83 : Uninvited Guests

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Malam ini kedai sangat ramai, Abet, Nisa dan Anna masih berkutat dengan grinder dan beberapa mesin kopi lain. Sementara Ajay menjaga kasir, Dirga dan Puspa sibuk melayani dan mencatat pesanan para pengunjung.

Dirga terus menerus memperhatikan Puspa dan Nisa yang belum lama ini mulai bekerja. Nisa memilki kemampuan yang bagus untuk menjadi barista, sementara Puspa, ia adalah anak yang canggung dan pemalu. Hampir selalu terjadi kesalahan-kesalahan kecil yang ia lakukan. Kadang ia salah memberikan menu, ia juga tak bisa membawa banyak pesanan sekaligus, beberapa kali ia menjatuhkan gelas yang sedang ia bawa.

Puspa mengambil pesanan untuk beberapa mahasiswa yang duduk di luar kafe, sementara Dirga membuntutinya. Dirga membukakan pintu untuk Puspa, ia melihat sekelibat masa depan, jika Dirga tak membantunya membuka pintu, Puspa akan menjatuhkan beberapa gelas. Setelah itu, Dirga duduk di sebelah Ajay.

"Ga jaga kasir aja dia?" tanya Ajay.

"Di pengelihatan gua, cuma jadi waiters yang kesalahannya paling kecil," balas Dirga.

"Omset bisa turun gara-gara salah ngasih kembalian--"

"Sampe segitunya, ngitung duit kan gampang padahal." Sambung Dirga.

"Namanya orang canggung, Dir. Jangankan ngasih kembalian, kalo ditanya pancasila aja belibet-libet kali jawabnya," balas Ajay.

"Andis gimana keadaannya?" tanya Ajay.

"Belum keluar-keluar dari kamar, tapi tadi gua udah beliin makan sih," jawab Dirga.

Cring~ pintu mantra terbuka, seorang pengunjung masuk dan duduk di bar. Seorang pria dengan kemeja flanel biru lengan pendek, serta mengenakan celana jeans pendek berwarna hitam. Ada anting magnet  berwarna hitam yang menempel di telinga kirinya.

Ujian macam apa lagi ini, badai makin besar, batin Ajay yang melihat Dirga yang tiba-tiba berdiri sambil menatap pria itu dengan sorot mata yang tajam dan tegas.

"Hei, hei, hei." Pria itu menyapa Dirga sambil menunjuk Dirga dengan memaju-mundurkan jari telunjuk kanan dan kirinya secara bergantian. Pria itu memiliki wajah yang cukup tampan, tetapi tingkahnya sangat aneh.

"Ngapain lu ke sini?" ucap Dirga yang agak sinis.

"Ga sengaja nemu kafe, dan ternyata ada lu--"

"Dari mana lu tau keberadaan gua di sini?" potong Dirga.

"Kan udah gua bilang--"

"Jawab! Frinza," bentak Dirga.

Raut wajah Frinza berubah menjadi datar, dengan tatapan yang mengintimidasi. Tak ramah lagi seperti tadi, ketika ia datang. "Duduk." Frinza menyuruh Dirga untuk duduk tepat di sebelahnya.

"Kalo lu cari ribut, kasian pelanggan lu kan? Jadi merasa ga nyaman ...," bisiknya pada Dirga.

"Ayo sini, kita minum bareng sebagai saudara--"

"Adikku yang liar," lanjutnya.

Ya, dia adalah Frinza Martawangsa, anak kedua dari Broto Martawangsa. Dirga merupakan anak terakhir dari keluarga Martawangsa milik Broto, Tirta adalah anak ketiga, dan Gemma Martawangsa adalah anak tertua.

"Jangan sampe, gua kasih tau keberadaan lu ke Gemma atau Ayah! Duduk," titah sang kakak.

Dirga duduk di kursi sebelah Frinza, "apa mau lu?" tanyanya.

"Minum gratis," ucapnya sambil tersenyum.

"Oi, Anjay, menu yang paling mahal, dua," ucapnya pada Ajay.

"O--oke, Bang," jawab Ajay.

Ajay tahu benar, Dirga sangat benci dengan keluarga dan marganya, kecuali Tirta. Setelah beberapa kejadian yang menimpa mantra, ia pikir ombak akan tenang untuk sesaat. Namun, siapa yang sangka? Badai semakin mengamuk, ombak besar terus menerjang kapal layar milik Mantra tiada hentinya.

"Jadi--ngapain lu ke sini?" tanya Dirga dengan sorot mata yang tajam.

"Aw--takut," ledek Frinza.

"Frinza!"

"Udah gua bilang kan, cuma ga sengaja aja main ke kafe. Dan beruntungnya malah ketemu sama adek sendiri," jawab Frinza.

"Ga! Kalo lu ga tau tentang keberadaan gua, lu ga akan nyuruh Ajay buat bikinin pesenan lu. Dan lu ga akan minta gratisan karena lu ga tau kalo gua itu owner di sini."

"Ahh--"

"Gua emang sering banget ngelakuin kesalahan sih, sorry," balas Frinza.

Frinza mengeluarkan amplop dan meletakkannya di meja, ia menyodorkan amplop itu ke Dirga.

"Gua butuh bantuan lu," ucap Frinza.

"Hahahaha, lu tau kan jawaban gua? Ga akan pernah gua bantu keluarga yang numbalin anaknya sendiri! Keluarga yang bunuh ibu gua karena berusaha nolongin gua."

"Ini bukan permintaan keluarga Martawangsa, ini pure permintaan gua sebagai kakak lu, cek aja dulu isinya."

Dirga membuka amplop itu, tentu saja isinya adalah uang.

"Gua ga butuh uang," Dirga membanting amplop itu ke meja. Seketika itu sebuan pin berwarna emas keluar dari dalam amplop.

"Pin itu, kan?" Mata Dirga tak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Iya, ini adalah pin yang cuma dimiliki sama petinggi keluarga. Ini punya gua, dan gua kasih buat lu--"

"Dengan ini lu punya akses masuk ke seluk beluk Martawangsa Corp. Lu cuma harus bantu gua."

Di dalam amplop itu juga ada beberapa foto seorang pria yang tak asing untuk Dirga.

"Lu kenal orang itu kan?" tanya Frinza.

"Jambrong?"

Jambrong adalah salah satu pengguna topeng, seperti Dirga dan Bayu.

"Ya, dia adalah salah satu anggota Dasamuka," jawab Frinza.

Dasamuka? Orang-orang yang dicari Bayu, batin Dirga.

"Dia itu pengkhiat, dia ngebunuh salah seorang Dasamuka lain dan kabur ke daerah jawa tengah. Perkiraannya dia ada di sekitaran Jogja, mengingat kampung halamannya ada di sini. Gua mau lu bantu gua cari orang ini."

Frinza mengeluarkan sebuah kartu nama. "Kalo lu liat, Si Jambrong, hubungin gua. Jangan terlibat! Lu bisa mati."

"Apa peduli lu kalo gua mati?"

Frinza mencengkeram kerah baju Dirga.

"Gua itu beda sama Gemma. Nyawa yang diselamatin ibu, ga boleh mati di tangan Martawangsa! Paham lo?"

"Kalo sampe lo mati di tangan Martawangsa lain, gua kejar lu sampe neraka!"

"Ini, Kak pesanannya," ucap Puspa.

Pesanan Frinza sudah datang, dua botol cold brew.

"Buat lo satu, gua mah orang baik, suka berbagi."

Iyalah, orang lu minum gratis. Justru gua yang harus nombok. Apanya yang baik? Bandit.

"Kalo gua liat, Si Jambrong, gua bakalan kabarin lo, tapi jangan kira gua udah percaya sama lo," tutur Dirga sambil mengambil botol cold brew itu dan menaruhnya lagi di dalam kulkas.

"Kafe lu keren juga." Frinza menatap seluruh ruangan di mantra.

Dirga berjalan ke arah pintu, "kalo urusan lu udah selesai, pintu udah terbuka lebar," tuturnya halus mengusir kakaknya.

"Oke, oke." Frinza berjalan ke arah pintu, ketika ia berjalan tepat di depan Dirga, ia berbisik. "Jangan terlibat, cukup kabarin gua ...."

Dirga menatap punggung kakaknya yang perlahan menjauhi Mantra Coffee, entah sudah berapa tahun mereka tak pernah bertemu. Mungkin ini kali pertamanya Dirga melihat salah satu keluarganya lagi, selain Tirta.

Sudah hampir seminggu mantra Coffee Buka, aroma Tama semakin menghilang dari setiap sudut ruangnya.

Cring~ 

Aqilla masuk dengan membawa case gitar di punggungnya. Malam minggu ini ia memiliki jadwal perform di mantra, "malam semua," sapa Qila.

"Malam," balas Dirga.

"Tama ga diajak nih?" ledek Dirga.

"Nanti abis tampil, boleh kita bicara sebentar?" balas Qila.

Dirga menyimpan sejuta tanda tanya dalam pikirannya, mau nanya apa dia? Berhenti perform dari mantra, kah? Atau hal yang lain?

Yang jelas Dirga hanya meng-iya kan.

Malam ini Aqilla membawakan lagu so far away milik Avenge Sevenfold.

Lived a life so endlessly,
Saw beyond what others see,
I tried to heal your broken heart,
With all that I could
Will you stay?
Will you stay away forever?

Selesai membawakan lagu itu, Aqilla menemui Dirga yang sudah menunggunya.

"So, mau ngomong apa?"

Matanya berkaca-kaca.

"Tama hilang--"

"Udah hampir seminggu ini dia ga kelihatan di kampus, dia juga ga angkat telpon--bahkan semua pesan dari Whatsapp aku semua centang satu." Aqilla khawatir dengan Tama yang mulai menutup diri bahkan darinya.

"Udah ke kosannya?" tanya Dirga.

"Beberapa kali aku ke sana dan dia ga pernah ada di sana."

"Dia ga punya banyak temen ...," gumam Aqilla lirih.

"Cuma mantra yang aku tau."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top