25. Proyek Terakhir


Amore, Lulu dan Nana sangat senang, karena Gigi nggak jomblo lagi.

Gigi juga masih sulit untuk percaya. Rene menerimanya begitu saja. Terlalu indah untuk jadi nyata, tapi betul-betul kenyataan! Perasaan yang sulit digambarkan oleh kata-kata, apalagi oleh imajinasi kamu yang biasa-biasa aja.

Yang justru uring-uringan soal itu adalah Ciko. Pagi itu, saat mereka menunggu apel pagi di lapangan, dia mendatangi Gigi dengan wajah cemberut.

"Kok bisa?" todongnya.

"Lho, memangnya nggak boleh?" Gigi heran melihat reaksi Ciko. "Sebagai sahabat baik gue, lo kan seharusnya ikut gembira, Ko! Lo tau sendiri udah lama gue naksir Rene dan susah banget jadi pacarnya."

"Tapi lo nggak kasih tau gue bahwa lo bakal nembak Rene lagi!"

"Karena gue tau kalo gue ngomong, lo bakal ngeledek gue, Ko!"

Ciko bergoyang-goyang sedikit dan tertunduk, seperti orang linglung. "Gue heran aja, Gi. Selama ini Rene nggak menunjukkan tanda-tanda dia naksir elo, kan? Dan dia pernah nolak lo sekali. Masa tiba-tiba dia mau jadian sama lo?"

Serombongan cewek-cewek kelas dua belas lewat di depan Gigi. Tamara memimpin di depan. Dia melempar tatapan menusuk pada Gigi dan mencibir.

"Kayaknya satu sekolah udah tau, ya." Kata Gigi. "Wah, gimana nih..."

"Secara lo merebut pangeran sekolah," kata Ciko dengan nada menuduh. "Jelaslah cewek-cewek satu sekolah sekarang jadi sebal sama lo."

Gigi tidak memikirkan ini sebelum dia bertekad menembak Rene lagi. Jadi musuh cewek-cewek satu sekolah yang sakit hati gebetannya direbut. Kedengarannya gawat juga.

"Sebetulnya gue nggak menyangka Rene bakal setuju," kata Gigi membela diri. "Gue malah pesimis Rene mau sama gue. Tapi dia malah mau..."

"Lo masih belum jawab pertanyaan gue," tuntut Ciko. "Kenapa si Rene mau? Dia bilang apa pas lo tembak?"

Gigi mengingat-ingat kembali kejadian hari Sabtu itu. Momen-momen yang mustahil untuk dilupakan. "Dia bilang dia suka gue yang sekarang. Gue yang lebih langsing dan modis ini, Ko."

"Maksud lo, Rene nggak suka lo yang versi gendut?"

Gigi meringis sedikit. "Jangankan Rene. Gue aja benci jadi orang gendut! Jadi orang langsing dan cantik itu jauh lebih menyenangkan, Ko!"

Ciko membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi menutupnya lagi. Dia hanya ternganga menatap Gigi, sampai bel tanda apel berbunyi.

"Selamat pagi."

Ada yang menepuk pundak Gigi. Dia menoleh, dan harus melindungi matanya dengan tangan karena silau. "Pagi juga, Rene."

Si ganteng itu tersenyum. "Yuk kita baris."


...


Gigi kesulitan konsentrasi di kelas. Di dalam pikirannya hanya ada Rene. Bahkan sekedar mengerling ke punggung Rene di kelas sudah bikin Gigi mabuk kepayang. Lulu sampai berkali-kali menegurnya dari kotak pensil supaya fokus pada pelajaran.

Akhirnya bel pertanda jam istirahatpun berbunyi. Gigi sudah menanti-nantikan ini. Dia cepat-cepat bangkit dan menghampiri Rene.

"Gigi!"

Ciko memanggil. Gigi menoleh padanya. "Kenapa, Ko?"

"Lo mau ke mana?"

"Maaf ya, Ko. Tadi pagi gue udah janji buat istirahat bareng Rene."

Ciko tampak sedih, tapi mengangguk paham. Sebagai gantinya, Gigi meminta Lulu untuk menemani Ciko. Setidaknya hari ini, Gigi ingin menghabiskan waktu bersama Rene.

Masuk ke kantin bersama Rene rasanya seperti artis yang berjalan di red carpet. Kepala-kepala tertoleh, dan bisik-bisik iri mendengung di belakangnya.

"Rene..." Kepopuleran mendadak ini membuat Gigi risih. "Kamu nggak canggung apa jadi pusat perhatian seperti ini?"

Rene mengangkat bahu dengan ringan. "Aku udah biasa."

Oh ya, benar juga, pikir Gigi. Rene mengalami hal ini sepanjang waktu. Gigi mengangkat kepalanya dan mencoba lebih tenang. Rene memang pacar aku. Dan dia tenar. Mulai sekarang, aku harus membiasakan diri.

"Hai Rene!" Tamara menyapa Rene dengan manja. "Sama siapa tuh?"

"Ini Gigi," kata Rene sambil menunjuk Gigi. "Pacar aku."

"Kurusan ya sekarang," Tamara tersenyum meledek. Di balik senyumnya Gigi tahu kalau cewek itu ingin sekali menusuknya dengan sumpit mie ayam.

Jalan bareng Rene mempermudah segalanya, termasuk mencari meja di kantin yang ramai. Kerumunan anak-anak otomatis memisahkan diri saat mereka lewat. Gigi merasa seperti Nabi Musa yang membelah laut. Rene bisa dengan mudah menyerobot antrean di depan kios Mak Hasiholan. Senyumnya punya daya magis yang sanggup bikin orang-orang luluh. Nggak ada yang protes.

"Mak, gado-gado satu ya. Nggak pedes, nggak pake micin, nggak pake lontong, kacangnya dikit aja," kata Rene. "Kamu mau pesan apa, Gigi?"

"Aku nasi goreng, deh. Telornya dadar ya, bukan ceplok."

"Kamu yakin mau makan itu?" tanya Rene. "Lemaknya banyak lho."

Gigi paham maksud Rene. Pacar barunya itu ingin supaya Gigi tetap sehat. "Makasih udah mengingatkan aku, Rene. Aku... pesan yang sama kayak kamu."

Mereka menunggu pesanan diantarkan. Rene mengeluarkan ponselnya.

"Umm, Rene..." Gigi jadi gugup karena menjadi pusat perhatian. Dia harus mengajak Rene mengobrol. "Kamu mau nggak nonton Sabtu ini?"

Rene tersenyum. "Pas banget! Ada film Prancis baru. Judulnya..."

Rene mengucapkan sebuah kalimat dalam Bahasa Prancis yang bagi Gigi kedengaran mirip satu tarikan ingus panjang. Gigi hanya mengiyakan. Apapun itu, asal bareng Rene...

Karena kebingungan harus membicarakan apa, Gigi juga mengeluarkan ponselnya. Untung saja, karena di layar ponsel muncul notifikasi pesan baru dari Bosque. Diam-diam tanpa sepengetahuan Rene, Gigi membuka pesan itu.

'Anisa dan Farhan.'

Hanya ada satu orang bernama Anisa yang Gigi kenal. Mamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top