• p e r t e m u a n •

"Katanya, kalau jodoh nggak akan ke mana."

🍃🍃🍃

PAGI-PAGI sekali Dira sudah membawa beberapa cup kopi dari kafe seberang jalan ke setiap kubikel yang satu ruangan dengannya. Terutama, sebuah kopi susu dengan rasa amat manis khusus untuk Dara—yang katanya, kembaran beda ayah dan ibu dengannya.

Dara jelas tahu diri untuk tidak menyamakan dirinya dengan Dira, karena fisik mereka sangat jauh beda.

Andara Prameswari hanyalah gadis yang tingginya agak menyamping dengan kulit kuning langsat, jarang merawat diri dengan baik hingga jerawat rajin absen setiap bulan walau tidak banyak. Mungkin, satu satunya hal yang bisa Dara banggakan dari fisiknya hanyalah dua buah menggantung di depan dadanya saja.

Beda dengan Dira, Andira Pratiwi, walau ukuran payudaranya tidaklah besar, tapi dia memiliki tinggi semampai, bertubuh langsing, dengan rambut lurus panjang sepunggung, senyuman maut, tak lupa kulit putih bersih tanpa jerawat yang selalu membuat Dara iri bukan main padanya.

Bak langit dan bumi, keduanya jauh berbeda. Hanya nama yang hampir mirip dan seluruh rekan kerjanya mulai memanggil mereka dengan sebutan "Rara's Twin" yang kadang terdengar menggelikan sekaligus membingungkan, karena tidak jelas siapa yang sedang dipanggil oleh mereka.

"Tumben beliin kopi pagi-pagi, abiis gajian, ya?" Dara bertanya sembari menyesap kopi susunya dengan perlahan.

"Ye, tanggal gajian gue, kan, bareng sama elo," protes Dira sembari mendelik ke arah Dara yang terkikik mendengar balasannya. "Gue lagi seneng tahu, katanya bos baru kita ini cowok ganteng yang belum nikah. Astaga, kerja bertahun-tahun baru kali ini gue punya atasan jomlo mana good looking juga kabarnya!"

"Oh!" Dara menanggapi dengan cuek bebek. Dia memalingkan wajah menatap layar komputernya yang baru menyala setelah sekian lama menunggu hasilnya.

"Lo nggak tertarik sama sekali ya, Ra?" tanya Dira sembari mengernyitkan dahi.

Dara menggeleng pelan. Dia tidak pernah tertarik pada pria mana pun selama ini. Entah sejak kapan hal itu terjadi, tapi memang benar dia tidak bisa menyukai lawan jenisnya dengan baik seperti para perempuan seumurannya.

"Nggak mungkin dia tertarik sama bos baru kita, kalau dia tahu saingannya elo, Ra," celetukan dari sebelah mereka membuat Dira langsung melongok ke kubikel sebelah.

"Ra siapa?"

"Dira, ya ampun! Masa iya, si Dara? Dia kan nggak pernah kelihatan tertarik sama laki-laki selama ini!" Namanya Agus, sedang mendengkus kesal setelah membalas soal Dira, kemudian melirik Dara sambil melemparkan senyuman mautnya.

"Lo kayaknya masih sakit hati karena gue nggak bisa nerima cinta lo beberapa waktu yang lalu, ya, Gus?" tanya Dara sembari tersenyum manis.

Agus terkekeh. "Iya, dong. Masih kerasa nyeseknya, tapi gue kan orangnya pantang mundur. Jadi gue tungguin aja sampai lo luluh."

"Dasar bucin, lo!" Dira mengambil sebuah pena dari kubikel Dara dan melemparkannya ke arah Agus.

"Bukannya bucin, tapi emang kenyataannya gitu, kan?" tanyanya pada Dara yang hanya menanggapi dengan anggukkan kepala.

Alasan dia menolak Agus, selain karena memang tidak tertarik padanya, juga karena dia berharap hanya akan menjadi teman laki-laki itu saja untuk selamanya.

Dara tidak mau menodai pertemanan mereka dengan kata cinta, karena bisa saja semuanya nanti takkan bisa kembali lagi seperti sedia kala.

Dan alasan lainnya kenapa Dara tidak pernah berani melirik laki-laki di seluruh kantornya adalah Dira. Semua pria di kantor ini rata-rata menyukai Dira, kepribadian Dira yang ramah, kebaikannya, serta kecantikannya yang paripurna, semua itu berbanding terbalik dengan Dara yang jelek, cuek bebek, jutek, dan terlalu menyebalkan.

Dara takut dibanding-bandingkan. Karena sampai kapan pun, dia tidak akan bisa menjadi seperti Dira.

Tidak ... mungkin.

Manager bagian personalia memasuki ruangan dan meminta mereka berkumpul menjadi satu saf. Dara berdiri di sebelah Agus, seperti letak kubikel mereka yang bersisihan. Dia tersenyum manis seperti biasa, sebelum melempar tatapannya ke seorang manusia yang berdiri di samping Pak Adnan, manager bagian personalia yang cukup akrab dengan Dara.

Pria itu masih muda. Tubuhnya tinggi tegap. Walau dibalut kemeja dan jas, Dara bisa melihat dadanya yang membidang dengan sempurna. Mata hitam yang dinaungi alis tebal menghunjam tepat ke arah Dara yang hanya bisa memamerkan senyum andalannya.

Jika Dara benar, dia pasti akan menjadi bos barunya mulai hari ini. Dan Dara tidak mau meninggalkan kesan buruk apa pun pada bos barunya itu. Jadi, ia hanya memamerkan senyum sebaik mungkin.

"Ini Pak Galih, dia akan menjadi bos baru kalian mulai hari ini!" Pak Adnan menyampaikan, Dara tersenyum sopan.

"Nama saya Galih Aji Prasetya, panggil saja Galih tanpa embel-embel 'Pak' jika berada di luar kantor. Salam kenal semuanya!"

Dara hanya mengangguk-anggukkan kepalanya polos sebelum dia mengernyitkan dahi menatap pria yang juga tengah menatap ke arahnya saat ini.

Tunggu ... cuma perasaan gue aja, apa dari tadi dia emang ngelihatin gue terus?

Dara yakin, dia tidak pernah mengenal atau bertemu dengan pria ini sebelumnya, tapi entah mengapa namanya itu seperti tidak asing baginya.

Sebuah nama yang selama sembilan tahun ini masih terus membekas dalam ingatannya.

Galih Aji Prasetya.

Aji ... mantan pacar Dara.

Dara terdiam cukup lama, tapi tak lama kemudian kedua matanya langsung membelalak lebar.

Ini tidak mungkin, kan?

Sembilan tahun lamanya, mereka tidak pernah lagi saling berhubungan. Mereka tak pernah bertegur sapa, juga saling memberi kabar sebelumnya.

Lalu bagaimana mungkin mereka bisa bertemu lagi seperti sekarang?

Tidak mungkin ada sesuatu sekebetulan ini, kan?

Walau katanya memang jodoh tidak akan pergi ke mana, tapi mana mungkin, kan?

Iya, kan?

Mereka pasti bukan orang yang sama, kan?

____

💔💔

Udah mantan, lempar aja ke selokan. __Aji said.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top