144 : Sunya
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Anjana menatap tajam ke arah Jaya. "Aku mulai." Ia melesat dengan cepat.
'Dia lebih cepat dari Iris.' Pikir Jaya.
Anjana melepaskan tendangan kaki kiri, Jaya menangkis dengan tangan kanannya. Tiba-tiba wanita itu melayang dan menghempaskan Jaya dengan kaki kanannya yang bersarang di kepala Jaya. Perban di kepalanya lepas.
"Peti Hitam ...," gumam Chandratama menatap tato di kening Jaya. "Apa kau ditemukan oleh Gentar Martawangsa?"
"Gentar? Siapa itu? Aku dibesarkan oleh Bayu Martawangsa," balas Jaya sambil bangkit kembali.
"Ah ... anak itu rupanya. Ini adalah hal yang lucu. Selama ini kita hanya terpisah oleh beberapa pepohonan saja." Ia tertawa membayangkan betapa bodoh dirinya. Selama ini ia dan anaknya hanya terpisah tak terlalu jauh. Keterpurukannya membuat dirinya mengunci diri di sisi Utara Hutan Larangan. Sementara putranya ada di sisi Selatan.
"Kau tidak punya waktu untuk mengobrol!" Anjana kembali muncul dan menendang Jaya secara lurus. Jaya hendak menangkap kaki itu dan menjatuhkan Anjana, tetapi dengan cepat Anjana menarik kembali kakinya, lalu memutar tubuhnya dan menendang bahu Jaya dengan keras secara vertikal ke bawah hingga Jaya terpaksa berlutut.
"Apa pria bernama Bayu Martawangsa itu mengajarkan untuk berlutut di hadapan musuhmu?" Anjana memprovokasi Jaya.
"Tutup mulutmu." Jaya kembali bangkit dan melancarkan pukulan lurus mengarah ke wajah Anjana.
Anjana menendang tangan Jaya hingga melambung ke atas. Dengan cepat ia hajar kembali leher Jaya dengan tumit kanannya, lalu memutar tubuhnya ke belakang dan menendang Jaya dengan punggung kaki kanannya.
"Jangan menahan diri hanya karena aku adalah wanita," ucap Anjana. "Atau kau tidak menahan diri? Oh iya, terakhir kali kita betarung, kau berdua lari dengan teman Martawangsa mu. Apa kau memang selemah ini?"
"Biarpun saya lemah, saya pantang menyerah. Kegigihan adalah kekuatan sejati manusia."
"Apa kau berpikir begitu? Bagaimana jika kegigihanmu itu membuat orang-orang di sekitarmu mati? Sampai kapan kau mau membuat orang-orang yang kau lindungi itu menunggu? Apa Ayah tirimu itu tak mengajarkanmu apa-apa?"
"Cukup! Jangan pernah merendahkan Ayahku!" bentak Jaya.
"Apa yang kau pikirkan? Ayahmu ada di sini, menonton pertarungan kecil kita. Orang yang kau anggap Ayah itu, bukanlah Ayahmu, Kaesang."
Jaya melebarkan kuda-kudanya. Tak ada kata yang terucap lagi. Ia menunduk menatap tanah sambil mengepal kedua tinjunya. "Berani menghinanya sekali lagi. Pertarungan kecil ini akan menjadi pertumpahan darah."
"Pantas saja kelompok Peti Hitam melemah. Rupanya pimpinannya adalah seorang pengasuh bayi."
Tanah tempat Jaya berpijak retak. Ia melesat ke arah Anjana dengan sangat cepat. Ketika ia menatap Anjana, tatapannya kosong dan terasa pekat. Menatap mata itu, Anjana merinding.
"Siapa yang mengajarimu?" tanya Anjana.
Namun, Jaya sudah kehilangan sadarnya. Ia membabi buta menghajar Anjana. Wanita itu sangat kerepotan dengan perubahan Jaya yang derastis. Tiba-tiba kekuatan dan kecepatan Jaya bertambah, pergerakannya juga tak bisa ditebak. Kini Jaya benar-benar mendominasi alur pertarungan.
"Baiklah jika kau memang serius, aku juga akan mulai serius," tutur Anjana.
Jaya acuh. Ia melesat dan melesatkan pukulan tangan kanan dengan tenaga yang kuat, tetapi Anjana menangkap tinjunya hanya dengan satu tangan terlemahnya. Ia menatap Jaya. "Sunya." Aura kegelapan memancar dari tubuhnya. Matanya mendadak kosong dan memancarkan kelam yang sangat pekat. Ia mirip seperti Jaya saat hilang kendali. Bedanya, Anjana dapat mengendalikan dirinya.
Sunya bermakna sunyi. Itu adalah salah satu teknik membunuh milik keluarga Wijayakusuma. Namun, teknik ini perlahan pudar ditelan zaman. Hanya keturunan Chandratama yang menggunakan kemampuan ini. Sunya sendiri mampu mempertajam kelima indra dan memperkuat fisik serta kecepatan penggunanya. Sunya juga merupakan teknik yang ekstrim, karena mampu menghilangkan kesadaran penggunanya jika kurang terlatih.
Anjana menyerang Jaya dengan tendangan-tendangannya, hingga pada satu titik ia menggunakan tangannya untuk mengakhiri pertarungan itu dengan menghantam ulu hati Jaya. Jaya kehilangan keseimbangan, ia nyaris jatuh, tetapi Anjana merangkulnya. Ia menopang adiknya agar tidak terjatuh.
"Sudah berakhir, Kaesang ...."
Kesadaran Jaya kembali. Ia tak cukup kuat melawan Anjana seorang diri. Memang benar, wanita itu sangatlah kuat. Wajar ia dan Deva tak bisa melawan Anjana meskipun unggul secara jumlah.
Jaya menutup mata dan pasrah akan takdirnya. Ia telah kalah, dan janji adalah hutang. "Baiklah ji ...."
"Tidak usah memaksakan diri jika tidak mau." Anjana memeluk Jaya. "Hiduplah seperti yang kau inginkan, Emil."
Jaya terdiam tanpa kata. Ia tak mampu membalas ucapan Anjana. Rasa dingin itu perlahan memudar. Dinding yang membentengi hatinya runtuh. Jaya menangis dipelukan Kakaknya.
Anjana menatap Chandratama. "Aku akan meninggalkan pedangku dan mewarisi Jayatu."
"Kalian berdua masuk." Chandratama masuk ke dalam rumahnya.
Anjana dan Jaya saling bertatapan. Wanita dingin itu tersenyum pada Jaya sambil mengusap kepalanya. "Jangan menangis."
Jaya menghapus air matanya sambil mencoba tersenyum. Ia dan Anjana berjalan masuk menyusul Chandratama.
Di dalam rumah, pria tua itu sedang membawa kastrol ke atas meja. Kastrol merupakan penanak nasi kuno, Chandratama masih menggunakan benda itu dan menanak nasi di tungku perapian.
"Kalian pasti lapar setelah perjalanan jauh. Belum lagi, begitu sampai langsung bertarung begitu."
"Sejujurnya kami lebih lelah karena menangkis serangan-seranganmu," balas Jaya.
Chandratama terkekeh. "Maaf, aku tidak tahu jika yang datang merupakan tamu spesial."
"Apa yang Ayah masak?" tanya Anjana.
"Di sini tidak banyak pilihan seperti di kota. Hanya ada hewan buruan seperti ...."
"Ayam hutan, ikan, kijang, kelinci, dan burung," celetuk Jaya.
"Aku harus berterimakasih pada Bayu Martawangsa. Berkatnya, kau masih hidup sampai sebesar dan sekuat ini. Berkatnya juga kau dan aku makan dengan menu serupa." Chandratama kembali terkekeh.
"Maaf ...," tutur Jaya. "Maaf, saya berucap seolah-olah kalian ini adalah orang asing. Padahal kalian adalah keluarga saya yang selama ini saya harapkan ada."
"Tidak apa-apa, kau besar dengan cara yang kami tidak tahu. Kau bahkan tak tahu siapa orang tuamu, di mana mereka, dan siapa dirimu, tapi waktu membuatmu tumbuh menjadi dirimu yang sekarang. Takdir yang memberitahu jawaban atas pertanyaan yang ada di dasar benakmu. Menerima orang asing dan menganggapnya keluarga memanglah perkara yang sulit," ucap Chandratama. "Berbeda dengan Anjana yang pernah merasakan kasih sayang, kau sama sekali tak tahu apa itu kasih sayang selain perhatian dari si Bayu itu. Anjana, sebaiknya kau minta maaf, bagaimana pun, Bayu Martawangsa adalah Ayah dari Emil Jayasentika."
"Kaesang Akara Wijayakusuma," celetuk Jaya. "Kalian boleh memanggilku dengan nama itu."
"Apa tak masalah?" tanya Chandratama.
"Ya, hanya berlaku untuk dua orang. Saya rasa tidak masalah. Kita keluarha, bukan?
"Kaesang, maaf ...."
Jaya tersenyum menatap Anjana. "Tak apa, dalam pertempuran, apa pun dilakukan demi kemenangan. Salah satunya memprovokasi lawan agar kehilangan ketenangan. Saya yakin, ucapan tadi bukanlah ucapan yang tulus."
Semua terdiam kehabisan topik obrolan.
"Perihal Chandratama, saya betul-betul tidak ingin menyandang gelar itu. Bagaimana jika Kakak yang melanjutkannya, sementara pedangmu itu aku yang akan menjaganya?" ucap Jaya memecah keheningan.
"Alasan kenapa Ayah ingin kau menjadi penerusnya, adalah untuk membuang topeng Martawangsa yang kau miliki. Topeng-topeng itu adalah milik Martawangsa, sementara kita Wijayakusuma tidak hidup dengan itu. Kau pun tidak akan sanggup hidup dengan dua pusaka sekaligus."
"Kita tidak akan tahu kalau tidak dicoba. Beberapa orang yang saya kenal bisa hidup membawa lebih dari dua pusaka. Saya pun merasa bisa." Jaya mengambil pedang hitam milik Anjana. "Setiap pusaka memiliki nama, siapa nama pedang ini?"
Anjana tersenyum. "Pedang bayangan, Akara. Sengaja ku cari pedang itu untuk bisa mengingat namamu."
Jaya beranjak dari meja makan dan mengenakan topeng Bapang. Setelah itu ia mengambil pedang hitam milik Anjana dan mencabutnya dari sarungnya. "Angkat wajahmu, Akara."
Chandratama dan Anjana terbelalak menatap Jaya. Jaya pun menatap ke arah mereka. "Bagaimana? Bisa, kan?" Mereka bertiga tertawa bersama.
"Baiklah, kalau begitu ini milikmu, Anjana." Chandratama memberikan Jatayu pada Anjana. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan."
Tatapan Anjana mendadak sendu. "Baiklah, tapi tidak sekarang. Kita lakukan nanti, setelah Kaesang pergi."
Baru saja momen haru ini tiba, mereka bertiga merasakan aura yang membuat bulu kuduk mereka merinding. Pancaran aura mematikan memancar dari arah luar hutan.
"Sepertinya saya tidak bisa berlama-lama di sini," ucap Jaya. "Saya harus pergi."
***
Sisi Selatan Hutan Larangan.
"Kau merasakannya?" tanya Tirta. "Aura ini terasa familiar. Meskipun samar, aku pernah merasakannya tepat sebelum kematian Kei malam itu."
Dirga mengangguk. Sambil menatap ke arah jalan setapak menuju luar hutan.
"Dari arah Bandung," lanjut Tirta. "Aku ikut denganmu."
Dirga menatap Deva. "Deva, kita melipir ke Bandung sebentar. Om Tirta mau bayar hutang."
"Oke."
Dirga dan Deva hendak pergi pagi ini menuju Jogja, tetapi rupanya ada aura kelam yang memancar luas bahkan sampai ke Hutan Larangan, Tasikmalaya.
Mila dan Alya keluar rumah menatap suami-suami mereka yang sedang berkemas. Mereka terlihat khawatir.
"Apa kalian pernah tertukar?" tanya Gemma yang tiba-tiba muncul.
"Enggak," jawab Alya dan Mila.
Memang suami mereka kembar, tetapi tentu saja banyak perbedaan antara si kembar satu dan kembar dua. Terlebih, Tirta hanya memiliki tangan kanan. Secara fisik mereka jelas berbeda.
Dirga menatap Mila dengan sebatang lolipop di mulutnya. "Aku sama Deva berangkat."
"Hati-hati," balas Mila. "Jangan lupa telpon."
"Oke." Dirga masuk ke dalam mobil disusul Deva di depan.
"Aku berangkat," ucap Tirta.
"Jangan bertindak ceroboh," balas Alya.
Tirta tersenyum. "Enggak akan." Ia masuk ke bagian tengah mobil. Mereka langsung tancap gas menuju Bandung.
***
Bandung.
Gerhana terduduk di ruangan yang sangat gelap. Ia berusaha menghubungi rekan-rekan Satu Darah. "Aku butuh bantuan." Ia merinding ketika merasakan pancaran aura yang sangat besar.
Aura yang keji ini adalah milik Sutresna. Ia memancarkan aura untuk mencari keberadaan Gerhana yang terluka parah akibat serangannya subuh tadi.
"Setiap anggota Satu Darah memiliki kekuatan di luar nalar, tapi di sisi lain mereka memiliki kelemahan yang sangat fatal juga. Contohnya Gerhana Effendi, ketika bulan tak bertahta di singgasana langit, ia bukanlah ancaman," tutur Sutresna yang sedang duduk menatap data Satu Darah yang ia dapatkan dari beberapa rekaman. Rekaman-rekan itu merupakan kumpulan pertarungan Gerhana yang terekam di CCTV publik. Pria itu tak pernah bergerak ketika matahari bertahta di langit. Kesehariannya hanyalah pelukis di sebuah studio gambar.
Sutresna menyeringai. Pancaran aura yang luas itu nampaknya berhasil menemukan sosok yang dicari. "Kematianmu akan menjadi pelajaran untuk Satu Darah yang lain." Sutresna beranjak dari duduknya dan berjalan ke tengah tenda perang. Ia mengambil spidol merah dan memberikan lingkaran pada sebuah koordinat. "Kerahkan seluruh pasukan. Serbu ke titik ini secara serempak. Jangan lakukan kesalahan, ini tangkapan besar."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top