Part 35 - Merdeka atau Mati? (END)
Kepada Yth,
Medina Latifa Syarif
Di tempat,
Perihal : Permohonan Menjadi Istri Saya
Sehubungan dengan surat ini, saya sebagai calon ketua RT (Rumah Tangga) ingin melaporkan bahwa lamaran saya diterima oleh wali nikah yang bersangkutan dan keluarga calon mempelai wanita. Puji Syukur Alhamdulillah saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.
Dengan itu karena lamaran saya telah diterima oleh pihak keluarga, saya mengundang Saudara Medina yang bersangkutan sebagai calon mempelai wanita untuk pergi ke Taman Anyelir bertemu dengan saya disana pukul tiga sore nanti.
Dengan surat ini, saya meminta ketersediaan Saudari Medina untuk menerima cinta saya sebagai calon ketua RT (Rumah Tangga). Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.
Rafi Pratama
Membaca surat yang ia pegang saat ini, Medina sempat merasa tak bisa berkata-kata. Lidahnya kelu tenggorokkannya seakan tercekat tak percaya apakah itu surat dari Rafi atau bukan. Pasalnya dalam benak Medina, dia masih menganggap Rafi telah menikah. Lantas jika itu bukan dari Rafi, dari siapa surat itu berasal? Siapa yang berani mempermainkan perasaan Medina seperti ini?
"Ini maksudnya apaan sih? Ini beneran dari ketua RT? Becanda apa gimana?" tanya Medina yang kebingungan seakan bertanya penjelasan pada Tantenya.
"Telfon aja yang bersangkutan kalau ada nomornya," balas Tante Medina.
Bahkan Tantenya seakan bungkam dan hanya menyuruh Medina untuk menghubungi Rafi memastikan apakah ini semua benar atau tidak, "Nggak punya nomornya, Tante! Udah sempet Medina hapus. Ini maksudnya apa? Tante dapat surat ini dari mana?"
"Tante ada nomornya. Ini kamu hubungi," jawab wanita paruh baya itu seraya mengulurkan nomor ponselnya yang tertera sebuah nomor milik Rafi.
"Tante bisa dapat surat gini dari mana? Ini ... Medina nggak ngerti," tanya Medina lagi saat dia telah berhasil menyimpan nomor ponsel Rafi dari ponsel Tantenya.
"Telfon aja!" titah wanita itu. Dia tak menjawab pertanyaan dari Medina dan malah menitah Medina untuk menghubungi Rafi.
Alhasil, Medina mencoba untuk menghubungi laki-laki itu dengan hati yang masih sedikit gelisah. Medina tampak sulit menelan salivanya sebelum jemarinya menekan tombol hijau di layar ponsel, "Hallo ...."
"Medina," sahut laki-laki itu.
Medina membulatkan dua matanya ketika laki-laki itu langsung mengangkat sambungan telepon darinya. Ada rasa heran yang teramat dalam ketika Rafi masih bungkam tanpa mengatakan sepatah kata apapun lagi, "Surat yang dibawa Mamanya Sera bener dari kamu?"
"Iya," jawab laki-laki itu dengan sedikit terkekeh.
Medina menggeleng. Dia takut Rafi mempermainkan perasaannya. Terlebih lagi, dia masih menganggap Rafi telah menikah dengan perempuan lain, "Mas Rafi maksudnya apa sih? Kirim kirim surat kayak gini? Becandanya nggak lucu. Mas Rafi harusnya jangan mempermainkan perasaan perempuan. Gimana perasaan istri Mas Rafi kalau tahu Mas Rafi ngelamar perempuan lain? Lewat surat beginian."
"Jangan seenaknya sendiri. Hargai perasaan perempuan yang jadi istri Mas Rafi. Medina tahu Medina pernah ada rasa sama Mas Rafi. Tapi bukan gini caranya. Medina nggak mau ambil Mas Rafi dari istri Mas Rafi. Medina masih punya harga diri. Nggak begini caranya. Lebih baik Medina jomblo seumur hidup dari pada merebut punya orang," tambah Medina mengatakan kalimat panjang lebar ke arah Rafi.
Alih-alih merasa bersalah, Rafi malah tertawa saat mendengarkan omelan Medina. Dari sambungan telepon tersebut, terdengar kekehan Rafi yang makin nyaring.
"Medina serius ngomong ini. Nggak ada kata bercanda. Kenapa ketawa?" tanya Medina dengan sungut merah yang seakan muncul diantara dua sisi kepalanya.
"Udah ngomelnya?" tanya Rafi lagi.
Medina marah karena menurutnya Rafi mempermainkannya, "Aku serius Mas! Kamu bisa nggak sih serius bentar? Ini masalah nggak-"
"Aku belum punya istri. Kenapa kamu dari tadi nyebut istri istri terus? Istri yang mana?" tanya Rafi terkekeh.
Sontak Medina membulatkan matanya ketika mendengar kalimat dari Rafi, "Maksudnya?" tanyanya dalam sambungan telepon.
"Ya aku belum menikah. Dapat istri dari mana kalau belum menikah?" sahut Rafi yang masih dengan diselingi oleh tawa ringannya.
Bak telinganya putus, Medina sempat takut salah dengar apa yang baru saja diucapkan oleh Rafi. Bagaimana bisa? Lantas siapa yang dia lihat tadi di gedung? Itu acara siapa kalau bukan Rafi. Jelas-jelas semuanya sudah jelas. "Belum menikah?"
"Iya. Dapat kabar dari mana kalau aku udah menikah?" tanya Rafi balik.
Sejujurnya Medina hanya menerka-nerka saja. Dia sibuk mengumpulkan informasi bahwa Rafi telah menikah tanpa mencari tahu dari sumbernya sendiri, "Naira siapa? Terus cincin yang kamu beli di Turki atas rekomendasi Sera cincin buat apa? Undangan .... Undangan yang kamu cetak tapi kamu nggak bisa ambil dan nyuruh Sera ngambil itu undangan nikahan siapa?"
Rafi spontan mengencangkan tawanya dalam sambungan telepon itu. Dia tak henti-hentinya tertawa sampai membuat Medina heran sendiri, "Astagfirullah gara-gara itu?"
"Jangan ketawa dulu! Aku butuh penjelasan kamu," sahut Medina cepat.
"Iya ... iya ... dengerin ini. Naira istri adikku. Namanya Rafa. Hari ini mereka udah nikah, tadi pagi acara pernikahannya. Ini aku masih ada di Ballroom Hotel," serunya pada Medina yang membuat Medina tak bisa berkata apa-apa.
"Adikku lanjut pendidikan di Yaman, dan sekarang lagi meminang perempuan idamannya. Tapi karena dia nggak di Indonesia waktu persiapan acara, semua acara pernikahannya aku yang handel, dia tinggal terima beres. Hotel, catering, vendor atas namaku semua," tambah Rafi lagi menjelaskan dalam sambungan telepon tersebut.
"Masalah cincin Turki itu, seharusnya buat kamu. Rencana aku mau kasih itu waktu khitbah. Tapi tau nggak? Dapat restu dari Papa kamu butuh perjuangan banget. Aku sampai pergi ke Surakarta bolak-balik dia tetep gak ngizinin. Dan akhirnya aku coba terus sampai beliau buka hati. Lamaranku diterima. Tapi Sayangnya, lamaranku belum diacc sama yang bersangkutan," seru Rafi lagi.
"Medina, harusnya nggak lewat telepon seperti ini. Tapi karena takut kamu salah paham terlalu jauh, aku bilang sekarang aja kalau aku mau meminang kamu. Aku berniat untuk meminang kamu sebagai istriku. Kamu bersedia Medina?" tanya Rafi di akhir pembicaraan panjang lebarnya saat menjelaskan pernyataannya ke arah Medina.
Sulit dipercaya Medina. Ucapan Rafi benar-benar tak bisa membuat Medina berpikir jernih. Apakah benar yang dikatakan oleh laki-laki itu? Lantas kalau itu kebenarannya, Medina selama ini hanya salah paham saja?
"Mas Rafi!"
"Hm?"
"Kamu ngomong gini nggak becanda?"
Terdengar tawa Rafi lagi dalam sambungan telepon itu, "Emang aku kelihatan bercanda? Kalau kamu masih belum percaya ucapanku. Ayo ketemu di Taman Anyelir! Aku ajak Sera dan Hamdan disana nanti. Nanti Mamanya Sera juga ikut, jadi kita nggak berduaan."
Ucapan Rafi memang bisa membuat Medina yakin. Tapi kali ini, beda cerita. Medina dihadapkan kebingungan saat berbicara dengan laki-laki itu, "Aku nggak bisa kasih keturunan. Gimana bisa kamu melamarku?"
"Aku udah tau tentang penyakit kamu. Apa aku datang ke rumah kamu sekarang untuk bahas masalah ini biar kamu nggak ragu tentang keputusanmu?" tanya Rafi.
Karena jawaban Rafi bisa diterima oleh telinga Medina, Medina mencoba untuk mengiyakan ajakan laki-laki itu, "Nggak perlu di rumah. Kita bahas di Taman Anyelir aja."
"Siap-siap! Aku tunggu disana ya?" seru laki-laki itu dengan nada lembutnya.
Medina mengangguk sebelum mematikan sambungan telepon tersebut. Dia masih belum sepenuhnya percaya dengan kata-kata Rafi. Takut Rafi berbohong padanya. Lantas kalau Rafi bohong tujuannya apa? Aduh ... Medina pusing memikirkan masalah ini.
"Tante ...." cicit Medina dengan bibir yang mengerucut.
Mamanya Sera malah terkekeh sebelum mengucapkan sepatah kata ke arah Medina, "Tante sebenernya disuruh nyamar tadi sama Nak Rafi. Disuruh bilang dari ketua RT buat lomba Agustusan," seru wanita itu.
Hah?
"Medina masih nggak ngerti," rengek Medina yang mengerutkan dahinya pelan. Bingung apa yang ada di pikiran Rafi sampai semuanya tertata seperti ini. Lantas jika Tante sudah tau, artinya? Sera pasti juga sudah tahu. Tapi kenapa disembunyikan dari Medina? Sampai buat Medina salah paham seperti ini.
"Sera pernah cerita kalau Nak Rafi ini udah mau khitbah kamu dari waktu masih umroh. Tante ditelfon Sera dia bilang kayak gitu," ucap wanita itu pada Medina.
Waktu umroh? Atas dasar apa Rafi sampai mau melamar Medina? Padahal baru saja mengenal Medina? Dia punya alasan apa? Ini sama sekali belum bisa dicerna otak Medina.
"Nggak mungkin. Nggak mungkin, Medina baru kenal Mas Rafi nggak lama. Nggak mungkin bisa secepat itu mau asal khitbah," sahut Medina.
Tangan wanita itu menggengam tangan keponakannya dengan lembut sebelum bibirnya terucap, "Kalau soal asalan itu, tanya yang bersangkutan. Barangkali ada alasan tertentu yang meyakinkan dia untuk melamar kamu."
"Aku ...."
"Sekarang giliran kamu gimana? Dia udah minta izin ke Tante juga kemarin. Udah minta izin ke Papamu juga katanya ke Surakarta jenguk Papamu disana dan minta restu," ucap Mama Sera.
Menyinggung soal Papa. Medina tersenyum kecut, "Gimana bisa jadi wali nikah? Aku sama Papa nggak akur ...."
Semburat senyum di bibir wanita itu terlukis tipis, "Itulah yang Tante kagum dari Nak Rafi. Tante nggak tau pasti gimana izinnya dia ke Papamu sampai bisa meluluhkan hati Papa kamu. Tanya ke dia aja langsung. Buktinya Papa kamu bisa sampai setuju."
Medina mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dia memasukkannya ke tas kecil yang mengalung di lehernya. Sebelum pamit, Medina mencium tangan Mamanya Sera, "Ayo Tante ke Taman!" ajak Medina ke wanita itu untuk menemaninya.
Tapi wanita itu menggeleng, "Sera sama Hamdan yang bakal nemenin kamu ketemu Rafi disana. Berangkat sendiri nggak papa ya? Karena Sera sama Hamdan kayaknya langsung berangkat dari hotel bareng Rafi," jawabnya.
Medina mengangguk, "Aku berangkat ya, Tante?"
"Hati-hati di Jalan!" sahut wanita itu yang dibalas Medina dengan anggukan berkali-kali.
Medina gegas mempercepat langkahnya agar sampai mobil. Dia memutuskan untuk menyetir sendiri. Pikirannya masih setengah percaya setengah tidak saat akan bertemu dengan Rafi. Huh! Bagaimana nanti? Ini mimpi atau kenyataan?
Ponsel Medina sedikit berdering ketika Medina menyetir mobil dengan kecepatan rata-rata. Sebuah pesan masuk dari Rafi ternyata. Sontak dengan satu tangan Medina membukanya.
From Rafi
Aku udah sampai di Taman Anyelir. Hati-hati di jalan ya? Sampai jumpa. Ketua RT-nya udah nunggu kamu disini. Jangan terima lamaran laki-laki lain ya, Medina? Aku disini butuh jawaban kamu.
Seulas senyum simpul dari bibir Medina spontan terbit. Astaga ini mimpi lagi kah? Atau apa? Perut Medina bak dihinggapi ribuan kupu-kupu.
"Mas Raf—"
Kalimat Medina terpotong saat dua pandangannya beralih ke depan kaca mobil usai membaca pesan itu. Medina membanting stirnya ke kanan karena ada sebuah truk yang menghadang mobilnya, "Awas!"
"Mas Rafi, kamu memang sebelumnya belum pernah hadir di dalam hati ini. Tapi aku harap kamu tetap jadi laki-laki terakhir yang aku rayu ke Tuhan agar dipersatukan denganku. Terima kasih udah mengenalkan kebaikan Tuhan ke diriku. Jika maut yang lebih dulu menjadi tumpuan akhirku sebelum aku menikah, semoga kamu selalu dijaga Allah dimanapun itu. Terima kasih untuk kebaikan yang tidak pernah aku dapatkan dari siapapun. Aku bahagia bisa mengenalmu," batin Medina di tengah-tengah insiden itu.
Brakkk
Tamat
Kabooorrrr wkwkwkwk
Yak permirsahhh itulah secarik kisah Medina. Medina akan terbit menjadi buku cetak novel. Di dalam buku cetak itu ada 10 extra part yang nantinya akan membahas .....
⚜️ Alasan Rafi melamar Medina
⚜️ Nasib Papa Medina
⚜️ Sosok dibalik Mama Tiri Medina
⚜️ Effort Rafi minta Restu
⚜️ 80% POV Rafi
⚜️ Penyakit Medina
⚜️ Hubungan Rey dan Safira
Ada 10 tambahan extra chapter di versi cetak. Kalau mau tahu nasib Medina hidup apa Mati? Merdeka atau Mati bisa nabung ya gaesss yaaa buat beli versi terbaikkkk.
Pasti di versi cetak bakal ada kejutan kejutan yang gak ada di dalam novel wattpad. Nabung dari sekarang ya??? Nasib Medina jauhhh lebih baik dibanding di wattpad. Kayaknya bakal rombak versi paling lucu dan gemessss.
Di versi terbit, Rafi paling banyak ngomong gantian. Tapi gimana yahhh? Gimana dia banyak ngomong kan kita nggak tau Medina hidup apa mati?
Ahh bisa aja hidup dan mereka hidup bahagia. Dan bisa juga mati. POV Rafi mengenang Medina. Kan kita gatau nanti versi cetaknya kayak apa wkwkwkw
Nabung yaaaa dan tunggu pengumuman di lapak ini kapan PO nya.
Terima kasihhh see youuu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top