kalau dia tidak tertawa saat seorang anak menyampai lelucon padanya di hari pertama sekolah. Apa Lucas juga salah karena tidak mengajak bicara siapa pun? Lucas tidak mau mengajak, Lucas maunya diajak.
Setelah puas menumpahkan keluh kesah, Lucas bangkit duduk. Tatapannya tertuju pada meja belajar. Hari masih sore, satu jam menjelang makan malam.
"Tugas hari ini ...."
Hari-hari Lucas berputar dengan siklus yang nyaris monoton. Sekolah-belajar di rumah-memasak-tidur-sekolah lagi. Teman? Butuhkah Lucas? Lucas hanya mau menjadi juara umum di SMA Race, lalu lulus di universitas favorit dengan mulus. Untuk meraihnya, Lucas tentu tidak boleh diam dan berangan. Dia harus belajar.
Untung saja otakku cemerlang. Aku memang cerdas.
Malamnya, Lucas akan memasak makan malam dan lanjut belajar. Mesin penghangat ruangan otomatis hidup usai matahari terbenam, Lucas tidak tahan dingin. Terkadang, dia akan menonton berita. Sekali-kali, menulis di buku harian--tempat curhat kedua. Kalau punya teman, mungkin mereka sudah bercakap asyik satu sama lain sepanjang malam melalui ponsel.
Kalau bosan, Lucas akan bersih-bersih atau memasak. Begitu terus.
***
Tepat pukul lima pagi, mata Lucas terbuka. Di tengah kegelapan, dia bisa melihat tulisan yang terpampang di langit-langit. Tak perlu penerangan yang cukup untuk membuat Lucas bisa membacanya, karena ia sudah hafal betul kalimat itu.
"Aku hebat, aku keren, aku pasti bisa!"
Seolah mantra, Lucas bangkit dari duduknya. Melakukan peregangan sederhana, sebelum bangkit, melipat selimut, dan menghidupkan lampu. Tidak perlu terkejut, kalimat yang ia pampang di langit-langit tidak lain adalah moto hidup Lucas. Tidak muluk-muluk, tapi bermakna. Setidaknya, Lucas pikir begitu.
"Besok, makan malam bersama Nenek Charlotte," gumam Lucas melirik kalender. Ada sebuah tanda dari spidol merah melingkari salah satu tanggal. Setelah minggu lalu berpapasan dengan wanita tua itu saat membuang sampah, Lucas teringat dengan perumpamaan, Jangan menilai buku dari sampulnya. Nyatanya, Nenek Charlotte sangat ramah dan hangat, terlepas dari kerut wajahnya yang membuat wajahnya tidak tampak begitu.
Lucas mengambil handuk yang tergantung di dekat pintu dan masuk kamar mandi, kemudian keluar setelah sepuluh menit membersihkan diri. Sambil mengeringkan rambut, pemuda itu menarik salah satu buku dari dalam tas dan mulai belajar.
"Jadi, revolusi Perancis terjadi pada tahun ...."
Buku itu masih menemani Lucas sampai selesai sarapan dan menyiapkan bekal. Sebagai informasi, SMA Race mewajibkan lara siswanya untuk membawa bekal maakn siang sendiri. Saat memakai kaus kaki, barulah buku tersebut dimasukkan ke dalam tas.
"Selamat pagi Nenek Charlotte."
"Selamat pagi, Lucas. Hati-hati di jalan."
Lucas tersenyum pada Nenek Charlotte yang sepertinya baru kembali dari toko. Ada swalayan kecil beberapa blok dari flat ini. Lucas berjalan ke sekolah, jarak rumahnya memang cukup dekat.
Mata Lucas cukup terpaku saat dia melewati SMP Dream. Sekolah elit yang hanya dipisahkan oleh sebuah gedung serbaguna dengan sekolahnya. Kesimpulannya, SMA Race bertetangga dengan SMP ini.
SMP saja sudah sebagus ini, pasti SMA-nya lebih luar biasa.
Meskipun begitu, Lucas sama sekali tidak berniat untuk masuk SMA Dream. SMA Race memang berada di peringkat dua, tetapi kalau dalam penerimaan universitas, lebih banyak siswa lulusan SMA Race di jurusan kedokteran. Itu semua karena rata-rata anak SMA Dream akan mengambil jurusan bisnis.
Orang kaya memang beda.
***
Sudah tiga bulan Lucas bersekolah. Dan waktu selama itu sudah membuatnya cukup terbiasa untuk melakukan semuanya sendiri. Apalagi semenjak Lucas menemukan markas pribadi, yang tak lain dan tak bukan adalah atap sekolah, Lucas semakin senang menyendiri saat jam istirahat.
Ujian tengah semester lalu, Lucas belum puas dengan nilainya untuk beberapa mata pelajaran. Meskipun meraih nilai tertinggi di kelas, Lucas memutuskan untuk semakin fokus pada pelajaran dan melupakan soal urusan teman.
Walaupun begitu, semuanya hanya sugesti. Jauh di dalam lubuk hatinya, Lucas masih mengharapkan ada sosok yang akan menghampirinya duluan. Kalau soal dihampiri, tentu saja ada beberapa yang melakukan. Namun, semuanya dengan tujuan yang sama; bertanya soal pelajaran, bukan mengajak makan siang bersama.
Makanya, Lucas begitu bangga dalam hati ketika sekolah menunjuknya menjadi salah satu dari sepuluh orang dalam tim olimpiade matematika di sekolah. Jika tidak bisa berteman dengan anak sekelas, bagaimana kalau dengan tim olimpiadenya saja?
"Orang-orang cerdas itu arogan. Kemampuan sosialnya lemah sekali." Lucas sedang merutuk saat perjalanan pulang dari kelas pelatuhan olimpiade. Kondisi orang-orang di tim olimpiade begitu parah. Mereka sangat individualis, mengobrol hanya kalau perlu saja. Ada sih, yang melontarkan candaan sesekali. tetapi jarang.
Bahkan, acara menonton film bersama pada akhir pekan sama sekali tidak menyenangkan. Terlepas dari fakta bahwa Lucas sempat salah sangka soal kakak kelas cantik yang tampak menyukainya, ternyata kakak itu sudah punya pacar.
Baiklah, sekali lagi Lucas harus memantapkan hati untuk tidak memikirkan soal teman. Toh, dia punya Rilakkuma dan buku harian yang setia mendengarnya tanpa mengeluh di rumah.
Paling tidak, Lucas sudah punya satu teman. Jangan tertawa, tetapi Nenek Charlotte kan memang teman pertama Lucas di sini.
Makanya, saat Lucas tiba-tiba demam dan tidak bisa keluar rumah selama dua hari, Nenek Charlotte mengetuk pintu rumahnya di hari ketiga.
"Ya ampun, apa yang terjadi padamu, Lulu?"
Lupakan panggilan menggelikan itu.
Lucas yang wajahnya sudah memerah dengan keringat hanya bisa tersenyum kecil. "Sepertinya Lucas demam, Nek," jawabnya sebelum menutup hidungnya dengan tisu, mencegah lendir yang disebut ingus untuk mengalir keluar mengikuti gaya gravitasi.
Hari itu, Lucas akhirnya benar-benar beristirahat. Nenek Charlotte melarangnya untuk memegang buku pelajaran apa pun. Sayup-sayup, suara Nenek Charlotte yang sedang merapikan tempat tinggalnya bisa terdengar, sebelum Lucas benar-benar jatuh tertidur.
Saat terbangun, aroma bubur yang hangat masuk ke hidungnya. Ada Nenek Charlotte yang sudah duduk di pinggir tempat duduk Lucas.
"Makan dulu, setelah itu minum obat." Nenek Charlotte menyodorkan semangkuk bubur padanya.
Lucas duduk pelan-pelan, rasa pusing di kepalanya sedikit mereda setelah tidur beberapa jam. Dia menerima mangkuk itu. "Maaf, jadi merepotkan Nenek."
"Lain kali, kalau sakit, langsung beritahu."
Lucas mengangguk. Syukurlah ada Nenek Charlotte. Meskipun usianya sudah tujuh puluh tiga, dan suaminya sudah meninggal, Nenek Charlotte tetap segar dan bugar.
Mungkin besok Lucas sudah bisa sekolah.
***
"Ini catatan selama liburan. Aku tidak tahu alamat rumahmu, meskipun aku bisa bertanya pada wali kelas, aku takut menganggu waktu istirahatmu.
Lucas menatap wajah Devin, lalu pada lembaran fotokopi yang terletak di atas mejanya. Pasti saat guru menawarkan siapa yang mau mengantar catatan pada Lucas, tidak ada yang mau. Dan akhirnya, ketua kelas kembali terjebak dalam tugasnya.
"Terima kasih. Menjadi ketua kelas memang sulit, ya?"
"Ketua kelas atau tidak, aku memang ingin membantumu, kok." Devin tersenyum. "Kalau ada yang susah dipahami, tanya saja. Tapi, kalau untuk masalah hitung-menghitung, maaf, aku tidak bisa bantu."
Lucas tidak bisa menahan tawa. "Aku kan ikut olimpiade matematika, tenang saja. Terima kasih untuk catatannya."
Devin mengangguk. "Ternyata, kau tidak semembosankan yang orang-orang bilang."
Senyum Lucas luntur. Tentu saja, aku tidak membosankan! Kalian lah yang yang punya selera aneh.
Devin itu benar-benar tidak tertebak. Apa dia benar-benar bermaksud berbuat baik? Atau dia hanya menjalankan tugas sebagai ketua kelas? Atau dia malah sedang mengejek Lucas diam-diam?
"Menurut Nenek, Devin memang mau berteman denganmu, Lulu," kata Nenek Charlotte saat Lucas mampir minum teh sepulang sekolah. Setidaknya, Lucas sudah sedikit lebih waras dan punya teman ngobrol, yaitu Nenek Charlotte.
Tidak perlu curhat ke Kuma setiap hari lagi.
"Tapi, bagaimana kalau semua itu hanya karena dia menjalankan tugas sebagai ketua kelas?" Lucas mengerutkan kening. Dia bukannya mau terus-terusan berprasangka buruk, tetapi entah kenapa dia selalu saja curiga.
"Lulu, itu tidak baik. Kau harus menghentikan kebiasaan itu. Dulu kau pasti juga mengiraku seorang nenek galak, bukan?"
Lucas nyaris menyemburkan tehnya. "Maaf, Nek."
"Kalian hanya harus mengobrol berdua. Bukankah kau juga bilang Devin terlihat tak punya teman dekat? Jangan menilai seseorang, sebelum kau benar!benar mengenalnya."
***
Terima kasih Nenek Charlotte, berkat Nenek, aku sekarang terjebak di situasi ini.
"Kita sama-sama lupa bawa payung, ya?"
"Haha, sepertinya iya." Lucas menggaruk tengkuknya sambil tertawa kikuk.
Langit berwarna kelabu gelap. Titik-titik air turun dengan derasnya, berebutan untuk membasahi bumi. Ada dua orang anak SMA terlihat berdiri dengan jarak satu meter di teras sekolah. Yang lain sudah pulang, beberapa nekad menembus hujan. Hanya mereka yang tinggal.
"Sepertinya akan lama."
Lucas melirik Devin sekilas. Pemuda itu sedang menampung tetesan air yang jatuh dari atap dengan telapak tangan. Lalu, dia menoleh pada Lucas.
"Kita sepertinya terpaksa menunggu."
"Kau benar." Lucas mengangguk. Dan hening benar-benar melanda mereka setelahnya. Terasa canggung. Hanya terdengar suara hujan yang menyentuh atap, menimbulkan suara berisik.
Ini sangat tidak nyaman.
Lucas mengeluarkan novel Harry Potter yang baru ia baca setengah. Lucss memang selalu membawa setidaknya satu novel, untuk membunuh rasa bosan kalau-kalau keadaannya jadi seperti ini.
"Kamu penggemar Harpot juga?"
"Apa?" Lucas sedikit terkejut saat sadar Devin tahu-tahu sudah berdiri tepat di sampingnya. "Kau suka Harry Potter juga?"
Devin mengangguk. "Kau sudah menonton filmnya? Novelnya jauh lebih menarik."
"Belum, aku memutuskan untuk menamatkan novelnya dulu."
"Kau punya semua serinya?"
"Punya."
Tanpa disadari, keduanya sudah tenggelam dalam sebuah percakapan yang menyenangkan. Bermula dari Harry Potter, jadi sudah merembet ke mana-mana. Dari hobi, sampai hal-hal yang dilakukan di waktu senggang. Sedikit banyak, Lucas jadi tahu tentang Devin.
Mungkin Nenek Charlotte benar soal Devin. Dia memang bukan berpura-pura. Mungkin yang Nenek Charlotte bilang juga benar, dia harus berhenti menilai orang sebelum mengenalnya terlebih dahulu.
"Hujannya sudah berhenti." Tangan Devin terjulur keluar, tidak ada lagi titik air yang turun. Langit sudah makin gelap. "Ayo kita pulang."
"Devin, lain kali kita bisa mengobrol lagi?" Lucas mengatakan hal itu sebelum Devin melangkah menjauhinya.
Devin tertawa. "Jangan sungkan begitu, tentu saja boleh."
Lucas tersenyum.
Mungkin satu-satunya jalan adalah menbuka diri. Lucas harus buang kebiasaan lamanya menunggu dihampiri. Lucas harus bisa menghampiri lebih dulu juga. Jika dia mau mendapat teman di kota baru ini.
Tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top