Usia Menikah

Mei memijit tengkuknya perlahan. Di rumah ia masih saja berkutat dengan tanda tangan di novel yang telah jatuh masa PO dari penggemar. Ratna sepertinya sengaja sekali meminta percetakan mengirimkan sebagian ke rumah. Alhasil di rumah pun wanita penggila menulis itu tak bisa bersantai melihat pekerjaan menggunung begini.

Mei melihat jam beker di nakas. Masih menunjukkan pukul delapan malam, tapi tangan sudah terasa mau patah.

"Belum tidur, Mei?" tanya Mama yang muncul dari arah pintu kamar.

Mei menoleh sebentar, kemudian kembali berkutat dengan pekerjaannya. "Belum, Ma. Ini tinggal sedikit lagi, kok," sahutnya disusul desahan lelah.

Mama menarik kursi plastik dari pojok ruangan kamar dan duduk berdampingan dengan putri bungsunya. Dari gerak-geriknya Mei bisa tahu Mama seperti akan mengatakan sesuatu yang penting. Wanita paruh baya dengan daster batik itu berdeham terlebih dulu, memberi tanda pada Mei untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya. Mei meletakkan bolpoint dan menatap Mama, bersiap menjadi pendengar yang baik.

"Kamu masih kontak sama Miko?" tanya Mama perlahan.

Mei mengangguk pelan seolah ragu akan mengatakannya. Ia takut Mama kembali menolak hubungannya dengan Miko seperti waktu dua tahun yang lalu.

"Kenapa, Ma?" Mei memberanikan diri untuk bertanya meski kekhawatiran.

"Dia sekarang kerja di mana?"

"Di Redwood City, dia kerja di perusahaan developer game," sahut Mei.

"Terus, kalau udah pasti kerjaannya kapan dia ngelamar kamu?"

Mei tertegun dengan pertanyaan Mama, ia menggigit bibir seraya berpikir keras ke mana arah pembicaraan ini akan berlanjut.

Menikah? Apakah ini artinya Mama setuju-setuju saja dengan hubungan mereka? Apakah artinya Mama mendukung hubungan mereka?

"Belum ada rencana ke situ, Ma. Aku sama Miko baru pacaran satu bulan, 'kan? Dan dia juga belum pernah jengukin Mei lagi ke sini, jadi kita belum sampai ngebahas lamaran apalagi penikahan." Mei menatap mata Mama, berusaha memohon agar Mama mengerti dengan keadaan hubungan LDR yang harus dijalani bersama Miko.

"Tapi, kamu kan wanita dan umurmu sudah dibilang usia menikah. Mau menunggu apa lagi?"

"Iya, Mei tahu kok, Ma. Nanti kalau Miko pas ada waktu jengukin Mei ke sini dan dia ngebahas masalah ini, Mei langsung kabarin Mama, deh," terang Mei.

Mama mengangguk dan sejenak mengusap puncak kepala Mei dengan lembut. Ah, sepertinya sudah lama sekali Mama tidak pernah mengelus dirinya. Mungkin karena Mei sudah terbilang wanita dewasa dan cukup mandiri, jadi Mama jarang melakukan hal itu.

"Oh, ya, malam Minggu besok Tante Amel mau main ke sini lagi. Inget Tante Amel nggak? Tetangga budemu di Jogja, dia sekarang pindah ke Jakarta sama suami dan anaknya." Mama terlihat berbinar menceritakannya. Tapi, dari binar Mama, Mei menangkap hal mencurigakan. Memang sebulan yang lalu Mama berniat memperkenalkan Arjuna, anak Tante Amel padanya. Tapi, saat itu Mei sedang di San Francisco dan gagal pulang karena Miko mengejar sampai ke airport dan menyatakan cinta. Mendengar pengakuan Miko, terang saja membuat Mei hilang ingatan akan rencana pertemuannya dengan Arjuna dan Tante Amel.

"Iya, inget, tapi Mei rada lupa sama wajahnya karena udah bertahun-tahun nggak pernah ke Jogja." Mei menanggapi cerita Mama dan sungguh ia memang benar-benar tak ingat Tante Amel itu seperti apa. Dulu ke Jogja saja waktu masih duduk di bangku SD.

"Iya, sih, kamu emang udah lama nggak ke Jogja. Tapi, anaknya Tante Amel itu ganteng lho, Mei. Sekarang dia udah mapan dan udah jadi inspektur di Jakarta, makanya Tante Amel sama suaminya ikut diboyong ke Jakarta." Mama begitu menggebu-gebu, terlihat dari cara ia bercerita dengan antusias dan wajah ceria mengulas senyum tiada henti.

"Oh, ya? Syukur, deh, kalau begitu," tanggap Mei seperlunya, ia tak ingin membahas lebih dalam. Harusnya Mama tahu, Mei tak ingin membahas laki-laki lain untuk masa depannya. Miko, hanya Miko yang aku mau!

Memang usia Mei sudah terbilang sudah sangat mapan dan tergolong harus tanggap darurat pernikahan. Wanita berusia 26 tahun itu adalah usia matang wanita untuk menikah. Dan sudah pasti Mama tak ingin Mei menikah dalam kondisi perawan tua. Mei bisa paham dengan semua keinginan dan pemikiran Mama, tapi juga butuh dipahami dengan posisinya sekarang. Siapa sih, yang tak ingin menikah? Tentu saja Mei ingin, tapi apa daya jarak terbentang luas. Miko belum sempat membicarakan hal ini, masa iya, Mei harus mendahuluinya.

Mama baru keluar dari kamar Mei dan pamit ingin pergi tidur lebih dulu, setelah selesai mendeskripsikan anak laki-laki semata wayang Tante Amel. Mei menghela napas panjang, menengadahkan kepala seraya bersandar pada sandaran kursi, menatap langit-langit kamar. Sepertinya semakin berat saja LDR yang sedang ia jalani.

Apa iya aku harus menyerah sementara hubungan ini baru ia cecap seumur jagung? Tidak bisakah Mama mencoba memberi kesempatan pada Miko?

Mei terkesiap saat panggilan video call melalui Skype dari Miko terlihat pada laptop yang sedang menyala. Ia hampir-hampir melompat kegirangan. Hatinya sungguh berdebar-debar tiap kali Miko menghubungi.

"Hai, Mei!" sapa Miko saat panggilan video call Mei terima.

"Hai, apa kabar? Sedang apa? Sudah makan? Apa hari ini kamu kerja? Di San Francisco musim apa?" Mei lantas membombardir dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa ada jeda dalam setiap pertanyaan.

"Wohoo, mana dulu yang harus aku jawab, hmm?" Miko tersenyum melihat tingkah Mei.

Mei terkikik menyadari bombardir pertanyaannya. Itu semua karena ia begitu merindukan laki-laki bermata hazel itu. Ia menutup wajah dengan buku yang tergeletak di meja karena malu.

"Kabarku kurang baik, Mei," lanjut Miko.

"Oh, ya? Apa kamu sakit?" tanya Mei penasaran. Karena saat itu Miko terlihat baik-baik saja dengan senyum dari bibir tipis yang membuat lesung di kedua pipi. Ia mengenakan sweater berwarna abu-abu yang menampakkan postur tubuh tegap dan dada bidang. Rambut yang sengaja ditata acak-acakkan dan rahang yang terus bergerak karena mengunyah permen karet.

"Iya, aku sakit kangen sama kamu." Miko tertawa kecil mengatakannya.

Mei tersenyum. Dan tidak usah ditunggu lama, Miko bisa melihat pipi Mei itu merona, membuat Miko gemas ingin mengacak rambutnya dan membawa wanita berdarah Asia itu dalam dekapan.

"Miko," panggil Mei.

"Hmm?" sahut Miko dengan alisnya yang terangkat.

"Kapan ke sini? Aldi kangen ngajakin kamu duel game DOTA."

"Mmm ...." Miko meraih kalender duduk di meja. "Aldi yang kangen apa kamu, sih?" tanya Miko sembari membuka-buka kalender duduk.

"Ih, iya, aku juga boleh, deh!" ungkap Mei menyerah. Miko selalu peka dengan ketidakjelasan Mei. Miko malah tertawa kecil lagi.

"Mommy apa kabar?"

"Baik, dia lagi sibuk bikin resep kue baru, dapurnya kayak kapal pecah tiap hari, buat coba-coba resep," cerita Miko sembari memangku dagu dengan sebelah tangan. "Kamu apa kabar, Mei? Kok, berubah?"

Mei mengangkat sebelah alisnya. "Aku? Berubah? Apanya?"

"Wajah kamu ... makin cantik," goda Miko seraya mengedikkan alis sekali dan mengalihkan pandangan kembali ke kalender di tangan. Beberapa detik laki-laki yang terpampang di layer laptop Mei itu menahan senyum.

"Ih, bisa aja!" sahut Mei sembari melipat kedua tangan di atas meja.

Keduanya terdiam beberapa detik, saling menikmati paras kekasih dari video call. Mei mengembuskan napas panjang saat teringat cerita mamanya tadi.

"Kenapa?" Miko menangkap perubahan mimik wajah Mei dengan cepat.

"Enggak, itu tadi Mama nanyain hubungan kita," sahut Mei sambil memainkan kuku-kuku jarinya.

"Terus?"

"Ya, nggak apa-apa. Cuma tanya masih saling kontak apa enggak. Terus, ya, aku jawab masih." Mei masih berusaha menutupi, karena ia pikir lebih baik dibicarakan secara langsung saja kelak bila mereka bertemu.

"Apa ada yang penting?"

Mei menggeleng. "Besok aja, kapan-kapan bicaranya kalau kita ketemu."

Miko menghela napas perlahan. Kemudian kembali menatap Mei secara intens.

"Masih bisa sabar nggak?" Miko memecah keheningan.

Mei menggeleng kuat, memasang muka cemberut yang tertahan. "Akunya sabar, kangennya yang nggak sabar!" tukas Mei dengan bibir yang sedikit mengerucut.

"Iya, tunggu sampai aku datang," ucap Miko.

Mei mengangguk pelan. Ia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba ia merasakan sesak di dada karena rindu yang begitu menggebu. Ingin sekali menghambur dalam pelukan, kalau bisa.

Bekerja di perusahaan membuat Miko tak bisa seenaknya ambil cuti demi menemui Mei. Apalagi ia harus ke Indonesia yang memakan waktu perjalanan cukup panjang nantinya. Bagaimanapun sikap profesional dalam bekerja tetap ia utamakan. Namun, bukan berarti ia tak mengutamakan Mei. Sungguh dirinya berani bertaruh bahwa Mei sekarang merupakan bagian terpenting dalam hidupnya. Bahkan bisa ia buktikan hampir setiap malam dirinya tak bisa tidur memikirkan Mei yang berada di belahan dunia berbeda. Dan hal itu membuat ia berkewajiban rajin berkomunikasi dengan kekasihnya setiap ada waktu senggang. Entah itu lewat aplikasi chating atau telepon.

Lama mereka mengobrol melalui Skype, tapi Mei benar-benar tak berani menyampaikan cerita Mama dan perihal anak Tante Amel yang mungkin akan dikenalkan padanya. Biarlah ini ia tanggung dan atasi sendiri. Ia tak mau membuat Miko khawatir dan kepikiran. Mei akan berusaha bersabar, percaya, dan setia pada Miko. Ini termasuk risiko LDR pada masa usia yang menuntut untuk cepat-cepat menikah.

**

(07-08-2018)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top