Part 28 : Death Punishment

MAX terus-terusan mencoba menebak apakah yang akan dilakukan oleh gadis di hadapannya yang sedari tadi tak berani menatap matanya, dan mendiamkan Max.

Max berpikir, untuk apa gadis blonde yang duduk berseberangan dengannya saat ini membesuknya padahal Max sendiri belum ingat jelas siapa gadis itu sebenarnya.

Mungkinkah gadis tersebut memang ingin membesuknya,
atau...
yang lain?

"Apa kau menyuruh petugas untuk mengeluarkanku dan bertemu denganmu hanya untuk saling diam seperti ini? Waktunya bisa habis sia-sia. Jika tak ada yang ingin dibicarakan aku akan masuk ke sel-ku."
Ujar Max membuka suara setelah sekian lama keduanya saling diam, lalu akan beranjak dari kursinya, namun gadis blonde itu segera menahan lengannya.

"Ah, maafkan aku Max. Sebelumnya, apa kau mengingatku?"
Gabriella mencoba menatap mata hazel milik Max, membuat jantung gadis itu menjadi berdetak lebih kencang seperti yang dirasakannya beberapa saat lalu.

Max kembali mendudukkan dirinya, "Tidak. Tapi, aku sebenarnya memang seperti pernah bertemu denganmu, namun...dimana?"
Max terlihat berpikir sembari menggaruk alis tebalnya.

Gadis blonde itu mendesah, "Kau belum tua, tapi sudah pelupa. Aku Gabriella, kau ingat? Kau waktu itu pernah menolongku dari para preman yang ada di gang sempit."

"Gabriella? Uh! Ya! Aku ingat sekarang! Jadi...kau gadis yang waktu itu?"

Gabriella mengangguk kemudian melemparkan senyumannya, "Namamu Max Maxwell 'kan? Max, katakan, kenapa dirimu bisa masuk penjara? Apa gara-gara pembunuhan yang kau lakukan waktu di gang sempit itu?"
Tanya Gabriella memelankan suaranya bahkan nyaris setengah berbisik.

"Bukan, bukan karena itu, aku sudah membunuh banyak orang. Bukan para preman yang waktu itu kau lihat saja, tapi juga para murid di kampusku."

Gabriella berdeham, "Ja-jadi kau seorang psikopat?"

Max mengedikkan bahunya, "Entahlah, aku juga tak tau."

"Baiklah, jika kau seorang pembunuh, mengapa kau menolongku waktu itu, dan tak membunuhku juga?"

"Aku membunuh orang-orang yang bersalah, yang seharusnya mati. Well, kau 'kan tak bersalah."

Gabriella mengangguk paham, gadis itu terus memperhatikan detail-detail wajah tampan Max.
Satu titik pun tak terlewat dari iris abu-abu terangnya, mata hazel indah Max, alis tebalnya, bulu matanya yang agak panjang, dan pandangan yang selalu menusuk sekaligus datar yang menjadi ciri khas pemuda di depannya.

Dan entah kenapa Gabriella menyadari sesuatu, jika pesona Max membuatnya tak pernah bosan untuk memperhatikan pemuda itu.

"Oke, sudah cukup bicaranya, aku tak ingin kau mengetahui lebih banyak tentang diriku. Lagipula, kau di sini apa memang sengaja ingin mengunjungiku?"

Gabriella menggeleng cepat, "Tentu saja tidak, aku bahkan tak tau jika kau masuk penjara. Aku ke sini untuk bertemu dengan Garrison, polisi yang tadi, tapi setelah aku mendengar di sel-mu terjadi keributan bersama Garrison, aku melihatmu dan langsung mengingatmu. Ah, maaf aku lupa, terima kasih atas pertolonganmu waktu itu. Jika kau tak ada, aku tak tau lagi apa yang akan terjadi padaku oleh preman-preman itu, aku benar-benar berterima kasih Max."
Gabriella tersenyum manis hingga matanya terpejam, membuat Max yang melihat itu ikut tersenyum tipis.

"Bukan masalah, oke, aku akan masuk ke sel-ku dulu."
Max bangkit dari duduknya diikuti dengan Gabriella, tangan Gabriella segera menahan lengan Max (lagi) ketika pemuda tersebut akan berbalik dan kembali ke selnya.

"Max, aku ingin membalas budimu. Aku tau tak ada orang yang ingin berada di sini, jadi...maukah kau menerima pembalasan budi dariku?"

♥♥♥

Rumah mewah berlantai 3 itu benar-benar membuat siapapun yang masuk ke dalamnya akan tertegun atau mungkin ternganga karena bukan hanya rumahnya yang besar dan megah, tapi juga barang-barang mewah dan berkelas yang ada di dalamnya yang mengisi rumah milik Charlie tersebut.

Namun, tidak dengan pria tampan berkumis tipis yang memiliki model rambut layer undercut yang baru saja menginjakkan kaki di rumah itu, ia terlihat santai dan berjalan dengan tenang, karena memang itu bukan kali pertama baginya memasuki rumah milik Charlie, ketuanya.

Dia tersenyum sekilas kala mendapati para maid dan juga penjaga rumah Charlie yang dilewatinya membungkuk hormat padanya.

Garrison menghentikan langkahnya sejenak untuk memencet tombol yang membuat pintu lift di depannya terbuka, lalu melanjutkan langkahnya memasuki lift dan melakukan pencetan lagi di tombol dalam lift.

Dua menitan lift itu membawanya ke tempat yang jadi sasarannya, dan setelah bunyi 'ting', pintu lift terbuka lebar membuat Garrison melangkahkan kakinya ke luar.

Garrison menatap sejenak pintu berwarna coklat di hadapannya yang terdapat tulisan 'Chief Charlie Brown'.

Tangan Garrison mengetuk pelan pintu itu, dan setelah beberapa kali barulah ia menangkap jawaban dari dalam, dan langsung membuka pintunya.

Garrison memberi hormat pada laki-laki berpakaian santai di depannya yang kini sedang duduk sambil menikmati teh.

"Anda memanggil saya, pak Chief Charlie?"
Tanya Garrison masih dengan memposisikan tangan kanan di dahi, memberi hormat.

Charlie membalas hormatan Garrison dan mengisyaratkan pemuda tampan bermata biru di hadapannya untuk duduk di kursi depannya.

Langsung saja Garrison beranjak dari tempatnya semula, paham akan maksud ketuanya itu.

"Apa keadaan di kantor baik-baik saja?"
Charlie bertanya sembari meneguk tehnya.

"Ya, semuanya baik-baik saja pak."

Charlie manggut-manggut kemudian meletakkan cangkir tehnya di tempat semula.

"Kalau boleh saya tau, ada apa bapak memanggil saya ke sini? Pasti ada hal penting, tapi...apakah itu?"

"Kau benar, memang ada hal penting yang ingin kubicarakan. Tapi sebelum itu, pembunuh anakku, kau sudah berhasil menangkapnya 'kan?"

Garrison mengangguk, "Ya, dia sudah di tempatkan pada sel tahanan."

"Siapa namanya?"

"Max Maxwell, pak."

Charlie menghembuskan nafasnya kasar, "Apa dia seorang psikopat? Dia satu kampus dengan anakku, namun dari informasi yang kau dapatkan dari kampusnya, menyatakan jika anak itu dikenal aneh oleh seisi kampus. Apa sebenarnya dasar dirinya membunuh putraku?"

Garrison membetulkan posisi duduknya, kemudian mengalihkan pandangan ke name tag yang terpampang di ujung kanan meja Charlie di hadapannya, "Saya juga tak tau apakah dia seorang psikopat atau bukan, tapi yang jelas ia memang anak yatim piatu yang tak suka bergaul dengan teman-teman di kampusnya, maka dari itu dirinya mendapat julukan 'aneh'. Bisa jadi dia memang seorang psikopat atau pun sosiopat, namun alasan jelas dirinya membunuh putra anda juga saya belum tau. Saat dirinya diinterogasi ia tak mengatakan sepatah katapun, dia hanya diam sambil menatap saya dingin, maka dari itu susah mengetahui detailnya."
Jelas Garrison panjang lebar, yang disimak oleh Charlie baik-baik.

Pria berumur 41 tahun itu terlihat memikirkan kata-kata yang baru saja disampaikan Garrison.

"Dengar, Gabriella sudah kembali sejak lama, kau tau itu 'kan?"

Garrison mengangguk kemudian tersenyum, "Ya, anda yang memberitahuku pada saat hari kepulangannya waktu itu. Dan Gabriella baru saja tadi menemuiku ke kantor."

Charlie tersentak dan menaikkan sebelah alisnya, "Gabriella datang ke kantor? Untuk apa?"

"Dia bilang merindukan suasana kantor polisi ayahnya. Memangnya ia tak memberitahu anda?"

Charlie menggeleng, "Tidak, aku tak bisa menanyai bodyguardnya setiap waktu jika ia ingin bepergian, bukan? Lagipula Gabriella anak yang keras kepala, ia paling risih jika dirinya dijaga sedemikian ketat. Bodyguardnya itu pun kuberikan secara paksa, setelah sebelumnya ia menolak mati-matian."

Garrison tersenyum miring, "Ya, saya cukup mengenalnya, dan keras kepala memang sifat buruknya."

Charlie ikutan tersenyum, hingga garis tipis di wajahnya kelihatan, menandakan umurnya yang akan semakin tua.
"Lalu Garrison, apa kau menunjukkan siapa orang yang sudah membunuh putraku pada Gabriella?"

"Maaf, saya lupa memberitahunya, karena buru-buru ke sini. Nanti akan saya beritahu jika ia datang lagi."

Charlie menggeleng cepat, "Tidak, kau tak boleh memberitahunya Garrison, aku tak ingin Gabriella merasa terpukul lagi, biarkan dia tak mengetahui siapa pembunuhnya."

Garrison mengernyitkan dahi, "Anda yakin? Saya tau Gabriella memang masih sedih atas kepergian putra bapak, tapi dia juga harus mengetahuinya."

"Tidak Garrison, ini sudah menjadi keputusanku. Selama ini ia hanya tau pembunuh anakku belum ditemukan. Jadi, aku minta padamu untuk tetap bilang padanya jika pembunuhnya masih belum ditemukan."

Garrison mengangguk paham, "Baiklah pak. Saya mengerti. Jadi, hal pentingnya hanya itu?"

"Ada satu hal lagi,

Charlie menggantung kalimatnya dan mengubah ekspresinya menjadi lebih serius.

...-aku ingin kau memberi hukuman mati pada Max Maxwell, secepatnya."

Tbc...

Kata-kata terakhir horror bangettttttttttt🙇😭😭😭😭

Gimana? Apa yang kalian rasain pas ngebaca kata-kata terakhir, ungkapkan dengan satu kata di komen!

To Max, tenang, I will save you, because you are mine...

Keep Reading and Vomment, or if not I will send Max capture and kill you!👹

Regards,
MelQueeeeeen

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top