Enam
Don't forget to Vomment,
Manteman
💞
______________________________
Malam ini, kejadian langka baru saja menimpaku. Kelapa yang harus kupanjat susah payah untuk mendapatkan buahnya itu sekarang sudah tak mustahil lagi untukku. Tanpa melakukan apapun, dengan sendirinya kelapa itu sudah mendarat mulus di hadapanku.
Apakah ini kesempatan, Tuhan?
Apakah ini kesempatan untukku?
Akankah kesempatan ini datang dua kali?
Jika tidak, itu berarti aku harus benar-benar memanfaatkannya, bukan?
Tapi, bagaimana jika kaki lemah ini salah melangkah?
Akankah berdampak besar nantinya?
Tuhan,
Tak bisakah kau beri petunjuk yang jelas kepadaku?
Buku harian merah muda kini tertutup rapat. Gadis dengan setelan maroon itu menata kembali barang-barang di atas meja belajarnya, rapi seperti semula.
Kakinya melangkah meninggalkan meja menuju balkon di luar jendela. Rambutnya terurai hampir menutupi separuh punggungnya. Matanya memandang rimbunnya pepohonan di luar sana--- tak ada apapun selain bayangan kegelapan. Malam dingin mencengkram hingga ke pori-pori terdalam. Bersama cahaya bintang dan bulan, ia menemani sang malam. Sesekali ia menengadah menghadap bintang. Menatap sendu pada setiap rasi yang bertaburan. Mengeluarkan suara hati yang tak terdengar pada sang rembulan. Menyampaikan tulisan kalimat yang tak terucapkan.
Terlintas kejadian yang berlalu hampir satu jam itu. Kepalanya terus berputar memikirkan hal sama yang tak berujung. Sudah tengah malam, mata Bestie masih terbuka lebar, ia masih sanggup menahan kantuk yang menyerang kedua matanya itu.
Hembusan angin menerpa wajahnya. Membuat kedua matanya terpejam mengikuti arah angin yang menyerangnya. Kedua matanya terbuka ketika ponselnya berdering di dalam sana--- sebuah panggilan yang memaksanya berpisah dengan alam.
Tiva memanggilnya, melalui video call.
"Dasar. Beneran gak bisa lihat waktu lagi nih anak," gerutu Bestie sebelum menerima panggilan Tiva.
"Oh My Godness, My Bestie!!! Untung lo angkat telepon gue! Oh My God! Oh My God! Oh My God! Bestie! Bestie! Bestie!" gebu Tiva tak memberi celah Bestie berbicara.
"Oke, tenang, Tiva. Tarik napas. Buang. Tarik napas. Buang. Tarik lagi. Terus buang lagi," timpal Tiva mengikuti apa yang ia bicarakan.
"BESTIE!" panggil Tiva berteriak di sana. Ia kesal karena Bestie hanya memandangnya tanpa merespons ucapannya sedikitpun.
"Iya, kenapa, Tiva?" respons Bestie.
"Jujur sama gue! Elo tadi foto sama Reynand?! Pokoknya elo harus jawab jujur!" tanya Tiva masih menggebu.
Mata Bestie melotot mendengar pertanyaan Tiva. Bagaimana dia bisa tahu tentang foto itu? Bukankah tidak ada satupun di antara ponsel mereka yang dijadikan kamera? Lantas dari mana Tiva bisa tahu hal itu?
"Tuh kan, bener! Jadi, perkembangannya udah sejauh ini ya, Bes?! Dan lo gak pake cerita-cerita lagi sama gue?! Gue sahabat elo, Bes! Sahabat elo, Bestie!" gerutu Tiva kesal.
"Bukan gitu, Va. Elo tau berita hoax, kan?" Tiva mengangguk menjawab pertanyaan Bestie. "Gue bukannya gak mau cerita sama elo, tapi soal gue foto sama Reynand itu gak bener, Va. Itu semua hoax. Iya, kita emang foto, tapi gak berdua, Va. Beneran, gue gak bohong," jelas Bestie panjang lebar.
Di sana Tiva merengut, memanyunkan mulutnya ke depan, menandakan bahwa ia sedang kesal.
"Bahkan di saat udah kepergok kaya gini, lo masih gak mau ngaku, Bes? Oke deh, cukup sampai sini aja ya persahabatan kita. Gue mau tidur, bye!" tutup Tiva mengakhiri panggilannya pada Bestie.
"Tapi, Va...."
Bestie melempar ponselnya ke atas kasur empuknya. Ia pasrah pada sikap Tiva malam itu. Bestie tak terlalu memikirkan temannya itu. Ia yakin, besok Tiva pasti akan kembali baik dan menjadi temannya lagi.
Kakinya berjalan perlahan mendekati jendela, hendak menutup jendela yang masih terbuka. Matanya memandang keluar.
"Blenda!" panggilnya berbisik pada angin.
"Apa elo juga ngalamin hal yang sama?" sambungnya masih berbisik pada angin malam di luar sana.
__oOo__
Tidak semua. Beberapa obat memang bagus jika dicampurkan dengan obat lainnya. Setiap penyakit pasti seperti itu--- entah itu penyakit berat atau penyakit ringan sekalipun.
"Bi, tolong ambilkan obat Bapak di meja sana!" perintah Theresia kepada salah satu pembantu di rumahnya.
Tak ada yang tahu apa isi obat itu, kecuali Theresia.
"Bunda, Ayah mau minum obat, ya?" Reynand polos bertanya pada Theresia.
Theresia mengangguk tersenyum, "Iya, biar Ayah bisa cepet-cepet bebas dari penderitaannya, Sayang,"
Perlahan Theresia mengelus pelan pucuk kepala mungil milik Reynand. Usapan lembut yang selalu dinanti-nanti Reynand setiap saat. Kini, semuanya terasa berbeda--- terasa berat dan panas.
"Ini bukan Bunda!" gertaknya berusaha melepaskan telapak tangan di kepalanya, namun gagal.
"Ini Bunda, Sayang,"
Semakin lama tangan Theresia terasa semakin berat dan panas. Bahkan, tangan mulus itu hampir saja membakar kepala kecil Reynand.
"LEPASIN!!!" teriak Reynand bangun dari tidurnya.
Lagi. Mimpi itu terulang kembali, selalu itu yang dipikirkannya setiap kali terbangun seperti ini. Gerah ia rasakan di gelapnya malam itu. Keringat ikut mengalir di setiap inci tubuhnya.
"Are you okay, Rey?" gebu Raka memukul pintu kamar Reynand, tak membiarkan sedetikpun keheningan di pintu itu.
Reynand masih tak bergerak dari kasurnya. Pria itu membutuhkan lebih banyak waktu untuk meyakinkan bahwa dirinya sudah tak berada di mimpi buruk itu lagi.
"Rey? Bisa bukain pintunya? Mungkin, gue bisa bantuin elo di sana," pinta Raka menggebu pada Reynand.
"Gu-Gue baik, kok. Gak papa. Elo lanjut tidur aja," balas Reynand masih di atas kasur empuknya.
Bohong. Raka tahu itu.
"Gue kenal elo, Rey. Buka pintunya sekarang," pinta Raka masih menggebu dari luar sana.
Akhirnya Reynand menyerah. Ia mengangkat bokongnya menuju pintu itu, membuka pintu yang sejak tadi terus digedor oleh Raka.
Ini pertama kalinya Reynand membukakan pintu setelah setiap kali ia terbangun di malam hari. Hening di sana. Reynand tak berbicara, Raka pun tak berusaha untuk berbicara. Hanya tatapan saling membuktikan yang ditunjukkan masing-masing dari mereka. Reynand yang membuktikan bahwa ia baik-baik saja. Dan Raka yang membuktikan bahwa dirinya sangat dibutuhkan di sana.
"Lo bisa tumpahin semuanya ke gue, Rey," buka Raka terang-terangan. "Ini udah bertahun-tahun. Lo bisa tumpahin semuanya sekarang," sambungnya begitu santai.
Reynand menggeleng tak setuju pada ucapan Raka. Mungkin ini sudah keseratus kalinya ia menggeleng seperti itu. Mungkin juga ini sudah keseratus kalinya ia berdiam seperti itu.
Hari sudah menunjukkan pukul dua malam. Selalu seperti ini, Raka menunggunya untuk tidur kembali. Namun karena ulah Evil Mother, itu sebutan yang diberikan Reynand--- kejadian yang selalu menyerangnya saat tidur di malam hari, Raka terpaksa harus menjadi hewan nocturnal. Tidur di siang hari. Terjaga di malam hari. Ya, itu sudah menjadi rutinitasnya semenjak tinggal bersama Reynand.
Biasanya Reynand tak pernah langsung tidur jika sudah begini. Pikirannya akan habis terkuras untuk melupakan mimpinya yang terus terulang itu. Terkadang ia bingung. Perihal mimpinya yang tak berujung. Perihal mimpinya yang tak berguna di masa sekarang. Padahal, sebenarnya Reynand bisa saja membagi bebannya itu pada Raka. Namun ia ragu. Bahkan di tengah malam itu Reynand tak juga membuka mulutnya. Ia tak peduli tentang Raka yang terus duduk menunggunya mengeluarkan suara sepatah kata sekalipun. Ia tak peduli tentang tak teraturnya waktu tidur Raka karena dirinya.
"Oke, gue nyerah. Terserah elo mau sampai kapan simpen semuanya. Saran dari gue cuma satu. Masalah gak bakal selesai kalo cuma dipendem. Cukup ceritain judul masalahnya, itu udah ngurangin beban elo. Percaya sama gue," Raka menepuk pelan pundak kanan Reynand lalu beranjak pergi meninggalkan Reynand sendirian di kamar.
"Sebenernya, . . ."
Ya, Raka sungguh ingin meninggalkan Reynand sendirian di sana. Namun, langkah kakinya terhenti di antara pintu yang memisahkan ruang tamu dan kamar si gynophobia itu. Tubuhnya berbalik. Memandang tatapan bingung pria di dalam sana. Di senyapnya malam, ia terlarut dalam kebingungan seorang gynophobia.
~ cy ~
Ciatciatciat ketemu lagi sama Kaceye🎉🎉
Gatau kenapa lagi suka banget sama panggilan Kaceye itu🙄
Okay, abaikan saja kesukaan saya yang sederhana itu🙈
Intinya sih Kaceye pengen ucapin terimakasih buat siapapun yang udah rela buangin waktu berharganya cuma buat mampir ke MASK ini *huggingplease*
Eitt, Kaceye pengen kasih liat kalian visual Tiva, si poni selamat datang
Nihao!🤗
Wo jiao Tiva🤗
Jangan lelah buat nungguin Kaceye update yaa, Sayang❣️
See yaa😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top