Part 64 : Approval

TRUCK merah milik petugas pemadam kebakaran sudah berjejer rapi di depan rumah Max.
Truck-truck yang berjumlah 4 buah tersebut telah selesai melakukan tugasnya, yakni memadamkan kobaran api pada mobil-mobil polisi yang terbakar.

Setelah petugas pemadam kebakaran berhasil memadamkan api yang meledakkan mobil para polisi yang telah tewas, mereka bergotong royong dibantu oleh warga sekitar yang sejak tadi sudah berkerumun memindahkan mayat-mayat para polisi untuk dikumpulkan, sembari menunggu kedatangan ambulance.

Belum selesai sepenuhnya pemindahan mayat-mayat tersebut, mobil ambulance berjumlah 4 buah sudah datang menjadikan kawasan rumah Max bising akibat suara sirine yang saling bersahutan dari truck pemadam kebakaran dan juga mobil ambulance.

Langsung saja setelah kedatangan mobil ambulance, para mayat yang masih utuh dan juga ada yang sudah hancur itu dimasukkan ke dalam kantung mayat lalu di bawa ke mobil ambulance untuk kemudian nanti diotopsi.

Para warga yang tinggal di Green Avenue, bukannya tak mengetahui perihal kasus Max yang notabenenya tinggal satu jalan dengan mereka.

Mereka hanya tak peduli dan tak berani untuk mengambil resiko. Sebab, seperti yang diberitakan di media-media, pemuda itu adalah seorang psikopat.

Maka para warga pun tak mau ambil pusing jika Max memang seorang pembunuh, mereka menyerahkan semuanya pada polisi.

Namun, melihat para polisi bahkan tewas beserta dengan Chief-nya, membuat para warga benar-benar berpikir Max merupakan seorang pembunuh.

ΠΠΠ

Mata Max membulat sempurna tatkala iris hazelnya mendapati sosok gadis berambut blonde yang begitu dikenalnya, yang kini tengah ia lihat tubuh gadis itu sudah kaku dengan darah membanjiri kepala dan kedua kaki remuk.

Max, Kelly, dan juga Tomy saat ini telah berada di dalam rumah Max. Di mana saat ini, Max dan Tomy sedang mengintip keadaan di luar rumah dari jendela dekat pintu utama rumah Max yang tertutup.

Mereka memang sengaja menyembunyikan diri untuk berjaga-jaga kalau ada warga yang ingin menyerang mereka, karena perbuatan Tomy.

Untung saja sesaat setelah Tomy menyerang mobil Garrison dan Gabriella, pria itu segera menjalankan tank-nya untuk mencari keberadaan Max dan Kelly yang ternyata melarikan diri tak jauh dari tempat Tomy berada.
Setelah menemukan Max dan Kelly, Tomy langsung saja bergegas mengajak kedua orang itu menuju ke rumah Max, kebetulan para warga belum berkerumun seperti sekarang, sehingga memudahkan ketiga orang tersebut dalam kembali ke rumah Max.

"Gabriella---kenapa dia juga terbunuh?!"
Max menjauhkan kepalanya dari jendela, mendengar hal itu membuat Tomy ikut mengarahkan pandangan ke mayat Gabriella yang baru saja akan dimasukkan ke kantung mayat.

"Paman juga tidak tau jika ada seorang gadis yang ikut. Paman baru menyadarinya saat menyerang mobil terakhir yang dikendarai oleh Garrison dan gadis itu. Apa kau mengenalnya? Siapa dia, Max?"

"Dia putri dari Charlie, aku benar-benar tak menyangka Gabriella sudah tiada."
Max mengusap wajahnya lelah, meskipun tak menunjukkan ekspresi sedih, namun di dalam hati Max menyesali kenapa Gabriella juga ikut dalam rencana pembunuhan dirinya.

Bagaimana pun, Gabriella adalah gadis yang pernah menolongnya, tentu Max merasa di lubuk hatinya ada sesuatu tak kasat mata yang membuatnya sedih.

Tepukan di sebelah bahu Max, membuat ingatannya tentang Gabriella buyar.
Mata hazel pemuda tersebut mengerjap, dan mendapati raut kebingungan dari pamannya, "Kau baik saja 'kan? Ada apa? Apa kau teman dari Gabriella itu?"

Mulut Max terbuka akan menjawab pertanyaan Tomy, kalau saja Kelly tak datang dari arah dapur dengan membawa senampan minuman hangat, dan juga kotak p3k untuk mengobati luka di kaki Max yang disebabkan karena berlari tanpa mengenakan apapun, karena situasi yang panik tadi.

"Kelly, aku ingin bicara sesuatu. Hanya berdua."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Max segera beranjak ke kamarnya begitu saja tanpa mempedulikan raut bertanya-tanya dari Kelly yang baru saja meletakkan nampan berisi minuman yang dibawanya ke atas meja.

Kelly memandang Tomy meminta penjelasan dari sikap Max barusan, menyadari hal itu, Tomy hanya bisa mengangkat kedua bahunya kemudian duduk di sofa menikmati cappucino panas yang dibuat Kelly.

"Sebaiknya kau segera menyusul Max, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya sedih. Paman juga tak tau, jangan lupa bawa ini, untuk mengobati lukanya."
Tomy menyerahkan kotak p3k kepada Kelly dan langsung disambut gadis bermata emerald itu cepat lalu menyusul Max ke kamar.

***

"Max? Kau baik-baik saja 'kan?"
Kelly menutup pintu kamar dan langsung mendudukkan diri di sebelah Max yang kini duduk di tepian ranjang.

Max menoleh, "Gabriella mati."

Sontak saja kata-kata Max barusan membuat Kelly terkejut dan menutup mulut setelahnya.

"Ka---kau, tak sedang bercanda 'kan?"

Max menggeleng, pandangan pemuda itu diarahkan ke bawah, tak berani menatap mata Kelly, "Tidak. Gabriella benar-benar sudah mati, Kelly. Aku melihat mayatnya tadi, ternyata dia juga ikut dalam salah satu mobil para polisi tadi."

Mata emerald Kelly tiba-tiba saja terasa memanas. Setetes air mata berhasil terjun bebas meluncuri pipinya.
Kini dia tau alasan dibalik kesedihan Max yang tiba-tiba.
Gadis manis tersebut mengusap air matanya cepat, kemudian membawa pemuda di hadapannya ke dalam dekapan hangatnya.

Ia mengerti meskipun ekspresi Max tetap datar, namun mata pemuda itu menunjukkan kehilangan.
Dan yang dibutuhkan Max saat ini adalah rengkuhan.

Sembari mengendalikan air matanya sendiri, Kelly mengusap-usap punggung Max berharap dengan begitu bisa menenangkannya.

"Ssssttt, aku tau perasaanmu, Max. Gabriella pernah membantumu dan kalian pernah tinggal bersama dalam waktu yang cukup lama. Aku tau kau merasa kehilangan, tapi kita harus ikhlas agar dia damai di sana."
Bisik Kelly dengan nada berusaha tegar.

Bukan hanya Max yang merasa sedih, dirinya pun juga sama.
Meskipun hubungannya dengan Gabriella tak pernah akur, namun dia tak pernah benar-benar menyimpan dendam kepada gadis blonde itu.

Lama mereka dalam posisi Kelly yang mendekap Max, sebelum akhirnya pemuda itu melepaskan diri dari dekapan Kelly.
Max memandang wajah Kelly lekat-lekat, kemudian menggerakkan ibu jarinya mengusap air mata Kelly yang masih tertinggal.

Max tersenyum tipis, "Aku sudah baik-baik saja. Terima kasih Kelly, kau membuat perasaanku jauh lebih baik. Aku hanya tak menyangka jika Gabriella benar-benar sudah tak ada. Entah bagaimana caranya dia bisa kabur dari rumah sakit jiwa itu."

"Jadi, sekarang kau sudah tak sedih lagi 'kan? Kukira kau menangis, tapi ternyata tidak. Biasanya Max-ku ini akan menangis karena dia cengeng."
Kelly terkekeh pelan di akhir kalimatnya.

Max yang mendengar itu hanya bisa memutar bola mata, karena selalu benci jika dikatai "cengeng".

"Max, aku merasa menyesal sudah membawa Gabriella ke rumah sakit jiwa pada saat itu."
Ucap Kelly tiba-tiba setelah puas mengejek Max.

"Dia ingin membunuhmu. Salah satu cara agar dia tak merencanakan sesuatu lagi, adalah dengan menyingkirkannya jauh dari kita. Percayalah, kita sudah melakukan hal yang benar. Meskipun begitu, dia tetap cepat keluar dari sana 'kan? Jadi, kau tak perlu khawatir Kelly, jangan menyesali apapun yang sudah terjadi."

Kelly mengangguk dan tersenyum tulus, lalu kembali memeluk Max kali ini lebih erat, membuat Max membalas pelukan kekasihnya itu.

"Aku berpikir, karena sudah tak ada lagi orang yang akan menghalangi cinta kita. Bagaimana jika kita segera menikah?"
Usul Max, membuat pelukan erat Kelly di tubuhnya melonggar.

Gadis itu menatap Max dengan intens.

"Itu ide yang bagus."

Bukan suara dari Kelly, hal itu justru dijawab oleh paman Max, Tomy, yang kini---entah sejak kapan sudah bersandar sembari kedua tangan menyilang depan dada, di pintu kamar Max yang dibuka.

"Paman sudah menunggu sangat lama, menunggu kalian untuk bergabung minum menemani paman di ruang tamu. Tapi kalian tak datang-datang, ternyata kalian berdua sedang sibuk bermesraan, heh? Sampai tak sadar jika paman sudah membuka pintu dan bersandar di sini? Dan parahnya lagi, kalian berencana menikah tapi tak memberitahu paman?"

Max menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sedangkan Kelly sudah merona seraya menundukkan pandangannya agar tak bertatapan dengan Tomy.
Mereka berdua seperti perampok yang ketahuan merampok oleh polisi.

Tomy terkekeh, "Jangan gugup, paman merestui pernikahan kalian, tenang saja. Tapi Max, caramu melamar kekasihmu yang cantik itu, sungguh tak romantis. Kelly, jika aku jadi kau, aku akan langsung meninggalkan Max. Seharusnya, kau contohi pamanmu ini Max, apa kau harus kuajari juga cara menjadi pria yang romantis, heh? Hahaha, tidak aku hanya bercanda. Paman akan pergi ke rumah teman lama paman, dan akan mencari pekerjaan darinya lalu setelahnya membeli tempat tinggal baru. Apa kalian berdua ingin ikut?"

Max menggeleng, "Apa paman tak ingin tinggal di sini saja?"

"Paman harus mencari pekerjaan dan punya rumah sendiri, Max. Jika kalian tak ingin ikut, maka jagalah diri kalian baik-baik. Kau tenang saja Max, tak akan ada yang akan mengincar kita lagi, karena para polisi itu sudah mati. Dan jika kalian benar-benar akan menikah, jangan lupa beritahu paman dengan menemui paman di rumah Michael, teman paman, rumahnya di jalan Star Avenue no.1, baiklah, kalau begitu paman pergi ya, Max, Kelly."

"Baiklah paman, kalau begitu bye!"
Ujar Max dan Kelly serentak sambil melambaikan tangan.

Setelah dirasa pamannya sudah pergi, Max kembali mengarahkan pandangannya ke Kelly, "Bagaimana? Pamanku sudah memberi restu pada kita. Apa jawabanmu, Kelly?"

"Kau tau? Perkataan pamanmu memang benar, kau memang bukan pria romantis."

Max mendengus kasar, "Aku pernah menjelaskan itu sebelumnya 'kan, jika yang kau butuhkan adalah pria romantis, sebaiknya cari---"

"AKU BERSEDIA!"
Jawab Kelly lantang, memotong ucapan Max, membuat pemuda itu tak tahan untuk tak tersenyum.

"Apa? Bersedia untuk apa? Aku tak mengerti?"

Kelly terkekeh kemudian mencubit hidung Max gemas, "Dasar nakal! Tentu saja bersedia untuk menikah dengan Max Maxwell si pria dingin, selalu berwajah datar, dan tak romantis tapi entah mengapa aku sangat sayang, cinta, dan tak ingin kehilangannya!"
Seru Kelly mantap yang berhasil membuat Max terkekeh geli.
Andai Max punya sayap, dia sudah terbang di angkasa sekarang.

Vomment yang banyak dong recew😘

Ada yang kangen gak dengan author?
:3

next part bakalan diupdate nanti malam:)

MelQueeeeeen

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top