12 : Nona dan Pria Jelata

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Di sore hari yang sejuk ini Melodi duduk bersandar di kursi halaman kampus. Di tengah lamunannya, seorang pria menghampiri dan berdehem. Melodi sontak menoleh ke arahnya.

"Maaf, Kak. Boleh duduk di sini?" tanyanya.

Melodi menoleh sembarang arah, ia melihat banyak kursi kosong di halaman. Lantas mengapa pria itu datang menghampirinya? Tentu ada alasan tersembunyi. Melodi tersenyum padanya.

"Silakan."

Pria itu membalas senyum Melodi, ia duduk di sebelah Melodi dan membuang tatap dengan wajah memerah. Sepintas ia tampak sedang mencoba memberanikan diri untuk memulai pembicaraan dengan gadis di sampingnya. Sejenak pria tersebut menghela napas dan ... ACTION!

"Boleh kenalan, Kak?" tanyanya sambil memutar arah, menghadap Melodi.

Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tak berada di sana, Melodi berpindah tempat ke kursi yang masih kosong meninggalkannya begitu saja.

Namun, pria itu adalah pria yang gigih dan pantang menyerah. Begitu ia hendak mengejar Melodi, tiba-tiba dari kejauhan terlihat gadis itu menyematkan senyum pada seorang pria yang baru saja datang menghampirinya.

"Aaaaaa ... maaf lama ya," ucap Ippo.

Melodi bangun dari duduknya. "Enggak apa-apa kok, cuma nunggu sebentar. Percaya apa enggak, aku pernah nunggu lebih lama dari ini. Hmmm ... sekitar tiga tahun mungkin."

"Aaaaa ... jangan gitu dong."

Sirna sudah harapnya. Gadis cantik itu sudah memiliki pria rupanya. Sungguh pria yang beruntung bisa memiliki gadis secantik Melodi.

Itu kata orang lain.

Namun, bagi Melodi, ialah yang beruntung, bukan Ippo. Ada banyak gadis cantik di dunia ini, tapi pria modelan Riffo Gardamewa hanyalah Ippo seorang.

Melodi membuang tatap dari Ippo. "Enggak apa-apa nunggu sebentar, kamu udah janji enggak akan pergi lagi."

Ippo tersenyum tipis sambil memandang ke bawah. Mereka berdua agak canggung, seperti orang yang sama-sama baru pertama kali merasakan jatuh cinta.

"Mau langsung pulang?" tanya Ippo.

"Ya-ya, enggaklah! Masa langsung pulang."

"Terus mau ngapain?"

Wajah gadis itu memerah, ia semakin tak berani menghadap ke arah Ippo. "Ya-ya ... enggak tau."

"Mau kencan?" tanya Ippo.

"Hah?! Bo-boleh kalo maksa," balas Melodi.

"Enggak maksa sih."

"Oh." Ekspresi gadis itu mendadak datar. Ia berharap Ippo mengajak, bahkan memaksanya pergi kencan seperti pacar pada umumnya.

"Aku enggak mau buat kamu merasa enggak nyaman, Alunan. Kalo kamu terpaksa, nanti kamu sendiri yang risih. Kalo kamu rela sih ... ya aku sangat sangat sangat sangat sangat mau."

"Rela kok." Terukir senyum tipis di wajah Melodi, ia melebarkan tangannya. "Gandeng dong."

Ippo berjalan hingga posisinya ke depan Melodi dan membelakangi gadis itu, lalu berjongkok. Melihat kelakuan pria itu, Melodi mengerutkan kening.

"Kamu ngapain sih? Mau jadi kodok?"

"Mau gandeng apa gendong?"

Melodi berjalan ke depan Ippo. "Maunya digendong kayak Tuan Putri."

Ippo bangun kembali dan langsung meraih pinggang Melodi serta kakinya, lalu ia angkat gadis itu layaknya seorang Putri kerajaan. Wajah mereka berpandangan, rasanya agak awrad hingga membuat mereka berdua saling tertawa.

"Beneran lagi," gumam Melodi. "Malu tau."

Ippo tak peduli, ia tak bisa berhenti tersenyum dan berjalan membawa Melodi.

"Aaaaa ... tapi mau, kan?" tanya Ippo.

Melodi mengangguk menjawab pertanyaan tersebut. Mereka menjadi sorotan banyak orang di kampus, tapi apalah daya. Cinta membuat dunia hanya milik berdua. Ippo terus berjalan membawa Melodi hingga ke belakang motornya yang sudah menunggu di parkiran.

"Sudah sampai, Nona."

"Baiklah, turunkan," balas Melodi menatap angkuh.

"Laksanakan!" Ippo menurunkan Melodi dan berlutut di depannya seperti hendak melamar gadis itu. Ia meminta tangan Melodi. "Maukah, Nona berkencan dengan pria jelata seperti saya?"

Melodi berjalan dengan elegan mengitari Ippo, lalu meraih tangan pria itu dengan wajah sombong ala-ala bangsawan. "Bawa aku pergi, aku benci hidup di dalam istana. Hidup di sana laksana burung dalam sangkar."

"Apa tak mengapa begitu, Nona?" tanya Ippo. "Apa kau tidak akan menyesali pilihanmu untuk pergi denganku?"

"Aku hanya ingin bebas. Tak apa miskin harta. Selama itu berada di sampingmu ... aku merasa kaya," jawab Melodi. Di tengah wajah mereka yang serius memainkan drama, tiba-tiba Melodi tertawa. "Apaan sih, aneh!"

Ippo pun ikut tertawa. "Ya udah yuk ah. Jadi mau ke mana dulu?"

Melodi tampak sedang berpikir. "Aku mau beli baju sih, kita ke Jogja City Mall yuk. Abis itu pulang, tapi sebelum pulang mau makan malem dulu di warung tendaan pinggir jalan."

"Enggak makan di Mantra aja?" sahut Ippo.

"Males ah, bosen. Masa aku yang jual, aku juga yang makan."

"Abisnya ada menu yang aku suka sih," balas Ippo.

"Ya, kalo kamu suka sih enggak apa-apa."

"Aaaaa ... enggak jadi deh. Nanti liat sikon aja."

"Oke."

Mereka berdua naik ke atas motor dan melaju menuju Jogja City Mall. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana meskipun jaraknya sekitar 19 kilometer.

***

Singkat cerita Ippo dan Melodi tiba di Joga City Mall, mereka berdua berjalan menyusuri mall besar itu sambil bergandengan tangan.

"Eh, itu bagus masa!" Melodi melipir ke sebuah toko baju dan melihat sebuah kemeja denim berwarna biru muda.

"Aaaaa ... tapi itu baju cowok enggak sih?"

Melodi mengambil baju itu dan menempelkannya di badan bagian depan Ippo, ia menatap Ippo dari atas ke bawah. "Kamu bagus pake ini kayaknya."

"Masa sih? Kapan-kapan aku beli deh."

"Sekarang aja, aku beliin," ucap Melodi.

"Aaaaaa ... enggak usah."

"Pleaseeee ...." Melodi memasang wajah melas.

"Aaaaa ... oke deh, tapi lain kali aku yang beliin."

Melodi mengacungkan jempol andalan keluarganya.

Selama mereka berdua berkeliling, Melodi membeli banyak barang. Namun, semua yang ia beli adalah pakaian pria untuk Ippo. Lambat laun langkah Ippo melambat, di satu sisi ada rasa tak enak pada Melodi. Ia tak bisa menolak pemberian gadisnya, tapi sisi kecil hatinya tak bisa menerima itu semua. Pasalnya, barang-barang itu memiliki harga yang lumayan mahal.

"Kamu sakit?" tanya Melodi yang melihat langkah pelan Ippo dengan ekspresi wajah agak sendu.

"Aku minta maaf, Alunan ...," ucap Ippo lirih. "Aku enggak bisa nerima semuanya. Aku emang bukan orang kaya sih, jadi enggak biasa pake baju-baju ginian. Jangan terlalu iba sama aku, nanti aku bisa beli sendiri kok."

Melodi merasa bersalah. Ia tak bermaksud menyinggung Ippo dengan semua ini. Ippo memang pria yang sederhana, penampilannya tak terlalu mengikuti tren fashion. Malahan cenderung itu-itu saja. Signature pria itu adalah kemeja dibalut jaket hitam lengan buntung. Namun, sejujurnya Melodi membeli semua ini memang karena ia ingin.

Wajah Melodi tertunduk. "Maaf ...." Sikunya terangkat mengusap matanya yang berkaca-kaca.

Ippo mendekat pada gadis itu. "Hey ... kok nangis?"

Mendengar suara Ippo, Melodi malah menangis betulan. Melihat Melodi yang menangis membuat Ippo merasa bersalah juga.

"Maafin aku," ucap Melodi. "Aku cuma suka sama baju-baju ini dan mau kamu pake. Maaf kalo egois, aku tahu kamu juga punya selera fashion, maaf kalo udah buat kamu enggak nyaman."

"Aaaaaa ... enggak gitu sih sebenernya."

"Nanti aku kasih Deva atau Kevin aja deh ...."

"Sejujurnya, aku seneng," balas Ippo. "Aku enggak punya selera fashion, jadi pake apa aja enggak masalah. Aku suka pake baju yang kamu suka, seenggaknya kamu jadi lebih suka gitu sama aku, tapi gimana ya ... aku belum bisa kasih apa-apa buat kamu, tapi kamu malah banyak ngasihnya. Aku cuma merasa enggak adil ke kamu aja. Entah, terlintas pikiran gagal jadi cowok kamu. Harusnya aku yang bahagiain kamu, harusnya aku yang beliin ini itu buat kamu, tapi aku belum mampu."

"Hampir tiga tahun aku berdoa semoga semua yang nimpa kamu itu cuma mimpi. Aku harap kamu masih hidup entah di mana pun itu. Tuhan enggak tuli, dia denger doaku, Po. Kamu bilang kamu belum bisa kasih aku apa-apa? Kamu tau enggak sih, kehadiran kamu itu udah ngasih segalanya buat aku? Tau enggak sih? Jangan berpikir kolot gitu dong, emangnya salah kalo cewek beliin sesuatu buat cowok yang dia sayang? Harus banget cowok yang ngasih dan cewek enggak boleh bahagiain cowoknya gitu? Kenapa sih cowok selalu merasa harus nanggung semuanya?"

Ippo terdiam, ia tak mampu berkata-kata. Ketika ia hendak menenangkan Melodi, tiba-tiba dari belakang seseorang merangkulnya.

"Nyahahaha puyeng."

Ippo dan Melo mendadak datar mendengar suara tawa itu. Jogja City Mall memang bersebelahan dengan kampus seseorang yang mereka kenal.

"Maafin aku ya," ucap Ippo menggandeng kembali tangan Melodi.

"Iya, maafin aku juga ya." Mereka berdua pergi tanpa menoleh ke arah Harits yang tiba-tiba saja muncul dari belakang.

"Siapa, Rits? Temen lu?" tanya salah satu teman kampus Harits.

"Bukan, enggak tau sih, enggak kenal." balas Harits.

"Yeh! Kebiasaan!"

"Nyahaha biarin dah. Bikin malu soalnya berantem di Mall. Kayak enggak ada tempat laen aja."

"Ya biarin aja sih, urusan orang."

"Masalahnya, enggak tau kenapa gua ikutan malu." Harits menatap Ippo dan Melodi yang berbelok dan menghilang dari pandangannya. "Ya udah, udah pergi juga. Yuk ah, lanjut." Ia dan teman-temannya berjalan menaiki eskalator menuju lantai bioskop.

Di sisi lain Melo dan Ippo menghela napas. "Kok ada begituan sih?" tanya Ippo.

"Iya, Harits emang kuliah di sebelah. Aku enggak nyangka orang primitif kayak dia main ke Mall," balas Melodi. "Ini semua di luar perhitungan."

Mendengar ucapan Melodi, Ippo tertawa. Menurutnya Melodi merupakan gadis yang lihai melucu. Melodi pun ikut cair melihat tawa Ippo yang lepas.

"Po, maafin aku ya."

Ippo mengusap rambut Melodi. "Aku mau minta maaf, tapi rasanya buat sekarang lebih pantes bilang terimakasih sih. Makasih ya, Alunan buat semua yang kamu beliin hari ini. Aku ambil semua boleh? Daripada buat cowok lain, nanti aku cemburu."

"Boleh kok." Melodi tersenyum. "Kayaknya kita harus banyak ketemu dan cerita deh. Kita cuma kurang komunikasi aja."

"Iya, aku juga penasaran sama kamu. Aku mau tahu semua tentang kamu," balas Ippo.

"Ya udah, nanti abis anterin aku kamu jangan pulang ya. Aku sama temen-temen mau buat api unggun, kita mau nyelesain satu masalah sama-sama."

"Masalah apa?" tanya Ippo.

"Ada deh, masalah internal pokoknya."

"Enggak apa-apa aku ikut?"

"Kebetulan Mantra Coffee lagi nyari orang buat full time di sana. Mungkin kalo kamu minat ...."

"Minat! Kebetulan aku masih cuti kuliah dan butuh tambahan buat jajanin adik-adik aku di Kolong Langit."

"Kalo boleh, aku mau beliin mereka semua baju boleh?"

Ippo menggeleng. "Itu tugasku."

"Kok gitu lagi sih? Egois!"

"Nanti kalo kamu udah resmi jadi istri aku baru terserah. Untuk saat ini kalo konotasi kamu cuma 'aku', lebih baik jangan. Kita enggak tahu soal jodoh. Apa kalo suatu saat kita pisah, kamu ikhlas dengan semua yang udah kamu keluarin?"

Melodi berpikir sejenak menatap ke arah atas, kemudian memandang Ippo kembali. "Ikhlas-ikhlas aja."

"Perasaan enggak ada yang tau. Mungkin sekarang kamu bisa bilang gitu, tapi kedepannya enggak ada yang tau. Aku enggak berharap kita pisah, aku mau kamu jodohku. Jadi sampai saat itu tiba, tolong sabar ya. Nanti ada saatnya kamu boleh totalitas buat aku dan keluargaku. Untuk saat ini aku masih mau nikmatin segala usaha dan jerih payahku. Jangan buat aku merasa nyaman dan merasa puas dulu. Nanti ada waktunya."

Melodi tersenyum, tapi kali ini senyumnya agak lain. Ia sematkan senyum itu karena bangga dengan pria di hadapannya. Menurut Melodi, Ippo adalah pria yang dewasa, meskipun terkadang sikapnya absurd.

"Kamu laper enggak sih?" tanya Melodi.

"Laper sih."

"Yuk anterin aku pulang, sekalian kita makan dulu."

"The time has come," ucap Ippo bersamaan dengan suara keroncongan perutnya.

"Dasar, busung lapar!"

Ippo terkekeh. Ia berjalan di samping Melodi membawa banyak kantong belanjaan.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top