Part 14
“Aku ingin mengajakmu ke pabrik mebelku yang terbakar, kamu mau?” ajak Naresh, kepada Alesha yang berbaring dalam dekapannya.
Gadis itu mengangguk. Ia masih merindukan lelaki itu dan ingin menghabiskan waktu bersama, mumpung bertemu. Mendongak menatap wajah suaminya, ia pun bertanya, “Apa tempatnya jauh dari sini?”
“Lumayan, bisa memakan waktu setengah jam-an sampai pabrik.”
“Kamu ke sini tidak membawa mobil, lalu bagaimana ke sananya?”
“Aku menyewa mobil selama di sini, Sweety.”
Alesha mengangguk paham. Lantas, menduselkan kepala ke ceruk leher lelaki itu mencari kenyamanan, mengeratkan pelukan. Aroma maskulin dari tubuh Naresh menguar begitu menenangkan. Ia menyukainya.
“Aku berharap urusanmu di sini cepat selesai, Naresh. Aku kesepian di apartemen,” ucapnya lirih, suara tenggelam di ceruk leher lelaki itu.
Mengusap rambut gadis dalam dekapannya, Naresh pun berkata, “Aku juga berharap seperti itu. Kalau pun lama, nanti seminggu sekali aku pulang ke Jakarta menjengukmu.”
Alesha terdiam. Ada rasa tidak rela Naresh berlama-lama di Semarang. Namun, ia bisa apa? Pekerjaan lelaki itu sedang butuh penanganan khusus.
“Setelah dari pabrik, aku juga ingin mengajakmu jalan-jalan menikmati destinasi wisata di Semarang. Nanti aku minta informasi kepada rekanku yang asli orang sini, tempat apa saja yang bagus untuk dikunjungi.”
Sekali lagi Alesha mengangguk tanpa bersuara. Matanya terpejam. Kantuk pun mulai mengundang. Semalaman ia tidak tidur, berjaga sepanjang jalan menemani Diana mengemudi.
Siang harinya, mereka berdua sudah berada di pabrik mebel bekas kebakaran. Ada banyak pekerja yang sedang membereskan puing-puing dibantu alat berat. Sementara pabrik yang masih bisa terselamatkan, tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Melihatnya, hati Alesha terenyuh. Ia sudah bisa membayangkan seberapa besar kerugian yang dialami pabrik itu.
“Berapa hektar pabrik ini, Naresh?” tanya Alesha, mengamati sekitar. Kaki jenjangnya yang terbalut celana jeans warna biru melangkah hati-hati, menginjak tanah berabu.
“Luasnya sekitar tiga belas hektar. Tapi yang terbakar sekitar lima hektaran. Tempat penyimpanan furnitur yang sudah siap dipasarkan.”
Alesha mengangguk paham. “Cukup parah. Lalu bagaimana dengan klienmu? Apa mereka menuntut ganti rugi?”
Ia berhenti melangkah. Tangannya yang digenggam Naresh dilepaskan, lalu terulur memegang kayu yang sudah menjadi arang. Menyisakan jejak hitam di ujung jemarinya.
“Masih kami pikirkan. Sebagian ada yang menuntut ganti rugi, sebagian ada yang mengerti karena ini kecelakaan dan mau menunggu ganti furnitur baru. Papa juga akan membangun pabrik ini lagi segera mungkin. Minggu depan dia pulang ke sini untuk berunding, banyak ribuan pekerja yang harus kami pikirkan nasibnya, Alesha.”
“Apa penyebab kebakarannya belum diketahui juga?” Gadis itu menatap wajah Naresh yang tertutup masker hitam dari hidung sampai dagu, senada dengan kausnya yang berwarna hitam polos.
“Polisi masih menyelidiki lebih detail lagi. Entah ada unsur kesengajaan atau karena korsleting listrik. Mereka belum bisa memberi laporan, sebelum hasil penyelidikannya terurai jelas.”
Rumit. Satu kesimpulan yang terbenak dalam pikiran Alesha. Mereka pun melanjutkan langkah kembali ke kantor, setelah hampir satu setengah jam mengitari bekas kebakaran dan itu tidak semuanya.
“Selamat siang, Pak Naresh.”
Seorang wanita muda bertubuh semampai menyambutnya. Alesha mengernyit, wanita berpakaian kasual itu tersenyum manis menatap Naresh. Di lehernya menggantung kalung kartu identitas pegawai.
“Pegawai di sini?” Alesha bertanya lirih.
“Iya, pegawai bagian dalam.”
Alesha mengangguk-angguk. Menatap wanita itu datar. Lantas, menarik tangan Naresh menjauh tanpa menjawab sapaan tadi.
“Ih, siapa wanita itu? Bawa pergi gebetanku saja,” gerutu wanita itu, lantas berlalu memasuki kantor.
Sementara Naresh dan Alesha menemui seorang pegawai pria yang berdomisili Semarang. Mereka berbincang, lebih tepatnya Naresh yang melontarkan banyak pertanyaan tentang destinasi wisata di sana. Simpang Lima dan Kota Lama, tempat wisata malam yang wajib dikunjungi katanya. Tempat itu memiliki banyak sejarah peninggalan kolonial Belanda pada masa peperangan dulu.
“Aku penasaran dengan Kota Lama, Naresh. Boleh pergi ke sana?”
“Of course, Alesha. Aku akan mengajakmu berkeliling Semarang. Kita mulai dari wisata kuliner lebih dulu bagaimana?”
“Boleh.” Alesha mengangguk semangat, senyumnya mengembang lebar.
Naresh yang gemas pun mengacak puncak kepala gadis itu. Ia menjadi teringat masa lalunya saat Alesha masih menjadi gadis manja dan periang. Astaga, ia benar-benar merindukan momen tersebut Menatap istrinya penuh pemujaan, Naresh mendaratkan kecupan di kening tertutup poni itu, cukup lama.
Setelahnya, mereka memasuki mobil. Naresh melajukan kendaraan roda empatnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang lumayan padat. Sedangkan Alesha sibuk dengan ponsel mencari menu kuliner khas kota Semarang yang wajib dikunjungi.
“Ada banyak sekali menu khas di sini, aku bingung memilihnya, Naresh,” ucap Alesha, tanpa menatap lelaki yang sedang fokus mengemudi. Ia sendiri masih sibuk dengan ponsel, melihat-melihat menu makanan dari YouTube.
“Ada lumpia, Nasi Goreng Babat Gongso, Nasi Glewo, Tahu Gimbal, Lekker Paimo, Es Puter Cong Lik, dan masih banyak lagi. Semuanya terlihat sangat menggugah selera makan.” Mengucapkan itu, Alesha menelan salivanya.
“Aku penasaran dengan lumpianya. Itu makanan yang paling menjadi ciri khas kota Semarang, bukan?” Naresh menatap Alesha sekilas, lalu fokus ke jalanan kembali.
“Iya. Aku juga penasaran dengan Nasi Goreng Babat Gongso ini. Sepertinya enak sekali rasanya.”
“Baiklah, kita mulai kuliner dari Lekker Paimo. Itu juga sedikit menggelitikku untuk mencobanya.”
Setelah saling sepakat, mereka mulai kuliner ke tempat tujuan awal. Lekker Paimo, salah satu kuliner legendaris khas Semarang yang wajib dicoba ketika menyambangi kota tersebut.
“Panjang sekali antreannya,” celetuk Alesha, saat melihat warung Lekker Paimo di pinggiran jalan yang banyak pengunjung. “Ganti tempat saja, ya. Waktunya sudah mulai sore juga.”
Masih melajukan mobil, Naresh mengangguk. “Baiklah, kita cari lumpia. Bagaimana?” tanyanya, menoleh menatap Alesha yang mengangguk.
Tidak ada satu jam, mereka sampai di warung Lumpia Gang Lombok, Semarang Tengah. Warung yang tidak terlalu luas, tetapi sangat legendaris. Alesha melemparkan beberapa pertanyaan kepada pemilik warung. Merasa takjub ketika mendapat informasi, jika lumpia tersebut sudah berdiri selama 100 tahun yang lalu.
“Sudah satu abad. Berarti sebelum Indonesia merdeka, lumpia ini sudah ada,” ucapnya kepada Naresh. Namun, pandangan menatap tiga lumpia basah serta tiga lumpia kering yang sudah di hadapan. Aromanya begitu wangi dan gurih, Alesha pun mulai menyantap sepotong lumpia goreng yang masih terasa panas. Mengunyah pelan, merasakan setiap kelezatan rasa yang tercecap di lidah.
“Campuran dari telur, udang, dan rebung yang sudah difermentasi selama sebulan ini, terasa sangat lezat dan memiliki ciri khas rasa tersendiri. Aku kira tunas bambu tidak bisa dimakan,” lanjut Alesha lagi, setelah menelan lumpianya.
“Aku juga baru pertama kali makan rebung ini. Tidak terlalu buruk rasanya.”
“Hehem.” Alesha mengangguk, sambil melahap sepotong lumpia basah. Perbedaannya hanya dilapisan kulit saja, sedangkan untuk rasa isiannya masih sama.
Setelah memakannya habis, mereka melanjutkan perjalanannya kembali ke tempat lain. Tidak berasa jika hari mulai sore, sang fajar pun akan kembali ke peraduan.
Dari dalam mobil, Alesha memerhatikan jalanan yang penuh sesak kendaraan. Hampir setengah jam terjebak kemacetan, membuat dirinya berdecak sebal.
“Apa bedanya dengan Jakarta, di sini pun masih terjebak macet.”
“Semarang ini seperti jantungnya kota di Provinsi Jawa Tengah, Alesha. Pemerintahnya bertempat di sini. Pabrik-pabrik pun banyak yang didirikan di sini. Wajar saja jika sore hari jalanan penuh sesak kendaraan,” jelas Naresh, menatap Alesha sekilas.
“I see. Padahal masih banyak tempat yang ingin kukunjungi. Tapi, sepertinya waktu tidak memungkinkan.” Gadis itu melihat ke sekitar, lampu gedung dan lampu jalan sudah menyala memancar terang. Sedangkan langit mulai menunjukkan cahaya remang-remang. Ia menyalakan ponsel dalam genggaman, benar saja, sekarang sudah pukul 18.15 WIB.
“Sudah dekat Simpang Lima. Bagaimana jika ke sana lebih dulu. Seperti yang dikatakan rekanku tadi, Kota Lama akan semakin bagus jika malam hari.”
“Baiklah. Aku ikut kamu saja.”
Naresh melajukan mobil ketika kendaraan di depannya perlahan bergerak maju. Selang beberapa menit, mobil pun memasuki pelataran Plaza dekat Simpang Lima. Ramai pengunjung, Naresh mengitari pandangan ke sekitar, lalu memarkirkan mobil setelah menemukan tempat parkir.
Keduanya keluar dari mobil, lantas mengayunkan kaki menuju Taman Simpang Lima. Dengan posesifnya, Naresh menggandeng tangan Alesha saat akan menyeberangi jalanan.
Gadis itu tidak berhenti berdecak takjub, ketika melihat sekitar Taman Simpang Lima yang memiliki bentuk seperti lingkaran karena dikelilingi jalan raya, tampak nyaman dan indah. Ia tidak berbohong, meskipun berasal dari ibu kota yang sama-sama dari pusat kota, suasana di Semarang ini sangat lah berbeda. Nyaman, sunyi, dan romantis. Pandangan dirinya pun terfokus oleh beberapa becak karakter berhias kerlap-kerlip lampu LED yang menyala, terparkir di tepian taman.
“Aku ingin naik sepeda berhias lampu-lampu itu. Kita bisa berkeliling mengitari taman,” ucap Alesha, ketika melihat sepeda gandeng berhias lampu.
“Oke, ayo.”
Setelah menyewa sepeda tersebut, kini mereka mulai mengayuh pedal mengelilingi sekitar taman. Seperti tidak pernah saling benci, mereka mengobrol sangat nyambung. Acap kali Alesha tertawa saat mendengar ucapan Naresh yang lucu.
Hampir dua jam menghabiskan waktunya di Simpang Lima, Alesha dan Naresh berpindah tempat ke Kota Lama. Objek wisata malam yang sudah Alesha gadang-gadang sedari tadi. Dan untuk kedua kalinya gadis itu terperengah menatap takjub. Di Kota Lama, ia seperti menginjakkan kaki di negara Eropa dengan bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda dulu.
Bangunan yang memiliki interior berbeda dari setiap gedungnya, masih berdiri kokoh dan memiliki ciri khas tersendiri. Gedung-gedung itu pun kini sudah beralih fungsi sebagai perkantoran dan restoran, Alesha mendapat sedikit informasi dari beberapa orang tadi. Lihatlah, bahkan jalanannya pun masih terbuat dari batu bata merah. Merata, dan itu semakin menambah kekentalan sejarah Kota Lama.
“Tidak perlu repot ke Eropa untuk merasakan suasana di sana. Di Semarang pun ada. Aku masih belum percaya ada tempat sebagus ini. Hampir sama di Kota Tua kalau di Jakarta. Tapi, lebih kental di sini aura peninggalan Belanda-nya,” kata Alesha, sembari menyusuri jalanan Kota Lama tersebut.
Merangkul bahu gadis itu, Naresh mengangguk menyetujui. Lighting yang terpajang di sana pun, menampakkan tempat semakin terpancar indah. Bukan hanya itu, di dahan pohon dalam taman juga terpajang lampu kerlap-kerlip yang menjuntai. Dibanding Simpang Lima, Kota Lama itu lebih ramai dipadati pengunjung remaja. Di sana pun terdapat banyak spot tongkrongan instragramable, sangat rekomendasi sekali menjadi salah satu objek wisata malam.
“Astaga, Naresh!” pekik Alesha, kaget. Langsung memeluk Naresh, saat melihat pocong dan kuntilanak berdiri di tepian jalan. Gadis itu tidak berani bergerak, menyembunyikan kepalanya di dada bidang lelaki itu.
“Tidak apa-apa, itu hanya bohongan,” ucap Naresh, membujuk Alesha agar bisa tenang. Ia merasakan cengkeraman gadis itu semakin kencang di punggungnya.
Alesha menggeleng. “Suruh mereka pergi. Aku tidak mau melihatnya. Kenapa harus ada mereka?! Astaga, merusak suasana malamku saja.”
Bukannya menyuruh pergi, Naresh justru memanggil mereka mendekat menggunakan isyarat lambaian tangan. Kostum kuntilanak itu cukup mengerikan dengan daster berlumuran cairan merah, serta rambut panjangnya yang gimbal terurai menutupi wajah. Sedangkan kostum pocong tidak kalah mengerikannya. Kain putih yang lusuh, wajah memakai masker yang menampakkan wajah busuk berwarna merah darah, pun dengan matanya yang melotot tajam.
Damn it! Kini justru dirinya yang ketakutan. Namun, niat jahil untuk mengerjai Alesha tetap ia jalankan, mengesampingkan rasa takut yang membuat jantungnya berdebar dan bergidik ngeri.
“Sudah, mereka sudah pergi. Ayo, jalan lagi,” ucapnya lembut, sembari mengelus punggung istrinya naik turun.
Menghela napas lega, Alesha menarik tubuh dari Naresh. Namun, ia menjerit kencang saat membalikkan badan mendapati dua makhluk itu berdiri persis di belakangnya. Kaget bukan main rasanya. Kembali memeluk Naresh, tangannya mencengkeram punggung lelaki itu erat-erat. Jantung berdebar kencang tak karuan. Seketika itu juga tangisnya pecah, tubuhnya bergetar dalam pelukan suaminya.
“Suruh pergi! Aku bilang suruh pergi! Kenapa justru di belakangku?! Cepat suruh pergi!” serunya dengan suara sumbang. Bahkan, ia tidak peduli jika sekarang menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar. Ia memang takut, lebih tepatnya ngeri melihat penampilan mereka yang seperti itu.
“Suruh pergi, Naresh! Cepaaat!” teriaknya lagi, sambil memukul punggung lelaki itu.
Naresh terkekeh. Dalam hati ia sangat senang karena Alesha memeluk dirinya begitu erat. “Sudah. Mereka sudah pergi. Ayo, kita lanjut jalan lagi.”
“Bohong!”
“Sungguh.”
“Ya, sudah. Biarkan aku berjalan dalam keadaan seperti ini.”
Naresh menggeleng-geleng heran. Namun, tetap merengkuh tubuh Alesha dan melangkah menjauh setelah memberi upah kepada mereka.
Dirasa aman, Alesha mulai memberanikan diri menarik tubuh dari dekapan Naresh. Lalu, mencubit pinggang lelaki itu sangat kencang, membuat sang empunya memekik kaget.
“Balasan yang tadi,” ketus Alesha, menatap tajam Naresh.
“Aduuuh, sakit, Alesha. Cubitanmu panas. Masih sama seperti dulu, bisa mematikan lawan.” Mengaduh kesakitan, ia mengusap-usap bekas cubitan Alesha, dahinya mengernyit.
“Tapi, kamu masih hidup. Jangan bawa-bawa soal mati! Sok dramatis!” Alesha melangkah cepat meninggalkan Naresh, dengan perasaan teramat dongkol.
“Hei, jangan maraaah. Hanya bercanda, Sayang.”
“Bercandamu tidak lucu! Hampir membuat orang jantungan, ngerti!” cecar Alesha, tanpa menoleh ke belakang. Sedangkan dirinya terus melangkah tak tahu arah. Namun, ia tidak peduli. Saat ini benar-benar marah.
‘Lagian, tempat sebagus ini kenapa harus ada makhluk seperti itu, sih! Merusak keindahan tempatnya saja! Dikira bagus apa?’ gerutu Alesha dalam hati.
Naresh terus melangkah membuntuti Alesha yang berjalan di depannya. Melihat kedai es cream di gedung bersejarah itu ia mampir, membeli dua varian rasa yang berbeda, cokelat dan vanila. Ia masih ingat jika Alesha menyukai rasa cokelat, dengan sogokan itu pasti marahnya akan sirna.
Berlari menghampiri Alesha yang sudah lumayan jauh, ia menyodorkan es cream rasa cokelat setelah sampai di hadapannya.
Alesha terkesiap, tetapi menerima dan melahapnya cepat. Ia butuh pelampiasan. Hatinya masih dongkol sekali dikerjai suami reseknya itu.
“Jangan marah, Alesha. Aku tidak akan mengulangi lagi. Janji,” bujuk Naresh. Namun, gadis itu masih diam sambil melahap es creamnya. Tidak menatapnya juga.
Melihat kursi besi berwarna hitam di depannya, Alesha menuju ke sana dan menghempaskan pantatnya begitu saja. Tidak ramai lalu-lalang orang-orang, cukup sepi suasananya.
“Ayolah, jangan diam seperti itu.”
Tidak memedulikan rengekan Naresh, Alesha masih bungkam. Tidak berapa lama ia mengangguk-angguk sembari tersenyum miring ketika ide tiba-tiba melintas di benak.
“Naresh, mau join es creamnya,” pinta Alesha bersuara rendah, tanpa emosi. Ia pun mengembangkan senyum manis.
Melihatnya, tentu lelaki itu bahagia. Akan tetapi, ia bingung sendiri. Gadis itu cepat sekali emosinya reda, padahal baru saja marah besar. Mengangguk menyetujui, Alesha menyodorkan es cream ke mulut Naresh, begitu pun sebaliknya.
Alesha melahap lebih dulu es cream milik Naresh, saat lelaki itu akan melahap es cream miliknya, ia mendorong cepat tangannya sampai es cream tersebut mengenai ujung hidung Naresh.
Terkesiap melihat wajah Naresh yang lucu, Alesha terbahak akan kejahilannya. Ia segera beranjak, berlari menjauh. Naresh yang tidak mau kalah pun mengejar, dalam benak sudah tersemat harus memberi hukuman . Berlari berkejar-kejaran, mereka persis seperti anak TK tidak ada yang mau menyerah.
Alesha terus berlari dan masih terbahak takut ditangkap. Kini kaki jenjangnya memasuki gang kecil di sebelah kiri yang minim pencahayaan. Seketika itu juga ia menghentikan langkah saat teringat wujud kuntilanak tadi.
“Aaaaa!” Ia menjerit kala tubuhnya ditangkap Naresh dari belakang, tidak lama tawanya pun meledak lagi saat lelaki itu berusaha mencocoli es cream ke wajahnya. Alesha menggeliat ke sana-kemari berusaha melepaskan diri. Namun, lengan kokoh Naresh yang memeluk perutnya sangat kuat, membuatnya susah bergerak.
Tawa lepas keduanya terdengar renyah membaur bersamaan dengan Alesha yang terus memberontak. Merasa kasihan, Naresh pun membuang es creamnya ke sembarang arah dan melepaskan tahanannya, tetapi langsung mendorong tubuh Alesha ke dinding berganti mengurungnya di sana.
Tubuh keduanya tanpa jarak. Naresh mengamati wajah Alesha yang mendongak menatap dirinya dengan bibir sedikit terbuka, napasnya terdengar ngos-ngosan sekali. Seakan-akan diundang untuk melahap bibir itu, ia pun langsung menyatukan bibirnya. Menciumnya dalam-dalam memberi lumatan lembut. Manis dari sisa es cream membuatnya betah di sana untuk lama-lama.
Tangan Alesha juga tidak bisa diam, ia bergerak nakal mencengkeram kaus hitam Naresh bagian dada dan menariknya ke depan. Dengan mata terpejam, ia membalas ciuman lelaki itu begitu menikmati.
Cukup lama mereka berciuman dan terlepas saat merasakan oksigen di paru-paru menipis. Napas keduanya memburu menerpa wajah dengan dahi yang masih menempel.
“Sudah mulai nakal sekarang. Dan aku menyukainya,” kata Naresh, senyumnya mengembang lebar, lalu mengecup bibir gadis itu lagi. Hanya sebentar.
“Kamu yang mengajariku, Naresh,” balas Alesha, menyengir. Bergantian mengecup bibir Naresh.
***
[Alesha, bagaimana harimu? Bahagia, kan, bisa menghabiskan waktu seharian sama suami? Bulan madu dong, semalam?]
Itu pesan pertama yang Alesha baca saat mata mulai terjaga, siapa lagi kalau bukan Diana. Namun, ia juga cukup berterima kasih kepada sahabatnya itu karena seharian kemarin sampai tadi malam, waktu seakan sangat berharga dan kalau bisa, Alesha ingin memutarnya kembali.
[Resek kalian, ya. Pasti kamu sekongkol sama Rio, kan? Atau ... jangan-jangan kalian ini mengambil kesempatan dalam kesempitan, dan menjadikanku sebagai alasan agar bisa pedekate. Ngaku, Diana.]
Alesha membalas pesan tersebut, terkikik sendiri. Diana bahkan tidak terlihat batang hidungnya setelah menyerahkan dirinya kepada Naresh. Pun, dengan Rio.
Merasakan elusan lembut di perut, Alesha meletakkan ponsel bersejajar dengan bantalnya dan membalikkan tubuh. Naresh masih memejamkan mata, tidurnya tampak lelap sekali padahal di luar sana sudah terang sekarang.
“Masih mimpi indah, ya?” tanya Alesha lirih, memerhatikan wajah lelaki itu.
“Mimpiin kamu, Sayang.” Naresh bergumam. Sedikit demi sedikit membuka matanya sambil mengeratkan pelukan. Tidak lupa ia juga memberi kecupan ringan di kening sang istri. “Bagaimana? Bisa tidur nyenyak semalam?” tanyanya.
“Lebih baik dari sebelumnya.” ‘Karena ada kamu di sisiku, Naresh.’
“Apa karena dikelonin sama aku, hm?” Naresh menaikkan sebelah alisnya mencoba menggoda. Dan lihatlah, wajah gadis itu kini meremang merah. Menggemaskan sekali.
“Siapa bilang? Ini efek kelelahan. Kemarin banyak jalan dan semalam jam setengah dua belas kita baru sampai hotel. Lelah, tahu.” Alesha menyangkal, padahal ia membenarkan ucapan Naresh dalam hati. Akan tetapi malu lah, kalau harus berterus terang. Nanti yang ada lelaki itu besar kepala dan kegeeran.
“Ngaku saja, Alesha. Sama suami sendiri juga.”
“Dibilang tidak, ya, tidak. Ih! Ngeselin banget.” Alesha melonggarkan pelukan, beringsut menjauh.
“Kenapa jadi marah?”
“Enggak marah.” Namun, Alesha membuang muka menatap tirai putih transparan yang masih tertutup rapat.
“Oke, aku anggap ini bentuk salah tingkahmu.” Naresh mengulum senyum.
Dengan cepat Alesha menoleh. “Hei! Gak gitu juga konsepnya!”
“Terus?”
“Tahulah, aku mau ke kamar mandi dulu.”
“Bareng.”
“Enggak!” Alesha segera menyibak selimut. Beranjak cepat dari ranjang, lantas berlari ke kamar mandi, dan mengunci pintunya rapat-rapat. Sedangkan debaran jantung kian menyiksa membuat dadanya sesak.
“Pagi-pagi sudah bikin jantungan. Naresh nyebelin!” geramnya, bersandar pada daun pintu sambil meremas dadanya.
Tiga puluh menit kemudian, seorang pelayan hotel datang ke kamar Naresh mendorong troli yang terdapat beberapa macam makanan di sana. Naresh memesannya ketika Alesha masih di dalam kamar mandi. Mempersilakan pelayan itu menata makanan di atas troli yang bisa dijadikan meja sekalian, Naresh dan Alesha duduk di sofa sembari memerhatikan.
“Silakan Tuan, Nyonya, sarapan Anda sudah bisa dinikmati. Kalau membutuhkan sesuatu, bisa menelepon kami.” Pelayan itu berujar di Naresh dan Alesha.
“Baik, terima kasih.”
Mengangguk patuh, pelayan itu berpamitan meninggalkan ruangan.
Naresh beranjak, mengulurkan tangan kepada Alesha yang langsung diterimanya. Lantas, menggiring gadis itu menuju meja makan yang berada di depan dinding kaca, langsung menghadap ke kota Semarang yang padat akan bangunan-bangunannya. Membimbing Alesha duduk di sofa single, sebelum berlalu ia mengecup pipi gadis itu.
Di meja itu terdapat dua mangkuk berukuran kecil bubur kacang hijau, dua cup kecil yogurt rasa blueberry mix strawberry, enam piece pancakes, empat croissant berukuran sedang dengan rasa original dan cokelat, serta dua gelas jus jeruk.
Alesha mulai memakan sarapannya, pun dengan Naresh. Diselingi obrolan ringan supaya suasana tidak terkesan membosankan.
“Jadi, bosmu itu sudah menyukaimu sejak lama?” tanya Naresh, sambil memotong pancakes yang atasnya sudah disiram madu.
“Dari yang aku ketahui, iya.”
“Kamu juga menyukainya?”
“Bisa dibilang begitu.” Alesha sengaja berbohong, ingin memanas-manasi lelaki di depannya. Sedikit menatap Naresh dengan kepala masih menunduk, Alesha berusaha keras untuk tidak terbahak. Lelaki itu mengurungkan suapan, tangannya mengambang di depan mulut. Meletakkan garpu di piring kembali, mimik wajah Naresh berubah dingin dan rahangnya mengeras, sedangkan pandangan menajam menatap dirinya.
“Kamu minta diberi hukuman lebih dari sebelumnya, Alesha? Aku siap sekarang, pagi ini juga,” ucap Naresh bersuara, datar, dan tak bersahabat.
“Eh!” Sontak, Alesha mengangkat kepala sempurna. “Bebas, dong.”
“Tidak! Kamu istriku.”
“Sekarang saja baru dianggap.”
“Daripada terlambat.” Naresh masih menatapnya tajam. “Pokoknya aku tidak suka kamu dekat-dekat dengan bosmu. Apalagi sampai mencintainya. Because you’re mine, Alesha.”
“But, I’m not loving you, Naresh Dirgantara,” ucap Alesha penuh penekanan. Sungguh, tawanya sudah akan meledak sekarang.
Naresh mengedikkan dagu menunjuk ranjang. “Ranjangnya sudah siap menjadi saksi untuk—”
Tahu maksudnya, Alesha ketakutan sendiri. Lelaki itu tidak main-main dengan hukuman-hukuman yang sudah menjadi kebiasaannya. “Oke, oke, I’m not loving my bos. But, I’m not sure too, uuups!” Alesha membekap mulut tiba-tiba. Salah ngomong.
“You challenge me?” Naresh beranjak, melangkah menghampiri istrinya.
“Noo, aku salah ngomong. Sungguh.” Tatapan Alesha mengikuti Naresh yang sudah berdiri di hadapannya, merasa terpojok sekarang. Lelaki itu menundukkan punggung, terus memajukan kepala dengan kedua tangan mengurung dirinya, membuat ia beringsut mundur sampai mentok punggung sofa.
“Mau ngapain?” tanya Alesha gelagapan, mendongak menatap Naresh. Kepala lelaki itu tepat di atas kepalanya.
“Memberi hukuman untuk istri nakalku.” Naresh menyeringai.
“Aku sudah bilang salah bicara, Naresh.”
“Tapi, ucapan pertamamu yang aku dengar, Alesha.” Naresh semakin memajukan kepala, turun perlahan. “Masih ingat, kan, hukumannya?”
‘Baiklah, sepertinya Naresh yang harus diberi hukuman balik.’ Mengesampingkan rasa malu, Alesha menciumnya lebih dulu sembari mengalungkan kedua tangan di leher lelaki itu. Ia memejamkan mata, memberi permainan seperti yang Naresh lakukan. Bahkan, tidak memberi celah lelaki itu untuk membalasnya. Kini, ia yang lebih dominan dan menguasai ciuman.
Sementara Naresh diam mematung, terkesiap menerima serangan dadakan dari Alesha. Niatnya ia yang akan memberi hukuman. Namun, kenapa justru dirinya yang terasa terhukum? Tubuhnya memanas, pembuluh darah berdesir membawa gelenyar aneh pada dirinya. Gadis itu sangat lihai dalam ciumannya sekarang. Damn it! Naresh mengerang kecil mendapat permainan dari Alesha.
“Ini, kan, hukuman yang ingin kamu berikan kepadaku? Aku sudah tahu,” ucap Alesha, setelah melepaskan ciumannya. Ia tersenyum penuh kemenangan, merasakan tubuh Naresh kaku seketika.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top