BAGIAN 20 - PAPA PUASA

2500 kata wkwk kasih tau mana yang typo atau rancu ya? Ditunggu vote dan spam komennya.

🍀🍀🍀

Jefri tengah terduduk di sofa panjang ruang keluarga tepat di samping Ayana. Sosok istri yang ada di sampingnya itu tengah memainkan ponsel pintar yang ia pegang, sesekali mengelus-elus perutnya pelan. Memasuki trisemester pertama memang terkadang morning sickness rawan menyerang tubuh istrinya. Tak hanya pagi saja, siang ataupun malam pun mual dan rasa ingin memuntahkan semua cairan yang ada di perut tiap hari dirasakan Ayana. Untunglah malam ini Jefri sedikit tak lembur untuk mengurus pekerjaannya. Sembari menunggu kedua anaknya pulang ikut Sang Nenek, ia menemani istrinya di rumah.

Sorot mata Ayana yang belum mengantuk sepenuhnya, ia gunakan untuk menonton televisi yang tersorot di depan matanya. Sesekali Jefri tersenyum sekilas saat memerhatikan gurat wajah istrinya yang tengah sibuk menyaksikan adegan drama korea kesukaannya. Tanpa ada satu pun ucapan. Hanya tarikan sudut bibir Jefri yang kian melebar saat paras ayu itu menggerutu menyaksikan tontonan yang ada di depannya.

Jefri sedikit menggeser tubuhnya ke arah Ayana. Tangan pria dewasa itu ikut bertengger di perut milik istrinya. Mengusap perut istrinya yang tertutup daster satin tanpa lengan. Dan kemudian ia berpindah posisi duduk berjongkok, mensejajarkan kepalanya dengan perut Ayana, "Udah diminum vitaminnya?" tanyanya pelan pada Ayana.

Ayana sedikit menggelinjang saat tangan kekar itu meraba perutnya lembut. Perut yang masih belum menggelembung sepenuhnya, karena usia kandungan yang masih terbilang muda. Tapi tak menjadi halangan Jefri untuk mengajak bicara janin yang ada dalam kandungan istrinya itu. Pun terkadang tak hanya mengajak bicara saja, Jefri juga menghujani ciuman di perut istrinya, setiap hari, "Udah, tadi sebelum kamu pulang kerja aku udah minum vitamin dari dokter sama jus buahnya."

Memasuki usai pernikahan kelima, tak ada bedanya dengan usia pernikahan pertama seseorang. Jefri melakukan perhatian-perhatian kecilnya itu bak pengantin baru yang dirundung kehamilan pertama. Meskipun ia telah dijuluki bapak tiga anak, ia tetap bagaikan ayah yang baru saja terkaruniai anak pertama, "Cepet keluar ya? Nanti kamu jadi tim Papa. Soalnya Kakak-kakak kamu pilih Mama. Papa cuma dijadikan bahan porotan uang"

Ayana terkekeh geli saat Jefri tiba-tiba mengatakan kalimat itu untuk membisikkan sesuatu di perutnya. Ia lantas menyisir pelan surai hitam milik Jefri yang berada di dekat perutnya. Bibirnya tak henti-hentinya terukir seulas senyum simpul yang melekat karena perlakuan lembut dari Jefri. Ah, andaikan hal ini terjadi diusia pernikahan pertama layaknya pengantin-pengantin lainnya. Ayana akan jauh lebih bahagia.

"Karena Mama itu sosok Mama yang baik hati, nggak pernah marah, sabar, terus penyayang. Nggak kayak Papa," jawab Ayana seraya mengibaskan rambut sebahunya, yang baru saja ia potong. Jauh lebih terlihat fresh dari biasanya.

Jefri menyeringai seraya melirik Ayana dengan bibir yang menyunggingkan senyum miringnya, "Nggak pernah marah dari mana? Kalau album kamu dibakar juga udah kayak kesurupan," tandasnya.

Ayana tak segan menarik telinga suaminya yang menggantung bebas disana saat mendengar suaminya itu melibatkan 'bakar album' dalam pembicaraan keduanya. Dengan mata yang sedikit melebar dan bibir yang mengerucut, ia menarik telinga suaminya itu sedikit keras sampai-sampai suara rintihan dari bibir Jefri menggema, "ITU BEDA CERITA," teriaknya.

Jefri sontak terkekeh. Alih-alih marah ketika tangan istrinya itu menjamah telinganya, malah justru ia terkekeh geli memperhatikan kerucutan bibir yang ada di depannya. Ia mengubah posisinya lagi duduk di samping Ayana lalu menyapu lembut pipi Ayana dengan bibirnya, "Kalau dia laki-laki, udah dipastikan. Mirip siapa gantengnya."

"Emang mirip siapa?" tanya Ayana balik seraya menatap suaminya itu yang tengah memasang tampang songongnya.

"Mirip Papanya. Nggak perlu diperjelas, Papanya ganteng dari lahir," jawab Jefri tanpa merasa berdosa sembari salah satu tangannya ia tenggerkan di kepala sofa, tepat di belakang leher Ayana.

Ayana cepat-cepat memutar bola matanya saat suaminya itu dengan percaya diri memuji dirinya sendiri, "PD banget, padahal makin tua wajah kamu udah nggak ada ganteng-gantengnya sama sekali,"

"Kalau terlalu ganteng nanti berabe. Banyak yang naksir. Kamu nggak kebagian," sahut Jefri enteng.

Tak terima dengan ucapan Jefri, Ayana lantas mendelik ke arah suaminya. Bibirnya menyunggingkan senyum miring. Mencoba mematahkan rasa percaya diri suaminya, "Emang ada yang naksir?"

Jefri mengangguk cepat. Bibirnya menahan senyum sedari tadi menatap Ayana, "Ada. Buktinya dari dulu sampai sekarang masih ada yang naksir," jawabnya santai. Padahal yang ia maksud adalah istrinya sendiri.

Dari dulu sampai sekarang?

Ayana bergeming. Ia menatap Jefri dengan tatapan mengintimidasi. Otaknya tiba-tiba tak bisa berpikir saat Jefri mengatakan kalimat yang membuat pikirannya berkecamuk mengingat apa saja yang tak seharusnya diingat. Ia lantas mendekatkan wajahnya ke arah suaminya, "Dari dulu? Siapa yang kamu maksud?"

"Ya kamu. Emang kamu ngiranya siapa?"  sahut Jefri cepat sembari tangannya menarik tulang hidung milik Ayana.

Ayana setengah lega mendengar dari jawaban Jefri. Sejak kejadian beberapa tahun silam yang melibatkan perasaannya terkorbankan, Ayana seringkali merasa takut. Pikirannya juga tak jarang berkecamuk membayangkan ketakutannya itu lagi. Takut jika kejadian itu terulang lagi. Takut kebahagiaan yang ia susun dengan susah payah, akan tersapu oleh badai lagi, "Kamu bilangnya 'dulu sampai sekarang' tadi, aku ngiranya orang sebelum aku,"

Jefri spontan menarik tubuh istrinya ke dalam dekapannya saat tahu apa yang istrinya pikirkan. Sebegitu besarkah rasa sakit yang ia torehkan empat tahun silam? Sampai saat ini, meskipun Ayana telah memberinya kesempatan. Ayana nyatanya masih terbayang-bayang kejadian itu, "Mau berapapun banyak orang sebelum kamu, yang jadi istriku tetep kamu,"

Tangan Jefri berusaha mengerat, mendekap tubuh Ayana. Usai mengeratkan pelukannya beberapa menit, bibirnya sekali lagi mendarat di pucuk kepala istrinya. Pun juga kedua tangannya ikut melayangkan rangkuman ke wajah Ayana. Mengusap pelan pipi perempuan itu dengan usapan lembut, "Yang jadi istriku tetep kamu." jawabnya mengulangi.

Keraguan di hati Ayana sedikit menghilang. Namun tak tahu kapan lagi keraguan itu muncul. Ayana sering kali dihantui rasa takut seperti ini secara tiba-tiba, sampai untuk mengandung anak lagi pun Ayana masih takut. Takut jika ia tak bisa menjadi Ibu yang baik. Takut jika kebahagiaan yang melingkar di hidupnya tiba-tiba hilang. Sampai ketakutan besar pun mencuat di pikirannya, takut jika ia tak bisa lebih baik dari seseorang yang pernah hadir di hidup Jefri dulu.

Bibir Jefri mendarat penuh di bibir ranum milik Ayana. Bertaut satu sama lain tanpa balasan dari Ayana. Ayana masih bungkam dan berkutat dengan rasa keraguannya. Usai Jefri melepas pangutannya, sorot mata Jefri menatap perut Ayana lagi dan mengelusnya pelan, "Kamu baik-baik di perut Mama ya? Sehat-sehat disana sampai kita ketemu. Papa nunggu kamu disini. Cepet keluar, Biar Papa nggak kelamaan puasa," ucapnya membisikkan untaian kalimat untuk calon anaknya yang akan hadir.

Bibir Ayana yang tertutup rapat seketika ikut tertarik menahan senyum saat mendengar bisikan lembut yang menggelikan dari Jefri. Memang, selama Ayana hamil di Minggu pertama ini Jefri sedikit takut untuk melakukan hubungan intim dengan istrinya. Ia tak ingin kesalahan tak disengaja terdahulu terjadi lagi. Saat Ayana hamil Aidan dan Aviola.

"Aku nggak mungkin tega nyiksa istri sama calon anakku sendiri demi kepuasan seksualku. Mungkin beberapa dokter masih menyarankan jika hamil muda boleh dan diizinkan untuk berhubungan jika tidak ada gejala apa-apa setelahnya. Tapi untuk sementara ini kita cari aman aja. Masih masuk trisemester pertama, janinnya masih rawan. Plasenta belum terbentuk sepenuhnya. Dan Senyawa Prostaglandin yang terkandung dalam sperma juga kadang bisa menyebabkan mual sama mules yang buat nafsu makan kamu nantinya akan terganggu,"

"Resikonya bisa besar kalau kita kadang salah melakukanya tanpa sadar seperti dulu. Hal yang tidak diinginkan hampir terjadi. Kamu bisa aja terpengaruh dampak  senyawa prostaglandin, dan itu bisa jadi nafsu makan kamu berkurang. Sering mual dan muntah yang berlebihan. Dari dulu kan nafsu makan kamu aneh. Janin kamu bisa ikut terpengaruh dampaknya. Selagi, puasa sementara itu solusinya. Ya nggak papa, suami kamu masih kuat." jelas Jefri yang sangat paham pada kondisi Ayana.

"Dulu waktu kehamilan pertama juga gitu kan? Malah lebih rawan lagi soalnya ada dua janin yang harus dijaga. Nanti kalau udah mendekati, dan saran dokter dianjurkan berhubungan untuk jalannya proses persalinan. Kita bisa melakukannya tanpa takut dan rasa khawatir lagi," lanjutnya lagi memaparkan penjelasan pada Ayana.

Ayana mengangguk, mengukir senyum lebar dalam bibirnya. Terkadang rasa ragu dan takut itu tiba-tiba menyelinap di pikirannya. Namun, terkadang juga rasa itu terhapuskan seketika saat Jefri ada di dekatnya, dan memberinya perlakuan lembut seperti ini, "Asal kamu masih sering-sering memanjakan suami meskipun suami kamu setengah puasa," ucap Jefri lagi seolah-olah memberi kode pada Ayana.

Terlihat jelas sekali kekehan geli dari bibir Ayana. Suaminya itu tak pernah berpikir panjang ketika membicarakan hal-hal intim dengannya saat ini. Bibir suaminya seolah-olah fasih sekali jika menggodanya. Terlihat banyak kemajuan. Tak seperti dulu yang sangat kaku jika melakukan komunikasi antar keduanya dalam melibatkan permasalahan suami istri.

"Mama,"

"Papa,"

Panggilan-panggilan kecil itu menyadarkan Jefri dari Ayana yang tengah asik bersenda gurau dalam percakapan dewasanya. Sampai mereka tak sadar jika kedua anak mungil itu telah berdiri tak jauh darinya. Tunggu, sejak kapan kedua anak itu disana?

"Aidan .... Aviola ...," panggil Ayana.

Aidan dan Aviola berjalan mendekat ke arah Ayana dan Jefri. Aidan mengambil duduk di antara kedua orang tuanya. Jarak kecil yang ada di antara jefri dan Ayana mampu dihuni oleh tubuh Aidan. Sedangkan Aviola duduk di pangkuan Jefri, "Aidan habis beli pensil walna. Kakek sama Nenek ada di dapul sekalang. Aidan sama Apiola lihat Mama duduk disini. Jadi Aidan nyusul."

"Apiola juga, habis beli pensil walna." ucap Aviola menimpali.

Ayana yang mendengar ucapan dari anaknya itu lantas mengusap pelan pucuk kepala Aidan. Sesekali mendaratkan bibirnya disana. Pun juga dengan Jefri, ia tak henti-hentinya mengacak-acak rambut Aviola karena gemas dengan kedua anaknya.

Ayana dan Jefri berhasil membujuk kedua anaknya. Meskipun terkadang satu dua kali mereka masih bertengkar jika memperebutkan hal-hal sepele. Namun, untuk kali ini cara ia mendidiknya berhasil. Ia menyatukan kedua anak kembar itu agar tak saling menyalahkan satu sama lain, "Nggak berantem kan?" tanya Ayana memastikan.

"Nggak, Apiola sama Aidan belteman. Kata Mama, kalo mau minta adik kelual, Aidan sama Apiola halus belteman," jawab Aidan cepat seraya sesekali menjilat es krim yang ia pegang erat di tangannya. Es krim yang sudah hampir habis namun masih Aidan pegang.

"Papa," panggil Aviola pada Jefri. Yang membuat Ayana dan Aidan ikut menoleh ke arah Aviola.

"Hm?"

"Papa kok puasa? Apiola kan beli es klim buat Papa tadi di kulkas,"

Pertanyaan Aviola membuat dahi Jefri berkerut. Tak mengerti apa yang ditanyakan anak perempuannya itu, "Puasa?"

"Kalo Papa puasa, belalti besok hali laya lebalan," Aidan yang tak mengerti, pun juga ikut berceletuk spontan dalam bibirnya.

Butuh waktu beberapa menit bagi Ayana dan Jefri mencerna ucapan dari kedua anaknya itu. Ia baru menyadari ternyata anaknya sempat mendengar pembicaraan yang ia katakan tadi. Tak heran jika Aviola menanyakan secara tiba-tiba 'kenapa ia puasa'. Padahal anaknya itu salah tangkap.  Yang dimaksud arti 'puasa' bagi Jefri dan Ayana sangat berbeda jauh dengan apa yang dimaksud Aidan dan Aviola.

"Iya Aidan. Kata Kakek kalau hali ini puasa besoknya hali lebalan. Belalti kalau Papa hali ini puasa besok hali lebalan." Aviola terlihat menjelaskan sesuatu yang ia mengerti ke arah Aidan. Seolah-olah jawaban itu ia yakini sangat benar.

"Belalti hali ini Aidan boleh minta baju balu buat lebalan?" tanya Aidan cepat. Yang diingat waktu hari raya lebaran adalah baju baru di mata Aidan. Karena memang ia tak pernah absen dibelikan Jefri ataupun Ayana baju untuk hadiah hari raya.

"Apiola juga mau baju balu," Aviola tak kalah cepat menanggapi kembarannya itu.

Ayana ikut terkekeh. Karena kesalahpahaman makna, anaknya menagih Jefri untuk dibelikan baju baru. Jefri yang melihat Ayana menertawakannya, sontak menarik pangkal hidung Ayana. Alih-alih membantu menjelaskan ke kedua anak kembarnya, malah menertawakannya tanpa dosa, "Papa itu nggak puasa. Kenapa kalian bilang Papa puasa?" tanya Jefri pada anak kembarnya.

"Tadi Apiola dengel Papa bilang puasa. Papa sendili yang bilang," jawab Aviola.

Tangan Jefri menangkup di kedua pipi milik gadis kecil yang ada di pangkuannya. Ia berusaha menjelaskan kesalahpahaman pada anaknya, "Sayang, papa nggak puasa, Aviola salah denger tadi."

"Belalti besok nggak jadi hali laya lebalan, Pa? Aidan nggak dapat baju balu?" tanya Aidan penasaran dengan jawaban Jefri. Seraya menunggu jawaban Jefri yang tak kunjung mencuat. Aidan mengalihkan pandangannya ke arah Ayana untuk meminta jawaban juga. Ayana sedari tadi hanya tersenyum, tak ikut menanggapi suami dan anaknya yang bergulat dengan kata 'puasa'.

"Nggak Sayang, kalau mau baju baru. Kapan-kapan aja ya?" jawab Ayana membuka suara ke arah Aidan sebelum Jefri menjawab pertanyaan anak laki-lakinya itu.

Bibir Aidan mengerucut kecewa saat mendapatkan jawaban dari Ayana. Pun juga Aviola, ia tak kalah panjang dalam mengerucutkan bibir. Ayana sadar jika kedua anaknya itu kecewa karena tak jadi mendapatkan baju baru. Ia lantas berusaha mengalihkan pembicaraan, "Tangan Aidan sama Aviola mau pegang perut Mama nggak? Disini ada adik bayinya."

Sorot mata kedua anak kembar itu beralih terpancar saat mendengar kata 'adik bayi'. Kedua tangan Aidan ataupun Aviola berebut mengusap perut Ayana. Namun, sekali ditahan oleh Jefri saat Aviola hampir terjungkal dari pangkuannya karena berebut dengan Aidan.

Ayana berusaha meraih tangan Aidan lembut agar tak melukai perutnya yang masih rentan dengan benturan keras dari luar. Ia menggandeng tangan Aidan dan memberinya kesempatan mengelus perutnya dengan genggaman tangannya yang ada di atas tangan Aidan. Pun juga Jefri. Melakukan hal yang sama dengan objek tangan Aviola di perut Ayana. Empat tangan itu mengusap perut yang sama. Ayana merasakan sentuhan lembut dari  anak kembar dan suaminya itu. Sentuhan  yang terpancar dari tangan-tangan orang yang ia cintai melebur dengan kenikmatan yang ia rasakan. 

"Adek bayinya masih kecil ya, Ma?" celetuk Aviola menatap penasaran ke arah Ayana.

Ayana tersenyum lembut, "Masih. Aidan sama Aviola juga di perut Mama dulu,"

Kedua alis milik Aidan reflek bertaut, "Aidan sama Apiola baleng-baleng disini?" tanyanya tak mengerti dengan apa yang dikatakan Ayana. Ia masih tak paham jika anak kembar itu ada dalam satu rahim secara bersamaan.

"Iya bareng-bareng," jawab Ayana lagi.

"Tapi Aidan nggak ingat kalau ada Apiola,"

"Apiola juga nggak ingat ada Aidan,"

Aidan menoleh ke arah kembarannya, "Halusnya, Apiola jangan gitu! Apiola halus tanya nama Aidan pas di pelut Mama dulu. Bial kita belteman di pelut Mama. Telus bial Aidan ingat Apiola," jelasnya pada Aviola yang membuat Jefri tertawa kecil melihat interaksi dari kedua anaknya.

Aviola yang tak terima dengan penjelasan Aidan lantas menarik bibirnya ke depan, "Tapi kan Apiola lupa, Apiola nggak tau ada Aidan di pelut Mama baleng-baleng sama Apiola." bantahnya kecil.

Tawa dari bibir Jefri menyalur ke Ayana. Mereka sama-sama menertawakan kedua anak mungil itu yang masih belum tau apa-apa mengenai apa yang mereka bicarakan. Tingkah menggemaskan itu membuat Jefri tak henti-hentinya mengacak-acak pelan pucuk kepala gadis kecilnya. Pun juga Ayana. Ikut mendaratkan bibirnya berkali-kali di pipi anak laki-lakinya.

Jefri menatap lembut Ayana yang tengah memangku Aidan. Ia menggeser tubuhnya lebih mendekat ke arah Ayana, dan mencium singkat dahi milik Ayana, "Kalau mereka udah tidur—"

Bisikan kecil yang keluar dari bibir Jefri spontan di potong oleh Ayana sebelum kalimat itu selesai, "Tidur berempat sama mereka." balasnya yang tahu apa maksud yang akan dikatakan Jefri.

"Berdua aja. Nanti perut kamu ditendang kakinya Aviola." sahut Jefri cepat.

Bersambung....

Akhirnya update cepet. Kalo nulis seneng tuh cepet banget dapat hidayah 🤣👍 kalo nulis terpaksa, pasti gak kelar kelar nih naskah.

Bisa gak nih tembus 500 vote sehari sama komen 70an? Cuma tanya aja, nggak berharap lebih takut flop kayak kemarin pas narget vote dan komen ternyata nggak nyampai wkwk yang penting kalian suka aja. Komen vote berapapun terserah aja. Semoga kalian suka. Kalau suka jangan lupa bintangnya dan komen spam spam juga gapapa wkwkwk aku jauh lebih suka kalo dapat ini wkwkw.

See you next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top