Part 30 : Run Away

TERIAKAN seorang petugas polisi berhasil membuat suasana kantor polisi yang tadinya sunyi karena rata-rata penghuninya tidur, mengingat waktu sudah tengah malam, menjadi riuh dalam waktu sekejap.

Garrison sebagai polisi yang mempunyai pangkat tinggi di kantor itu, terbangun dari tidurnya dan segera menghampiri si sumber suara.

Sedangkan semua narapidana yang tertidur pun menjadi terbangun dan kesal karena teriakan itu, bahkan ada yang mengumpat karena bagi mereka mengganggu waktu tidur mereka.

"Ada apa?! Kenapa kau teriak-teriak?"
Garrison bertanya sembari mengamati rekannya yang baru saja berteriak.

Rekannya itu menghirup nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya, "Pak, salah satu tahanan kita berhasil kabur. Lihatlah di toilet."
Petugas polisi itu segera melangkah ke dalam toilet diikuti Garrison di belakangnya.

Mata Garrison terbelalak saat melihat lubang besar yang cukup untuk dilewati satu orang, sedang berada di hadapannya, di dinding toilet.

"Siapa yang kabur itu?"

"Tahanan baru pak Garrison, yang menjadi pembunuh putra Chief."

"Sepertinya dia tidak sendirian. Pasti ada seseorang yang membantunya dan menggunakan alat tertentu untuk melubangi dinding ini."
Garrison mengusap lubang yang ternganga lebar tersebut, dan memasukkan kepalanya, memandang ke luar.

"Perintahkan pada semuanya untuk mencari Max Maxwell itu, sekarang!"
Tegas Garrison dan mendapat anggukan singkat dari rekannya dan petugas itu segera berlari melaksanakan perintah Garrison.

"Sial! Aku harus menelepon Varel Rackbourn."
Garrison juga segera beranjak meninggalkan toilet itu dan mencari ponselnya untuk menelepon Varel.

Setelah mendapatkan ponselnya yang berada di mejanya, Garrison langsung menelusuri setiap kontaknya mencari nama 'Varel'.

"Halo selamat malam Varel Rackbourn."

"Pak Garrison? Ada apa menghubungiku tengah malam begini?"

"Sebelumnya saya minta maaf soal itu. Maafkan saya mengganggu waktu tidur anda. Ada hal penting yang ingin saya beritahukan."

Terdengar Varel menguap di seberang sana, dan terdengar bergumam dengan serak, khas suara orang bangun tidur.

"Ada apa?"

"Max Maxwell kabur dari penjara, jika anda melihatnya tolong beritahu saya. Kami para petugas akan melakukan pencarian sekarang juga."

"A-apa?! Dia kabur?! Bagaimana bisa?"

"Sepertinya ada yang menolongnya. Mungkinkah Kelly Collins yang membantunya?"

"Kelly? Aku akan menghubunginya untuk menanyainya. Jika ada informasi mengenai Max, aku akan langsung menghubungimu."

"Baiklah, terima kasih atas bantuannya. Sekarang kami akan mencarinya, rekanku sudah turun untuk mencarinya. Selamat malam."

"Kuharap kau menemukannya, pak Garrison. Selamat malam."

Tut tut tut

Setelah memutus sambungan dengan Varel, Garrison segera beranjak untuk mencari Max.

°°|°°

"Astaga! Kelly cepatlah angkat teleponnya!"
Varel terus-terusan mencoba menghubungi Kelly setelah mendapat panggilan dari Garrison.
Namun, berapa kali pun ia mencoba tetap saja gadis itu tak mengangkatnya.

Varel menghela nafas, kemudian melirik jam dinding yang berada tak jauh darinya, "Ini memang tengah malam, dia pasti sudah tidur, atau mungkin...dia yang memang menolong Max kabur?"

"Varel? Ada apa sayang?"
Nathalie yang tadi tertidur di samping Varel, terbangun dan mengucek matanya.

Varel menoleh, "Max kabur."

"Max Maxwell? Kenapa dia bisa kabur?"

Varel berdecak, "Mana kutau. Apa mungkin Kelly yang menyelamatkannya?"

"Sudahlah sayang, ayo kita tidur lagi. Lagipula Kelly tak ada urusannya lagi denganmu 'kan? Mungkin Kelly memang mencintai Max seperti yang kau ceritakan padaku. Sudahlah kita tidur lagi, hm?"
Ajak Nathalie dan mendapat anggukan dari Varel, mereka pun kembali tidur dengan Varel yang memeluk Nathalie.

◀▶

"Astaga! Max hilang! Max melarikan diri!"
Teriak Robbert panik memenuhi selnya, begitu juga dengan Hans dan Chris yang mondar-mandir mencari lelaki bermata hazel itu.

"Max kemana?! Apa mungkin kau yang memakannya?"
Tanya Chris keras sambil menunjuk Robbert yang ada di depannya.

Hans langsung saja menjitak kening Chris dengan keras membuat Chris memekik tertahan dan segera mengelus jidatnya.

"Kau itu memang idiot Chris! Mana mungkin Robb memakannya!"

"Bisa saja Hans, Robbert kan suka makan!"

"Auw!"
Chris kembali memegangi jidatnya kala Robbert menambah jitakan di tempat yang sama dengan Hans.

"Kau itu tampan-tampan bodoh!"
Umpat Robbert kesal.

"Baiklah sudah cukup, kapan Max melarikan diri? Kenapa dia tak mengajak kita sih?!"
Hans bertanya lebih ke dirinya sendiri, lalu meremas rambutnya kasar.

"Aku juga tak tau. Kenapa Max tega meninggalkan kita?"
Tambah Robbert.

"Astaga, Max pasti tak tahan di sini, dia tak menyayangi kita."
Sahut Chris kemudian terduduk dan mengusap wajahnya, lalu menunduk sedih.

Hans dan Robbert yang melihat itu juga ikutan sedih dan langsung memeluk Chris bersamaan.
"Max kembalilah, kami temanmu merindukanmu, huaa..."
Ucap ketiga teman Max itu sambil menangis.

***

"Putri Ella, cepatlah keluar dan menuju ke teras apartemenmu. Aku sudah membawa Max."

Tut tut tut

Corra memasukkan hpnya ke dalam saku jaket bombernya.
Gadis bermata coklat itu melirik Max dan tersenyum.

"Turunlah, Gabriella akan segera kemari."

Max mengangguk, kemudian turun dari mobil Corra dan melangkahkan kakinya di depan pintu apartemen Gabriella, begitu juga dengan Corra.

Sekitar dua detikan pintu di hadapan mereka berdua baru terbuka, menampilkan Gabriella yang berpakaian minim, dengan hanya mengenakan kaos di atas pusar dan celana pendek.

"Halo tuan putri Ella, saya sudah mengerjakan tugas yang anda berikan."
Ujar Corra dengan bertingkah layaknya seorang pelayan.

Gabriella mendengus, "Hentikan itu! Dasar menyebalkan!"

Corra hanya terkekeh, lalu melirik Max di sebelahnya, "Cepat bawa Max masuk, dia akan ketahuan jika berada di luar terus. Aku yakin sekarang para polisi bodoh itu pasti kerepotan mencarinya."

Gabriella memandang Max sambil tersenyum manis, "Ayo Max masuk, kau akan tinggal denganku untuk sementara waktu."

Max mengernyit, "Kita...tinggal berdua?"

Gabriella mengangguk antusias, "Tentu saja!"

"Tenang Max, dia tak akan memperkosamu. Jika itu terjadi, hubungi saja aku, aku akan-..."

"Tutup mulutmu Corra!"
Gabriella dengan cepat memotong perkataan Corra dan memberi gadis berambut hitam itu tatapan horror.

"Baiklah, baiklah, maafkan aku."
Jawab Corra dengan tak ikhlas, membuat Max yang diabaikan di antara dua teman itu, hanya diam memperhatikan keduanya.

"Pulanglah sekarang Corra."
Gabriella berkata dengan datar, masih memberi temannya itu tatapan tajam.

"Kau mengusirku, Ella?"

"Tentu saja iya!"

"Kau tak mengucapkan terima kasih dulu padaku, karena sudah berhasil menyelamatkan Max?"

"Terima kasih. Sekarang pergilah."

Corra memutar kedua bola matanya, dan menepuk pundak Max dengan tiba-tiba, "Baiklah Max Maxwell, aku sudah diusir, aku tak bisa berbuat apa-apa selain pulang. Aku janji akan mengunjungimu sering-sering ke sini, oke?"
Ucap Corra bersemangat pada Max, dan hanya dibalas anggukan oleh pemuda tampan di sebelahnya itu.

Cup

"Aku pulang, dah Max, dan putri Ella merepotkan!"

Max memegangi pipinya yang baru saja dikecup oleh Corra.

"Awas kau Corra!"
Gabriella yang melihat perlakuan temannya itu pada Max berteriak keras namun tak digubris oleh Corra dan segera meninggalkan kediaman Gabriella dengan mobilnya.

Gabriella menghela nafas kasar, "Max cepat masuk."
Setelah mengatakan hal itu ia segera masuk ke dalam apartemen mewahnya dan meninggalkan Max sendirian.

•••

Gabriella menghempaskan tubuhnya dikasur dan mulai mencoba memejamkan matanya, namun tak bisa.

Ia masih merasa kesal pada Corra.
Dia berpikir, berani-beraninya temannya itu menciumi pipi Max!

Tunggu dulu...

apa juga perlunya ia merasa kesal sedangkan Max sendiri hanya pria yang pernah menyelamatkannya.

Atau mungkin...
dia mulai menyukai Max?
Gabriella segera menggelengkan kepalanya cepat-cepat dan meyakini dirinya sendiri jika dirinya tidak akan jatuh cinta pada Max.

Ya, tak akan.

"Gabriella, uh- aku... aku harus tidur di mana?"
Tanya Max yang kini juga sudah mengikuti ke kamar gadis blonde tersebut.

"Di sini, satu tempat tidur denganku."

"Tapi Gabriella-..."

"Kenapa? Apa kau tak mau? Baiklah tidur di sofa ruang keluarga saja."

Setelah itu Max tak bersuara lagi, membuat Gabriella penasaran dan segera bangkit dari tempat tidurnya dan mendapati Max tak lagi berada di dalam kamarnya.

'Kemana dia?'

Kaki Gabriella yang mengenakan sendal jepit menyeretnya di ruang keluarga dan mendapati Max yang akan bersiap-siap untuk tidur di sofa.

'Astaga, dia benar-benar mendengarkan perkataanku!'

"Max?"

Max memutar badannya dan menghadap ke Gabriella, "Ya."

"Kau serius ingin tidur di sofa?"

"Tentu saja."

"Kenapa tak mau tidur denganku? Maksudku...satu tempat tidur."

Max menaikkan sebelah alisnya, "Kau tau? Aku juga tak suka tidur di sofa, rasanya tak nyaman. Namun, aku lelaki normal, siapa yang tau jika hasratku tiba-tiba muncul dan aku tak bisa mengontrolnya. Dan lagi...dengan pakaianmu yang seperti itu."

Gabriella menundukkan kepalanya, demi melihat pakaian yang ia kenakan, "Pakaian ini?"

"Apa kau tak punya pakaian lain yang lebih tertutup? Kau bisa masuk angin."

"Max, biasanya malah aku hanya mengenakan cd dan kaos seperti yang aku kenakan sekarang, jika sedang sendiri. Tapi karena ada kau, aku memakai celana pendek."

"Benarkah?"

Gabriella mengangguk, lalu menghampiri Max.

"Baiklah, terserah."

"Max, kau...tak ingin mengganti pakaianmu?"

"Pakaian apa?"

"Ah! Aku lupa, besok aku akan membelikannya untukmu, hm?"

"Baiklah terima kasih. Aku mau tidur, selamat malam."
Max sudah berbaring di sofanya dan Gabriella masih terpaku di tempatnya.

"Max...aku ingin mengatakan bahwa ada kamar kosong di sebelah kamarku. Kau bisa menggunakannya."

Max bangkit dengan perlahan dari sofa, lalu menghampiri Gabriella, "Kenapa tak bilang dari tadi?"

"Kau tak bertanya 'kan?"

"Aku sudah bertanya padamu, aku akan tidur di mana tadi."

"Tapi kau tak menanyakan apakah ada kamar kosong 'kan?"

Max mengusap wajahnya, dia benar-benar merasa kesal, namun ia tahan karena dia tau diri, sekarang dia tengah menumpang.

"Uh baiklah, aku akan tidur di kamar sebelahmu saja."
Ujar Max seraya tersenyum terpaksa.
Ya, terpaksa.

Gabriella mengangguk pelan, Max segera saja akan beranjak menuju kamar yang dimaksud Gabriella, namun lengan Max dicekal hingga pemuda itu kini berhadapan kembali dengan gadis blonde itu.

Cup

"Good night and good sleep Max."

Setelah menciumi pipi kanan Max, Gabriella langsung berlari ke kamarnya dengan perasaan bahagia sekaligus gugup.

Sedangkan Max yang masih terpaku di ruang keluarga, lagi-lagi memegangi pipinya.

'Kenapa Gabriella dan Corra melalukan hal yang sama padaku?'

Tbc...

Ciee yang dapat ciuman 2 kali dari 2 wanita yang berbeda, dalam satu hari pula! *Ngelirik Max*

Ah karena aku lagi gak mood sama angka 2, aku tambahin ahhh *berlarikecilmenghampiriMaxdanmengecuppipinya*
Yeayyy jadi 3 ciuman deh :v huehehe.

Btw, wahai readers aku yg kece", kalian suka Gabriella ato Corra?

Gimana ya hari-hari Max yang tinggal bersama Gabriella?

Akankah Max ditangkap polisi lagi, terus masuk penjara?

Keep Reading and Vomment, or if not I will send Max capture and kill you!👹

Regards,
MelQueeeeeen



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top