Part 44 : Past

Gambar on mulmed : Tomy Doveri (Samuele Doveri).

"Paman?!"

"Max, kau mengenalnya?"

"Apa katamu, paman?"

"Max?!"
Max langsung tersadar dari keterpakuannya saat mendapat guncangan bahu dari Chris.

Pemuda bermata hazel itu mengerjap sekilas, kemudian bangkit dari duduknya dan menghampiri pintu sel, dimana pria bermata coklat tadi masih berdiri.

"Paman? K-kau?"
Max masih menatap pria bermata coklat itu lekat-lekat, tidak salah lagi, ini memang pamannya batinnya.

"Ada apa anak muda?"
Pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut pria bermata coklat itu membuat Max mengerutkan keningnya.

"Paman Tomy? Paman tak ingat aku?"
Tomy kini menaikkan sebelah alisnya, mencoba membalas tatapan pemuda berambut hitam yang kini menghampirinya.

"Apa maksudmu dengan paman? Kau---tunggu dulu, matamu itu---astaga Max?!"

Max tersenyum tipis, ternyata pamannya mengingatnya.

"Max k-kenapa kau bisa masuk penjara?!"
Tangan Tomy bergerak mengelus pipi Max, dia terlihat bahagia sekaligus bingung.
Bingung mengapa keponakannya itu bisa berada dalam penjara.

"Akan kujelaskan nanti. Bisakah kita bicara?"
Ucap Max dengan pelan, dan dibalas anggukan oleh pamannya itu yang kini berlari meninggalkan Max, untuk mengambil kunci sel.

•••

"Paman, kenapa kau bisa mengenakan seragam polisi di sini?"
Tanya Max yang kini sudah duduk berhadapan bersama Tomy di ruang besuk.

Awalnya Max mengurungkan niatnya ingin bicara pada pamannya mengingat ada Garrison yang bisa curiga padanya kapan saja, apalagi Max baru saja ditangkap lagi setelah kabur beberapa waktu yang lalu.

Tapi untunglah, Garrison tiba-tiba saja pergi karena ada urusan mendadak yang harus ia selesaikan.
Jadi, Max menunggu Garrison benar-benar pergi meninggalkan kantor polisi itu, dan setelahnya barulah mengajak pamannya ke ruang besuk.

Tomy berdeham, "Aku mulai hari ini sah menjadi polisi baru di sini. Astaga Max, aku tak menyangka akan bertemu dirimu lagi setelah sekian lama, yah..meskipun dengan keadaan kau menjadi tahanan di sini, katakan padaku Max, apa yang kau lakukan sampai bisa masuk dalam penjara?"

"Sebelum itu, bisakah paman katakan kenapa paman kembali lagi ke kota ini?"

Tomy tampak menghela nafas, "Paman berpisah dengan bibi tirimu, Letty."

Max menaikkan satu alisnya, "Biar aku tebak, pasti paman berselingkuh 'kan?"

Tomy mengangguk pasrah, terlihat sekali matanya menunjukkan sorot kesedihan, "Aku benar-benar tak bisa menghilangkan sifat burukku yang satu itu, makanya Letty merasa tak tahan denganku kemudian mengajak berpisah."

"Paman memang salah, tindakan bibi Letty memang sudah benar."

Tomy mendengus, "Hei, hei, jadi kau tak membela pamanmu ini?"

Max menggeleng cepat, "Tentu saja. By the way, mengapa paman tiba-tiba menjadi polisi di sini?"

"Paman sudah lama tinggal di kota bibimu, Letty, tapi setelah paman dan bibimu berpisah, paman memutuskan untuk kembali ke kota kelahiran paman ini dan meninggalkan pekerjaan paman di sana, makanya paman mencari pekerjaan di sini dan dapat menjadi polisi di sini. Jadi, sekarang katakan pada paman, mengapa kau bisa sampai masuk ke penjara?"

"Aku membunuh banyak nyawa."

Tomy sukses mengernyitkan dahinya, "Kenapa kau lakukan itu? Max, kau tak ingin menjadi seperti ayahmu 'kan?"

Max terkekeh, "Tidak, aku tak akan pernah menjadi seperti ayah, aku membunuh karena ada alasannya. Lagipula, beladiri yang paman ajari padaku sewaktu kecil bisa kugunakan sekarang."

Tomy tergelak, "Ah beladiri itu...aku bahkan tak tau nama beladiri yang kuajari padamu waktu kecil itu, yang jelas beladiri itu sangat kejam."

"Dan juga keras." Timpal Max yang berhasil membuat Tomy tersenyum miring.

"Max, mengingat beladiri itu, paman jadi ingat saat malam dimana paman memergokimu yang tak sengaja membunuh ayahmu. Kejadian itu sudah lama sekali, paman yang waktu itu tinggal di sebelah rumahmu mendengarkan pertengkaran yang lagi-lagi terjadi antara ayah dan ibumu, namun malam itu, pertengkaran mereka begitu hebat hingga membuat paman penasaran dan segera menuju rumahmu, mengintip di balik pintu utama. Paman menyaksikan bagaimana ayahmu yang membunuh ibumu dan juga hampir membunuhmu waktu itu, tapi untunglah Tuhan melindungimu dengan memberimu kekuatan melawan ayahmu hingga gergaji mesin itu berbalik arah jadi menghabisi dirinya sendiri..."

Flashback On

"TIDAK AYAH! HENTIKAN!!!"
Max kecil menahan gergaji mesin yang diarahkan ayahnya dengan menjadikan kepala ibunya sebagai tameng.

Ia terus mendorong kepala ibunya yang kini sudah hancur akibat gergaji mesin itu, setelah kepala ibunya tersebut benar-benar tak bisa digunakan lagi sebagai tameng, dirinya dengan sekuat tenaga menendang selangkangan ayahnya hingga Simon kehilangan keseimbangan yang membuatnya tak sengaja membalikkan arah gergaji mesin tadi ke arah dirinya sendiri, hingga menembus dadanya membuat tubuhnya terjatuh dengan darah yang kini bercipratan ke mana-mana.

"AARGHHH..."
Rintihan memilukan yang keluar dari mulut Simon menjadi yang terakhir kalinya dirinya bersuara dan setelah itu dirinya benar-benar tewas dengan kondisi mata terbuka.

Max kecil yang melihat itu hanya terdiam memandangi gergaji mesin tadi yang menghabisi ayahnya.
Kaki kecilnya tiba-tiba saja segera berlari menghampiri ayahnya lalu memegang gergaji mesin yang masih hidup dan tertancap di dada ayahnya.

Tangannya dengan cekatan menarik gergaji mesin yang masih menancap itu, dan segera mengangkat gergaji tersebut di hadapannya, memandang sisa-sisa darah segar ayahnya yang masih menempel di gergaji.

Max kecil tersenyum, "Ayah memang pantas mati."
Dan setelah mengatakan itu, ia segera mengarahkan gergaji mesin tadi memotong kepala serta tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa menjadi dua bagian.

Menyaksikan ayahnya yang tewas mengenaskan yang secara tak sengaja akibat dirinya, membuat bocah itu diliputi rasa puas. Max menekan tombol off pada gergaji mesin yang dipegangnya kemudian melemparkannya asal.

Dirinya menatap dua mayat orang tuanya dengan kondisi bagian anggota tubuh yang sama-sama hancur.

Kepala ibunya yang sudah tak berbentuk serta ceceran otak ibunya kini berserakan dihadapannya, begitu juga dengan kepala ayahnya yang terpotong menjadi dua bagian bak buah semangka, dan tubuh yang terpisah menjadi dua, membuat rumahnya saat itu seperti telah terjadi pembantaian massal.

"Max..." Panggilan kecil dari seseorang di belakangnya, membuat Max kecil tersentak lalu segera membalikkan badan dan menemukan paman Tomy-nya sedang berdiri sembari memandang sekeliling lantai rumahnya yang sudah dibanjiri oleh genangan darah segar dan bagian anggota tubuh manusia.

"Paman? Aku---"

"Paman sudah melihat semuanya, paman tau itu bukan salahmu. Mulai sekarang kau tinggal bersama paman dan paman akan menjadi ayah bagimu."

Max kecil memiringkan kepalanya lucu, "Paman akan merawatku?"

Tomy tersenyum dan mengangguk, pria bermata coklat itu segera berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Max, "Dirimu sudah terlanjur mengalami dan melihat ini semua, paman harap kau bisa menjadi anak yang kuat, paman berjanji akan mengajarimu beladiri yang begitu keras agar kau bisa melindungi dirimu sendiri. Baiklah, ayo kita ke rumah paman, hujan sudah turun gerimis, sebaiknya kita cepat sebelum menjadi lebat."
Max hanya mengangguk, membuat Tomy kini segera berdiri dan menuntun bocah itu untuk keluar rumah.

Sebelum benar-benar keluar, Tomy menoleh sekilas ke arah mayat Simon dan Miranda, menatap kedua mayat itu dengan tatapan sendu.

'Aku akan menjaga Max.'
Batinnya, dan sejak saat itu Max kecil dibawa ke rumah Tomy dan tinggal bersama pamannya itu.
Dan sejak saat itu pula Tomy mengajari beladiri pada Max kecil hingga umur Max menginjak 17 tahun, Tomy memutuskan untuk meninggalkan kota ini untuk tinggal bersama istrinya di kota kelahiran Letty hingga harus meninggalkan Max sendirian sampai akhirnya pemuda bermata hazel itu mencari uang sendiri dengan mencuri untuk memenuhi kehidupannya sejak ditinggal pamannya.

Flashback off

Tomy menghela nafas panjang, "Kejadian itu benar-benar tak bisa paman lupakan sampai sekarang. Paman tau kehidupanmu sudah tercoreng akibat peristiwa malam itu, dan itu semua adalah kesalahan ayahmu, Simon. Paman juga padahal sudah sering menasehati ayahmu untuk tak bertengkar bersama ibumu di hadapanmu, mengingat waktu itu kau masih 10 tahun. Tapi, kau tau sendiri 'kan bagaimana ayahmu? Dia keras kepala dan sudah terlanjur depresi akibat perusahaannya yang bangkrut, sejak saat itu ia jadi sering mabuk-mabukkan dan berjudi hingga uangnya benar-benar habis, maka dari itu dengan tanpa sepengetahuan paman dan juga bibi tirimu, Letty, ia menyuruh ibumu untuk melayani pria-pria brengsek di club hingga ibumu mengandung anak yang ibumu bahkan ayahmu sendiri tak inginkan."

Max terkekeh licik, "Ayah memang pria paling brengsek yang pernah kutemui. Padahal ia sendiri yang menjual ibu, seharusnya itu bukan salah ibu, itu semua salahnya."

Tomy melirik pada Max yang kini rahang pemuda tersebut kelihatan mengeras serta tangan yang terkepal kuat.
Tomy lagi-lagi menghembuskan nafasnya panjang, ia sangat mengerti jika keponakannya itu benar-benar merasa tersakiti oleh ayahnya, "Kuharap kau tak menyimpan dendam pada ayahmu Max. Biar bagaimana pun dia adalah ayah---"

"Aku bahkan sebenarnya tak sudi menyebutnya sebagai ayahku!"

"Aku mengerti Max, mari kita coba lupakan itu semua, sebelum ayahmu bangkrut dia adalah pria yang benar-benar menyayangi putra dan istrinya. Dia sangat mencintaimu, ketahuilah itu, jadi cobalah untuk lupakan semua keburukannya, meskipun sangat susah, kau harus melupakannya Max."
Mendengar itu, Max hanya diam, terlalu malas untuk menjawab.

Pamannya mungkin memang mengetahui semuanya, tapi pamannya bukan dirinya yang mengalami semua kejadian itu.
Lalu, apa penting dia mengikuti perkataan pamannya itu?

Meskipun Max akui itu adalah jalan terbaik saat ini, namun entah mengapa, dia masih benar-benar tak bisa melupakan keburukan sang ayah, apalagi pria yang memiliki mata yang sama dengannya itu telah menorehkan luka masalalu yang benar-benar kekal di hati Max.

Tomy berdeham membuyarkan lamunan Max, "Baiklah, karena paman tak ingin melihat keponakan paman menderita lagi,"
Tomy mencondongkan tubuhnya ke depan sembari meletakkan tangan kirinya dengan posisi tegak dan mendekatkan mulutnya pada telinga Max, "paman akan membebaskanmu dari sini. Tapi...kita harus tunggu waktu yang tepat agar semuanya berjalan sesuai rencana, kau mengerti?"
Lanjut Tomy yang membuat Max menaikkan sebelah alisnya, "Paman baru hari ini kerja sebagai polisi di sini. Ini akan membahayakan bagi paman."

Tomy kembali ke posisinya semula, duduk bersandar pada kursi besinya kemudian tersenyum miring, "Tenang saja, semuanya akan berjalan dengan lancar."

"Opsir Tomy, ada telepon untukmu dari pak Garrison."
Ucap seorang petugas polisi yang tiba-tiba datang menghampiri Max dan Tomy yang tengah duduk di ruang besuk, Tomy mengangguk kemudian segera mengambil alih telepon tersebut dan menerima panggilannya.

"Ya, ketua Garrison?"

"Tomy, aku dan para polisi lainnya ditugaskan untuk menjalani pelatihan di tempat yang sudah disiapkan Chief Charlie, tidak semua sih, hanya sebagian lebih, jadi bisakah kau menjaga kantor dengan dua polisi lainnya yang tinggal untuk menemanimu?"

Tomy tergelak, "Kenapa bertanya? Tentu saja bisa, kau benar-benar meremehkan kemampuanku ya, ketua Garrison?"

Terdengar Garrison terkekeh di seberang sana, "Baiklah, aku percaya padamu Tomy, kerjakan tugasmu di hari pertama ini dengan baik ya!"

"Siap ketua!"

Setelah menyudahi pembicaraannya bersama Garrison di telepon, Tomy kembali mengembalikan telepon tadi pada petugas yang masih menunggu kemudian petugas itu segera meninggalkan ruang besuk.

Tomy melengkungkan senyuman lebar pada Max, "Baiklah Max, bersiap-siaplah untuk bebas."

Tbc...

Ciee Max bakalan bebas, coba tebak, tempat siapa yang akan Max tuju untuk pelariannya?

Jawab ya readers" tercinta😘

Btw yang adegan masalalu Max itu sengaja aku sambungin di part ini, karena aku memang udah pikirin dari awal adegan masalalunya akan dilanjutin pas Max ketemu ama pamannya.
Kalo kalian pada lupa potongan adegan sebelumnya kaya apa, coba cek part 11 yg judulnya ''Dark Memory'', di situlah adegan sebelumnya berada.
Jauh amat kan ya baru dilanjutin di part ini?😂😅
So, dari adegan masalalu Max di part ini, jadi ngerti kan kenapa Max itu kalo berantem jago amat?
Yap! Karena dia emang udah belajar beladiri sejak kecil, dan beladiri itu diajari oleh pamannya, bukti kejagoan Max itu yang waktu di part awal dia ngelawan para preman pas nolongin Gabriella, pada ingat?

Kalo kalian lupa terserah...

huehehe

Leave vomment, please?😆

MelQueeeeeen

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top