Part 11 : Dark Memory

Udara malam yang menusuk kulit hingga sampai ke ubun-ubun, memasuki sebuah rumah berlantai porselen putih yang kini pintunya dibiarkan terbuka.

Angin malam yang terus berhembus dan kilatan cahaya petir yang melintas di langit menandakan jika akan turunnya hujan.

Simon Maxwell, nama pria yang memiliki rumah dengan pintu terbuka tadi.
Kekehan pelan lolos dari mulutnya, kemudian tergantikan dengan tawanya yang menyeramkan.
Kakinya yang tak mengenakan alas apapun, kini menapaki dan merasakan darah pekat yang kini membanjiri lantai putihnya.

Dia berjalan menghampiri mayat yang dihabisinya sekitar 10 menit lalu dengan gergaji mesinnya.
Tangannya bergerak meraih sebuah kepala yang sudah putus kemudian menjinjing kepala tersebut.

Simon mengangkat kepala itu menghadap tepat ke depan wajahnya.

"Halo Miranda sayang." Dia terkekeh lagi, lalu menyentuh mata Miranda yang masih terbuka. Jelas sekali mata wanita itu tersirat penuh ketakutan dan menatapnya dalam.

"Kenapa memandangku seperti itu, heh? Ck, sudah mati pun kau masih saja menunjukkan mata hijau indahmu."
Simon mengusap wajah yang ada di depannya dari atas hingga bawah, membuat mata Miranda yang tadinya terbuka kini tertutup untuk selamanya.

"Ayah, a-ayah sudah membunuh Ibu!"
Teriak seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun yang kini keluar dari persembunyiannya pada tembok di dekat Simon berada.

"Oh anak ayah yang pintar, jadi kau mengintip ya? Perlu diketahui nak, ayah tak membunuh ibumu, ayah hanya mengantarkannya di surga, hahahaha."
Tawa Simon memenuhi ruangan itu, membuat bocah yang memiliki mata yang sama dengannya memandang benci kepada Simon.

"Ayah bohong! Ayah pembunuh! Ayah sudah membunuh Ibu-ku! Aku benci ayah, aku sangat benci!"

Simon memiringkan kepalanya, kemudian menghampiri anaknya yang memiliki banyak kesamaan dengannya itu, lalu melemparkan asal kepala Miranda yang tadi dijinjingnya.

Simon berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan anaknya itu.
Tangan Simon bergerak menyentuh pipi gembul milik sang anak, air mata bocah itu sudah berada di pelupuk matanya, siap menangis kapan saja.

Simon tersenyum miring, "Dengar Max, ayah tak peduli jika kau membenci ayah. Ibumu pantas mati, dia sudah mengandung adik baru untukmu tapi bukan ayah yang membuatnya. Bukankah seharusnya kau membenci ibumu, heh?"

Max kecil menggeleng cepat, tangan kecilnya menyingkirkan tangan kekar sang ayah dengan kasar.

"Aku membenci ayah! Ayah selalu memaksa ibu untuk mencari uang sedangkan ayah sendiri tak bekerja! Kau tak pantas menjadi ayahku! Aku membencimu karena kau sudah membunuh Ibuku-..."

Plak!

Max kecil jatuh terduduk ketika tamparan Simon yang begitu keras mengenai pipinya.
Air mata kini mengalir deras membasahi pipinya, dirinya menangis sesegukan seraya memandang ayahnya dengan tatapan kebencian.

"Kau hanya bocah yang tak tau apa-apa! Jadi diamlah sebelum kau juga kubunuh seperti Ibumu ini!"
Simon kembali menjinjing kepala Miranda dan mengangkatnya ke hadapan Max.

"Ayah pembunuh! Ayah jahat! Ayah akan segera ditangkap polisi!"

"DIAMLAH MAX MAXWELL!"

Simon melemparkan lagi kepala Miranda ke arah Max kecil, bocah itu menyentuh wajah Ibunya yang sudah tak bernyawa, tak ada perasaan jijik atau apapun ketika darah dari kepala yang putus itu mengotori bajunya.

Max kemudian memeluk kepala Ibunya sambil menangis, ia tak henti-hentinya menggumamkan kata-kata yang menyayat hati.

Perhatian Max teralihkan ketika suara gergaji mesin, alat untuk memotong kepala ibunya berbunyi.

"Anak ayah yang tampan dan pintar, ayah akan mengirimmu menemui ibumu. Itu yang kau inginkan 'kan? Jadi berterima kasihlah kepada ayahmu yang jahat ini sayang."
Simon mengangkat gergaji mesin yang sudah dihidupkan tepat di depan Max.

"TIDAK AYAH! HENTIKAN!!!"

"HENTIKAN AYAH! HENTIKAN!!!"
Teriakan Max memenuhi kamar berdominasi warna biru dongker itu, sehingga membuat Kelly yang berada di ruang tamu, buru-buru menghampirinya ke kamar.

"Max?! Ada apa?!"
Kelly bergerak naik ke atas kasur, dan menyentuh pundak pemuda yang kini terduduk itu.
Max menghela nafas panjang, dia mengusap wajahnya dengan kasar sembari tertunduk.

"Max...?" Kelly mengangkat dagu Max, hingga laki-laki itu kini mendongak menatapnya.

"Kau tak apa? Apa yang terjadi? Apa kau bermimpi buruk?"
Max hanya menggeleng pelan, namun matanya menunjukkan jejak-jejak air mata yang akan keluar.

"Kau tak ingin berbagi denganku?"
Tanya Kelly lagi, wanita itu tetap penasaran dengan apa yang terjadi dengan pria di depannya.

Max menarik nafasnya kemudian menghembuskannya perlahan.
"Aku bermimpi buruk, tapi kejadian di mimpiku benar kualami saat kecil, bisa dibilang itu seperti sebuah memori yang terus menghantuiku."

"Apa itu? Maksudku kenangan apa yang mengusikmu?"

"Kenangan saat Ibuku mati dibunuh oleh Ayah."

Kelly tersentak dan refleks menutup mulutnya yang terbuka.
Gadis tersebut kini menyaksikan Max yang mengeluarkan air matanya lagi, menangis di hadapannya.

"Ke-kenapa ayahmu membunuh ibumu, Max?"

"Ibu saat itu mengandung bayi dari laki-laki lain. Kau tau Kelly? Aku waktu itu berumur 10 tahun, dan aku mengerti semua yang terjadi di rumah. Ayahku menjual ibuku ke tempat hiburan malam, lalu ada pria yang memesannya, maka dari itu ibu sampai hamil. Dan sialnya, ayahku malah menyalahkan ibu kemudian membunuhnya. Aku melihat dengan jelas ketika ayah memutuskan kepala ibu, ayah adalah laki-laki paling tak waras yang pernah kutemui."
Ungkap Max dengan suara yang bergetar, air mata pemuda itu kini merembes ke pipinya, membuat Kelly dengan tak sadar ikut menitikkan air mata mendengar cerita masa lalu Max yang memilukan.

"Aku sangat membencinya! Aku benci harus punya ayah sepertinya-..."

"Sudah Max, hentikan."
Kelly langsung menghambur memeluk Max, menenangkan pemuda itu dengan mengelus punggungnya.

"Kenapa harus Ibu-ku yang dibunuh? Aku sangat menyayangi ibu, aku-..."

Kelly mengusap lembut punggung Max, bahu pemuda itu kini bergetar disertai dengan isakan tangisnya yang semakin membuat Kelly seperti ikut merasakan penderitaan pemuda di pelukannya.
"Ssssttt Max, sudah berhentilah. Tenanglah, hm? Kau tau? Aku juga sudah lama kehilangan kedua orang tuaku, mereka meninggal dalam kecelakaan. Setidaknya aku mengerti perasaanmu, jadi tenanglah."

Kelly melepaskan pelukannya, tangannya bergerak ke arah pipi Max, mengusap air mata pria itu.

"Sekarang kau mandilah, sudah jam 8 pagi. Setelah itu kita sarapan, aku sudah memanaskan makanan kita yang tidak habis tadi malam."
Max hanya menuruti perkataan Kelly seperti seorang anak yang menuruti perkataan ibunya, tanpa sepatah kata pun.

Kelly menatap punggung Max yang kini berjalan ke arah kamar mandi.
"Mungkinkah itu sebabnya dia menjadi pembunuh dan menutup diri pada semua orang?"
Gumam Kelly bertanya kepada dirinya sendiri, gadis tersebut mengusap air matanya dan kemudian beranjak membuka jendela kamar milik Max.

|||

"Kau menggunakan dapurku untuk memanaskan makanannya?"
Tanya Max tanpa melihat lawan bicaranya karena dia sedang sibuk mengelap rambut basahnya dengan handuk sehabis mandi.

"Ah ya, ada apa?"
Kelly mengangkat satu persatu makanan ke meja makan dan menatanya.

"Kau tak boleh melakukannya lagi, biarkan aku yang memasak untukmu. Aku tak ingin merepotkanmu, Kelly."

Kelly menggeleng cepat, "Tidak Max, ini sama sekali tak merepotkanku, aku sudah terbiasa memasak sendiri."

Max menggeser kursi yang berhadapan dengan Kelly, pemuda itu kini melilitkan handuknya di lehernya.

"Baiklah, terserah kau saja." Balas Max sembari memandang Kelly, Max menaikkan sebelah alisnya begitu mendapati wajah Kelly, "Ada apa dengan wajahmu? Wajahmu memerah, apa kau baik-baik saja?"

Kelly tersentak, lalu membuang wajahnya ke arah lain.
"Max, ke-kenakan pakaianmu dulu sebelum makan."

Max menunduk dan mendapati tubuh bagian atasnya yang ter'ekspos.
"Maafkan aku." Max menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan segera bangkit dari kursinya lalu melangkah ke arah kamarnya, meninggalkan Kelly yang masih merona, karena gadis itu dapat melihat dengan jelas tubuh sixpack Max terpampang nyata di hadapannya.

'Demi apapun tubuh Max sangat sexy!'
Kelly menepuk kedua pipinya agak keras, merutuki pikiran-pikiran anehnya yang kini memenuhi otaknya.

"Astaga Kelly! Sebenarnya apa yang kau pikirkan?!"

Tbc...

Pikiran" aneh itu bisa bermacam-macam yaa, jgn langsung menjurus ke hal-hal "itu" oke? 😂
Part selanjutnya akan di-up seminggu lagi ya^^ setuju nggak?
Kalo banyak yg gak setuju aku percepat dehh😁

Keep Reading and Vomment, or if not I will send Max capture and kill you!👹


Regards,
M

elQueeeeeen


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top