Prologue

Menyentuhnya sejengkal saja. Itu sama artinya menyerahkan nyawamu padaku.

•Max•

BUNYI gesekan sepatu kets yang beradu pada lantai besi memenuhi ruangan yang diisi oleh susunan besi pula berukuran sebesar pergelangan tangan manusia dewasa.

Ternyata suara sepatu tadi berasal dari seorang pemuda yang kini terus berlari dalam keadaan gelap dengan napas terengah.

Ia memperpelan langkahnya, takut-takut akan menabrak sesuatu yang tidak ia ketahui di depan sana.

Masih mengatur napasnya yang terengah, ia menghentikan langkahnya saat tangannya terulur merasakan sebuah tembok di hadapannya.
Menyandarkan diri ke tembok tadi, ia menghapus keringatnya yang mulai membanjiri dahi menggunakan lengan.
Ruangan itu terasa semakin menyesakkan pernapasannya.

Tap tap tap

Suara langkah kaki yang cukup pelan berhasil membuat pemuda itu tersentak dan wajahnya yang dipenuhi peluh mulai pucat seketika. Jantungnya yang tadinya berpompa cepat kini bertambah dua kali lipat lebih cepat hanya karena suara langkah kaki yang kian mendekat tersebut.

Dia menelan salivanya dengan susah payah tatkala sebuah cahaya yang berasal dari senter sedang mengarah padanya.

Tiba-tiba saja langkah itu berhenti tepat di hadapannya bersamaan cahaya senter yang silau menyambut matanya.

"Hei."
Suara berat nan dingin milik seorang pemuda yang sangat ia kenali membuatnya yang dibidiki senter menjadi tegang seketika.

"Apa kau baik-baik saja, Walter Brown?"

Tidak!

Untuk menjawab pun Walter tak sanggup saking ketakutannya.

Baginya, pemuda yang sedang menanyainya kini benar-benar menakutkan bak monster.
Matanya menangkap jika pemuda di hadapannya tersebut mulai menampilkan seringainya, memicu rasa takut yang makin menjadi terhadap dirinya.

"Kenapa diam saja? Oh, mungkin senternya menyilaukanmu ya? Maaf, akan kumatikan dulu."
Cahaya dari senter itu seketika hilang bersamaan bunyi klik ketika pemuda tadi mematikannya.

"Jika bicara seperti ini, akan sangat susah sekali. Aku tak bisa melihat wajah tampanmu yang selalu dipuja-puja oleh para gadis di kampus. Ah, tapi persetan! Yang penting aku sudah tau bagaimana wajahmu 'kan?" Pemuda di depan Walter itu terkekeh sebelum melanjutkan kalimatnya, "Tuan tampan Walter Brown, kenapa diam saja? Padahal biasanya kau selalu berisik dan mulut busukmu itu pandai sekali dalam membohongi wanita 'kan?"
Lanjut pemuda itu, meskipun Walter tak bisa dengan jelas menangkap sosok di depannya, tapi dia hapal betul siapa pemilik dari suara yang menurutnya---tidak---menurut seisi kampusnya aneh.

"Mau apa kau Max?"
Akhirnya ia bersuara, meski nadanya terdengar bergetar.

"Mau apa? Mengapa bertanya padaku? Bukankah harusnya aku yang bertanya, mau apa kau di sini?"

"Jangan bodoh! Bukankah kau yang mengejarku seperti orang gila hingga aku terjebak di tempat ini?"

"Sssttt diamlah, jangan emosi. Tenang saja, okay? Dengan selalu tenang tubuhmu tidak akan berkeringat lebih banyak."
Ejek Max seolah mengetahui tubuh Walter kepanasan.

"Sebenarnya apa maumu? Kau...kenapa kau mengejarku? Cepat katakan Max!"

Walter merasakan pipinya dicengkram begitu kuat oleh tangan Max, sehingga kepalanya mendongak ke atas, menghadap Max.
Meskipun gelap, mata tajam milik Max bisa dengan mudah mendeteksi bagian-bagian tubuh korbannya.

"Bukankah sudah kukatakan untuk diam? Perlu kau ketahui Walter Brown, tidak ada yang boleh membentak seorang Max Maxwell. Apa kau mengerti?"

"Sial! Cepat lepaskan aku dasar sialan aneh! Kau...kau memang gila dan aneh seperti yang dikatakan semua penghuni di kampus!"

"Uh? Apa aku mengikatmu? Aku tak mengikatmu 'kan? Kau bisa lari kapan saja. Tapi, tunggu dulu. Ada satu pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu, Tuan tampan."

"..."

"Kau pasti mengenal Kelly Collins kan? Gadis jurusan psikologi satu kelas dengan kita? By the way, apa yang kau lakukan padanya 2 hari lalu? Apa kau ingat?"

"Aku mencium bibirnya."
Ada nada bangga pada ucapan yang dilontarkan Walter, pemuda itu tersenyum sekilas ketika mengingat dirinya berhasil mencium bibir ranum milik Kelly Collins, salah satu gadis lembut sekaligus cantik di kampusnya.
Padahal gadis itu sendiri sudah punya kekasih, bisa dikatakan ia memang lancang pada setiap perempuan di kampusnya. Itu sebabnya, tak heran kalau dia sendiri dijuluki pria playboy.

Meskipun setelahnya dia mendapat balasan tamparan keras di pipinya oleh Kelly, namun Walter tak peduli. Dia harus menyicipi semua gadis yang ada di kampusnya, itulah misinya.

"Bagaimana rasanya? Apakah manis?" Max tertawa kencang di akhir kalimatnya, berhasil menaikkan bulu kuduk Walter lantaran suaranya terdengar sangat menyeramkan.

Walter hanya terkekeh sumbang, masih ketakutan. Tapi kemudian dirinya mengernyit heran, bingung mengapa tiba-tiba Max menanyai tentang gadis itu.
Setaunya, Max tak pernah dekat dengan siapa pun di kelas, apalagi di lingkungan kampus.
Pemuda itu dijauhi karena menurut murid-murid di kampusnya, Max termasuk pria aneh.

"Kenapa menanyai tentang Kelly? Kau...apa kau menyukainya?"
Walter mulai curiga.

"Apa kau tak tau Walter Brown, jika Kelly adalah kekasihnya Varel?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Walter, Max malah balik memberikan pertanyaan.

"Apa peduliku? Aku hanya ingin merasakan bibir Kelly. Kau belum menjawab pertanyaanku Max, apa kau menyukai Kelly?"

"Uh, di sini rasanya sesak sekali. Biar kuhidupkan senterku lagi."
Max mulai menekan tombol on di senternya dan cahaya kembali menerangi kedua pemuda itu.

"Sampai di mana tadi? Oh ya, kau bertanya tentang perasaanku pada Kelly kan? Okay, bagaimana jika aku bilang tidak suka?"
Max mengarahkan senternya di samping tubuh Walter, sehingga dia bisa dengan leluasa melihat pemuda tersebut yang masih dibanjiri peluh.

Walter tiba-tiba saja menampilkan senyum mengejeknya.
Meski rasa takutnya masih ada, tapi napasnya mulai lebih tenang, tidak seperti tadi.

"Baguslah. Karena aku yakin Kelly juga takut melihatmu kan?"
Entah dapat keberanian dari mana Walter mampu membalas setiap pertanyaan pemuda aneh di hadapannya ini. Meski memang ia merasa ketakutan, tapi mengenai pembicaraan ini, dia merasa sedikit tertarik.

Max tertawa, "Kau betul sekali, Tuan tampan."

"Aku mau keluar, bisa mati terus-terusan berada di sini. Jadi kau mengejarku hanya ingin memberikan pertanyaan? Kalau begitu, sekarang kau sudah selesai bertanya kan, Max?"
Walter mulai bangkit dan menepuk-nepuk celananya yang dipenuhi debu karena duduk di ruangan yang kotor dan berkarat dari lantai besi ruangan itu.

"Tunggu dulu Walter, tak perlu terburu-buru."
Max menyentuh pundak Walter dengan tersenyum bak iblis, menaikkan kembali bulu kuduk Walter.

"Aku mau keluar Max."

"Tapi kita belum bermain-main 'kan? Kebetulan di sini banyak sekali senjata."

Walter melarikan pandangannya ke arah Max dengan cepat, mengernyit curiga, "Senjata? Apa maksudmu?"

Max segera mengambil sebuah besi yang berada tak jauh darinya dan mulai mengarahkannya tepat di depan wajah Walter.

"A-apa yang ingin kau lakukan?"
Walter Brown, pemuda itu lagi-lagi menelan salivanya ketika besi yang dipegangi Max kini sudah menyentuh hidung mancungnya.

Max tertawa keras, puas menikmati tatapan horror yang diberikan Walter padanya, "Kenapa ekspresimu begitu? Jelek sekali! Kau harus bercermin dengan ekspresi seperti itu, aku yakin kau akan segera membuang cerminnya." Max kembali tertawa.

"Max, jangan macam-macam!"

"Oh, harus berapa kali aku bilang jika tak ada yang boleh membentak seorang Max Maxwell, huh?"
Besi panjang yang dipegangi Max tersebut mulai diarahkan ke dalam lubang hidung milik Walter.

Dengan sekali dorongan kuat, besi panjang itu berhasil menembus bagian terdalam hidung Walter hingga kembali tembus pada bagian luar hidungnya.

"Arrggghh! A-apa yang k-kau lakukan Max? A-apa salahku?"
Darah segar mulai mengalir dan berceceran ke lantai, sehingga bau anyir segera menusuk indra penciuman.

Walter mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah, rasa perih yang teramat sangat segera menjalar pada bagian hidungnya yang sudah berlubang.

"Ups! Maaf Walter, di sini sungguh gelap, jadi aku tak bisa melihat dengan jelas."

"A-apa salahku Max? Apa salahku? Kumohon hentikan ini, ini sakit sekali---akh!"

"Salahmu ya? Kau ingin tau salahmu apa? Kesalahanmu hanya satu namun sangat fatal."

"A-apa? Akh!"
Besi panjang itu kini mendarat pada mata kiri Walter, pemuda itu merasakan dengan jelas jika kini Max berusaha mencungkil bola matanya.

Walter terhuyung seketika dan menggeleparkan tubuhnya, rasa perih kini semakin menderanya.
Kedua inderanya berhasil dilumpuhkan oleh pemuda aneh di hadapannya ini.
Dia sudah tau jika Max bukanlah manusia, pemuda ini seorang monster yang kapan saja siap memangsanya.
Sejak tadi, dia sudah menaruh curiga pada gelagat laki-laki ini.

Tuk tuk tuk tuk tuk

Suara seperti bola menggelinding membuat Walter berteriak kencang dan tanpa sadar mengeluarkan air matanya.

"Arrghhh! Mataku...mataku...Max kau---kau telah menghilangkan bola mataku---kau bukan manusia Max, kau monster! Kau benar-benar monster!"

Max tertawa kecil, tak mempedulikan umpatan-umpatan kasar yang keluar dari mulut Walter. Dia malah merasa puas saat ini lantaran dapat membalaskan dendamnya pada laki-laki yang suka berlagak paling tampan di kelas, "Siapa suruh mencium gadisku? Siapa yang menyuruhmu untuk menciumi Kelly, hah? Kelly adalah gadisku, dan kau---kau dengan brengseknya mencium gadisku di depan mataku! Kau lihat kan apa yang terjadi jika berani menyentuh gadisku?"

"K-kau---Argh!"
Besi itu segera ditanamkan Max pada mulut Walter sampai menembus ke kerongkongannya, tak ingin mendengar ucapan Walter lagi.

"Ya! Kelly adalah gadisku! Aku mencintainya, sangat mencintainya! Maka dari itu aku benci pada siapa pun yang berani menyentuhnya termasuk kekasihnya sendiri, Varel!"
Max semakin brutal menusuk-nusukkan besi itu pada setiap bagian anggota tubuh Walter, hingga korbannya itu tak lagi bernyawa dan tubuhnya kini hancur tak karuan.

Daging-daging yang berasal dari tubuh Walter berceceran bersamaan genangan darah yang mengotori lantai berdebu itu.
Kedua bola matanya juga menggelinding di lantai. Ruangan tak bercahaya nan menyesakkan itu segera dipenuhi dengan bau anyir yang amat sangat membuat siapa pun yang berada di dalamnya dipastikan akan merasa ingin muntah.

Max membuang besi yang sudah berlumuran darah di genggamannya dan mulai mengelap peluh di dahinya menggunakan lengan.

Max kembali tertawa keras seperti orang tak waras, "Aku benar-benar merasa puas sekarang. Siapa suruh mencari masalah padaku, heh? Siapa pun, siapa pun akan aku habisi jika berani menyentuh gadisku, Kelly. Seorang Kelly Collins hanyalah milik Max Maxwell! Camkan itu!"
Dia seolah sedang memberitahu pada orang-orang---yang padahal tak ada siapa pun di sana---bahwa Kelly---gadis yang dianggapnya sebagai miliknya tak boleh dibagi pada siapa pun.

Well, selamat datang di kehidupan Max Maxwell.

Warning! Mengandung adegan kekerasan dan pembunuhan yang lumayan banyak.
Jadi, bagi yang tidak kuat dengan adegan seperti itu, disarankan tidak berusaha membaca.

❤MelQueeeeeen

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top