Epilog

Someone POV

"Daddy... do you wanna kill your son again?" kening gue mengernyit, menjauhkan sendok ama garpu dari piring di depan gue. Sumpah, gue mau muntah aja melihat dan mengendus hidangan yang baru aja daddy letakkan di atas meja makan.

Di sana, di samping wajan yang mengeluarkan asap kehitaman, sambil pake celemek warna biru yang belepotan kecap ama caos, daddy kelihatan stress dengan perlengkapan memasak. Lalu sedetik kemudian, suara piring pecah berdentang di dapur kami.

"Mike, come on, habiskan sarapanmu. Daddy tidak mau, pulang sekolah nanti, tahu-tahu kamu pulang dengan keadaan kurus pucat, gara-gara kamu kelaparan," daddy memasukkan semua perkakas kotor ke dalam westafel. I mean, semua. Seperti talenan, piring, pisau, mangkok, sendok hanya untuk memasak seonggok makanan menjijikkan itu. Kemudian, daddy berteriak kencang banget waktu daddy mau memasukkan wajan yang baru aja buat menggoreng ke dalam westafel tanpa memakai waslap.

Gue memutar mata tujuh kali. Gila, udah kayak thawaf aja deh gue. Gue berdiri dari tempat duduk, mengabaikan orang tua ajaib yang gue miliki lalu berjalan ke arah pantry. Menghampiri telepon rumah kemudian menghubungi seseorang yang nomornya udah gue hapal di luar kepala.

"Mike, balik ke tempat kamu!!" daddy menggeram, menyalakan keran westafel lalu menyiram tangannya yang tersulut panasnya wajan.

Gue nggak menggubrisnya, mengangkat gagang telepon.

"Daddy akan marah kalau kamu tidak menghabiskan sarapan kamu, Mike." daddy mengambil sabun colek yang ada di sisi westafel, menuangkannya ke atas tangan lalu menggosok-gosonknya kuat. Wajahnya yang serius dan sok sibuk banget itu, mendelik ke gue. Mungkin niatnya mau membikin gue takut. But, sorry dad, mending gue kelaparan dari pada keracunan makanan yang dad bikin.

"Daddy, kalau Mike boleh lebai, Mike pasti akan langsung mati jika Mike memakan masakan Daddy. Daddy menyebutnya telur ceplok? Di mata Mike itu kayak kue cucur gosong item, yang kalau dikasi ke ayam, ayamnya langsung ayan," gue memencet-mencet tombol nomor yang ada di bodi telepon dengan gemas.

Mata daddy melotot, hidungnya kembang kempis, mungkin daddy lagi menahan amarah. Mike benar-benar minta maaf dad. Makanan daddy itu nggak banget. Minus seratus dari seratus.

"Kamu mau menelepon siapa, Mike? Jangan bikin daddy malu pagi-pagi gini. Mending kamu duduk di tempat kamu, biar daddy delivery saja," daddy membilas luka bakar di tangannya, mematikan keran air lalu mengelapnya ke celemek.

"Oh, Mike akan merekam omongan daddy barusan," gue menantang, mendengus keras. "Supaya mommy bisa dengar dan memutuskan hukuman apa yang pantes buat suaminya karena udah nyekoki anak ganteng semata wayangnya dengan junk food," suara tuut pelan dari speaker telepon menyapa telinga. "Dan oh, Mike menghubungi ahli gizi Mike, yang selama hampir delapan bulan ini, menyelamatkan Mike dari busung lapar akibat nggak ada satu pun masakan daddy yang bisa ditelan mulut Mike."

"Demi Tuhan, siapa yang merasuki anak daddy yang polos jadi menjengkelkan seperti sekarang?" daddy melepas celemek, berjalan menghampiri gue, berusaha merebut gagang telepon, tapi dengan cekatan gue menjauhkannya dari daddy. Terimakasih gue haturkan kepada leluhur mommy yang memiliki tubuh tinggi kayak tiang listrik. Hingga gue yang baru berusia lima belas tahun ini, udah memiliki tinggi 170cm yang sangat menguntungkan buat menghalau apapun yang mau direbut daddy dari gue.

"Mike, tutup teleponnya!" gigi daddy terdengar bergemelatukan, keningnya berlipat-lipat. Oh gosh, apa yang dilihat mommy dari laki-laki menyebalkan ini? "Please, Mike. Kamu lagi tidak ingin memalukan daddy di depan papi lagi, kan? Oke no fast food, kita bisa ke rumah eyang kamu sekarang. Sarapan di sana."

Telepon gue belum diangkat. Suara tuut masih memenuhi telinga kiri gue. "Dan menghabiskan kue jahe mengerikan itu?" gue bergidik, berharap semoga papi cepat mengangkat telepon gue, atau pagi ini gue harus menghabiskan porsi sarapan mengerikan lagi seperti yang udah-udah.

Eyang emang bisa masak, tapi, kondisi eyang yang sepuh udah nggak memungkinkan eyang buat bergerak lincah di dapur lagi. Alhasil, para pembantulah yang memasakkan buat eyang. Dan itu bukan keputusan yang baik. Pembantu-pembantu eyang memiliki selera yang nggak banget. Kadang keasinan, kadang hambar, kadang manis.

Nggak sampai di situ aja. Selesai sarapan yang rasanya nggak karu-karuan itu, eyang mengharuskan gue ama daddy untuk menghabiskan kue jahe. Enak sih, tapi gue benci ama jahe.

"Daddy sudah tidak punya muka di hadapan papi kamu, Mike. Semenjak papi kamu pindah di samping rumah kita delapan bulan lalu, kamu selalu merepotkan papi kamu."

"Kalau begitu, perbaiki kemampuan masak daddy, paling nggak―"

"Dengan Gempita di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara kecil menggemaskan dan merdu itu menyapa telinga, gue memunggungi daddy yang lagi-lagi mau meraub gagang telepon.

"Mimiii... Mike kelaparan, Mi. Dimasakin kue cucur gosong yang daddy sebut telur ceplok. Tolongin Mike, Mi. Mike keracunan, Mi. Mike mau mati rasanya."

"Kamu berlebihan sekali, Mike," daddy meluk gue dari belakang, sementara gue semakin mencondongkan tubuh, lalu naik ke meja pantry sambil membawa serta telepon rumah dan menjauhkannya sejauh mungkin dari daddy. Demi sarapan gue, demi kesehatan gue.

"Siapa yang kamu sebut mimi, Mike?" suara di seberang sana menyalak. Ya ampun, tambah gemas aja dengarnya. "Di sini nggak ada mimi. Adanya papa ama papi. Siapa yang kamu cari, Mike?"

Daddy menarik-narik kaki gue, gue mengkibas-kibasnya, dan dengan semangat 45 memperjuangkan lambung kesayangan gue, gue berseru heboh. "Ya ampun mimi... mimi tuh nggak pantas dipanggil papi. Habis mimi mungil banget untuk ukuran laki-laki tiga puluh tahun."

"Oke. Selamat pagi, semoga hari Anda menyenangkan―"

"No no no no...," gue memekik histeris, turun dari meja karena daddy menyusul gue naik meja. "Maafkan Mike, papi," gue ngos-ngosn. Untung nih telepon nir kabel, jadi bisa deh gue ajak lari-lari menjauh dari kejaran daddy.

"Daddy memperingatkan kamu, Mike."

Gue mengitari meja makan. Daddy ada di seberang sana. Kemeja kantornya yang udah rapi beberapa jam lalu kini terlihat kusut dengan beberapa kancing bagian atasnya terbuka. Rambut kelimis daddy juga tampak mencuat sana-sini.

"Mike sedang memperjuangkan keselamatan Mike, Dad," gue menjulurkan lidah. "Papi... pagi ini daddy menggosongkan telur ceplok yang bakal menjadi sarapan Mike. Mike benar-benar lapar, Papi. Tadi malam Cuma dikasi spagethi ama daddy. Dan sekarang daddy mau delivery lagi. Masa iya, masa-masa pertumbuhan Mike, hanya diasupi junk food yang merusak tubuh itu?"

"Siapa, sayang?" terdengar suara laki-laki berat di seberang sana, mendahului siara papi Gempita. Gue nggak perlu tanya siapa dia. Satu-satunya laki-laki yang mencintai papi Gempita. Siapa lagi kalau bukan suami papi Gempita. Gue memanggilnya papa.

"Seperti biasa, Mike dengan daddy-nya, sayang. Kamu udah sarapan? Sini mendekat, dasi kamu miring."

"Bagaimana caranya aku mengungkapkan rasa cintaku padamu, sayang? Semua kata sepertinya nggak akan bisa mewakili perasaanku sekarang."

"Dasar gombal... sudah pas, kamu sudah ganteng. Kamu tunggu di meja makan dulu ama anak-anak. Aku mau mengurusi Mike dulu. Bisa dipenggal Mas Bayu aku kalau anaknya sampai terlantarkan."

Gue me-roll eyes mata, demi Tuhan. Kenapa mereka malah bermesra-mesraan dan mengabaikan kondisi kritis lambung gue, sih? Halleluya dah buat cinta. Ops... sorry keceplosan. Subhanallah deh, cinta itu.

"Papi, Mike lapar, Pi. Daddy juga lapar, Cuma Papi tahu sendiri kan, segedhe apa gengsinya daddy?" gue lari mendekati guci ketika daddy mendekati gue. "Tolong selamatkan kami berdua, Pi. Mike nggak mau menghabiskan kue jahe di rumah eyang. Itu sangat menjijikkan. Mike benci jahe."

"Siapa yang bilang daddy juga lapar, Mike?"

Gue hampir aja menjatuhkan telepon tatkala daddy berhasil mengangkat tubuh gue, dan mendudukkan gue di meja makan. Gue merengut, napas daddy ngos-ngosan, kedua tangan daddy memegang dua sisi meja di samping gue, mengunci gue supaya nggak bisa lari lagi. Kemudian daddy mengambil telepon dari tangan gue.

"Maafkan saya, Gempita. Kayaknya pagi ini, saya dan Mike kembali menumpang sarapan di rumah kamu seperti SETIAP pagi selama delapan bulan ini," daddy menekan kata 'satiap' sambil memelototi gue dengan tajam. Gue Cuma menarik sebelah alis.

Itu memang benar, kok. Jadi, selama setahun ini mommy―pahlawan lambung kesayangan― pergi ke Kongo buat aksi sosial di sana. Gue nggak tahu deh, kegiatan mommy yang ekstream itu. Sebentar ke negara ini, sebentar ke negara sana. Bukan untuk melancong atau apalah itu namanya. Tapi untuk aksi kemanusiaan.

Mengadakan bakti sosial ke sesama manusia di negara-negara membutuhkan. Pernah mommy menjadi relawan waktu perang tercetus lagi di jalur Gaza. Pernah juga ke pedalaman Afrika untuk menyalurkan bantuan medis tatkala di sana terserang wabah penyakit yang menular dan membunuh ratusan penduduk.

Kalau mommy di rumah, nggak ada yang bisa mengendalikan sikapnya. Pergi mendaki gunung sesuka udelnya. Tapi, selalu ngajak gue ama daddy, tentu aja. Itulah mengapa, gue sekarang jadi menggilai hiking. Gue belum pernah diajak mommy ke Mahameru. Nanti, kalau mommy udah balik, gue mau nagih janji dia yang bakal ngajak gue melihat Jonggring Saloko.

Selama perjalanan kemananusiaannya, baru kali ini mommy menghabiskan waktu yang lumayan panjang. Setahun, bleh. Setahun. Untungnya, delapan bulan lalu kami memiliki tetangga baru. Namanya papi Gempita. Dia sama kayak orang tua gue. Maksudnya, papi Gempita adalah pasangan gay-nya lak-laki ganteng yang beruntung menjadi suaminya.

Gue nggak tahu siapa itu papi Gempita ama suaminya. Namun, kelihatannya daddy kenal dengan mereka berdua. Waktu pertama kali papi Gempita bertemu dengan daddy, dia nangis sambil peluk daddy. Sumpah gue nggak tahu deh, mereka kenapa.

Papa sama aja. Hal pertama yang gue lihat waktu suami papi Gempita berjumpa dengan daddy adalah air mata. Gue sampai sweat drop. Bule dengan dadan segdhe itu, sekekar itu, bahkan melebihi tubuh Om Gahar, apalagi Om Erick, bisa menitikkan air mata di hari pertama bertemu dengan daddy.

Sampai sekarang, gue nggak tahu kenapa ketiga orang tua itu seperti menyembunyikan luka di balik air mata mereka. Sama sekali nggak ada clue. Ketika gue menceritakan tetangga baru gue itu ke mommy yang masih di Kongo. Mommy Cuma menahan napas beberapa saat. Kemudian berujar lelah terus memutus panggilan telepon.

Cowok sebaya gue, bermuka pucat, pendiam kayak gunung es, membuka pintu begitu daddy mengetuk tiga kali. Dia mengangguk kecil ke arah daddy, lalu seperti setiap pagi yang udah-udah, hanya mengangkat sebelah alis begitu melihat gue.

Dia memberi gue ama daddy jalan, menutup pintu tatkala kami―gue ama daddy―masuk ke ruang makan. Di sana udah ada papi Gempita lagi memakai apron merah bergambar panda yang tengah menghidangkan makanan beraroma menggugah selera di atas meja.

Di bangku utama, papa memakai setelan jas rapi jali dengan dasi garis-garis diagonal, lalu cewek super heboh yang langsung meluk daddy. Dia Gia, kembarannya Byan. Cowok gunung es tadi.

"Ya ampun Daddy, kemarin masa Gia dibeliin es krim rasa cokelat ama pacar Gia, padahal pacar Gia itu tahu kalau Gia nggak suka ama cokelat. Gia pokoknya benci banget lah ama pacar Gia. Apa jangan-jangan pacar Gia lagi bayangin cewek lain ya pas beliin es krim buat Gia, makanya dia salah beliin es krim buat Gia?" cewek sarap itu main duduk di samping daddy aja. Membuat gue terpaksa duduk di seberangnya, di samping Byan. Arghh... ini mah 'jahe'. Gue nggak suka.

"Apa yang dibuat Daddy kesayangan kamu di masakannya pagi ini, Jagoan?" papi mengacak rambut gue.

Gue mendengus. Please deh, gue udah gedhe, gerakan mengacak-acak rambut ini membuat gue kelihatan jadi kayak anak-anak aja, deh. Si gunung es itu aja rambutnya nggak pernah diacak-acak ama papa. Giliran gue? hampir tiap saat. Oke, abaikan curcolan gue.

Papi Gempita menyiapkan nasi goreng sosis ke semua orang kecuali gue. Karena papi Gempita tahu, gue paling demen yang namanya bubur Manado buat sarapan. Jadi, walaupun gue sekali dua kali nggak sarapan di sini, papi Gempita tetap membuatkan gue bubur Manado.

Si Gia tetap ngoceh masalah cokelat whateva itu, papi duduk di dekat gue.

"Hari ini mas Panji ada kuliah pagi?" papi menuangkan jus jeruk ke gelas papa. Menatap daddy yang duduk di hadapannya.

Daddy mengangguk, mengunyah nasi gorengnya, sementara gue menikmati bubur Manado buatan papi yang rasanya enak. Tapi, lebih enakan buatan mommy tentu saja.

"Para mahasiswa baru itu lagi antusias-antusiasnya mengganyang ilmu Elektro. Nanti, kalau mereka udah dapat semester banyakan dikit, saya jamin, kelakuan mereka tidak akan beda jauh sama senior-seniornya."

Papi Gempita tergelak. "Wajarlah Mas Panji, kan mereka masih polos. Gedhe dikit, terus mesum dikit, Gempita jamin pasti kelakuan mereka nggak jauh beda ama Mas Bayu dan Andis...."

Tiba-tiba aja, suasana ruang makan yang tadinya ramai dengan celotehan, terdiam sunyi. Papi Gempita yang mau menyuapkan suapan pertamanya, menghentikan ayunan tangan di udara. Papa―suami yang jatuh cinta mati-matian ama papi―menegakkan punggung. Bahkan si kincir angin Gia sampai menutup mulutnya.

Gue melirik Byan yang menunduk menghadapi sepiring nasi gorengnya. Gue nggak tahu apa yang terjadi di sini. Seketika itu juga gue mengernyit, menangkap kata terkahir papi Gempita barusan. Papi nyebut nama Andis? Oke, gue nggak kenal siapa itu Andis. Namun yang pasti, siapapun Andis itu, mungkin dia memiliki dampak yang lumayan besar buat kehidupan keluarga kami.

Gue menatap daddy yang berdeham, lalu papa yang menyuapi papi nasi goreng.

"Hari ini kamu ada niatan pergi ke sanggar?" papa mengusap tepian bibir papi.

Papi membuang napas, menarik tangan papa yang masih mengelus bibirnya, kemudian mengambil segelas air dan meminumnya.

"Tentu...," papi tampak menggigit bibir bawah. Di sudut matanya gue bisa lihat kilau bening air mata. Gue menoleh Byan. Dia tetap menunduk, melanjutkan makan tanpa banyak tingkah. Bahkan, yang paling bikin gue sedikit terkejut adalah sikap Gia yang langsung mingkem di samping daddy.

"Besok malam pameran lukisan Jupiter di Jatim Expo," papi menyendok nasi goreng di piringnya. "Aku mau menyiapkan segala perlengkapan buat Jupiter ama Charli. Semoga berjalan lancar. Bulan depan mereka mau berangkat ke Lima. Dan Gaple, ya Tuhan, laki-laki Ambon itu harus diingatkan untuk berlibur supaya fokusnya nggak ke bengkel terus. Dia mau membuka cabang di Solo ama Semarang? Dia bisa mati muda sebelum sempat membobol perawan."

Gue nyaris tersedak mendengar kalimat terakhir papi Gempita. Sebentar lalu matanya mengkristal, sekerjap kemudian moodnya berubah hebring. Gue melanjutkan sarapan. Namun, walaupun mood papi Gempita udah berubah, kedua manusia kembar itu tetap sama aja. Jadi pendiam banget. Mereka kenapa sih? Atau bukan itu sebenarnya pertanyaan yang pantas gue ajukan? Siapa Andis itu?

"Bagaimana kabarnya Adam?" daddy bersuara. "Bulan lalu dia konser di Perth, bukan?" terkanya, mengelap minyak nasi goreng di sudut bibir dengan tissue. "Dia bakal pulang untuk melihat pameran Jupiter kali ini?" daddy menatap papi ama papa bergantian.

"Dia sedang ada dalam perjalanan sekarang," papa mengangguk. "Pulang bareng Benny. Penerbangan jam lima pagi subuh tadi. Mungkin jam 12 nyampe. Perusahaan Satya Lencana harus bersyukur atas kehadiran Benny di sana, ngomong-ngomong," papa tersenyum geli. "Dua bulan lalu dia telepon. Laki-laki tua si Burhan itu habis dikorup ama petingginya sendiri. Nggak tanggung-tanggung, jutaan dollar. Untung Benny, ama kejeniusannya berhasil menggagalkan aksinya."

Daddy menenggak jus jeruknya, "Keputusan Bayu yang terbaik, mengangkat Benny untuk jadi kepala IT anak cabang di Australia. Untungnya, suami saya tidak tertarik sama perusahaan besar papanya sendiri. Atau mungkin yang dia kira papa kandungnya selama ini."

Punggung gue berdiri seketika. Bulu kuduk gue bergoyang hula-hula. What is the maksud?

"Mas Panji...," sela papi Gempita tertahan. Meletakkan sendok ama garpu di atas piring. Bahkan suami papi pun menghentikan kunyahannya, yang langsung diluncurkan setenggak jus jeruk.

"Ada yang gue lewatkan?" papa mengernyit, mendelik ke arah daddy. Byan yang ada di samping gue tetap menyantap sarapannya. Sementara Gia, seolah-olah hanyut dalam obrolan orang tua itu.

Daddy berdeham, kelihatan salah tingkah, matanya menatap gue berkali-kali. Apa yang gue lewatkan di sini? Gue pun membatin pertanyaan serupa yang diajukan papa.

"Daddy? Eyang Burhan is my biological grandpa, right? Or, is there something missing that i didn't know here?"

Fix, daddy terlihat semakin kentara menyembunyikan sesuatu sekarang. Bubur Manado gue dingin di depan gue. Hambar di lidah gue. Gue minum air putih. Sekarang masih jam setengah tujuh. Sekolah masuk jam setengah delapan. Persetan dengan telat masuk atau gimana. Gue butuh penjelasan sekarang. Lagian, jam pertama PKn. Sial, siapa yang mau ingat-ingat pasal di jam segitu?

"Mas Panji...," papi menuntut dengan nada lelah. Dia menengok ke arah papa yang menggenggam erat tangan kirinya.

Daddy masih bungkam, menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Namun, beberapa menit kemudian, daddy tetap bergeming. Masih setia menutup bibirnya. Suara dentingan sendok ama garpu dari Byan menengahi kekosongan di meja makan pagi ini.

"Nji...," papa menahan suaranya. "Gue harap nggak ada yang tersembunyi lagi di sini setelah hal gila apa yang kita alami selama ini. Gue udah kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidup gue. Gempita udah kehilangan separuh hidupnya. Bayu udah kehilangan orang-orang terkasihnya. Dan sekarang, di antara tebaran-tebaran kegilaan yang hampir membuat Bayu meregang nyawa, lo masih mau menyembunyikan sesuatu dari gue? Dari kita semua?" suaranya meninggi beberapa tingkat. Terlihat jelas sekali papa sedang menahan amarah. Gue Cuma bisa terdiam.

Daddy melonggarkan dasi, diteguk lagi jus jeruk, membasahi bibirnya baru kemudian menjawab sesuatu hal yang membuat gue seperti dihantam palu godam seketika itu juga. "Masih ingat cerita jika mama Bayu hamil duluan sebelum Pak Burhan menikahinya? Masih ingat juga kan kalau Pak Burhan pernah meragukan apakah Bayu itu anak kandungnya atau bukan?"

Gue nggak ingat. Bukan, bukan nggak ingat, tapi gue nggak tahu ada kenyataan seperti itu tentang mommy Bayu. Kenapa jantung gue terasa berdebar-debar gitu, ya? Gue refleks menoleh ke arah Byan yang menyudahi sarapannya, ketika secara tak terduga tuh cowok sembako yang sok cool meletakkan tangannya di atas paha gue, mengelusnya perlahan. Seperti gerakan menenangkan gitu. Ya ampun, dia kenapa, sih?

"Gempita ingat."

"Jadi maksud lo Bayu itu...?"

Daddy mengangguk. "Waktu Bayu pernah mencoba bunuh diri di bandara saat dia mau diterbangkan ke Inggris, Pak Burhan sengaja sekalian mengecekkan DNA Bayu untuk dicocokkan dengan DNA-nya. Dan, 92% DNA mereka berbeda."

Gue menahan napas. Eyang Burhan bukan eyang kandung gue? Jadi, selama ini yang sering memanjakan gue bukan papa kandung mommy? Pantat gue gatal, dan demi apa gerakan elusannya tangan Byan benar-benar membuat gue tenang. Kampret.

"Jadi Mas Bayu bukan anak kandung Pak Burhan?" papi Gempita memekik, menutup mulut dengan tangan. Papa―sang suami siaga―langsung mengusap punggung kecil papi.

Gue menjatuhkan tangan di atas tangan Byan yang masih bertengger di paha gue, dan dalam gerakan cepat, tangan dia yang besar menyembunyikan tangan gue dibawahnya. Menyusupkan jemari dia ke sela-sela jari gue, meremasnya perlahan seraya mengusapnya dengan jempol. Gue gila, gue malah menyukai sensasinya. Darah gue berdesir.

Gue menatapnya, pandangan dia menyamping, ke arah daddy. Sama sekali nggak nyadar jika perbuatannya udah bikin darah gue nungging berkali-kali. Oh my gosh, gue udah sekali merawanin anak penjaga kantin sekolah yang susunya bikin gue gelagapan dan perut kembung. Pernah menembus selaput dara temen SD gue yang ketemu lagi di reunian dua mingguan lalu. Berciuman ama cewek-cewek pun udah nggak kehitung lagi jumlahnya.

Namun baru kali ini, nih, dada gue bisa kayang berkali-kali hanya dengan paha gue dielus dan telapak tangan gue digenggam. What the ngewe.

"Bukan, Bayu bukan keturunan Burhan Satya Lencana."

"Lalu, siapa? Siapa papa kandung Bayu?" tuntut papa penasaran, masih mengelus punggung papi.

"Tidak ada yang tahu," daddy berbisik, dan gue kehilangan selera gue atas apa pun kali ini. "Pak Burhan udah mencoba mencari-cari keberadaan papa kandung Bayu, namun sampai sekarang, suami saya masih belum mengetahui siapa papanya yang sebenarnya."

Gue menutup mata. Gue kangen ama mommy. Kali ini, gue benar-benar ingin berada di dalam dekapannya. Gue kangen ciumannya. Gue kangen aroma rempahnya, gue kangen aroma tembakaunya. Baru kali ini, gue sadar bahwa, betapa sakit hatinya mommy.

==

Papa mengantar gue, Byan, ama Gia ke sekolah, karena daddy ada kuliah pagi yang nggak bisa ditunda. Sedari tadi kedua saudara kembar itu terduduk diam dalam mobil. Byan melempar pandangan ke luar kaca, sementara Gia sibuk dengan gadgetnya. Gue yang duduk di depan di samping papa nggak tahu mau berkata apa setalah pernyataan daddy yang sangat menohok ulu hati.

"Pa...," gue meneguk liur, membasahi kerongkongan. Papa bergumam lirih menjawab panggilan gue. "Who is Andis?" mobil berdecit seketika. Gue terlempar ke dashboard, karena lupa mengenakan seat belt. Dua manusia kembar itu menubruk kursi di depannya. Dari tempat gue―setelah membenarkan posisi duduk dan papa meminta maaf lalu melanjutkan perjalanannya―gue bisa melihat tatapan Byan ama Gia yang tajam ke arah gue.

"Ada yang Mike lewatkan dalam kehidupan Mike?" gue mencoba menerka.

Laki-laki bule di samping gue itu mengusap muka, memindahkan gigi, melihat gue sekilas, menginjak rem ketika lampu lalu lintas di perempatan jalan menyala merah. "Tatto apa yang tertulis di punggungmu, Mike?"

Gue mengernyit. Teringat sebait kalimat yang pernah Kak Jupiter tatto di punggung gue, sebagai hadiah dari mommy di ulang tahun gue ke tiga belas dua tahun lalu. Sebelum gue menjawab, papa memutar arah laju mobilnya ketika lampu menyala hijau. Gue nggak tahu kemana papa mengajak kami, jalan yang papa ambil jarang gue lewati.

"Pa... Gia nggak yakin dengan keputusan papa. Bisa nggak kita langsung ke sekolah aja, tanpa harus menanggapi pertanyaan bawel dari Mike?"

"Gue nggak bawel for your information, dasar lesbi."

"Gue nggak lesbi," Gia menyalak sebal. "Gue udah punya pacar. Dan pacar gue seratus kali lebih ganteng dari lo."

"Setidaknya, sebagai tetangga lo yang baru delapan bulan ini kenal lo, gue tahu kalau lo alergi cokelat," bilang gue keki. "Pacar lo adalah produk gagal."

"Fuck you, Mike."

"Yeah, right in your ass, but gue ogah. Punya lo udah nggak siset. Bau sampah. Dan berlendir."

"Dasar homo jalang. Gue sumpahin lo tergila-gila ama otong ketimbang―"

"Anak-anak," sebut papa menengahi. Menghentikan mobil, melihat gue lalu menoleh ke arah belakang. "Sudah debatnya? Ayo kita ke sana."

Gue mengedarkan pandangan. Ke sana yang dimaksud papa adalah makam. Gue merinding. Seumur-umur, gue belum pernah tamasha ke makam selain ke makam Om Reza. Gue turun begitu papa ama si kembar keluar dari mobil. Udara sejuk memeluk gue. Angin awal musim dingin meremangkan bulu kuduk gue. Makam sepi. Cuma satu dua orang yang melintas di hadapan.

Gue berjalan mengikuti papa ama si kembar yang udah jalan mendahului gue. Pandangan gue menjelajah. Kenapa papa pagi-pagi gini mengajak gue ke makam? Takziah? Tapi ke makam siapa? Makam Om Reza nggak di sini.

Gue terus bertanya-tanya, selama melewati jalanan berlumpur yang terguyur hujan ringan tadi malam, lalu ikutan berhenti ketika rombongan itu berdiri menjulang di dekat sebuah makam. Gue menghentikan langkah di samping papa, mengikuti arah pandang papa, dan seketika itu juga seluruh bulu kuduk gue berdisco. Gue mendekati kepala makam, lalu berjongkok di sisinya.

Tangan gue bergetar waktu gue meraba ukiran di nisan dari marmer tersebut. Sebuah kalimat yang selama dua tahun ini tertatto gagah di punggung gue. Waktu gue bilang minta ditatto, mommy langsung menyebutkan kalimat itu.

Surabaya, Kiblat, dan Sesuatu Bernama Kita.

Tepat di atas kalimat tersebut, sebuah nama yang tadi membuat suasana sarapan hari ini terasa dingin terukir cantik di sana.

Andis Genta Buana.

Gue speechless, sebagian dari tubuh gue berada di makam orang yang nggak pernah gue jumpa dalam hidup gue.

"Andis adalah sahabat. Andis adalah cinta." Papa bergumam, desahan napasnya terdengar di telinga gue. "Biar pun Bayu memiliki ratusan sahabat yang setia ama dia, sayang ama dia, namun, tak satu pun sahabat-sahabat itu mampu berada di sisi terdekat Bayu. Semenjak kematian Andis, sisi di samping Bayu adalah hampa. Gue, bahkan panji sekali pun nggak akan pernah bisa memasuki ruang hampa tersebut. Mike sayang, Andis adalah sahabat sehidup semati mommy kamu, Nak. Dia merelakan hidupnya demi keselamatan mommy kamu. Demi keselamatan kita semua."

Mata gue nanar, jemari gue mengenali tekstur tulisan yang sama di punggung gue. Kasar, timbul tenggelam. Gaya tulisannya nggak rapi, berantakan, kayak ceker ayam, tapi yang membuat gue dengan lancang menjatuhkan air mata adalah, gue mengenali tulisan itu. Tulisan mommy. Demi Tuhan, itu benar-benar tulisan mommy.

"Andis adalah cinta pertama dan cinta terakhir Gempita," suara papa terdengar tercekat. "Walaupun papa udah mencoba mencintai segenap hati papa, walaupun papa udah mencurahkan perasaan papa buat papi Gempita, tapi, hati papi Gempita tetap bukan buat papa. Hati papi Gempita ikut terkubur bersama kekasihnya. Selama ini yang tidur seranjang dengan papa hanyalah papi Gempita sebagai wujud fisiknya, bukan papi Gempita secara keseluruhan. Hati papi Gempita nggak akan pernah bisa papa sentuh. Sampai kapan pun, sampai mungkin papa menyusul kepergian Andis.

"Anak-anak, Bayu, Andis, dan Gempita adalah tiga sahabat yang saling memiliki. Ketiganya, mempunyai cerita cinta yang indah dan manis. Sekarang, ketika salah satu dari mereka telah tiada, hidup papi Gempita dan mommy Bayu adalah kosong. Ada lubang yang menganga besar di dua laki-laki tersebut. Sahabat dan cinta, bahkan ketika kita meninggal sekalipun, nyawanya akan terus bersemi sampai akhir zaman. Karena Cuma dua hal itulah yang bisa menolong kita di antara karut marut pengkhianatan yang bumi pretiwi suburkan."

Gue nggak tahu harus ngomong apa. Dada gue bergemuruh. Jadi Andis adalah sahabat mommy dan cinta papi? Segitu hebatkah hubungan persahabatan mereka sehingga keberadaan daddy ama papa dalam kehidupan mereka nggak mampu mengisi ruang kosong dalam hidup mereka?

"Berarti Om Andis orang yang sangat berharga buat mommy?" gue bertanya lirih. Selama gue hidup, gue belum pernah punya yang namanya sahabat. Belum ada hal di dunia ini yang mampu membuat gue rela berkorban atas sebuah frasa bernama persahabatan. Jika gue memiliki orang seistimewa Om Andis, lalu gue kehilangan dia begitu aja, gue bakal merasa sedih teramat sangat.

"Lebih dari berharga, Mike. Andis adalah hidup Bayu dan Gempita. Ketika Andis tiada, hidup Bayu dan Gempita selama ini juga ikutan terkubur bersamanya."

Gue nggak tahu harus menanggipinya gimana, bibir gue kelu untuk mengucapkan apa yang ingin gue keluarkan. Mommy yang selama ini berada di samping gue, yang selama ini gila dengan tingkah absurdnya, ternyata menyimpan sebuah lubang yang menganga dalam hidupnya. Sebuah lubang yang nggak akan pernah bisa tertutup sampai kapan pun. Karena lubang itu adalah persahabatan mommy dengan Om Andis dan papi Gempita.

"Jika mommy memang sahabat Om Andis dan papi Gempita, kenapa baru delapan bulan ini papi Gempita kembali ke Surabaya? Kenapa kalian malah memilih tinggal di Yogyakarta? Itu berarti, sudah berapa lama mommy nggak bertemu dengan papi Gempita, Pa?"

Papa berjongkok di samping gue. Merangkul bahu gue, menepuk pundak gue perlahan.

"Kamu tahu, Mike? Cinta adalah sesuatu yang sangat misteri di muka bumi ini," terang papa. "Jika orang sudah jatuh cinta, nggak peduli baru kenal sehari, dua hari, bahkan sejam sekalipun, perasaan itu akan bersemayam kuat di hati kita. Dan nggak akan mudah hilang begitu saja. Mungkin kamu hanya butuh sehari untuk bisa jatuh cinta, tapi untuk melupakan cinta yang udah menderas kuat di hati kamu, berapa waktu yang kamu perlukan untuk berdamai, dan menyembuhkan goresan luka yang ditimbulkannya?"

Gue nggak mengangguk, nggak juga menggeleng. Gue nggak tahu arah pembicaraan papa kemana.

"Nggak ada yang tahu jawabannya, Mike. Orang bisa mudah jatuh cinta, namun akan sangat sulit untuk menyembuhkan luka yang tergores jika dia kehilangan cinta dalam hidupnya. Cinta itu misteri, Mike, semisteri waktu. Mungkin kamu hanya memerlukan waktu sebulan untuk jatuh cinta, namun jika cinta yang kamu genggam terlepas begitu saja, nggak cukup sebulan kamu membutuhkan waktu untuk sembuh. Bisa jadi setahun, dua tahun, bahkan mungkin seumur hidup.

"Itulah yang papi Gempita alami, Mike. Dia jatuh cinta dengan Andis, sahabatnya sendiri. Dan ketika cinta itu harus direnggut dalam kehidupannya, sepuluh tahun waktu yang digunakan papi Gempita untuk kabur dari Surabaya dan menetap di Yogyakarta nyatanya tetap nggak mampu menawarkan racun yang telah meracuni dia.

"Mungkin kamu bisa setiap hari melihat papi Gempita tertawa, tersenyum, berteriak, tapi apa kamu bisa melihat tangisan yang susah payah dia redam dari mata semua yang memandang? Mike, suami papa itu, adalah laki-laki yang menangis dalam tawanya. Laki-laki rapuh dan terpuruk dalam senyumnya. Papi Gempita yang selama sepuluh tahun terakhir ini mencoba sekuat tenaga melupakan cinta pertamanya adalah laki-laki penuh luka yang sampai kapan pun nggak akan tersembuhkan.

"Papa dan papi membutuhkan waktu sepuluh tahun hengkang dari Surabaya hanya untuk berdamai dengan sakit hati sakit hati kami selama ini."

Air mata gue menetes, demi Tuhan. Anjing banget sih gue, Cuma gegara diceritain tentang luka papi Gempita, hati gue bisa terenyuh kayak gini. Gue yang jarang nangis sampai bisa-bisanya menjatuhkan air sialan itu?

Gue nggak tahu gimana kabar hati papi, gue nggak tahu seberapa besar lubang dan luka yang menganga di dadanya, yang pasti, catatan-catatan merah yang terekam dari perasaan papi, butuh penawar jika laki-laki mungil itu nggak ingin menghabiskan sisa hidupnya menanggung sakit hati.

"Itu berarti mommy udah sepuluh tahun nggak bertemu dengan papi?" lirih gue, menyeka air sialan yang mencuri start di kelopak gue.

Papa menepuk-nepuk punggung gue, mengajak gue bangkit dan meninggalkan makam yang sunyi.

"Pa...."

Papa nggak menjawab teguran gue. Kedua saudara kembar itu terlihat berantakan di belakang gue.

Papa membuka pintu mobil yang disusul gue ama Byan dan Gia, menyalakan mesin kemudian melajukannya. Kami berempat terdiam dengan pikiran kami yang melayang-layang tak tentu arah. Gue kalut. Hanyut dengan cerita papa.

Bayu, Andis, dan Gempita adalah sahabat. Dan selama sepuluh tahun ini mereka tercerai di bawah naungan Surabaya. Meskipun Om Andis nggak akan pernah kembali lagi ke dunia ini. Akankah mommy ama papi meneruskan persahabatan mereka yang sempat terlerai?

Gue nggak tahu. Cuma bisa berharap, mommy dan papi menemukan secuil harapan untuk melengkapi hidup berlubang mereka.

Mobil papa memasuki jalanan raya menuju sekolah kami―gue, Byan, Gia―ketika papa menghentikan mobilnya saat ponsel yang tersimpan di atas dashboard menyala.

"Daddy kamu telepon, Mike," beri tahu papa ke gue.

Kening gue mengernyit. Daddy menelpon papa? Tumben.

"What?" papa berseru heboh tiba-tiba, gue menolehnya seketika. "Lo ada di mana sekarang?... Oke gue akan ke Juanda sekarang... Gue jemput Gempita dulu."

"Ada apa, pa?" tanya Gia dari belakang.

"Mommy-nya Mike pulang. Sudah ada di bandara."

==

Papi dan papa berlari kencang menabrak orang-orang di bandara. Sementara gue , Byan ama Gia menyusul di belakang. Mommy pulang? Setelah minggat ke Kongo setahun? Oh gosh, betapa gue kangen banget ama tuh cowok dekil.

Tubuh papi terlihat berayun gesit menerabas sana sini. Baru kali ini gue lihat tetangga delapan bulan gue terlihat antusias menjalani hidupnya. Papa yang berlari di samping papi tampak menggenggam terus tangan papi, menuntun papi menuju terminal kedatangan pesawat luar negeri.

Namun tiba-tiba, papi berhenti, genggaman tangannya terlepas. Punggungnya naik turun. Gue melihat arah pandang papi.

Di sana, sedang ngobrol ama daddy, laki-laki hitam, berambut kriwil, dengan jambang liar dan kumis ekor curut, tengah tertawa-tertiwi. Tonjolan-tonjolan gigi putihnya terlihat kentara ketika ngakak. Mommy tercinta gue, demi apah, sumpah kayak jenglot mengerikan.

"Is he your mommy?" gue nggak mengacuhkan bisikan setan yang menjelma wujud Gia.

Daddy terlihat merapikan rambut mommy yang gue berani taruhan, itu rambut mau dicatok, diribonding, atau disetrika sekali pun nggak akan bisa rapi apalagi kelimis. Gue melihat daddy mencium kening mommy. Dan jenglot mengerikan itu tersipu. Gue mual, sodara-sodara.

Tawa mommy terhenti ketika mommy mengedarkan pandangannya dan jatuh mensketsa tubuh mungil papi. Tas punggung yang terselempang di pundak mommy terhempas, kemudian dia berjalan ke arah papi. Lambat ritme awalnya, bertahap, lalu berlari menyongsong tubuh kecil papi.

"Gempita...," mommy mendesah begitu laki-laki rapuh itu dia jangkau dalam pelukannya. Papi mengalungkan kedua tangan di tubuh ceking mommy. "Maafkan Mas Bayu, Gempita. Maafkan Mas Bayu." mata mommy terkatup, dan kristal bening meleleh dari sana.

Dada gue sesak. Dua laki-laki yang memiliki lubang menganga lebar dalam kehidupannya, terlihat saling melengkapi untuk mencoba melengkapi ruang hampa yang menjamah keduanya. Rasa sakit itu, rasa kehilangan itu, kekosongan itu, lebur dalam pelukan mommy dan papi.

Dua sahabat, yang terpisah selama sepuluh tahun, kini di bawah lindungan Surabaya, kembali disatukan dalam pagi mendung penuh suka cita.

"Mas Bayu...," lirih papi Gempita. "Gempita kangen, Mas. Gempita kangen. Kangen saat kita seperti dulu. Bertiga dengan Andis di kampus. Menghabiskan waktu di taman Fakultas Hukum. Menghabiskan waktu di basecamp mapala. Kangen melihat celoteh mas Bayu sama Andis. Kangen Andis memarahi mas Bayu. Kangen waktu kita bermain di Kodam, kangen waktu kita bermain di apartement. Ya ampun, Gempita kangen. Gempita kangen masa-masa itu."

Mommy melepas pelukannya. Mencium kening papi, kemudian kembali memeluknya. "Jangan biarkan Andis menangis dengan tangisan mu, sayang. Andis sudah pergi, tapi persahabatan kita akan tetap terjalin selamanya. Masih ingat janji kita bertiga?"

Papi mengangguk dalam tangisnya.

"Surabaya, Kiblat dan Sesuatu Bernama Kita. Hidup kita selama ini berkiblat di Surabaya yang melukis tentang kisah indah persahabatan kita, Gempita. Kita memang kehilangan Andis, namun sayang, langit Surabaya lah yang akan melengkapi kekosongan kita dengan torehan-torehan kisah kita selama ini. Kita memang kehilangan sahabat sejati kita, tapi jangan biarkan kehilangan itu menghancurkan persahabatan kita. Mas Bayu kangen Gempita. Mas Bayu kangen Gempita."

Dan gue baru menyadari satu hal, yang luput dari pengelihatan papa selama sepuluh tahun ini. Kenapa papi tetap nggak bisa melupakan cinta pertama dan terakhirnya? Karena yang dibutuhkan papi bukanlah pengganti, yang dibutuhkan papi adalah cinta. Dan kali ini, kehadiran mommy, mengisi ruang kosong itu dengan cinta versi lain. Versi itu bernama sahabat.

Ruang hampa yang ada dalam hidup mommy dan papi selamanya nggak akan pernah terganti. Kedua laki-laki dewasa yang memiliki lubang dalam hidupnya itu, justeru membutuhkan lubang tersebut agar tetap menganga untuk melengkapi kehudupan kita.

Di dunia ini memang nggak ada yang sempurna. Namun, lubang-lubang yang menganga dalam hidup kita adala penyempurna hidup kita. Yang akan mengingatkan kita bahwa, sebahagia apapun kita nanti, pasti ada luka yang pernah tertoreh dan masih membekas di sana. Tujuannya Cuma satu, agar kita bersyukur.

==

Malam ini gue bahagia banget. Gue peluk-peluk tuh jenglot mengerikan. Gue nggak menggubris cibiran Gia yang bilang kalau gue anak manja. Peduli setan. Gue sayang ama mommy.

Di belakang rumah, mommy mengadakan acara barbequean. Katanya sih party kecil-kecilan untuk menyambut kedatangannya yang selama setahun ini hilang bak ditelan genderuwo. Tapi bleh, gue mohon lo jangan memiliki ekpektasi berlebihan tentang acara barbeque yang dibuat mommy.

Masih ingat kan jika mommy gue orangnya maha absurd? Yang dipanggang bukan daging ataupun sayur seperti biasa, tapi ubi. Lebih parahnya lagi, ubinya dipanggang di atas api unggun, sodara-sodara sejawat dan setanah air. Mommy bilang, untuk mengenang malam-malam mengenaskan selama mommy di Kongo. What the ngewe aja lah, asal gue bisa di samping mommy sih, apapun gaya party-nya gue suka.

"Mommy masuk ke rumah dulu, Mike," mommy melepas pelukan gue, lalu berjalan ke arah pintu belakang rumah.

Gue menghampiri Byan ama Gia. Dan jangan pula mengharapkan wine atau wisky ada di pesta aneh mommy. Yang ada nih ya, wedang ronde, STMJ, ama kopi hitam. Karena gue demen banget ama kopi, gue mengambil secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.

"Gila, gue senang banget ama keluarga lo, Mike," bilang Gia nampak antusias. "Baru kali ini gue memiliki keluarga besar."

Gue mengangguk mengiyakan. Party kecil-kecilan yang disebut mommy adalah mengundang sahabat-sahabatnya. Tapi gue lupa, sahabat mommy itu, kalau dikumpulin, bisa bikin pasukan perang. Jadi deh, pesta kecil-kecilan mommy tampak meriah dengan kehadiran orang-orang kesayangan mommy.

Ada Om Gahar ama Om Erick yang udah merid delapan tahun tapi tetap nggak mau punya anak―kata Om Erick, dia nggak mau cinta Om Gahar direbut ama anak-anak, gue me-roll eyes tiga puluh tiga kali kayak zikir aja, waktu mendengar pengakuan super gila tersebut.

Om Andra ama Om Marvin yang menikah tiga tahun lalu. Om David ama tante Karin serta anak ceweknya―namanya Kirana, musuh utama Gia. Om Ferdi ama Om Rega yang baru jadian tiga bulanan ini setelah sebelumnya mereka menikah dengan cewek namun berakhir dengan perceraian.

Om Gaple yang masih single. Kak Jupiter ama suaminya Kak Charli. Kak Adam, Kak Benny. Dan terakhir. Ibu biologis gue, Ibu Yani, ama suaminya. Yasin. Yang malam ini mengajak adik kandung gue ikut serta. Adik kandung gue cowok. Gue nggak mau menyebut namanya sekarang. Biar lo kepo. Hahaha.

Aneh dengan keluarga gue yang kebanyakan pasangan gay? Hidup itu udah rumit, bleh, kalau lo bisa bahagia dengan cara lo sendiri, kenapa harus mempersulitnya? Kalau menjadi gay mampu membuat lo bahagia, kenapa harus munafik menjadi straight hanya untuk menyelamatkan status sosial? What the ngewe lah, paradigma seperti itu.

Kebahagiaan keluarga gue itu sederhana. Manis tapi pahit di ujung rasanya. Seperti kopi yang saat ini gue sesap. Nggak sepenuhya pahit, nggak sepenuhnya manis pula. Jika takarannya pas, lo akan menikmati kopi dalam cangkir lo. Sama kayak hidup. Jika lo bisa bersyukur dengan keadaan yang lo miliki, lo akan menikmati porsi-porsi manis pahitnya hidup dalam hidangan lo.

"MIKEEEEEEEEEEE!!!!" teriak mommy tiba-tiba. Oh, pasti mommy masih pengen kangen-kangenan ama gue. Gue tersenyum lebar, menghadapi jenglot mengerikan itu yang berdiri di muka pintu. Semua orang memperhatikan mommy. Suara teriakannya memang cadas, bleh.

"KENAPA ADA KONDOM BEKAS DI KAMAR MU, MIKE?"

Ow-ow, sial, gue lupa membuang kondom waktu gue ngentot teman SD gue. Gue lari menghindari terkaman mommy. Meliuk-liuk di antara keluarga gue. Ketawa-ketawa nista. Ini cerita gue dengan keluarga gue. Bagaimana dengan lo? Berani menjadi berbeda untuk bisa menikmati secangkir kopi pilihan lo?


===

Uh akhirnya, selesai jugaaa cerita yang panjaaang ini. Nggak nyangka, berangkat dari kebutaan ane tentang menulis, ane bisa nuntasin cerita nggak jelas ini.

Makasi yang udah mau membaca setia Madness dari awal ampe akhir. Sini peluk atu-atu, cipok atu-atu...

Baca cerita ane yang lain juga ya.. uhlalala..

Big thanks to:

DewiWahyuniati

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top