33 : Sudah
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Waktu menunjukkan pukul tiga pagi, Nada terbangun dan beranjak dari tidurnya, ia merasa haus dan hendak mengambil segelas air di bawah. Ketika baru menuruni beberapa anak tangga, Nada melihat Harits yang sedang membawa gitar milik Deva dan memasukkannya ke dalam mobil, lalu Harits berjalan naik kembali, seperti ada yang tertinggal.
Mau kemana dia?
Diam-diam Nada bersembunyi mendekat ke arah mobil. Harits turun kembali, ia menyalakan mesin mobil, tetapi tiba-tiba ia matikan lagi dan keluar. "Duh, mau boker!" Ia berlari ke kamar mandi.
Nada segera berlari menuju kamarnya, ia mengambil sweater abu-abu dan juga tas gemblok berwarna hitam. Setelah itu ia berlari ke bawah dan diam-diam menyusup ke dalam mobil, mengingat Harits tidak mengunci mobil karena terburu-buru. Nada mengendap ke deretan kursi paling belakang dan meringkuk di sana. Tak lama setelah itu, mesin mobil kembali menyala dan mobil pun mulai bergerak.
Harits mau ke mana ya pagi-pagi gini? Tanpa sadar Nada tertidur lagi diperjalanan.
Entah sudah berapa lama waktu yang ia habiskan. Kini mobil berhenti, suara pintu yang ditutup agak keras membuat Nada terbangun dan langsung duduk dengan wajah ngantuk. Ketika Nada baru saja duduk, Harits membuka bagasi belakang dan menangkap sosok itu. Mereka saling bertatapan.
"Hehehe ... selamat pagi," ucap Nada.
Dengan wajah datar, Harits membanting bagasi hingga tertutup dan membukanya kembali.
Gua niat ke pantai buat ngapus dia dari pikiran gua, tapi kenapa halusinasi ini terlalu berlebihan sih? baitn Harits.
"Ini di mana?" tanya Nada.
Harits tak ambil pusing, ia menutup bagasi lagi dan mengabaikan Nada. Ia pikir itu hanyalah qorin atau sejenis jin yang menyerupai Nada, makhluk-makhluk itu memang kerap mengganggu Harits. Nada keluar dari mobil dan berjalan mengikuti Harits.
Sumpah kalo gini terus gimana cara gua bisa lupa?
Harits mengabil air laut dan menyiramnya ke wajah Nada. "Biar mampus!"
Roh itu enggak akan tahan sama garam, mungkin ini akan berhasil.
Nada mengusap wajahnya dan malah menendang air laut hingga membasahi Harits. "Kenapa malah nyiram sih?" protes Nada.
Melihat hal itu, Harits menarik tangan Nada dan merasakan denyut nadinya untuk memastikan sesuatu, tiba-tiba mulutnya menganga. "Ngapain malah ikut si?" Sekarang ia sadar, itu Nada asli.
"Aku curiga, kamu pagi-pagi bawa gitar Deva, terus pergi pake mobil," balas Nada. "Jadi aku ikutin."
"Aku ngejar sunrise, mau menyendiri."
"Aku enggak mau biarin kamu sendirian," ucap Nada meniru kata-kata Harits.
"Tapi aku lebih suka sendiri, sana pulang." Harits mengusirnya.
"Serius?" tanya Nada.
"Iya," jawab Harits ketus.
"Oke." Nada memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan Harits.
Harits hanya terdiam menatap sosok itu. Bentar--dia beneran mau pulang sendiri?
Nada berjalan sambil menatap ke arah laut, sebentar lagi mentari akan terbit. Namun, tiba-tiba sesuatu menarik tasnya. Sontak membuatnya menghentikan langkah dan menoleh. "Kenapa?" tanya Nada melihat Harits yang sedang menarik tasnya.
"Mau pulang naik apa?"
"Ojek, mungkin."
"Kamu tau ini di mana?" tanya Harits.
"Pantai."
Jogja memiliki banyak pantai. Harits memilih pantai di dareah Wonosari yang tergolong jauh. Karena, semakin jauh pantainya dari pusat kota, maka akan semakin bagus karena jarang terjamah manusia kotor.
"Sini, temenin aku aja. Ini daerah Wonosari."
Nada tersenyum menatap Harits. Mereka berdua kini menatap ke arah laut. Sebuah pemandangan indah tersaji kala itu. Nada terpukau menatap matahari terbit, sementara Harits terpana menatap senyum Nada yang sedang menatap matahari. Tiba-tiba terbesit kata-kata Andis dalam benaknya.
"Ayah dan dia memutuskan buat pacaran sampai hari itu selesai. Kita keliling Jogja, kulineran, ketawa bareng, ngobrolin sesuatu yang enggak pernah terbesit topiknya. Hari itu pertama kali ayah ngerasain yang namanya cinta dua arah."
Harits tersenyum getir. Apa harus begitu?
"Udah terlanjur, mau gimana lagi ...."
Nada menoleh ke arah Harits. "Terlanjur apa?"
Kamu udah terlanjur ikut! Niatnya mau lupain kamu, tapi malah kamunya di sini sekarang. Kalo aku enggak punya waktu buat lupain kamu sekarang, gimana kalo kita ukir kenangan untuk hari ini aja?
"Ayo kita cari sarapan." Harits menuntun Nada berjalan tak jauh di belakangnya. Nada heran dengan sikap Harits yang tiba-tiba menggandengnya. Seingatnya, pria itu sedang berusaha menjauhinya.
Apa dia udah maafin aku, ya?
Mereka berdua berjalan ke sebuah warung, lalu memesan indomie dan es kelapa muda.
"Harits, aku ...."
Tiba-tiba Harits menempelkan telapak tangannya di rambut Nada. "Ya, aku juga," ucapnya sembarang. "Udah terlanjur ke pantai, ayo kita seneng-seneng."
Nada tersenyum mendengar itu, Harits sudah menjadi Harits yang Nada kenal. "Iya."
***
"Aku enggak bawa uang, hari ini kamu harus jajanin aku, oke?" ucap Nada.
Harits hanya tertawa mendengar itu. "Tenang, hari ini aku yang traktir."
"Ayo kita cari kepiting!"
"Kepiting?" tanya Harits. "Di mana?"
"Ini kan pantai, pasti ada kepiting."
"Yang kalah harus gendong yang menang, ya, biar seru," ucap Harits.
"Mumpung kamu cebol, aku enggak takut tuh."
"Yeh, ngocol."
Mereka berdua memulai kompetisi untuk mengumpulkan kepiting. Nada menemukan seekor kepiting, tetapi yang ia temukan itu bertubuh besar dengan capit yang mengerikan. Gadis itu menguk ludah, tetapi berusaha mengambilnya.
Nada berthan untuk tidak berteriak ketika capit itu menjepit jarinya. Harits yang diam-diam memperhatikan Nada kemudian menatapnya heran. Nada berjongkok tanpa pergerakan berarti.
Ngapain tu orang? Diem-diem berak?
Namun, melihat ekspresi dan tangan Nada yang diam tak bergerak, sepertinya sesuatu menyakitinya, sontak Harits berlari membuang kepiting-kepiting kecil yang sudah ia kumpulkan.
Benar saja, seekor kepiting besar mencapit tangan Nada hingga memberikan bekas luka. Dengan tanggap, Harits segera melepaskan capit itu. Ia menatap Nada yang matanya berkaca-kaca.
"Udah, nangis aja kalo sakit mah," ucap Harits. "Enggak usah sok kuat."
"Hueeee." Nada menangis karena kesakitan. Melihat itu Harits justru tertawa. "Jahat, diketawain, mau pulang aja."
Kini Harits merangkulnya untuk berdiri, lalu menggendong Nada di belakangnya seperti anak kecil. "Sial, aku kalah. Kamu berhasil nangkep Raja kepiting."
"Padahal Nada yang ketangkep sama kepitingnya," ucap Nada sambil terkekeh.
"Itu karena kepitingnya yang minta ditangkep," balas Harits. "Mana sok-sokan ngegandeng kamu pake capit lagi."
"Kalo kakiku aku lurusin, bakal keseret enggak?" tanya Nada tiba-tiba.
"Aku enggak sependek itu! Toh, kita juga enggak beda jauh tingginya."
Nada teringat sesuatu. "Oh, iya. Tadi kamu bawa gitar Deva, kan? Mainin dong."
"Males ah, ada kamu."
"Kok gitu?" Nada menyundul kepala Harits dari belakang.
"Aw, sakit dong!" pekik Harits. "Aku enggak bisa nyanyi."
"Terus kenapa bawa gitar?"
"Tadinya kan niatnya sendiri. Kalo sendiri mah PEDE, tapi kan sekarang ada penyelundup."
"Ayo nyanyi, Nada mau denger tau."
"Aku mainin aja, kamu yang nyanyi kalo mau." Harits menggendong Nada menuju mobil.
Sesampainya di mobil, Harits membuka bagasi dan duduk di belakang sambil menyetel gitar. Nada baru tahu jika pria itu bisa bermain gitar.
"Kamu bisa main gitar?"
"Enggak jago kayak si gondrong, tapi bisa."
Harits tiba-tiba memainkan gitarnya sambil memejamkan matanya, ia membayangkan jika dirinya sedang sedirian di pantai itu, tanpa Nada. Ia membawakan lagu Lyla yang berjudul Detik Terakhir.
"Nyanyikan lagu indah, sebelum ku pergi dan mungkin tak kembali."
"Nyanyikan lagu indah, tuk melepasku pergi dan tak kembali."
https://youtu.be/6GaEyAgoFw4
"Dasar sedboi, nyanyinya galau terus," ucap Nada meledek.
Harits hanya tersenyum, masih sambil memainkan lagunya.
***
Hari sudah semakin siang. "Laper enggak?" tanya Harits.
Sebenarnya Nada lapar, tetapi ia memilih diam karena tak enak pada Harits, mengingat ia tak membawa sepeser pun uang.
Harits mengajak Nada berkeliling pantai untuk memilih makan siang mereka. Namun, alih-alih makan berat, gadis itu menghampiri pedagang gulali dan malah memesan dua.
"Ini buat kamu." Ia memberikan gulali itu pada Harits.
"Yeh, malah makan beginian dah."
"Enggak apa-apa, lucu tau."
"Kalo lucu harusnya kamu ketawa," balas Harits.
"Ih, bukan lucu yang itu, Harits!"
Setelah menghabiskan gulali itu, Harits membawa Nada ke saung yang menjual aneka ragam seafood. Harits memesan ikan kerapu, cumi, dan kepiting.
"Kamu harus makan kepiting, buat balas dendam nyahahaha."
"Iya, bener! Jariku masih sakit nih gara-gara dicapit. Lihat saja, akan ku makan kau tuan kepiting!"
Mereka berada di saung itu hingga sore. Menyadari hari yang sudah sore, Nada tiba-tiba panik. "Eh, kita harus pulang, kan?"
"Aku mau di sini sampe malem, kamu mau pulang?"
Nada terdiam, ia sedang berpikir. Ia membayangkan kena omelan Abet.
"Ayo kita bolos," ucap Harits. "Sekali-kali enggak apa-apa, kan? Berani enggak?"
"Oke, siapa takut." Nada memutuskan untuk mengikuti Harits, berarti ia harus menerima semua konsekuensinya.
Kini mereka berdua duduk di pinggir pantai sambil menunggu mentari terbenam. Nada agak kesal dengan Harits, karena pria itu mencoba beberapa kali mengabadikan fotonya, Nada tak suka difoto.
"Jangan difoto, ih!"
"Biarin si, kenang-kenangan."
"Kayak mau pergi aja pake kenang-kenangan."
Harits terdiam. Rasa ragu muncul dalam dirinya. Hari ini benar-benar menyenangkan, sayang rasanya bila harus berakhir.
"Hey ...."
Nada menoleh ke arah Harits. "Apa?!"
"Kita kayak orang pacaran hari ini, gimana kalo kita ... pacaran beneran?"
Kali ini Nada yang terdiam. Ia tampak tak ingin membicarakan hal-hal berbau seperti itu.
"Enggak perlu dijawab," lanjut Harits. "Aku cuma bercanda nyahahaha."
Setelah percakapan itu, tak ada kata yang terucap di antara mereka hingga mentari terbenam. Harits benar-benar merusak suasana. Ia mencoba peruntungan, jika saja Nada menerimanya sore ini. Pria itu benar-benar tidak perlu menghapus perasaannya, dan besok akan tetap menjadi besok dengan perasaan yang tidak berubah. Namun, sayangnya semua ini benar-benar harus berakhir. Mengingat ia harus melupakan Nada yang tak memiliki jawaban perihal rasanya, Harits enggan berkata-kata.
***
Hari semakin gelap, baik Harits dan Nada sudah kehabisan batrai ponsel, jadi mereka berdua benar-benar tak dapat bisa dihubungi. Yang jelas, sore tadi Melodi terus menelpon Nada hingga lebih dari dua puluh kali, tetapi Nada tak mengangkatnya karena ia ingin menghabiskan waktu tanpa diganggu.
Kini mereka berdua berada di dalam mobil dalam perjalanan pulang. Suasananya masih sama, hening. Hingga akhirnya Harits menghela napas dan mencoba untuk membuka obrolan.
"Hey."
"Ya?" Nada menoleh ke arahnya
"Kamu seneng enggak hari ini?"
"Enggak," jawab Nada ketus, tetapi tiba-tiba raut wajahnya berubah. "Enggak bohong hehe." Ia tersenyum.
"Serius?"
"Serius, aku seneng pake buanget! Entah ... aku lega, ternyata aku masih bisa bikin kamu senyum dan ketawa, dan itu bikin aku juga seneng. Makasih banyak ya buat hari ini, Harits"
Hey, jangan begitu ... aku jadi makin berat ngelepas kamu, Nad ....
Harits mencoba untuk tersenyum. "Bagus deh nyahaha."
Mereka berdua diam beberapa saat, tetapi saling melempar senyum. "Seandainya ada banyak hari-hari kayak gini," ucap Harits.
"Iya, seandainya ada banyak," balas Nada sambil tersenyum.
"Tapi sayangnya ini yang terakhir."
Nada mengerutkan dahinya. "Maksudnya?"
"Sejujurnya aku enggak pernah bercanda soal perasaanku, rasanya aku tuh mau teriak. AKU SUKA SAMA KAMU, NADAAAA!" Pada akhir kalimatnya, Harits berteriak di dalam mobil. Hal itu membuat Nada terkejut sekaligus tertawa. "Tapi aku tau, aku bukan yang kamu mau." Harits terlihat sedih.
"Dulu pertama kali liat kamu di Bandung aku langsung mikir, gila ini orang cantik banget, ga ngotak! Terus jadi suka. Semakin lama aku di Bandung, rasa itu semakin kuat, entah ... kamu cantik dengan apa adanya kamu. Bahkan Melodi yang mirip sama kamu enggak punya daya tarik buat aku."
Nada tak mampu berkata-kata.
"Kita mengawali ini dengan baik, dan aku berpikir kalo ini pun harus berakhir dengan baik. Jangan ada dendam, atau apa pun yang berubah di antara kita. Makanya, mumpung kamu menyelundup ke dalam mobil, aku pikir enggak ada salahnya hari ini bener-bener egois buat ngelakuin apa yang aku mau. Jalan, kencan bareng orang yang aku suka."
"Harits ...." Nada menatap Harits yang matanya mulai berkaca-kaca. Kini Nada pun tak bisa menahan matanya untuk tidak berkaca-kaca.
Harits tak membiarkan Nada berbicara. "Hey, jujur. Pernah enggak kamu suka sama aku? Meskipun itu cuma sedetik? Ada enggak sih dari hari-hari yang kita lewati bersama ini, ketika kamu seenggaknya lihat aku dengan perasaan suka?"
Tak ada jawaban, Nada merasakan sesak di dadanya. Namun, Harits tetap menunggunya.
"Bohong kalo enggak pernah," ucap Nada. "Setiap hari kamu berkeliaran di sekitar aku. Gimana caranya enggak suka sama kamu kalo orang yang selalu di samping aku itu cuma kamu?"
"Seneng dengernya, ternyata aku enggak bertepuk sebelah tangan." Harits tersenyum mendengar jawaban Nada. "Seandainya Faris ada di sini, jadi salah satu barista di Mantra, apa secuil rasa itu tetap ada?"
"Apa ini semua rencana kamu?" tanya Nada.
"Nad, dengerin. Aku cuma mau kamu, enggak mau cewek yang lain, tapi kamu enggak gitu. Semakin dalam perasaanku ke kamu, semakin sakit ketika kamu lebih milih Faris nantinya."
"Tapi maksud kamu itu apa? Ini hari terakhir apa, Rits?"
"Hari terakhir kita sama-sama dengan rasa suka di sini." Harits menunjuk dadanya sendiri. "Setelah kita sampai dan keluar dari mobil ini, aku harap kita saling melupakan perasaan-perasaan yang semu itu. Baik aku dan kamu."
"Kenapa sih harus gitu?" Nada merasa lemas, entah, ia tak ingin seperti ini. Air matanya mulai menetes.
"Seenggaknya, meskipun cuma sehari, kita pernah bahagia dan merasa saling memiliki," ucap Harits. "Seandainya aku datang lebih awal, apa aku yang jadi juaranya?"
"Apa nyetir mobil harus pake tangan dua?" tanya Nada.
"Harusnya, tapi ini mobil matic, jadi enggak ...." Ucapan Harits terhenti ketika tangan Nada yang tanpa sarung tangan hitamnya menarik, serta menggenggam erat tangan milik Harits.
"Aku enggak mau lepas tangan kamu sampe keluar dari sini, boleh?"
Harits menatap Nada yang masih berderai air mata. "Ya, aku milikmu malam ini," jawab Harits sambil mengusap punggung tangan Nada dengan lembut.
Tak ada satu pun di antara mereka yang tidak mengeluarkan air mata. Nada menatap Harits yang sambil menyetir juga menangis. Membuat seorang pria menangis adalah sebuah penyesalan dalam dirinya. Pasalnya, jika seorang pria menangis, apa lagi di hadapan wanitanya, ia benar-benar jatuh sedalam itu.
Nada mencium punggung tangan itu. "Maafin aku ...."
Harits meminggirkan mobilnya karena matanya tak mampu melihat dengan jelas. Ketika mereka berada di pinggir, ia memeluk tubuh Nada sambil menangis sekeras-kerasnya. Nada mencengkeram baju belakang Harits sambil tangan satunya membelai kepala pria tak bertopi itu.
***
Tak terasa kini mobil sudah terparkir di depan Mantra Coffee. Tangan mereka masih saling berpegangan dan tak ada satu pun yang mau turun dari mobil.
"Apa saat kita keluar dari sini, kita benar-benar akan saling melupakan perasaan kita?" tanya Nada.
Harits hanya mengangguk. Ia menoleh ke arah Nada. "Makasih karena udah pernah suka sama aku, dan maaf karena harus memilih pergi."
"Kamu enggak salah," balas Nada. "Maaf karena enggak bisa relain Faris, dan makasih juga buat rasa kamu. Lihat kamu nangis, aku paham, kamu sedalam itu memendam rasa."
"Dan sekarang aku harus ngubur itu semua." Harits melepaskan tangan Nada dan membuka pintu mobil. "Untuk yang terakhir ... I love you." Ia menutup pintu mobil dan berjalan masuk ke Mantra.
Nada yang memegang kunci mobil. Ia menatap punggung Harits yang berjalan menjauh. "I love you too." Ia turun dari mobil dan mengunci pintu mobil, lalu masuk ke dalam Mantra.
Mereka berdua habis-habisan dimarahi Abet, tetapi rasanya semua omelan itu tak semengerikan biasanya. Baik Harits maupun Nada harus kembali pada realita, bahwa mereka bagaikan matahari dan bulan, sejatinya sama-sama menerangi, tetapi tak mungkin bersama.
Kini dua kapal itu berlayar memilih jalur persimpangan yang berbeda. Entah rintangan apa lagi yang akan menghadang di depan, yang jelas Harits sudah menarik jangkar dan berlayar dengan kapal usang miliknya sendiri, begitu pun dengan Nada.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top