8

"Laki-laki memang seenaknya. Mengapa, sih, mereka selalu diutamakan dalam sebuah keluarga?"

Yewon terkesan lembut dan sopan pada perjumpaan pertama, tetapi begitu membahas pria, amarahnya meluap-luap. Dia telah berjuang keras untuk hak bersekolah yang hanya diberikan kepada adik laki-lakinya, tetapi 'pemberontakannya' membuat marah sang ayah. Semua buku yang Yewon kumpulkan diam-diam dirampas oleh orang-orang suruhan ayahnya, dibakar di depan matanya lantaran ia tidak mau menikah, dan ia melompat ke dalam api demi menyelamatkan koleksinya. Bangau Mago balik menyelamatkannya dan membawanya pergi. Gadis ini adalah yang termuda dari keenam murid baru, maka mereka menamainya Umji—dari 'jempol', jari yang paling mungil.

"Tapi aku senang-senang saja jadi perempuan. Keluargaku-lah yang tidak suka." Sinbi—'misteri'—dinamakan demikian oleh teman-temannya karena dikira pria saat awal datang. Bagaimana tidak? Ia punya sangtu dan memakai pakaian pria, membuat para murid bertanya-tanya apakah dia benar perempuan. Rupanya, identitas Sinbi disembunyikan ibunya selama bertahun-tahun, tetapi begitu ketahuan, gadis itu dikejar-kejar ayahnya yang tidak pernah menghendaki penerus wanita. Terlambat sedikit saja bangau Mago menjemput, Sinbi akan berakhir di Hwangcheon—akhirat—alih-alih Cheonwangbong.

"Aku juga senang jadi perempuan—andai tidak harus melahirkan dua tahun sekali ...." Eunha yang terlihat paling belia di antara keenam perempuan ternyata sudah beranak tiga, empat jika bayinya yang meninggal saat lahir dihitung. Sebenarnya, ia sudah bicara dengan suaminya soal persalinan-persalinannya yang selalu lama dan sulit. Bagus kalau sang suami sedikit saja mengusahakan kelancaran persalinannya dengan membayar tabib—atau, lebih baik, mencegah Eunha hamil. Alih-alih, pria itu selalu menghindar, pura-pura tidak mendengar keluhan Eunha, dan ketika malam menjadi sangat sulit Eunha lawan. Persalinan terakhir Eunha membawanya ke ambang maut saking banyaknya darah yang mengucur, tetapi rasa iba Mago menyelamatkannya.

Mendengarkan cerita kawan-kawannya mengelukan lidah Yuju. Begitu banyak perempuan menderita di luar rumahnya hingga Yuju ragu dirinya cukup menderita. Tentu dikurung dalam lumbung selama tiga hari tanpa makan-minum merupakan penderitaan, tetapi dibandingkan dengan tahun-tahun damai bersama Seokmin, juga besarnya kesalahan yang memaksa pria itu mengurungnya, Yuju justru merupakan murid paling beruntung dalam lingkarannya.

"Yuna, sekarang giliranmu," panggil Sojung, menolehkan sang mantan pelayan kepadanya. "Bagaimana kehidupanmu setelah kita berpisah? Kau masih belajar pengobatan, kan?"

"Tentu, Sojung-nim!" Yuju tergeragap. "Setidaknya, saya berusaha untuk tetap belajar. Menjadi seorang ibu membagi perhatian saya."

Dari sana, keingintahuan teman-teman Yuju yang lain ikut terpancing, tetapi Yuju rasanya makin tak ingin bercerita. Seokmin jauh lebih baik dari para pria yang menyengsarakan kawan-kawannya; hari di mana pria itu marah besar adalah kemarahan pertama dan terakhirnya. Namun, karena ingin diterima dalam kelompoknya, Yuju mengarang.

"Suamiku," mulainya sok sedih, "adalah lelaki yang penyayang sampai anak pertamaku lahir. Ibunya juga sangat banyak menuntutku. Aku sudah berusaha memperbaiki diri untuk mertuaku, terutama setelah memiliki putra, tetapi suamiku tidak pernah mau membela. Dia sering mengurungku dalam lumbung untuk setiap kesalahan kecil."

Perempuan-perempuan muda dalam kamar langsung riuh, mengejek-ejek sosok suami yang Yuju ciptakan, padahal Seokmin hanya sekali mengurungnya. Lebih jauh menggiring pendapat, Yuju mengatakan ia dikurung selama berhari-hari tanpa makan dan minum sebelum bangau Mago datang. Ia tidak pernah menceritakan berapa hari sebenarnya ia dihukum dan apa alasannya. Bahkan pada Sojung pun, ia tidak menyebut soal Hyejin yang jatuh dari timangan karena kelalaiannya.

Kembali ke masa kini, Yuju yang berbaring di kamar telah berhenti menangis. Pertanyaan soal Mago yang membiarkannya berbohong tanpa hukuman kini terjawab sudah.

"Rupanya, Mago-nim selama ini cuma menunda hukumanku, bukan melewatkannya."

... sebab berpura-pura menjadi asing di depan orang yang diam-diam masih disayang sesungguhnya begitu berat.

***

Sekali lagi, Yuju tampil pucat dengan mata bengkak menghitam pada pagi hari. Halmang menggeleng-geleng heran saat mengantarkan perempuan itu turun ke ruang makan.

"Bayaran macam apa kira-kira yang menyengsarakan penerimanya, Yuju-nim?"

"Entahlah." Yuju menumpukkan badannya ke punggung Halmang dengan malas. Ia telah menyusun daftar kegiatan hari ini: mandi, makan, lalu kembali ke kamar dan mengurung diri seharian. Satu dari tiga sudah terlaksana; sisanya tidak akan membutuhkan banyak tenaga.

"Mungkin Anda memang keliru meminta Lee Seokmin dan putrinya bekerja di sini," desah Halmang. "Lihat, perasaan Anda tak karuan sejak mereka tinggal."

Yuju sedang tidak ingin berdebat. Dalam diam, ia memejam di punggung tunggangannya, merasakan semilir angin yang dibelah sayap Halmang.

"Saya dengar kemarin Lee Hyejin meratap di kamar Anda. Seberapa luar biasa ratapan itu hingga bisa mempengaruhi Anda? Setahu saya, ratapan wanita dewasa saja kadang-kadang diabaikan oleh raja."

"Tolong jangan diingatkan," erang Yuju. "Sungguh! Mengapa ada-ada saja yang mengganggu hari saya? Andai Lee Hyejin tidak tiba-tiba memukul-mukul dandang di depan pintu saya, hari itu pasti akan berjalan lancar!"

Halmang tak kuasa menahan tawa. Paruhnya langsung terbuka hingga tak sengaja kemasukan serangga sampai tersedak. Ingin Yuju mengapokkan, tetapi dia tidak mau lebih kurang ajar lagi pada si nenek bangau.

"Sampai memukul dandang?" lanjut Halmang setelah menelan serangga di paruhnya. "Luar biasa. Apa suaranya terdengar kalau bersaing dengan bunyi gaduh begitu?"

"Oh, Anda harusnya bersyukur tidak ada di sana saat dia meratap. Anak itu berteriak sekencang—"

Belum terkatup bibir Yuju, sebuah suara lain menyela dari arah menara, menghitung sampai dua berulang-ulang diselingi percikan air.

"Sekencang itu!" tunjuk Yuju ke jendela dari mana suara berasal. "Astaga, dia tidak bisa bekerja dengan tenang, apa? Tolong belok dan turunkan aku di tangga, Halmang!"

Patuh, Halmang terbang lagi ke atas dan menghinggapi anak tangga di depan kebun spiral. Berseberangan dengan tangga dan kebun itu adalah salah satu jendela menara yang terbuka, menampakkan ayah-anak yang sedang mencuci. Kepincangan tidak menghentikan Hyejin menginjak-injak selimut dalam bak untuk membersihkannya, sementara Seokmin hanya mengucek karena tenaganya lebih besar. Keduanya menghitung serentak, menyelaraskan irama injakan dan kucekan. Suara Hyejin lebih lantang dari ayahnya.

"Satu, dua, satu, dua!"

Yuju turun dari punggung Halmang, mengangkat sedikit roknya, dan menyeberangi kebun spiral ke jendela menara. Tubuhnya menghalangi sinar matahari dari jendela, maka ruangan yang ia masuki jadi gelap sesisi. Kontan Seokmin dan Hyejin menoleh ke sisi yang mendadak gelap itu. Mengenali pengunjungnya, Seokmin langsung menjatuhkan cucian ke dalam timba, berdiri, dan membungkuk hormat. Putrinya pun berhenti menghitung, ikut membungkuk, tetapi tidak sedalam ayahnya.

"Yuju-nim, ada yang bisa saya kerjakan?" tanya Seokmin.

Tidak ada. Toh tadinya, Yuju cuma mau menegur Hyejin supaya tidak berisik. Begitu gadis cilik itu terdiam, Yuju malah ingin hitungannya berlanjut. Ternyata, perempuan itu menikmati senyum di wajah ayah-anak Lee yang bekerja sambil bersenang-senang. Tentu saja ia akan kehilangan muka kalau sampai mengaku, apalagi kalau kembali keluar tanpa berbuat apa-apa.

Untungnya Yuju panjang akal. Agar tampak wajar, lebih dulu ia berbasa-basi pada Seokmin.

"Bagaimana nyeri ototmu? Aku kan sudah mengurangi tugasmu, mestinya sekarang sudah membaik."

Yang ditanya ragu-ragu menengadah, seakan hendak memastikan majikannya benar-benar menanyakan kesehatannya. Yuju bersilang lengan, menunggu jawaban dengan angkuh, tetapi itu malah menerbitkan senyum Seokmin. Pria itu lantas mengangguk santun.

"Saya sehat, Yuju-nim. Terima kasih banyak karena telah mengizinkan saya beristirahat."

"Sudah seharusnya. Aku tidak mau kerjamu terhambat terlalu lama. Bagaimanapun, ada hal-hal yang lebih cepat dikerjakan manusia ketimbang bangau pelayan." Yuju kemudian melirik anak Seokmin. "Dan, Lee Hyejin."

"Ya, Yuju-nim?" Gadis kecil di sebelah Seokmin mendongak.

"Ikut aku."

Berbeda dari Hyejin yang berjalan tenang mengikuti Yuju ke arah jendela, ayahnya langsung menegakkan punggung dan mengekor tanpa senyumnya yang tadi. Baru dua langkah, Seokmin sudah dicegat oleh telunjuk Yuju yang terarah ke timba cucian.

"Bereskan dulu itu. Jangan khawatir, aku tidak akan mengapa-apakan anakmu."

"Ah, baik. Saya minta maaf," ucap Seokmin tergagap-gagap. Ia mundur perlahan menuju timba; matanya terus mengawasi Hyejin hingga nyaris tersandung kaki sendiri.

Sementara itu, Yuju yang berjalan di samping Hyejin baru menyadari bahwa kepincangan Hyejin memperlambatnya. Semula, Yuju hanya menyesuaikan kecepatan dengan anak itu, tetapi Hyejin tetap kewalahan menyamakan langkah meskipun enggan mengeluh. Jadi, sebelum mencapai jendela, Yuju mengulurkan tangan. Hyejin memandang telapak itu bingung.

"Apa yang kautunggu? Gandeng tanganku supaya gampang berjalan." Yuju melambaikan tangannya yang terulur, mendesak Hyejin menyambutnya.

"Oh," Hyejin membulatkan bibir, baru paham, "tapi saya—"

Seokmin tiba-tiba berdeham nyaring, lalu batuk-batuk, terdengar dibuat-buat. Hyejin berjengit, Yuju berpaling ke belakang—hanya untuk mendapat ringisan menyesal Seokmin. Namun, sang murid Mago teralih oleh kehangatan yang menggamit tangannya. Hyejin rupanya berubah pikiran, kini meletakkan jemarinya ke atas telapak Yuju.

Gestur sederhana yang mestinya tidak bermakna bagi Yuju ternyata begitu kuat memicu desir darahnya. Canggung, ia menggenggam tangan Hyejin, lalu kembali melangkah ke jendela. Benar perhitungannya; ia lebih mudah menyesuaikan kecepatan dengan Hyejin jika bergandengan.

Sesampainya Yuju dan Hyejin di ambang jendela, Halmang dengan sigap menginjakkan kaki rampingnya ke pinggir kebun spiral. Diseimbangkannya tubuh di atas landasan sempit itu sekaligus menyiapkan diri untuk menerima penunggang. Hyejin melihat ke sekeliling jendela, ke kakinya yang timpang, lalu ke jendela lagi. Mengerti bahwa Hyejin sedang mencari cara aman untuk keluar menara, Yuju tanpa aba-aba melingkarkan tangan ke pinggang anak itu.

"Y-Y-Yuju-nim?!" Hyejin gelagapan karena tiba-tiba tubuhnya terangkat dari lantai. "Sa-Sa-Saya—"

Mengabaikan si anak yang masih kaget digendong, Yuju menurunkan Hyejin di punggung Halmang.

"Tolong antar dia ke perpustakaan."

"Lalu bagaimana Anda naik?" tanya Halmang pada Yuju.

"Gampang. Tolong antarkan dia saja, terima kasih."

Kepala Hyejin menoleh-noleh bergantian kepada Halmang dan Yuju. "Lo, eh? Saya mau dibawa ke mana? Ada apa—wuah!"

Sepertinya Halmang ingin mengerjai anak itu juga. Yuju tersenyum tengil saat melongok ke jendela, menyaksikan 'si nenek tua' terbang dengan kecepatan tinggi ke lantai di mana perpustakaan berada. Hyejin mungkin sedang mencekik bangau itu saking eratnya berpegangan, entahlah. Yuju sendiri sudah menapaki kosen jendela dengan satu kaki, siap menyeberangi kebun spiral menuju tangga batu andai tidak merasakan tatapan Seokmin ke punggungnya.

Meski bosan, Yuju tetap melihat ke belakang sekali lagi. Ada semu merah di pipi dan kilap di mata Seokmin—yang buru-buru disembunyikan dengan menunduk serta mengucek lebih cepat. Seraya tersenyum miring, Yuju mendengus dan melompat ke tangga batu untuk memanggil bangau lain.

***

Saat Yuju tiba di perpustakaan, Hyejin sedang mengelilingi ruangan itu dengan tatapan kagum. Tangannya beberapa kali terulur ke kendi-kendi yang berisi obat-obatan berbau menyengat, tetapi tak sampai menyentuh sesuatu. Ia melakukan hal yang sama pada buku-buku di rak. Yuju geli dengan rasa penasaran Hyejin, terkenang keingintahuannya sendiri ketika diajak Sowon memasuki perpustakaan keluarga Kim dulu. Saking tertariknya Hyejin dengan isi perpustakaan itu, ia sampai tidak menyadari kehadiran si pemilik perpustakaan.

"Ayahmu sebenarnya masih belum sembuh, bukan?"

"Ah!" Hyejin berbalik cepat, tetapi kendali tubuh yang buruk membuatnya terjungkal. Lekas ia berdiri dan menepuk-nepuk debu di roknya, lalu menjawab, "Benar, Yuju-nim. Beliau kadang masih mendesis kesakitan saat bekerja, tetapi selalu bilang baik-baik saja pada saya."

Lee Seokmin benar-benar tidak berubah.

Yuju melangkah lebih jauh ke dalam perpustakaan dan mengambil sebuah buku.

"Kaubilang selalu memijatnya untuk meredakan nyerinya pada malam hari," katanya sembari membuka buku. Hyejin membenarkan. "Mana saja titik yang kaupijat? Bagaimana arah mengurutnya? Berapa lama kau memijat dan minyak apa yang kaupakai?"

Pertanyaan beruntun ini membuat Hyejin ternganga, tetapi gadis cerdas itu lekas memerinci teknik pijatannya setiap malam, juga jujur menyebutkan bahwa dia tidak memijat dengan minyak. Yuju meliriknya meremehkan; terlalu banyak kesalahan dalam 'pengobatan Hyejin' yang wajar saja memperlambat kesembuhan Seokmin. Dilirik begitu, harga diri Hyejin jelas memberontak.

"Tapi, setiap selesai dipijat, Ayah mengatakan badannya tidak pegal lagi dan bisa tidur lebih awal!" Hyejin membela diri. "Saya rasa itu bagus."

"Ya, perkembangan yang bagus," ulang Yuju datar sebelum menunjukkan halaman buku fisiologi yang dibacanya. "Tapi, aku punya cara yang bisa menyembuhkan ayahmu sepenuhnya. Ingin tahu?"

Mata Hyejin membulat. Gengsinya hilang entah ke mana. "Saya mau tahu!"

"Heh," tersenyum menang, Yuju menutup bukunya di depan muka Hyejin, menerbangkan beberapa debu yang membuat si anak bersin, "ini tidak gratis, lo."

Dia pasti merasa dijebak sekarang, batin Yuju ketika mendapati kernyitan di dahi Hyejin.

"Untuk menjadi seorang penyembuh yang hebat, murid Mago ditempa di menara ini, menghabiskan jam-jam belajar yang panjang dan latihan yang disiplin. Mereka 'membayar' keahlian dengan rasa letih karena belajar dan berlatih; semakin besar rasa letihnya, semakin mahir mereka menyembuhkan seseorang. Bukan hanya itu, bersembahyang kepada Mago-nim tidak boleh sampai terlewat karena di tangannyalah kesembuhan seseorang berada."

Hyejin mengerjap-ngerjap cepat, kelihatannya tak siap digempur fakta ini, tetapi harapannya sama besar dengan rasa cemas.

"Untungnya, yang ingin kaulakukan sekarang hanya menyembuhkan nyeri otot." Yuju mengambil beberapa buku lagi. "Apa menurutmu yang harus kaupelajari?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top