11. The Power of Mertua
POV Hanun
Memang hanya cium pipi, tetapi badan ini langsung panas dingin. Untung saja Om Leon langsung pergi, sehingga aku bisa meneruskan pekerjaan rumah tangga. Jika tidak, maka aku akan sangat canggung berdekatan dengan pria itu. Terakhir aku dicium Mas Biru mungkin satu bulan lalu. Kami terus berdebat soal uang dan hal sepele, sehingga baik aku ataupun dia, malas berdekatan. Kumis tipis Om Leon dan jampang yang selalu ia cukur rapi masih terasa sedikit geli di pipi ini
Hanun, jangan genit kamu! Batinku mengingatkan. Aku melanjutkan pekerjaan sampai sore hari. Aku juga memasak karena semua bahan makanan ada di kulkas dua pintu mirip lemari pakaian itu. Ada daging segar yang aku olah jadi beef teriyaki. Aku juga merebus brokoli dan wortel. Aku masak secukupnya dan makan pun tidak banyak. Aku tidak mau aji mumpung di rumah Om Leon. Masih untung aku dipekerjakan di sini.
Kring! Kring
Aku mengangkat telepon yang berdering dari ruang tengah.
"Halo."
"Halo, Hanun, kamu lagi apa?"
"Baru saja selesai masak, Om. Om pulang jam berapa?"
"Wah, saya GR, nih, ditanyain pulang jam berapa? he he he ...Saya masih sibuk banget, kamu boleh pulang setelah magrib ya. Kabari saya jika ingin pulang, biar saya pesankan ojek online."
"Saya naik angkot aja gak papa, Om."
"Jangan, nanti kalau diculik gimana? Naik ojek online saja."
"Baik, Om, maaf udah ngerepotin. Mungkin saya pulang jam tujuh."
"Oke, jika rumah sudah rapi, kamu boleh santai-santai di sana sambil nonton."
"Baik, Om, terima kasih." Aku meletakkan kembali gagang telepon itu di tempatnya. Berada di rumah besar sendirian tidaklah membuatku takut. Justru aku sangat senang bekerja di sini. Semua pekerjaan telah selesai, hingga aku tertidur di depan televisi yang menyala. Suara azan ambulan membangunkanku. Langit sudah gelap dan aku belum menyalakan lampu rumah. Setelah memastikan semua lampu yang perlu menyala sudah aku nyalakan, aku pun bergegas ke kamar mandi.
Telepon rumah itu kembali berdering dan Om Leon mengatakan bahwa ia sudah pesan ojek online.
Aku pulang ke rumah dalam keadaan senang karena bekerja di rumah Om Leon tidak melelahkan. Malah bisa tidur siang. Ojek online berhenti persis di depan rumahku. Sudah ada ibu mertua dan Sasa yang duduk di teras. Mereka sedang ngemil dan jika dilihat dari kejauhan, rumahku layaknya baru saja terjadi tsunami.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaykumussalam. Untung saja kamu pulang, Hanun. Ibu mau minta tolong belikan obat kaki Ibu di apotek." Ia memberikan bungkus obat sebanyak tiga jenis yang sudah habis isinya.
"Oh, tunggu Mas Biru balik aja ya, Bu. Biar pakai motor," jawabku pelan.
"Udah sakit banget kaki Ibu. Nanti kalau Ibu malah gak bisa jalan gimana? Hanya karena kamu gak mau belikan Ibu obat." Aku menelan ludah.
"Saya bukan gak mau belikan, Bu, tapi nunggu motor Mas Biru, biar gak pakai ojek_"
"Alah! Pelit sama mertua sendiri! Udah sana pergi! Kaki Ibu udah nyeri banget nih! Beli lima belas biji masing-masing jenis." Aku tidak menyahut lagi. Dengan sangat berat aku keluar gang untuk mencari obat ibu, tetapi sayang sekali, obatnya tidak tersedia di apotek yang dekat rumahku.
Akhirnya aku naik angkot untuk mencari apotek besar. Ada uang seratus ribu pemberian Om Leon untuk ongkosku berangkat kerja. Obat ibu pasti generik, sehingga tidak mungkin mahal.
"Semuanya delapan puluh delapan ribu, Mbak." Tentu saja aku terkejut.
"Waduh, uang saya gak cukup kayaknya, Mbak. Beli sepuluh biji aja masing-masing." Pelayan apotek pun mengangguk setuju. Obat dikurangi dan aku harus membayar enam puluh dua ribu. Tidak lupa aku minta kwitansi obat agar mertuaku tidak mengatakan aku bohong atau malah menaikkan harga.
"Bu, ini." Aku memberikan bungkusan obat itu pada ibu.
"Makasih ya. Setelah ini kamu beresin rumah dan cuci piring di dapur. Kamar mandi juga sikat. Masa kamar mandi kotor banget!" Aku mengangguk. Malas menanggapi karena aku sudah lelah. Aku masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang sangat banyak.
"Hanun, kenapa obat Ibu hanya sepuluh? Bukannya Ibu bilang beli lima belas?"
"Uang Hanun gak cukup kalau beli lima belas, Bu. Dompet Hanun aja saat ini masih sama Mas Biru. Dompet dan HP. Jadi Hanun pakai uang sisaan yang ada di tas. Kalau Ha_"
"Alasan terus kamu deh, Nun. Perkara obat Ibu aja kamu potong. Segitu gak sukanya kamu kalau kaki Ibu sembuh?" aku mendelik tidak percaya. Ucapan Mas Biru benar melukai hati ini yang memang tulus membelikan ibunya obat. Mas Biru baru sampai rumah dan langsung mendpratku.
"Iya, disuruh beli lima belas, malah beli sepuluh. Alasannya uang gak cukup!" Timpal ibu mertuaku. Kini, ibu dan anak itu menatapku dengan tajam, seolah akulah orang paling bersalah.
"Uang saya memang gak ada! Kalau mau beli lagi, beli pakai duit sendiri atau duit Mas Biru!" Aku berjalan masuk ke kamar, lalu membanting pintu.
**
Pintu kamar terbuka. Mas Biru masuk dengan wajahnya yang masam. Aku malas bertanya dan berpura-pura tidur. Aku sedang tidak ingin bicara dengannya maupun mertuaku.
"Aku tahu kamu belum tidur," katanya pelan sambil menyentuh lengan ini. Aku diam, tidak menyahut sama sekali. Mata ini pun masih terpejam amat rapat.
"Aku resign." Sontak aku membuka mata, lalu bangun duduk dengan begitu terkejutnya.
"Kamu resign, Mas? Kenapa? Udah punya kerjaan baru?" tanyaku dengan kening berkerut.
"Ada sedikit masalah di pabrik dan aku dipecat sih."
"Masalah apa? Selama ini kamu gak pernah cerita." Suamiku membuka baju kausnya, menyisakan kaus dalam dan celana panjang saja. Ia yang awalnya duduk di pinggir ranjang, kini merosot duduk di bawah.
"Urusan lelaki pokoknya. Intinya aku gak kerja dan aku gak bisa kasih kamu uang belanja bulanan lagi. Kamu usaha sendiri dulu untuk sementara waktu. Ibu dan Sasa juga tolong tanggulangi dulu. Nanti kalau aku udah kerja, aku ganti semua uang kamu, Hanun." Aku tergugu mendengar pengakuan sekaligus pernyataan yang membuat badan ini semakin lelah saja. Tidak, bukan hanya badan, tetapi mentalku.
"Ponsel aku mana, Mas? Aku saja gak ada ponsel, jadinya aku susah mau kerja. Dompetku juga mana, kembalikan dulu!" Rasanya air mata ini sebentar lagi akan tumpah.
"Dompet kamu ada di laci sana!" Mas Biru menunjuk lemari pakaian yang di dalamnya ada laci. Aku memang belum membuka laci itu sejak sampai di rumah tadi. Aku turun dari ranjang untuk megeceknya. Benar-benar kosong. Hanya ada KTP dan kartu BPJS saja.
"Uangku pun habis. Beli obat ibu tadi yang ada sisa sepuluh ribu untuk ongkosku kerja besok. Jadi untuk makan tidak ada. Padahal tadinya di dompet ini ada yang tiga ratus lima puluh ribu, sisa gaji dan untuk uang belanja. Jadi, dari mana aku bisa tanggulangi makan ibu dan Sasa?"
"Ngutang dulu aja di warung Bu Mimi. Nanti kamu gajian, baru kamu ganti." Aku tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Buat perutku saja aku tidak mampu mengisinya sampai kenyang. Kini ditambah suami gak kerja dan harus menanggung mertua. Aku gak bisa! Aku gak punya uang!" Aku kembali memejamkan mata dengan hati yang teramat sangat kesal.
"Kalau begitu Mas Biru harus ngojek atau apapun yang penting bisa hasilkan duit!" Kataku lagi dengan sewot.
"Motornya udah gak ada, Hanun. Jadi tuh, aku niat mau oper kredit. Ketemuan sama orang, dia nyoba motor dan saat aku lengah, motornya dibawa kabur. Makanya aku lelah banget ini jalan kaki karena gak punya uang."
"Astaghfirullah, maksud kamu motor kita dirampok orang?!" Mas Biru menghela napas, kemudian ia mengangguk pelan.
"Aku gak ngerti lagi kalau begitu, Mas. Bicara besok saja karena aku lelah."
" Hanun, kamu bisa bantu aku carikan pinjaman'kan? Ayolah, Sayang, aku tahu kamu bisa bantu masalah ekonomi kita. Anak-anak genit sama atasan kamu, aku gak papa, siapa tahu kamu dapat jajan dari bos kamu."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top