Muara Mayat dari Damaskus
"Kenapa kulitku ... jadi kebiruan seperti ini?"
Kedua mata lesu Asiah menatap kedua telapak tangannya yang jauh lebih biru daripada sebelumnya. Udara keluar naik-turun dari dadanya seakan ia terbuat dari tanah liat seringan kapas. Sejumput aroma kenanga dan bunga kantil menyusup ke sela-sela hidungnya perlahan-lahan. Perempuan itu membanting pandangannya ke luar jendela apartemen dan mendapati seluruh dunia berkabut. Ya, tidak semuanya, sebenarnya, tetapi sejauh mata memandang, itulah yang mampu ia tangkap.
Ada sesuatu yang janggal.
Menyingkap selimutnya dengan segera, Asiah bergegas mengenakan sandal kamar merah mudanya dan menyambut matahari terbit. Begitu kaca jendela dibuka, gelombang udara berbondong-bondong menyapu lembut dinding lantai, selimut putih kasur, gaun tipis, kulit, beserta rambut hitam-hazelnutnya. Kerling dua permata biru laut di atas hidungnya menyaksikan seluruh Prefektur Ephesus bermandikan cahaya bening kemerah-merahan. Planet Merah belum pernah terlihat semisterius ini.
Di bawah Asiah, orang-orang berlalu-lalang dikejar waktu. Atensi mereka dihisap oleh kacamata augmented reality, angkutan umum, hoverboard, barang bawaan, sembari mungkin menggerutu dalam hati, ke mana kiranya petugas pengurus temperatur di gelembung prefektur ini—sebab pagi telah menyingsing, dan belum ada tanda-tanda terjangan sinar matahari seperti biasanya. Asiah melangkah kembali ke kamarnya, dan mengalihkan pandangan pada jam digital di dinding.
Setengah lima pagi.
Kedua mata Asiah membelalak, kedua bibir keringnya tak bersentuhan. Kepalanya yang tak gatal ia garuk-garuk, tak percaya seberapa lama dia tertidur sehingga dia melewatkan salat berjamaah di masjid seberang jalan. Apakah alarmnya sudah memutuskan untuk berhenti bekerja? Tidak, ia sudah memastikan gawainya tidak kehabisan baterai dan volume alarmnya tetap tinggi selama sepekan terakhir.
Buru-buru ia melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk bersuci, tetapi sebelum sempat membasuh muka, ia dikejutkan oleh tumpukan bunga mawar yang tertata rapi di atas wastafel, bersama sebuah lilin dan secarik kertas.
Ooh, apa ini? Apa Ozi memberikanku hadiah aneh lagi?
Diambil dan digenggamnya kertas tersebut dengan tangan kanan, selagi matanya menyisir dari kiri ke kanan.
"Untuk perempuan yang terbunuh tragis di tangan mantan kekasihnya. Dunia terlalu cepat menghakimimu, terbutakan dalam kebingungan dan amarah, ketika engkau sendiri sama bingungnya dengan kami. Semoga engkau—"
Napas Asiah terhenti.
Semoga engkau, Asiah Mozahem, suar cahaya, menemukan kedamaian di alam selanjutnya.
Asiah menggelengkan kepalanya. Lagi, lagi, dan lagi, kertas itu dibacanya dengan saksama. Napasnya kalang-kabut, kepalanya menengadah ke arah cermin. Di dalam cermin, seorang perempuan berwajah jelita tampak ketakutan dengan kulit mukanya yang membiru. Matanya seperti telah kehilangan sinar dan pudar dari pelukan kehidupan. Perempuan itu meremas kertas tadi sekuat tenaga dan melemparkannya ke tempat sampah.
Selera humormu ternyata sampah, Zi. Apa yang kaupikirkan saat membuat ini?
Sambil menggerutu, dalam hati, ia menjulurkan pandangan ke keran air, ventilasi kamar mandi, pintu masuk, tempat-tempat yang biasanya digunakan Ozi untuk bersembunyi. Namun tidak ada jejak orang lain, bayangan, atau suara-suara aneh sama sekali. Ia memutuskan untuk berjalan keluar menuju jendela lagi.
"Oke, ini tidak lucu. Ozi, atau siapapun itu, keluar sekarang atau aku akan—"
Di luar jendelanya, seluruh Prefektur Ephesus berubah total. Tidak ada lagi hiruk-pikuk para pekerja yang tengah shift pagi, tidak pula berkeliaran anak-anak muda dengan hoverboard, pun juga lalu-lalang mobil semi-otomatis di persimpangan jalan. Yang ada hanya pilar-pilar marmer, barisan pohon kurma, kebun-kebun penuh bunga herbal, air mancur, minaret, dan ... tumpukan tubuh manusia. Bukan, bukan tubuh, lebih tepatnya ... tumpukan mayat.
Isi perut Asiah seketika meronta-ronta, hendak keluar secara paksa, tetapi ia hanya terdiam dan menggigil ketakutan. Pikirannya bersusah payah mencari benang merah yang telah mengantarkannya ke tempat antah-berantah ini. Bau busuk mengangkasa begitu hebatnya di atas udara kering dari padang pasir. Cahaya pagi naik dari cakrawala, menenggelamkan rumah-rumah penduduk yang terbuat dari tanah liat dan pelepah kurma.
Salah satu rumah tersebut menjadi tempat menginap seorang pria bersorban putih untuk sementara waktu setelah tiba dari perjalannya yang teramat jauh. Rasanya, ke mana saja laki-laki ini pergi, awan hitam penyakit selalu mengikutinya. Ia benar-benar lelah usai dikejar-kejar wabah dari Quanzhou, India, Khurasan, hingga Timur Tengah. Wabah yang semestinya terpenjara bersama tikus-tikus di geladak kapal, kini membabi-buta Saat ia baru saja menginjakkan kaki di tanah yang semestinya menjadi Mutiara Timur, wabah dengan cepat mengepung penduduk kota dari luar dan dalam.
Damaskus, Kota Melati, tengah sekarat, dan tidak ada siapapun yang bisa menghentikannya.
Senin lalu, Argun-Shah—wizurai atau perwakilan Sultan Mamluk di Damaskus—memerintahkan pada seluruh penduduk untuk menjalankan puasa selama tiga hari penuh demi meredakan cobaan Hyang Suksma di muka bumi. Padahal beberapa bulan lalu, angka kematian masih berkisar antara seratus sampai dua ratus orang setiap hari. Sekarang sanak famili dari korban wabah saja tidak mampu memakamkan orang yang mereka cintai, khawatir mereka sendiri akan jatuh satu per satu seperti kayu lapuk di tengah kebakaran hutan. Bagi pria ini, tidak ada yang lebih menyedihkan selain melihat saudara-saudara seimannya terkapar di pinggir jalan.
Sang lelaki avonturir, Ibnu Batutah, pagi ini berdiri di depan Masjid Agung Damaskus bersama ratusan bahkan ribuan orang lainnya. Kemarin malam, para emir, syarif, sayyid, hakim fikih, ahli hadis, hafiz, para pedagang, kuli, dan penduduk Damaskus tumpah-ruah di pelataran masjid. Mereka sama-sama menenggelamkan diri dalam doa, salat, dan bacaan quran. Hatinya tergerak menyaksikan sebegitu banyaknya penderitaan orang yang datang silih berganti.
Dengan naiknya matahari di ufuk timur, Ibnu Batutah bisa menilik dengan jelas wajah-wajah putus asa dari seluruh penjuru kota. Bertelanjang kaki, mereka berkumpul di depan masjid, bergabung dengan orang-orang kristen dan yahudi, pria dan wanita, tinggi dan kecil dalam sebuah eksodus besar. Seorang rabi mengangkat gulungan Taurat dengan kedua tangannya menuju langit tanpa awan. Pendeta kristen dari distrik lain mengikuti langkahnya dengan mengangkat kitab Injil. Terakhir, imam Masjid Umayyah juga mengangkat alquran tinggi-tinggi.
Isak tangis pecah membelah kota selagi mereka semua berjalan dari pelataran Masjid Agung Damaskus menuju Masjid Al-Aqdam yang berada dua kilometer dari perbatasan kota sebelah utara. Masjid itu dulunya adalah tempat bersemayam sebuah batu dengan jejak kaki misterius. Barulah ketika seorang pria saleh bertemu dengan Khatam an-Nabiyyin dalam mimpinya, penduduk Damaskus mengetahui jika jejak kaki itu milik Ibnu Imran, pemegang Sepuluh Perintah Hyang Suksma.
Ibnu Batutah bersama ratusan orang lain berjalan menyusuri jalan-jalan di distrik Kota Damaskus, lidah mereka tak henti-hentinya mengucap doa, memohon ampun, merintih kesakitan, meminta cobaan ini segera diangkat secepat jatuhnya air mata mereka ke tanah. Lelaki itu membanting kembali pandangannya pada lahan, kebun, pandai besi, lumbung padi, baitul mal, dan rumah bertingkat yang sudah ditinggalkan pemiliknya.
Tunggu.
Di kejauhan, tampak seorang wanita berambut panjang tengah berdiri di serambi atas sebuah rumah.
Dia mengenakan pakaian dan aksesoris yang begitu aneh, agak transparan, dan berparas layaknya penjelmaan malaikat. Perempuan itu terlihat tegang, terkejut, sekaligus ketakutan. Mulut Ibnu Batutah perlahan ternganga, menyaksikan apa yang sepertinya ada di luar nalar. Ia melihat ke sekeliling. Tak ada seorang pun yang melihat perempuan itu! Semuanya fokus dalam ratapan masing-masing. Apakah itu sebuah fatamorgana ... atau jangan-jangan efek wabah ini yang menyebabkannya berhalusinasi?
Tidak mungkin. Ia mesti mengecek lebih dekat.
Ibnu Batutah memutuskan untuk membelah keramaian. Satu per satu orang dilewatinya, sembari mengucap kata maaf dalam perjalanan. Semakin dekat, semakin jelaslah sosok perempuan itu, dengan gaun putih bening dan kulit yang membiru. Ibnu Batutah menelan ludahnya, bersiap melontarkan seribu satu pertanyaan. Namun, sebelum itu semua terjadi, perempuan itu menoleh ke arahnya. Lelaki itu menahan napas.
Kedua mata mereka, basah akan tangis, saling bertaut erat.
----------
Hari ini, cukup gila juga temanya. Mempertemukan antara tokoh di hari ke-6 (tahun 2301) dengan tokoh di hari ke-17 (Dinasti Yuan). Tapi seru juga bisa riset soal Black Death dan implikasinya ke kerukunan umat beragama di Damaskus waktu itu. As always, aku sangat berterima kasih dan mengapresiasi setiap vote dan komentar yang kalian berikan. Jangan sungkan-sungkan untuk berpendapat, guys, hehehe
Oh, ya, special thanks to who always supports me through the month of February when we barely knew each other! I hope you like this one, dude. Your honest and tender comments keep me being motivated through these dark times. Sincerely, from a friend.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top