175 : Traumatic

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

"Kamu kenapa, Cakra?" Nada melepas sarung tangannya dan mengusap tangan Cakra dengan lembut. Kini giliran hidungnya yang mengeluarkan darah saat kemampuan psikometrinya aktif.

***

England.

Hidup di Eropa dengan perawakan Asia memang bukanlah hal yang mudah, apa lagi untuk anak-anak. Memang tak seekstrim di Amerika, tetapi tindakan rasis masih ada di beberapa negara Eropa seperti Inggris.

BRAK! BRAK! BRAK!

"Somebody help me!"

Seorang bocah terjebak di dalam loker. Bocah itu bernama Cakra Petang Buana. Cakra kerap menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari beberapa anak di Inggris.

Seorang pria membuka loker tempat Cakra terjebak, sudah hampir satu jam ia menunggu di depan sekolah, tetapi putranya tak kunjung datang. Fajar memutuskan mencari Cakra di dalam gedung sekolah dan menemukan putranya terkunci di dalam loker.

Ia memeluk Cakra yang sedang menangis dan berusaha menenangkannya. "Ayah udah di sini, jangan nangis lagi." Ajay menggendong Cakra di punggung dan membawanya pulang.

Di perjalan pulang, Cakra hanya menatap jalanan dari dalam mobil. Hingga pada satu titik ia melemparkan sebuah pertanyaan.

"Ayah, apa artinya hidup?"

Anak seusia itu bertanya tentang arti kehidupan, tentunya bukan pertanyaan yang terdengar normal.

"Hidup adalah perjalanan, kita yang menentukan akan berjalan ke arah mana," jawab Ajay.

"Apa perjalanan Ayah menyenangkan?" tanya Cakra kecil.

Ajay tersenyum dan memberikan anggukan kepala sebagai jawaban. "Kalo Petang gimana? Menyenangkan?"

Tak seperti Ajay, Cakra murung dan menggeleng.

"Ayah pernah punya mimpi keliling dunia. Seiring berjalannya waktu, Ayah sama Ibu berusaha mewujudkannya. Berpindah dari satu negara ke negara lain dan membantu orang-orang yang kesulitan."

"Terus kenapa sekarang Ayah ada di Inggris?" tanya Cakra.

"Karena kamu lahir di sini. Begitu kamu lahir, Ayah dan Ibu berhenti keliling dunia."

"Kenapa?" Cakra terlihat murung.

"Karena Petang adalah seluruh dunianya Ayah dan Ibu," jawab Ajay. "Petang memberikan mimpi baru buat Ayah dan Ibu. Terimakasih karena udah terlahir di dunia dan jadi anak Ayah dan Ibu ya."

Perkataan Ajay membuat Cakra tersenyum. Setidaknya anak itu tahu, bahwa di dunia ini ada manusia yang menginginkannya hidup.

"Dari semua tempat yang pernah Ayah kunjungi, mana yang paling indah?!" tanya Cakra antusias.

"Kota Jogja."

"Ada apa di sana?!" tanya Cakra kecil.

Ajay terkekeh. "Kamu mau denger? Kalo gitu, duduk dan pasang telinga kamu, ini akan jadi cerita yang panjang."

"Oke!"

***

Scene berubah, kini Nada menatap wajah murung Cakra kembali.

"Eat that, motherfucker!" Seorang anak laki-laki memojokkan Cakra ke dinding, lalu menghantam ulu hatinya dengan sebuah tinju.

Gelak tawa terdengar memenuhi gendang telinga Cakra hingga membuatnya menangis. Tawa-tawa itu terdengar tak menyenangkan untuknya.

Cakra terjatuh. Ia berlutut di depan beberapa orang yang sedang membullynya. Memang begitulah keseharian Cakra. Tak ada hari tanpa duka dan luka.

Lambat laun Ajay yang tak kuasa melihat lara putranya yang semakin hari menumpuk, mengajarkannya sesuatu yang kelak akan merubah hidup Cakra. Kemampuan astral projection untuk menguasai lucid dream.

Lucid dream sendiri merupakan keadaan di mana seseorang sadar bahwa dirinya sedang bermimpi dan dapat bergerak bebas. Orang yang mengalami lucid dream mampu menjadi apa pun yang ia inginkan di dalam mimpinya dan mampu memanipulasi alam bawah sadarnya sesuka hati.

Terdengar menyenangkan. Namun, sisi negatif di balik itu semua adalah, mimpi dan realita adalah dua hal yang berlainan. Seindah apa pun, mimpi hanyalah mimpi.

***

Scene berpindah, kini Nada menatap Cakra kecil yang sedang berbaring di padang awan.

Karena tak memiliki teman, bocah itu kerap mengunjungi dunia mimpi.

"Aku hanyalah khayalan yang kau buat, apa bermain dengan teman-temanmu tidak terlalu menyenangkan sehingga kau selalu pergi ke sini?" ucap seorang anak dengan sosok yang persis seperti Cakra.

Cakra menatap kosong lurus ke depan. "Aku tidak punya teman selain kalian di sini. Lebih menyenangkan berbicara dengan diriku sendiri," ucap Cakra.

"Apa kau mau tinggal di sini?" tanya sosok itu.

Cakra mengangguk menimpali pertanyaan tersebut.

"Kalau begitu aku akan mengajarkan mu cara bersenang-senang," sambungnya lagi.

"Bersenang-senang?" tanya Cakra.

Sosok itu membisikan sesuatu ke telinga Cakra. Mendengar ucapannya raut wajah Cakra berubah, ia tertawa gembira.

"Ayo kita main!" ucap Cakra antusias.

Sosok itu tak kalah bahagianya dari Cakra. "Ayo!"

***

Hari silih berganti, Nada melewatkan beberapa kepingan penting dalam memori Cakra. Berbeda dari tayangan sebelumnya, kini anak itu tampak akrab dengan teman-teman sebayanya di sekolah.

Sejujurnya gadis itu pun heran, ia tak pernah melewatkan apa pun ketika psikometrinya aktif. Baru kali ini hal ini terjadi. Anehnya, ketika dulu menyentuh Cakra, masa lalu yang sedih ini juga tak pernah tayang seolah mampu bersembunyi dari cengkeraman psikometri. Kala itu Nada hanya disuguhkan bagaimana pertama kali Cakra jatuh cinta padanya.

Nada penasaran, bagaimana caranya Cakra bisa membaur dengan orang-orang yang sangat menolak keberadaannya? Dengan cara apa hingga mereka semua menerima Cakra seolah tak pernah terjadi apa-apa?

***

Nada tiba-tiba membuka mata, ia keluar dari mode psikometri. Dadanya terasa sesak ketika asap masuk ke dalam paru-parunya.

"Cakra, kamu ngapain?" tanya Nada dengan ekspresi terkejut menatap Cakra.

Rambut pria itu kini bermodel belah tengah, tapi bukan itu yang membuat Nada terkejut. Ada cerutu besar di mulut Cakra.

"Aku tak pernah ingat sudah memberikanmu izin untuk menyelam," tutur Cakra. Suaranya terkesan santai dan tenang, tapi mengintimidasi. Ia menatap datar ke arah Nada, lalu menghembuskan asap ke wajah gadis itu. "Kau melihat terlalu jauh."

Nada terbatuk karena asap itu. "Kamu apa-apaan sih?!" Ia hendak pergi, tapi Cakra menarik Nada hingga ia terduduk kembali.

"Duduk. Aku tak pernah ingat sudah memberikan perintah untuk pergi," ucap Cakra.

Mata mereka saling menatap dalam. Nada berusaha melepaskan cengkeraman Cakra dari tangannya. Ia berusaha keras, tapi Cakra terlalu kuat hingga menyakitinya.

Semakin dalam Nada menatap mata itu, semakin takut ia pada Cakra. Bibirnya ingin berucap, tetapi tertahan karena gemetar.

Melihat Nada yang takut, Cakra justru tampak menikmatinya. "Mau ngomong apa?"

"Siapa kamu?" tanya Nada lirih.

Mendengar itu Cakra malah tertawa. "Apa aku harus jawab pertanyaan itu?"

Nada terdiam, ia tak mampu berkutik. Tatapan, ucapan, bahkan embusan napas Cakra terasa sangat mengintimidasinya. Baru kali ini Nada merasa tak nyaman berada di samping Cakra. Rasanya seperti berada di sebelah orang lain yang menakutkan. Perlahan Nada menggeleng dengan wajah menatap ke bawah.

"Udah jelas, kan ... aku Cakra Petang Buana," ucap Cakra.

"Cakra, ayo kita pulang," ajak Nada.

"Aku masih mau di sini, Nada," balas Cakra tersenyum manis.

"U-udah malem, aku mau pulang," sahut Nada.

"Nad, aku mau tanya. Kamu takut sama aku?"

Nada terbelalak, ia merinding mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Cakra.

"Eh? Enggak kok," jawab Nada.

"Terus kenapa gemeteran?"

Pertanyaan Cakra semakin memojokkan Nada. Cakra terkekeh, ia menyampingkan poni Nada yang mulai panjang dan mengganggu, lalu menatap wajah ketakutan itu. "Kamu cantik kalo lagi takut. Aku suka."

'Seseorang, tolong.' Nada membatin. Ia berharap ada seseorang yang mampu memecahkan suasana ini.

"Kamu berharap ada seseorang yang dateng?" tanya Cakra lagi.

Nada terhentak, ia seolah tak diberikan ruang untuk membatin. Raut wajah Nada mengukir senyum di wajah Cakra. Pria itu sedang membaca gadis di sebelahnya melalui gelagat dan prilaku. "Kayaknya iya, ya?"

"Iya," jawab Nada tegas. Ia mencoba berani. "Ini udah malem, aku takut. Aku mau pulang, Cakra."

Cakra terkekeh, cengkeramannya semakin kuat. Nada pun terlihat menahan sakit hingga tak sadar mendesis kesakitan.

"Ciao." Di tengah itu semua, seorang pria muncul dari arah yang berlawanan dari arah Nada dan Cakra datang. Cakra dan Nada sontak menatap ke arah pria itu.

"Rizwana ...," gumam Nada lirih.

Nada pernah setakut ini pada Rizwana, tapi malam ini hadirnya Rizwana membuat gadis itu agak lega.

"Kamu kenal dia?" tanya Cakra.

Nada mengerutkan kening. Seharusnya Cakra mengenal Rizwana meskipun tidak akrab dengan pria itu. Namun, apa ini? Pertanyaan apa itu?

Cakra mengendurkan cengkeramannya, Nada mengambil kesempatan tersebut untuk melepaskan diri dan beranjak dari duduknya.

"Aku pulang dulu." Nada berjalan ke arah pulang meninggalkan Cakra dan Rizwana yang saling bersitatap. Cakra dengan wajah datarnya dan Rizwana dengan senyumnya.

Cakra menempelkan kembali cerutu besarnya dan langsung menghisapnya, kemudian membuang asapnya. "Mau lewat?" tanya Cakra.

Rizwana mengangguk. "Duluan." Ia berjalan di depan Cakra masih dengan senyum khasnya. Namun, beberapa langkah setelah melewati pria itu, mendadak Rizwana merinding. Ia kehilangan senyum dan sontak menoleh.

Cakra membuang asap sambil tersenyum padanya. "Hati-hati di jalan."

'Apa itu tadi?' pikir Rizwana.

Mungkin karena masih memiliki urusan, Rizwana pun kembali tersenyum membalas senyum Cakra. "Oke, makasih. Selamat malam." Ia kembali melanjutkan perjalanan.

Kini hanya ada Cakra seorang diri. Ia menyandarkan diri di kursi, sambil menatap langit. Dari hidungnya keluar darah. Cakra menghela napas, ia membuang cerutunya dan beranjak pergi.

***

Sesampainya di rumah, rupanya semua orang sudah pulang ke tempat tinggal masing-masing, menyisakan Kevin seorang diri di teras rumah. Deva pun sudah masuk ke kamarnya.

"Udah pada pulang, Vin?" tanya Cakra sekadar berbasa-basi.

"Kita perlu bicara," ucap Kevin.

Cakra duduk di kursi sebelah Kevin. "Kenapa?"

"Waktu lu sendirian di rumah, ngapain aja?" tanya Kevin.

"Battle rope," jawab Cakra. "Cardio dikit, udah lama enggak olahraga."

Kevin menghela napas. "Sama percobaan bunuh diri?"

Cakra terdiam, ia menatap lurus ke depan.

"Gua bilang ke Deva kalo enggak ada apa-apa, padahal yang gua liat itu adalah sebuah percobaan bunuh diri. Kenapa lu berusaha mengakhiri hidup lu? Jangan-jangan waktu di Pantai Baron juga ...."

Cakra menyeringai, ia masih menatap lurus ke depan. "Slow, gua enggak akan mati."

"Semua precognitive dream Deva berarti benar adanya?" tanya Kevin.

"Sampai detik ini gua ada di sini, di sebelah lu, ngeladenin lu ngobrol. Gua masih bernapas, gua masih hidup. Ada pertanyaan lain?" lontar Cakra.

Kevin kehabisan kata-kata, ia diam seribu bahasa. Melihat Kevin yang diam, Cakra beranjak dari duduknya sambil menatap Kevin.

"Masih ada yang perlu diobrolin terkait pembahasan enggak penting ini?" tanya Cakra.

"Hidup itu cuma sekali, hargai hidup lu. Gua harap hari ini percobaan lu yang terakhir."

Cakra menghentikan langkahnya. Ia mengusap hidungnya yang berlumuran darah.

Kevin merupakan keluarga Wijayakusuma, ia peka terhadap aroma darah. Menyadari Cakra yang berdarah, Kevin bangkit dari duduknya dan menghampiri Cakra. "Kenapa lu?"

"Oh iya, aku punya sebuah permainan," ucap Cakra.

"Apa?" tanya Kevin balik.

Cakra menoleh, ia tersenyum hingga menampilkan deretan giginya.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top