Part 16 : Goodbye Uncle
PEMUDA yang mempunyai manik mata berwarna hazel itu menatap lurus ke depan, ke arah jalanan yang sedang dalam keadaan tak terlalu ramai, dikarenakan panas matahari yang terik membuat orang-orang lebih memilih melindungi diri di rumah agar kulit mereka tak menjadi memerah karena cahaya ultraviolet.
Wajahnya menunjukkan ekspresi datar seperti biasa, nafasnya pun terdengar tenang dan teratur.
Namun ada yang mengganjal dengan tampang dinginnya, matanya kelihatan membengkak diikuti dengan hidungnya yang memerah.
Rambut hitamnya yang biasa terlihat agak acak-acakan kini bertambah berantakan.
Dia habis menangis, tentu saja.
Siapapun yang memperhatikan penampilan Max saat ini, sudah tau jika pemuda itu baru saja habis menangis.
Terlihat Max mengerutkan keningnya, kembali mengingat perkataan yang keluar dari mulut Kelly.
Tangan sebelah kanannya yang memegang stir mobil, kini berpindah untuk memijit keningnya.
Dia sangat kecewa. Benar-benar kecewa.
Perasaannya selama ini tak terbalaskan dan lagi meskipun gadis yang dicintainya sudah mengetahui perasaannya, gadis itu tetap mencintai kekasihnya.
Tidak, Max tak ingin memaksakan perasaannya terhadap Kelly, namun dia juga tak bisa menahan perasaannya dan ingin Kelly menerimanya.
Sekarang Max merasa benar-benar frustasi karena dia sudah terlanjur mengatakan Kelly boleh pergi dari rumahnya dan melupakan perjanjiannya dengan gadis bermanik emerald tersebut.
Dia menghela nafas kasar, kedua tangannya yang sudah kembali pada pegangan stir mobil kini mengepal kuat, Max hanya bisa menahan perasaannya sekarang.
Pemuda berambut hitam itu membawa mobilnya ke sebuah mini market dan berniat membeli sekaleng coke untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering.
Langkah kaki Max yang mengenakan sepatu Adidas berwarna tosca mulai memasuki mini market.
Biarlah, dia akan mencoba menenangkan diri dan melupakan Kelly-nya untuk sesaat.
•|•
Varel tersentak dan terbangun dari tidurnya lalu segera mengucek matanya ketika merasakan handphone miliknya bergetar, tanda panggilan masuk.
Mata pemuda berambut pirang itu segera terbuka sempurna ketika melihat nama yang tertera di layar hpnya.
Langsung saja ia menekan tombol hijau dan menjawab panggilan yang baru saja diterima.
"Halo Kelly, kau dimana?!"
Tanyanya tak sabaran disertai dengan nada khawatir.
"Halo Varel. Maaf ya tak memberitahumu, aku sedang di rumah teman baruku."
"Kenapa kau tak memberitahuku? Dan lagi, kenapa kau sampai tak masuk kuliah? Kau tau, aku mengkhawatirkanmu sayang. Aku mencoba meneleponmu terus-terusan, tapi hpmu selalu saja tak aktif, dan sekarang aku sedang ada di rumahmu dan menunggumu pulang. Pulanglah sekarang juga Kelly."
"Ah, maafkan aku, kau sampai ke rumahku? Bagaimana kau bisa membuka pintunya? Aku ingat sekali sudah mengunci pintu rumahku. Apa kau mendobraknya?"
"Ya. Cepatlah pulang, aku sampai ketiduran di sofamu karena menunggumu."
"Varel sayang, a-aku...sebenarnya ingin mengatakan sesuatu. Maafkan aku membuatmu khawatir, tapi aku tak bisa pulang sekarang juga."
"Tapi kenapa Kelly? Hei, suaramu kedengaran serak, apa kau baik-baik saja? Kau tak habis menangis kan?"
"Varel, a-aku..."
"Cepatlah Kelly, ada apa?"
"Aku ingin kita putus. A-aku tak ingin kau mencariku, sekarang aku tinggal bersama Max Maxwell. Dengar, aku mohon padamu jangan pernah mencoba mencariku rel."
"Apa?! Apa-apaan ini? Kau bercanda kan? Kelly katakan jika ini hanya bercanda. Kenapa mendadak sekali? Maksudku, kenapa kau mendadak memutuskanku tanpa alasan yang jelas?! Dan lagi, apa maksudmu dengan tinggal bersama Max, si aneh yang satu kelas dengan kita itu?"
"Mulai saat ini, aku dan Max resmi menjadi kekasih. Ja-jadi, jangan coba mencariku atau menghubungiku lagi. Max memberitahuku jika kau berselingkuh dengan Nathalie, itu alasan yang tepat 'kan untuk memutuskanmu? Maaf rel, a-aku harus mematikan panggilannya."
"Kelly! Tunggu! Hei apa yang-..."
Tut tut tut
Varel langsung saja melempar hpnya ke sofa.
Dia meremas rambutnya kasar disertai dengan umpatan yang kini lolos dari mulutnya.
"Apa-apaan ini?! Tidak, Kelly tak boleh memutuskanku! Max? Si aneh itu bagaimana dia bisa tau hubunganku dengan Nathalie? Apa Nathalie yang memberitahunya? Tak mungkin, bahkan Nathalie tak pernah berbicara dengan pria itu. Sial! Bagaimana bisa Kelly-ku pacaran dengan pria aneh itu? Tidak! Ini pasti ada sesuatu, aku harus mencari tau!"
Varel segera memungut hpnya yang tergeletak dan langsung mengenakan ransel berwarna hitamnya lalu melangkah ke pintu utama rumah Kelly.
Pemuda bermata coklat itu mengunci pintu rumah Kelly dari luar setelah sebelumnya dia mengambil kunci tersebut di atas meja di samping pintu utama.
Varel mendorong pelan kunci itu di bawah celah pintu rumah Kelly, dan segera beranjak memasuki mobil putihnya.
♥♦♥
Kelly menatap kosong pemandangan di luar rumah Max dari jendela kamar pemuda itu.
Air matanya menetes lagi, untuk yang kesekian kalinya.
Dia sendiri bingung dengan dirinya.
Ia baru saja memutuskan Varel, padahal dia masih sangat mencintai pemuda yang kini sudah berstatus mantan kekasihnya itu.
Tidak, Kelly tidak benar-benar mempercayai Max tentang perselingkuhan Varel dengan Nathalie.
Dia hanya menjadikan itu alasan untuk memutuskan Varel, dan membohonginya dengan mengatakan dia sudah resmi berpacaran dengan Max.
Entahlah, Kelly sendiri hanya takut jika Max berbohong mengatakan jika dia tak peduli lagi dengan perjanjian yang dibuatnya.
Maka dari itu dia membohongi Varel dan harus rela memutuskan orang yang dicintainya demi menyelamatkan nyawanya.
Tapi, rasa-rasanya Kelly tak yakin jika hanya alasan itu saja menjadi pacuannya memutuskan dan membohongi Varel.
Tidak!
Ada sesuatu yang lain.
Ada sesuatu yang membuatnya khawatir untuk meninggalkan Max.
Setelah melihat beberapa kali pemuda bermata hazel itu menangis di hadapannya, dua hal yang Kelly tau.
Max kesepian dan rapuh.
Dan entah mengapa, dengan mengingat pengungkapan isi hati Max saja, membuat Kelly ingin menumpahkan air matanya seolah merasakan penderitaan pemuda itu.
Dia juga sadar bahwa yang dikatakannya pada Max tadi, benar-benar membuat pemuda itu terluka.
Dan ia benar-benar ingin minta maaf.
Kelly sendiri juga sudah mendengar cerita Ibu Max yang dibunuh oleh ayah pemuda tersebut.
Dan Kelly dapat menyimpulkan, hal itulah yang memicu karakter Max sendiri.
Kelly hanya ingin menemani Max dan membuat pemuda itu tak merasa kesepian.
Ya, hanya itu saja yang ingin ia lakukan.
〽〽
Max meneguk coke yang berada di genggamannya.
Kepalanya tiba-tiba saja segera menoleh ke kanan ketika menemukan seseorang yang dikenalnya.
Max langsung memposisikan mobilnya bersisian dengan mobil orang yang dikenalnya itu namun dengan jarak yang agak jauh.
Max mengernyitkan keningnya, matanya menatap tajam seorang pria berpakaian rapi yang kini sedang bersama seorang wanita.
Dia adalah Josh Scout, pria tua yang menggoda Kelly-nya saat di toko pakaian tadi.
Max menggertakkan giginya menangkap Josh yang kini masih tak menyadari keberadaannya tengah bercumbu mesra dengan seorang wanita di dalam mobilnya.
Sekitar 2 menitan Josh dan wanitanya itu bercumbu sebelum akhirnya menyudahinya, dan terlihat Josh keluar dari mobil tanpa membawa wanita berambut merah di mobilnya itu.
Max segera ikut turun mengikuti Josh dari belakang dengan jarak yang cukup jauh agar tak ketahuan.
Pria berjas tersebut rupanya berhenti di sebuah kedai kopi yang di sebelahnya terdapat gang kecil yang kelihatan sepi.
Maka Max memutuskan untuk menunggu di gang yang ditemuinya hingga Josh keluar dari kedai.
Sekitar 15 menitan, Josh keluar dari kedai dengan menjinjing paper bag dengan dua gelas kopi di dalamnya.
Max langsung saja menarik tangan Josh saat pria tersebut mulai melewati gang kecil tempat Max berada.
"Halo paman."
"Kau?!"
"Ya, aku yang tadi. Kau ingat aku kan paman?"
Max menyeringai dan langsung meninju wajah Josh dengan kuat hingga membuat Josh tak sadarkan diri.
Max terkekeh, dan langsung menyeret tubuh Josh membawanya memasuki gang sepi itu lebih dalam lagi.
↗↖
Josh mengerjapkan matanya berulang kali menetralisir pandangannya, tangan kekarnya bergerak memegangi pipinya yang lebam dan terasa ngilu.
Pria bersetelan jas itu tersentak ketika merasakan sesuatu yang panas menimpa tubuhnya.
"Hei, bangun."
Suara dari seorang pemuda yang dikenalinya sekaligus dibencinya kini menyadarkannya jika pemuda itulah yang menciptakan rasa panas yang saat ini menjalari kulitnya.
Dua gelas kopi yang dibelinya untuk dirinya dan juga wanita bayarannya sedang ditumpahkan Max pada tubuhnya.
"Dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?!"
Josh langsung bangkit dan mengibas-ngibaskan tangannya di tubuhnya yang terasa dibakar.
"Aku membangunkanmu, apalagi?"
Max tersenyum miring, kemudian menarik jas yang dikenakan Josh, hingga tubuh pria itu mendekat padanya.
"Apa yang kau inginkan, hah?! Apa kau tak puas mempermalukanku di depan umum seperti tadi?! Dengar, kau itu hanya seorang mahasiswa, atas perbuatanmu di toko pakaian tadi aku bisa saja melaporkanmu ke polisi karena telah menyakitiku!"
Josh melepaskan diri dari tarikan Max dengan kasar seraya memberi pemuda bermata hazel di depannya tatapan tajam.
"Uh? Kau tau paman? Aku tak takut pada polisi, untuk apa takut sih? Mereka memakan makanan yang sama dengan kita. Lalu untuk apa takut? Jadi, segeralah laporkan aku ke polisi, paman."
Josh mendecih, "Sombong sekali perkataanmu! Jika sudah terjadi kau akan menjilat kata-katamu sendiri!"
"Astaga, aku serius, sekarang cepatlah hubungi nomor polisi dan segera laporkan aku."
Josh tersenyum sinis, "Baiklah, aku benar-benar akan melaporkannya karena kau memaksa. Kuharap kau tak menyesal."
Josh segera merogoh hp dari saku kemejanya dan mengetikkan nomor polisi, seperti yang disarankan Max.
Namun, belum selesai pria bermata abu-abu itu mengetikkan nomornya, Max sudah menendang hp milik Josh hingga kini benda tersebut tergeletak dengan kondisi yang retak.
Max segera menyeret kakinya mendekati hp Josh, dan langsung menghancurkan benda persegi itu dengan sekali pijakan.
"Sial! Kau takut kan akhirnya?!"
Josh hanya bisa menatap hpnya yang kini sudah hancur tak berbentuk, itu bukan masalah baginya, dia bisa mengganti hpnya dengan yang baru dengan begitu mudah dan cepat.
Max memandang datar Josh yang kini berada di hadapannya.
Pemuda bermata hazel itu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya.
Sebuah pisau lipat.
"Apa yang akan kau lakukan dengan benda itu?!"
Josh terlihat sedikit ketakutan, pria itu kini beranggapan jika Max benar-benar tak waras, dan merutuki nasibnya harus bertemu dengan pemuda tersebut lagi.
"Ayo bermain paman."
Max menyeringai, dan dengan gerakan secepat kilat langsung menendang wajah Josh hingga membuatnya terjerembab ke semen gang kecil itu.
Max mulai menaiki tubuh Josh yang kini terlentang, pemuda itu seperti orang kesetanan karena terus-terusan menyeringai seram.
"Lepaskan aku sialan!!! Apa-apaan ini!!! Jauhkan pisau itu dari tubuhku!"
"Maaf paman, aku sedang ingin bermain sekarang juga."
"APA YANG?-ARRRGHHH"
Max menusukkan pisaunya tepat ke jakun milik Josh, kemudian mencabut pisau itu lagi dan mulai menggerek leher Josh dengan susah payah karena pisaunya yang terlalu kecil.
Sedangkan Josh kini tak bisa bersuara lagi, nyawanya sudah sekarat, lehernya saat ini terkulai hingga beberapa gerekan lagi akan membuat kepalanya terpisah dari tubuhnya.
Max tertawa puas, mata abu-abu milik Josh mengerjap-ngerjap sembari tangannya terus memegangi lehernya yang dalam kondisi mengenaskan.
Josh terlihat mengeluarkan air mata tanpa suara, tenggorokannya sudah terputus, tentu saja hal itu membuatnya tak bisa menimbulkan suara lagi.
Josh ingin mati sekarang,
Josh ingin Max segera menyelesaikan memotong lehernya, agar tak membuatnya merasakan kesekaratannya yang benar-benar menyiksa.
"Tak bisa bicara paman? Uh kasihan sekali kau harus menghadapi ini ya. Ucapkan selamat tinggal pada dunia dulu paman, setelah itu baru aku akan menyudahi penderitaanmu, hahaha."
Max masih menatap Josh dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Yang jelas, wajah pemuda itu terlihat benar-benar puas.
"Dasar bodoh! Kan kubilang ucapkan selamat tinggal! Kenapa diam saja, heh?!!!"
Max mulai mengiris sisa leher Josh, hingga kini kepala pria itu sudah benar-benar terlepas dari tubuhnya.
Josh tewas dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Max mulai mengelapi wajahnya yang tersembur darah dengan sapu tangannya.
Pemuda berambut hitam itu kini bangkit dari tubuh Josh, dengan pisau lipat tadi yang kini digenggamnya.
Max menatap dingin pisau lipatnya yang bersimbah darah.
Kemudian tawanya memecah di gang kecil itu.
"Well, siapa selanjutnya?"
Tbc...
Siapa yang mau jd korban Max selanjutnya?
Silahkan daftar sama aku:3
Btw tenang aja ya, konfliknya emg belum muncul?
Ntar konfliknya akan dtg secara beruntun *tertawajahat*
Tenang aja dan jgn bosan ya^^
Keep Reading and Vomment, or if not I will send Max capture and kill you!👹
Regards,
MelQueeeeeen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top