Enam Belas

"Ibu siapa, Na?" ulang Adam.

"Ibu kandung Yudistira," aku sebenarnya bisa menghindari percakapan itu karena Adam tidak punya hak untuk memaksaku bicara. Hubungan kami hanya sebatas teman, meskipun mungkin berprospek untuk naik level nantinya. Namun, aku memilih menjawab. Setelah pengalaman buruk di masa lalu, lebih baik jujur. "Tapi sudah aku anggap sebagai ibu sendiri. Aku mengenal Ibu jauh sebelum bertemu Yudistira. Aku nggak punya orangtua lagi. Mereka meninggal saat kecelakaan kapal, jadi aku tinggal di panti asuhan. Ibu Yudistira yang membiayai kuliahku. Sebelum bercerai, aku juga bekerja di perusahaan mereka."

"Kamu dan Yudistira dijodohkan?"

Tanpa setahuku, ya. "Tidak."

"Kenapa kalian bercerai?"

Karena sejak awal aku bukan perempuan yang diinginkan Yudistira sebagai istri. Aku mengedik. "Klise sih, nggak cocok."

"Dia selingkuh?" Adam terus bertanya.

Saat kami berpisah, setahuku belum. Maksudku, secara fisik, entahlah kalau hati. Yudistira tidak punya waktu untuk bersama perempuan lain karena hampir sepanjang waktu kami berada di tempat yang sama, kecuali saat dia keluar kota, meeting, atau hangout dengan teman-temannya. Semua kegiatan itu atas izin dan sepengetahuanku. "Tidak."

"Pasti kamu yang minta berpisah, kan?"

"Dari mana kamu tahu?" Aku sedikit terkejut karena Adam ternyata lebih peka dari yang aku duga.

"Karena dia kelihatan nggak suka padaku aku. Waktu bertemu pertama kali dia memang nggak terlalu memperlihatkannya, tapi tadi dia terang-terangan menunjukkannya."

"Dia sebenarnya marah padaku aku," kataku terus-terang. Semalam pembicaraan kami jelas membuat Yudistira kesal. "Kamu hanya kebetulan kena imbasnya karena berada di sini."

"Mengapa dia setuju bercerai kalau masih cinta sama kamu?"

Aku membelalak menatap Adam. Aku pikir dia peka, ternyata analisisnya ngawur. Yudistira tidak pernah mencintai perempuan serius pencatat dosa sepertiku. Aku masih ingat Indira, pacar terakhirnya. Cinta dalam hidupnya. Atau mereka sekarang sudah kembali bersama. Perempuan itu sangat cantik. Sosialita founder dan CEO marketplace yang sukses. Keluarganya mememiliki perusahaan properti. Salah satu yang terbesar di tanah air. Indira itu semacam pembuktian kalau perempuan yang penampilan fisiknya luar biasa bisa memiliki otak yang cerdas. Dia juga ramah. Yudistira pernah mengajaknya di acara ulang tahun perusahaan. Indira duduk di sebelahku, di meja utama bersama Yudistira dan orangtuanya. Perempuan itu menyempatkan diri mengajakku ngobrol, tidak hanya sibuk dengan Yudistira. Aku memang tidak heran kalau Yudistira jatuh bangun mencintainya. Aku bahkan sempat bertanya-tanya apa yang membuat mereka sampai putus. Tentu saja aku tidak pernah membayangkan kalau Ibu berada di balik kejadian itu karena menginginkan Yudistira menikah denganku.

"Kamu salah sangka. Yudistira nggak mencintai aku."

"Sikapnya nggak akan seperti itu kalau dia nggak punya perasaan apa-apa lagi sama kamu." Adam terdengar semakin ngawur. "Dia cemburu."

"Aku nggak mau bicara tentang dia lagi." Aku menggeleng. "Kami sudah bercerai, itu intinya. Kami nggak akan berpisah kalau saling mencintai dan hubungan kami baik-baik saja. Hanya saja, hubungan kami sedikit rumit. Berpisah dengan dia nggak berarti hubungan kami benar-benar terputus. Aku sekarang bekerja untuk dia. Aku juga nggak bisa lepas begitu saja dari orangtuanya. Mereka sudah menjadi keluargaku yang paling dekat sebelum bertemu Yudistira."

Adam bersandar di kursinya sambil bersedekap menatapku. "Kedengarannya memang rumit."

Kalau tidak rumit, aku tidak akan berada jauh dari Jakarta.

Setelah Adam pulang, aku ke vila Ibu. Waktu kami bersama tidak banyak lagi. Besok pagi dia akan kembali ke Jakarta. Perjalanan Jakarta-Makassar bukan jarak yang dekat untuk Ibu. Ke depannya, aku yang harus lebih sering menjenguknya.

"Ibu keluar bersama Mbak Yesti," Yudistira yang duduk di beranda memberitahu begitu aku sampai di sana.

"Ke mana?" Tempat ini sangat luas. Apalagi hari ini banyak pengunjung. Akan sulit menemukan Ibu kalau tidak tahu persis dia ke bagian mana.

Yudistira hanya mengedik dan menyesap minumannya santai. Menyebalkan!

Percuma bicara dengannya, jadi aku mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Mbak Yesti.

"Orang itu nggak cocok untuk kamu," ucapan Yudistira membuatku mengalihkan perhatian dari ponsel.

Aku tahu siapa yang dimaksud Yudistira, jadi aku menampilkan raut bosan saat balas menatapnya. "Kalau nggak salah ingat, aku sudah pernah bilang kalau hubunganku dengan orang lain bukan urusan kamu."

"Aku hanya menyampaikan pendapat. Orang sempurna seperti kamu harus mendapatkan orang yang sempurna juga. Dia nggak kelihatan sempurna di mataku."

Aku tidak jadi menghubungi Mbak Yesti. Ponsel di tanganku kugenggam erat supaya tidak melemparnya ke arah kepala Yudistira. "Aku tahu orang seperti apa yang cocok untukku." Waktu tiga tahun ternyata sudah mengubah laki-laki itu menjadi tukang sindir yang nyinyir. Dia tidak pernah bicara dengan nada dan ekspresi seperti itu selama pernikahan kami. "Aku nggak butuh orang sempurna. Aku hanya perlu orang yang mencintai dan menerimaku apa adanya tanpa merasa dipaksa. Perempuan serius yang kerjaannya mencatat dosa dan kesalahan orang lain pasti nggak gampang disukai orang. Aku cukup beruntung ada yang nggak melihatku seperti itu."

"Kita kembali ke situ lagi, kan?" Yudistira berdiri dan melangkah ke arahku sehingga aku spontan mundur dan masuk ke dalam vila. "Aku pikir waktu tiga tahun sudah cukup untuk mengendapkan kemarahan kamu dan bisa melihatnya secara lebih obyektif. Waktu itu aku kelelahan, Kay. Perjalanan beberapa hari dengan meeting yang nggak putus beneran menguras energi. Badan aku rasanya beneran nggak enak. Aku belum lama tidur setelah kamu ke kantor saat Ibu menelepon dan kembali mengulang ceramahnya tentang bagaimana cara menjadi suami yang cukup baik untuk kamu. Ceramah yang nggak bosan dia ulang-ulang seolah-olah aku memang seburuk itu. Aku bohong kalau aku bilang nggak muak terus dianggap nggak pantas. Saat marah, kita terkadang mengatakan hal-hal yang nggak bermaksud kita ucapkan."

"Kamu memang menganggapku perempuan serius. Itu nggak bohong!" Kalau dia mau bertengkar sekarang, aku tidak akan mundur. Lahar kemarahan di dalam dadaku yang sudah sekian lama kupendam siap menghambur keluar.

"Kamu memang orangnya serius, Kay. Terutama untuk orang yang belum kenal kamu dengan baik. Kamu serius dan nggak pernah melakukan kesalahan. Sempurna. Semua ide yang kamu usulkan kepadaku untuk dijalankan selalu berhasil. Kegagalannya nol persen. Rumah kita kelihatan lebih rapi daripada suite hotel saat baru check in. Nggak ada barang yang letaknya miring, apalagi berhamburan. Aku baru masuk kamar mandi saja, seprai sudah kamu rapikan, padahal beberapa menit kemudian akan kita bikin berantakan lagi."

Aku tidak mau mendengarnya bicara tentang tempat tidur. Rasanya sangat tidak nyaman mengingat hal-hal yang kami lakukan di sana. "Aku tahu kalau aku bukan tipe kamu, tapi kamu nggak harus menyebutku sebagai malaikat pencatat dosa."

Yudistira kembali maju sehingga aku juga ikut mundur. "Apa kamu nggak merasa kalau sebelum kita sama-sama kamu selalu melihatku dengan pandangan menilai seolah membuat catatan tentang semua kesalahan yang aku lakukan? Nggak ada orang yang melihat dan mengkritikku seperti kamu. Apa yang kamu dengar waktu aku bicara dengan Ibu adalah pandanganku tentang kamu saat Ibu memintaku mendekati kamu karena Ibu terobsesi untuk punya menantu kamu. Ibu sudah menyukaimu sejak pertama kali kalian bertemu, dan nggak mau kehilangan kamu sejak kamu mendonorkan hati untuknya. Jadi dia mencari segala macam cara untuk mengikatmu." Yudistira semakin dekat, dan aku tidak bisa mundur lagi karena punggungku sudah sudah menabrak bufet kayu tempat pajangan. "Kamu selalu membanggakan diri sebagai penilai karakter yang baik, seharusnya kamu bisa menilai apakah aku tulus sama kamu setelah kita bersama atau tidak."

Aku nyaris tertawa. Beraninya dia bicara soal ketulusan denganku. "Niat awalmu saat mendekatiku sama sekali tidak tulus, jadi jangan bicara soal ketulusan di depanku. Kamu bilang kamu tertarik padaku!"

"Kalau aku bilang aku mendekatimu karena Ibu yang meminta, apa kamu akan mau? Jelas tidak. Kamu pasti langsung menduga kalau itu Ibu lakukan untuk membayar budi untuk apa yang sudah kamu lakukan untuk keluarga kami."

"Kamu memanipulasiku!"

"Aku sudah minta maaf, Kay. Aku memang salah soal itu. Tapi itu cara masuk akal untuk mendekati kamu tanpa kamu merasa curiga."

"Mundur!" Yudistira berdiri terlalu dekat denganku. Aku jadi bingung harus mengatakan apa lagi, fokusku berceceran.

"Tidak! Sekarang kamu harus mendengarku bicara."

Kami tidak bisa bicara dengan posisi seperti ini. Tidak menguntungkan untukku. Aku lantas mendorong dadanya menjauh. Yudistira bergeming. Dia jelas bukan lawanku kalau beradu fisik.

"Kalian sedang apa?" Suara Ibu dari pintu masuk membuat kami serentak meoleh. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top