9 : Kehadiran
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Dari kopi, kita belajar. Bahwa rasa pahit dapat dinikmati. Rasa pahit membuat lidah kita semakin tangguh. Seperti hidup ini, semakin ditempa ujian, maka semakin keras fisik dan mental. Hidup sejatinya bagaikan secangkir kopi, mana pahit dan manis berdampingan dalam satu kehangatan.
"Nih nimun dulu," ucap Harits memberikan secangkir espresso.
"Kebalik, mas. Harusnya minum. Bukan nimun," balas Jay yang sedang duduk menatap Melodi dan Deva yang tampak membicarakan sesuatu.
"Yah, gimana. Authornya typo, tapi males revisi. Jadi gini deh dialog kita." Harits menyeruput cangkir miliknya. "Ngopi dulu sebelum kerja, biar mantap."
Jay tak merespon. Tatapannya masih berada pada dua orang itu. "Woy, jangan bengong! Kemaren anak tetangga mati." lanjut Harits yang melihat Jay melamun. "Enggak doyan espresso?"
"Doyan, mas. Kan biasanya juga pesen ini mulu."
Harits paham, mana orang yang suka kopi, mana yang ikut-ikutan saja, dan mana yang tak menyukai kopi. Jay, bukanlah seorang penikmat kopi. Ia selalu membeli menu yang paling murah hanya untuk sekadar duduk mengamati seorang gadis. Jay bukanlah orang yang berekonomi bagus, Harits paham itu. Alasan utama pria itu ada di sini adalah untuk mengemis pekerjaan. Harits sengaja menarik Jaya karena ingin membantunya untuk mencari uang dengan usahanya sendiri.
Jaya, pria itu paham ada sebuah dinding raksasa yang berdiri kokoh di antara dirinya dan Melodi. Ia juga paham, ada percikan api yang terus melukainya jika ia berada di Mantra Coffee, tetapi Jaya tak ingin membuang kesempatan, untuk bekerja dan meringankan beban orang tuanya.
Harits menghela napas, ia menepuk pundak Jaya. "Lu akan menjadi lebih baik," tuturnya pada Jaya. "Mungkin bukan hari ini, mungkin juga bukan besok, mungkin juga bukan lusa." Jaya tersenyum mendapatkan motivasi dari orang yang ia anggap atasannya sekaligus penyelamat hidupnya. "Mungkin--memang tidak mungkin nyahahahaha." Sebuah sendok melayang hingga mengenai kepala Harits. Nada menatapnya dengan sinis.
"Yaelah, berjanda doang," ucap Harits sambil menoleh ke arah Nada.
"Yang ikhlas kalo ngasih semangat!" kini Jaya menoleh ke arah Nada. "Semangat, Jay," ucap gadis bersarung tangan hitam itu pada Jaya.
"Udah kayak nama toko aja. Toko Semangat Jaya nyahahaha."
"Harits!"
"Jadi saya harus ngapain?" tanya Jaya yang bingung perihal apa yang harus dia lakukan.
"Bisanya ngapain?" tanya Harits.
"Enggak tau."
"Sini, gua ajarin caranya pake mesin-mesin ini." Harits mulai mengajarkan Jaya cara menggunakan mesin-mesin kopi. Mulai dari grinder, mesin espresso, hingga cara membat turkish coffee menggunakan pasir dan ibrik. "Kalo bikin turkish, pake esens rum, dua sampai tiga tetes aja, tapi inget! Harus yang non alkohol."
"Kenapa gitu?"
"Karena rum itu haram, esens pun haram. Kecuali yang non alkohol, baru boleh," jawab Harits.
Malam ini kafe terlihat sepi, tak banyak pengunjung. Mungkin karena hujan yang turun sehingga membuat sebagian orang malas untuk keluar rumah. Melodi menatap Harits.
"Kamu ngeliatin Harits mulu perasaan?" tanya Deva.
"Harusnya kafe ini berantakan kemarin malam. Harits luka parah. Mas Abet, Jaya, sama kamu juga."
"Jangan bilang ...."
"Retrokognision," celetuk Melodi. "Aku stuck beberapa kali di hari kemarin. Dan beberapa kali kejadian itu enggak bisa dicegah."
Jika Deva memiliki prekognision yang mampu memprediksi masa depan sehingga apa pun yang ia lakukan mampu mencegah petaka, maka Melodi sebaliknya. Jika kemampuan Deva tak bereaksi terhadap petaka yang akan datang, maka Melodi yang akan membereskannya dengan retrokognision. Ia mampu kembali ke masa lalu untuk merubah masa depan. Masalahnya adalah, kemampuan mereka berdua random dan tak bisa dikontrol secara sadar.
"Tapi sekarang aman-aman aja. Berarti kamu berhasil, kan?"
"Aku gagal beberapa kali. Terakhir aku berhasil, tapi ya gitu ...."
"Gitu gimana?"
"Enggak apa-apa. Intinya tuh rumit. Aku harus bikin Harits jadi anak baik biar enggak bikin masalah di kampusnya."
Ngomong-ngomong, gimana itu anak bisa jadi akrab sama si Wira-Wira itu, ya?
"Aku mau ngobrol sebentar sama Harits." Melodi berjalan ke arah Harits. Harum tubuhnya membuat Jay ingin menoleh ke arah gadis itu, tetapi ia menahannya. Sedikit lirikan hingga tak sengaja pandangan mereka bertemu. Kemudian saling membuang tatap.
Melodi kini berada di depan bar. "Heh, cebol!"
Sebuah sendok melayang ke kepala Melodi hingga membuatnya memekik. "Melo! Jangan main fisik. Tuh lihat, Harits baper." Harits tampak diam membelakangi mereka semua. Ia tampak seperti pria suram yang sepertinya sakit hati disebut cebol.
Namun, faktanya Harits tak peduli. Ia diam karena memikirkan sebuah kata untuk membalas Melodi. Pria itu memutar tubuhnya menatap Melo. "Heh, bacot." Harits kehabisan amunisi ceng-cengan.
"Ceritain dong, kenapa bisa akrab sama Wira? Dia kan galak."
"Wira, ya ...." Harits keluar dari posnya dan berjalan duduk di salah satu kursi pelanggan. "Dia emang galak. Parah. Brutal. Jahanam."
"Terus?"
"Tapi dia baik sama kelompoknya. Secara, dia itu kakak pembimbing kelompokku."
"Terus jadi akrab?" Melodi mengerutkan dahinya.
"Yups, aku sogok pake kopi gratis kemarin. Sebenernya dia serem, bahkan untuk kelompok ospekku, tapi karena aku iming-imingin kopi gratis, dia jadi baik."
Ya, intinya lu enggak boleh telat dan macem-macem sama dia kemarin. Bisa bahaya. Lagi juga, Wira itu--kayak punya kekuatan aneh deh ....
"Jangan cari gara-gara sama dia! Oke?!"
Harits memicingkan matanya. "Lah, emang kenapa?"
"Enggak usah banyak tanya! Intinya jangan."
Harits tampak sedang memikirkan balasan untuk ucapan Melodi. "Oke."
Nada mendekat ke arah Melodi dan berbisik. "Kok dia nurut?" Melodi membalas bisikan Nada. "Enggak tahu." Nada membalasnya lagi. "Kok kalian ngobrolnya pake aku-kamu? Tumben?"
Melodi mengerutkan dahinya. "Emang biasanya apa?" ucapnya dengan suara yang jelas.
Nada tersenyum jahat sambil tertawa aneh. "Aku mencium aroma skandal!"
"Nada! Apaan sih!" Melodi memelototi Nada. "Emang biasanya apa?!"
"Devaaaa!" Nada berjalan cepat ke arah Deva. "Ada yang berpaling nih!"
"Nada! Aku jambak sampe botak, ya! Jangan ngadi-ngadi kamu!" Melodi segera mengejar Nada. Ketika dua kembar itu sedang bercanda, Harits menatap ponsel Nada yang bergetar. Sebuah panggilan video call masuk. Terpampang nama Faris Nugroho di layar ponsel Nada. Sambil melirik Nada yang masih sibuk dengan candanya, Harits memencet tombol merah.
"Kok dimatiin, mas?" tanya Jaya.
"Berisik, geter-geter," jawab Harits.
Tak berselang lama, panggilan itu masuk kembali. Harits hendak memencet tombol reject lagi, tetapi Nada kini sudah berada di sebelahnya. Melihat panggilan itu, Nada segera mengambil ponselnya dan merapikan rambutnya, lalu mengangkat panggilan itu.
"Heyyyy. Kabarku baik. Kamu apa kabar?" ucap Nada sambil tersenyum melambaikan tangannya pada layar ponsel. Ia menoleh ke arah Harits. "Aku tinggal, ya, hendel dulu sebentar." Ia pergi meninggakan area dapur. "Kamu udah makan?" lanjutnya berbincang dengan Faris. Wajahnya memancarkan raut bahagia.
"Itu pacarnya mbak Nada, ya?"
"Kita semua itu seumuran. Panggil nama aja, Jay. Dan--gua enggak tau itu siapa. Enggak tau juga dia punya pacar apa enggak. Kita enggak sedeket itu sampe harus tau privasi masing-masing."
Gemerincing lonceng di pintu membuat Melodi dan Deva segera beranjak dari posisinya. Beberapa pelanggan datang dan mengisi beberapa meja kosong. Melodi dan Deva berjalan memberikan daftar menu pada pelanggan-pelanggan itu. Memang, hujan sudah berhenti, makanya orang-orang itu kini mulai mencari kehangatan.
"Kerjaan kita banyak, boy. Prepare your self." Harits dan Jaya bersiap menunggu pesanan.
"Oke, bos," balas Jaya sambil menggulung lengan kemejanya.
***
Sudah beres semua pesanan. Nada tak kunjung kembali. Untung ada Jaya, sehingga Harits tak terlalu kerepotan dan harus mengandalkan dua cecunguk itu. Deva sebenarnya cukup bisa diandalkan untuk menjadi barista pengganti, tetapi terkadang ia sering melamun dan lupa sudah sejauh mana proses pembuatan menunya.
Waktu sudah memasuki close order. Harits melepas apronnya dan berjalan keluar kafe. Pria itu melepas topinya dan meletakannya di atas meja luar. Ia menatap Lajaluka.
Lonceng di pintu berbunyi, Jay keluar dan duduk di depan Harits. "Jay, coba lihat kandang itu." Jaya sontak menatap kandang kosong yang selalu berada di tempatnya. "Kenapa?" tanya Jaya.
"Lu bisa lihat isinya?"
"Isinya?" Jaya memicingkan matanya dan mendekat ke arah kandang itu. "Kosong. Enggak ada apa-apa."
Harits tersenyum getir. "Sebenernya ada, tapi enggak kelihatan."
"Maksudnya? Ada setannya gitu?"
"Kehadiran," jawab Harits. "Ada, tapi dianggap enggak ada."
Jaya kembali duduk di depan Harits. "Yahahaha--menohok." Jujur, mereka berdua terlihat mirip malam ini. Hujan memang sudah berhenti, tetapi awan gelap dan samar-samar gelagar petir masih tersisa. Seakan disimpan untuk melengkapi suasana malam Harits dan Jaya.
"Lu enggak pulang? Sebelum hujan lagi. Udah close order ini."
"Saya masih mau bebenah. Habis bebenah kafe, saya baru pulang."
"Kosan lu kan jauh, apa lu enggak tinggal di sini aja? Ada kamar kosong satu di atas."
"Mau sih, tapi enggak bisa," ucap Jaya. "Kebetulan saya punya kerjaan sampingan lain."
"Serius? Enggak capek? Bisa bagi waktu?"
"Kerjaan ini punya saya pribadi. Jadi kalo capek, ya saya enggak kerjain, tapi intinya bisa menghasilkan uang meskipun sedikit."
"Oh." Harits menatap kendaraan yang berlalu-lalang di depan jalan. "Gua juga punya kerjaan sampingan sih."
"Semangat, mas--eh ...."
"Yaudah enggak apa-apa. Panggil aja senyaman lu deh." Kini pandangannya tepat ke arah Jaya. "Ngomong-ngomong, mau gua kasih quotes?"
"Enggak, mas. Makasih hehehe enggak berguna."
"Oke deh." Harits diam beberapa saat. "Percayalah di sudut bumi ini, ada seseorang yang bahagia atas kehadiranmu."
"Mas, kan--saya enggak mau ...."
"Tapi kan--bumi ini bulat, jadi enggak punya sudut nyahahahaha."
Jaya hanya tersenyum. "Terimakasih, mas Harits."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top