[8] Yang Akan Merubah Kita
'Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.' (QS. Al-Baqarah : 216)
***
Hafa memilih duduk di bangku samping gerbang SMA Pengubah Bangsa, mobil keluarganya belum terlihat, itu artinya pak Kirun belum sampai. Hafa mengeluarkan buku Fiqih Wanita dan membacanya di sana. Dia sudah mulai menggerakkan dirinya sendiri untuk lebih mengurangi penggunaan ponsel, maka dari itu Hafa kini banyak membeli buku, terlebih buku-buku islami, dia merasa bahwa dia perlu banyak belajar, dia perlu banyak tahu soal pegangan hidupnya.
"Ehem..." dehem seseorang, Hafa mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang berdehem.
Ternyata Ihsan--salah satu teman Hafa di rohis--berdiri di dekatnya. "Gue boleh duduk gak?" tanya Ihsan. Dengan sungkan dan agak sedikit menggeser duduknya ke ujung bangku, Hafa mengangguk.
"Kok belum pulang?" tanya Ihsan basa-basi, sebenarnya dia agak kaget melihat mata Hafa yang menjadi sipit karena bengkak, namun sebisa mungkin Ihsan berusaha terlihat biasa saja.
"Belum dijemput," jawab Hafa.
Kemudian setelah bergumam "oooh" Ihsan langsung duduk dan mengeluarkan ponsel serta aerphone-nya. Dia mendengarkan murotal Al-Qur'an dari sana.
Hafa menolehkan kepalanya begitu sayup-sayup mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari bibir cowok di sebelahnya. Merasa bahwa Hafa menatapnya, Ihsan melepas aerphone-nya dan menatap Hafa balik.
"Lo keganggu ya, baca bukunya? Sorry ya," ucap Ihsan merasa bersalah.
Hafa langsung menggeleng kuat-kuat. "Enggak! Enggak kok, aku cuma penasaran, soalnya suara kamu bagus," puji Hafa jujur, dia membuang pandangan dari Ihsan kemudian tersenyum.
"Oh." Ihsan tampak salah tingkah, cowok itu menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal, berhadapan dengan cewek secantik Hafa sudah membuatnya gugup, apalagi kalau sampai dipuji, Ihsan tidak tahu apa yang hatinya rasakan saat ini. Ihsan mengenal Hafa sudah lumayan lama, sejak cewek itu pindah sekolah ke SMA Pengubah Bangsa. Hafa adalah salah satu cewek cantik yang sering kali membuat ikhwan-ikhwan di rohis memuji Allah, bahkan Ihsan salah satunya. Bisa dibilang banyak yang menyebut nama Hafa dalam doa.
"Kamu biasanya naik motor, kok gak langsung pulang?" tanya Hafa yang mengembalikan fokus matanya pada buku yang dibacanya.
"Motornya lagi rusak, makanya sekarang lagi nunggu taksi online," jawab Ihsan, Hafa hanya mengangguk-angguk paham.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan mereka berdua. Ago yang berada di dalam mobil itu menyipitkan matanya mendapati Hafa duduk bersama seorang cowok, meski posisi duduknya memiliki jarak yang cukup jauh, tetap saja mereka hanya berdua dalam keadaan sekolah yang sudah sepi.
Ago menurunkan kaca mobilnya. "Pak Kirun gak bisa jemput, kamu pulang sama aku," kata Ago tanpa turun dari mobil.
Hafa mengangguk, menolak pun percuma, Ago sudah sampai di sini, di depan matanya.
"Aku duluan ya San, Assalamualaikum," pamit Hafa.
Ihsan mengangguk dan tersenyum kemudian menjawab salam Hafa. "Waalaikumsalam," ucapnya.
Tanpa kata dan tanpa bantahan Hafa masuk ke dalam mobil, sebisa mungkin dia menghindari untuk menatap Ago, dia sedang kesal dengan cowok itu dan Hafa tidak mau menyuarakan kekesalannya, Hafa bahkan berusaha menekan rasa penasarannya tentang wajah Ago yang lumayan babak belur.
"Itu tadi siapa?" tanya Ago penasaran, tak salah kan bertanya seperti itu? Toh Hafa calon istrinya sekarang, bahkan dua hari lagi mereka akan menikah, rencananya.
"Ihsan," jawab Hafa singkat.
"Temen?" tanya Ago lagi, dia merasa perlu untuk tahu lebih lanjut, soalnya Ihsan tampaknya adalah cowok baik-baik, dia akan kalah soal keimanan.
"Temen rohis," jawab Hafa dengan singkatnya lagi, Hafa terus manatap keluar jendela meski sekarang dia duduk di depan bersama Ago.
"Jangan deket-deket sama cowok yah, kita udah mau nikah dua hari lagi, itu keputusan orang tua kita," jelas Ago.
"Kakak yakin sama semua ini?" tanya Hafa.
Ago mengangguk mantap.
"Tapi aku enggak, aku gak mau nikah! Aku masih mau ke Turki setelah ini, aku masih mau mewujudkan mimpi yang masih tersimpan dalam doa. Aku gak siap." Hafa tampak menunduk frustasi, untuk alasan apa pun pernikahan tak pernah menjadi listnya dalam waktu dekat ini. Ago memberhentikan mobil di pinggir jalan.
"Terus kamu maunya gimana?" tanya Ago.
"Bilang sama mereka semua kalau kita gak ngapa-ngapain, bilang kalau Kakak cuma numpang nginep semalem, tolong kasih tahu mereka kalau kita gak bisa jalanin ini semua," pinta Hafa mencabik hati Ago, Ago ingin. Mereka berdua memiliki keputusan yang berbeda, Ago menginginkan pernikahan ini.
"Gak akan ada yang percaya," kata Ago, hatinya tersakiti melihat Hafa seperti ini. Tapi dia menginginkan gadis itu, dia ingin Hafa menjadi miliknya.
"Kita harus coba..," kata Hafa lemah.
"Gak akan ada yang percaya Hafa!" tekan Ago.
"Kita akan tetap menikah, soal impian kamu, kita wujudkan bareng-bareng," ujar Ago, dia tak boleh terlihat bocah seperti biasanya.
"Gak mudah Kak, pernikahan bukan hal yang sesederhana itu."
"Makanya ngejalaninnya berdua, kamu gak sendirian Hafa, ada aku."
"Pernikahan itu sulit, ada banyak hal baru yang bakal ngubah hidup kita. Aku ngerjain PR matematika kalau jawabannya gak sesuai sama option aja suka nangis, apalagi ngejalanin rumah tangga, ada tanggung jawab besar yang harus aku emban sebagai istri. Aku yakin aku gak bisa!"
"Tapi aku yakin kamu bisa, aku cinta sama kamu, udah dari tujuh tahun yang lalu. Enggak ada perempuan lain yang aku ingin miliki kecuali kamu."
Hafa terdiam, dia juga mencintai Ago, tapi menurutnya ada hal yang lebih penting dari hanya sekedar cinta.
Hafa menatap Ago, persetan dengan zina mata dia hanya ingin membuat Ago tahu bahwa tujuan Hafa bukan hanya cinta.
"Waktunya Kak! Aku cinta sama Kakak di waktu yang gak tepat dan ini semua gak mudah, cinta juga bukan satu-satunya tujuan aku!"
"Bukan waktunya yang gak tepat, tapi kamu gak mau, kamu gak mau memperjuangkan apa yang hati kamu mau."
"Yang hati aku mau adalah menikah dengan laki-laki saleh, hidup berumah tangga sesuai syari'at, kemudian bersama-sama memperjuangkan surga."
Ago tertampar. Dia bukan laki-laki saleh, salat jarang, bahkan akhir-akhir ini tidak pernah, baca qur'an boro-boro, bahkan salat jum'at yang dikhususkan untuk laki-laki saja Ago lupa kapan terakhir kali melakukannya. Ago jauh dari Tuhan, tatto menjalar dari bahu hingga ke punggung tangan kirinya. Ago bukan laki-laki saleh seperti yang Hafa utarakan.
"Maka temani aku untuk menjadi laki-laki yang hatimu inginkan."
Kemudian suasana menjadi hening, Hafa mengurut pelipisnya sendiri, bahkan sampai mobil masuk ke dalam pekarangan rumah Hafa, gadis itu masih diam. Dia sudah tak punya pilihan kecuali mengikuti permainannya.
"Makasih," ucapnya singkat sebelum masuk ke dalam rumah. Hafa masuk melalui pintu samping, sementara itu Ago melalui pintu depan.
Kana menghampiri Hafa begitu anak gadisnya itu melepas sepatu dan masuk ke dalam rumah. "Ikut Mama dulu yuk, ketemu sama orang tuanya Ago." Hafa mengembuskan napasnya lelah, dia sudah tak punya pilihan, karena sepertinya hanya dia yang tak menginginkan ini semua.
Hafa meletakkan tasnya ke kursi meja makan, dia mengangguk dan mengikuti kangkah mamanya. Kana menggandeng lengan Hafa menuju ke ruang tamu di depan, Ago sudah duduk di sana bersama kedua orang tuanya.
Yuda tersenyum melihat anak gadisnya muncul. "Ini dia Hafa," ucapnya memperkenalkan.
Hafa tersenyum lembut dan menyalami tangan kedua orang tua Ago, senyum kepalsuan itu membuat hatinya sendiri sakit. Sandi dan Rika terkejut melihat penampilan Hafa, mereka kira Ago akan memilih gadis yang kurang lebih sama seperti dirinya, namun ternyata sangat jauh berbeda, hijab panjang yang dikenakan Hafa menjelaskan semuanya.
Rika tersenyum dan mengangguk pada Sandi, entah kenapa dia yakin gadis kalem dengan hijab panjangnya itu akan memberikan pengaruh baik untuk Ago.
"Nama Om, Sandi dan ini Tante Rika," perkenalkan Sandi.
Hafa mengangguk mengerti, tak berminat mengeluarkan kalimat apa pun.
"Kok om tante sih Pa, panggil aja Mama, ya Fa," suruh Rika meralat omongan Sandi. Lagi-lagi Hafa hanya mengangguk, pasrah.
Dia berpura-pura, pura-pura jika semuanya baik-baik saja, pura-pura bahwa dia juga mengingkan ini. Padahal hatinya menolak, pikirannya memberontak, tapi sekali lagi Hafa tak bisa apa-apa.
Orang tuanya dan orang tua Ago tampak bahagia, tampak antusias dengan hal konyol ini, sementara dia hanya bisa diam sambil menunduk dan sesekali mengangguk, Ago sedaritadi memerhatikannya, meski hatinya iba, tapi Ago tidak akan berhenti.
Hakim sedang tidak ada di rumah, bahkan sejak mengantarkan Hafa ke sekolah tadi pagi dia tak lagi pulang ke rumah, Hakim menghindar, dia tidak ingin semakin merasa tak berguna jika berada di rumah, dia hanya menelepon untuk mengabarkan bahwa keluarga Ago akan datang ke rumah, setelahnya dia pergi. Hakim tidak mau hanya bisa menyaksikan kepasrahan Hafa, sejenak dia ingin menghindar dari rasa sakit yang adiknya rasakan.
***
Keputusan sudah bulat, dua minggu lagi Hafa akan menikah, dengan seorang Ago, cowok yang sudah beberapa tahun ini mengisi hatinya. Membuatnya jatuh cinta, membuatnya kagum meski tak ada yang bisa dikagumi dari sosok Ago. Hafa pasrah, pasrah pada Allah, semuanya sekarang terserah Allah, Hafa menyerahkan masa depannya pada Allah, anggap saja ini adalah takdir dan Hafa harus menerimanya.
Entah bagaimana hari-harinya setelah ini yang pasti Hafa berserah pada Allah.
Gadis itu baru saja menyelesaikan salat magribnya. Dia menengadahkan tangannya berdoa, meminta pada Rabb-nya.
"Ya Allah, aku tahu semua ini adalah takdir yang sudah Kau persiapkan bahkan sebelum aku lahir, yakinkanlah aku ya Allah bahwa ini adalah yang tebaik, bahwa ketentuanMu adalah yang terbaik. Ikhlaskanlah aku menjalani semua ini ya Allah."
"Berkahilah setiap perjalanan yang akan kulalui bersamanya ya Allah, jadikanlah dia imam yang baik untukku, perbaikilah dirinya ya Allah, berikanlah hidayahMu padanya. Ya Allah sekarang aku ikhlas, aku ikhlas dengan ketentuanMu."
Hafa menangis dan mengakhirinya dengan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Setelahnya Hafa membuka Al-Qur'an dan mengaji, satu-satunya hal yang membuatnya tenang dan melupakan apa pun yang terjadi.
Hakim yang awalnya berniat menemui Hafa mengurungkan niatnya setelah mendengar sayup-sayup adiknya sedang mengaji, dia baru saja pulang, satu harian dia nongkrong di berbagai tempat. Dan kini sekotak martabak ada di tangannya, dia ingin memperbaiki mood Hafa dengan martabak tersebut.
Hakim meletakkan martabak itu di meja ruang keluarga lantai dua, lalu turun lagi ke lantai satu. Hakim menemui papanya yang sedang santai di teras belakang sambil minum kopi dan mengobrol dengan mamanya.
"Loh udah pulang Kim?" basa-basi Kana dan Hakim hanya mengangguk.
"Pa! Papa tahu Ago kan? Dia itu sama kayak Hakim, Papa selama ini ngerasain kenakalan Hakim! Apa Papa mau Hafa juga merasakan seperti apa yang Papa rasain?" tanya Hakim yang masih dalam posisi berdiri, dia berkacak pinggang menantang papanya sendiri.
"Apa maksud kamu?" tanya Yuda berusaha tak terpancing, Hakim juga suka mencari perhatian, maka dari itu Yuda selalu berusaha untuk tak terpancing.
"Hakim gak setuju Papa nikahin Hafa!!" tegas Hakim.
"Dengan atau tanpa persetujuan kamu, Hafa akan tetap menikah dua minggu lagi," kata Yuda tak kalah tegasnya, bahkan pria yang belum terlalu tua itu menutup korannya dan menatap Hakim, balas menantang anaknya itu.
Hakim mengacak rambutnya sendiri. "Hafa masih kecil Pa! Dia masih sekolah, apa sih yang ada dipikiran Papa sampe segitunya?"
"Kamu tahu betapa Papa membanggakan Hafa di depan semua orang, Papa bangga sama dia karena di tengah keluarga kita yang jahiliyah ini dia mampu menjadi seorang muslimah yang taat, Papa bangga sama dia yang memutuskan untuk menjadi santri, Papa bangga sama dia yang sudah memutuskan berhijab di umurnya yang sangat muda, Papa sangat bangga sama dia, hingga selalu membanggakannya di depan orang lain. Dan kamu tahu? Betapa malunya Papa saat om dan tantemu melihat dia berduaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya di dalam rumah, Papa gak tahu lagi mau ditarok di mana muka Papa!"
Hakim lupa satu fakta bahwa papanya sangat menjunjung tinggi harga diri, tentu saja Yuda tidak akan membiarkan harga dirinya hancur di mata orang lain.
"Pokoknya kamu gak usah ikut campur! Biar ini menjadi urusan Papa," kata Yuda lantas pergi masuk ke dalam rumah.
"Hafa itu adek Hakim, gak mungkin Hakim bakal diam aja!"
"Mama setuju juga?" tanya Hakim pada Kana yang masih duduk di tempatnya.
"Mama ngikut papa kamu aja," ujar Kana.
"Gimana sih kalian jadi orang tua!" Hakim langsung pergi meninggalkan Kana. Dia kembali menuju ke kamar Hafa, sebelumnya sudah diambilnya kotak martabak dari meja.
Setelah memastikan Hafa selesai mengaji, Hakim masuk. Ternyata Hafa sedang memainkan ponselnya.
"Abang bawain martabak," ujar Hakim meletakkan martabak tersebut ke atas kasur.
"Makasih Abang," ucap Hafa antusias, dia langsung membuka martabak tersebut dan mengambil sepotong.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Hakim sembari memegang puncak kepala Hafa.
Hafa mengangguk masih dengan antusiasnya.
"Bagus kalau gitu," kata Hakim yang langsung meninggalkan Hafa sendirian. Hafa diam mendapati Hakim keluar dari kamarnya, dia dengar perdebatan Hakim dan papanya barusan, Hafa bangga memiliki abang yang meski bandal, tapi sangat menyayanginya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top