Terima kasih, Bermuda
Sungguh Andromeda tidak tahu bahwa perbuatan yang ia lakukan di sekolah pada jam istirahat membuatnya harus duduk termangu di depan ruang kepala sekolah. Ia menunduk sesekali melihat ke dalam ruangan dengan jendela transparan itu.
Mama dan Papa sedang diceramahi oleh Ibu Kepala Sekolah.
Ada perasaan yang membuatnya seperti dikucilkan oleh orang-orang, sebuah rasa bersalah yang muncul setelah ia melukai lutut dan sikut anak laki-laki yang didorong hingga tersungkur di atas tanah berkerikil.
Bukan tanpa alasan Andromeda melakukan itu.
Ia terpaksa mendorong anak lelaki tersebut karena jahil mengangkat rok teman sebangkunya yang tak berdaya sambil menangis, sementara tidak ada orang yang menolong malah serempak tertawa kegirangan.
Mama dan Papa keluar dengan raut wajah ditekut karena kecewa. Papa berlutut di depan anak perempuan yang sangati dicintainya, sementara Mama melipat tangan di dada dan wajahnya merah padam.
"Sayang, kemarilah," ujar Papa kemudian memeluk Andromeda penuh arti, sontak air mata yang sudah ia tahan sejak tadi langsung membanjiri pipi.
"Andromeda Rafflesia, Mama sudah bilang, kalau mau bertindak jangan asal bertindak. Sejak kapan Mama dan Papa mengajari kekerasan? Nggak pernah!" kata Mama suaranya agak meninggi.
Andromeda yang ketakutkan mengeratkan dekapan pada Papa. Kehangatan yang tiba di tengah dinginnya rasa bersalah membuat Andromeda agak tenang dan membiarkan tangis sesenggukannya lepas.
"Sejak kapan kamu beringas seperti ini, mendorong lalu memukul anak lain?"
Kepala Andromeda terangkat, matanya yang berair membelalak lebar, "Aku nggak mukul Ma, Andromeda nggak main tangan!"
"Anak itu yang mengaku kamu mukulin dia, sekarang kamu berani bohong. Astaga, Mama sama Papa nggak pernah mengajari kamu kasar dan sekarang berani-beraninya kamu berbohong?"
Andromeda terkejut mendengar fitnah yang dipercaya oleh Mama-nya sendiri. Tangisnya kembali pecah kemudian menatap mata Papa dalam-dalam. Dari sana Andromeda sadar bahwa hanya Papa yang percaya dengan pengakuan anaknya.
Jari-jemari Papa menyusupi rambut hitam Andromeda, sesekali memijat kepalanya agar lebih tenang.
"Mama, sudah cukup ya, kita pulang dulu, kasihan Andromeda kalau diceramahi di sini," kata Papa menengahi.
"Mas, aku kan sudah bilang sama kamu, tolong jangan bebasin Andromeda baca buku seenaknya. Jangan biarin dia mengakses bacaan yang sekiranya belum cukup untuk dia cerna. Dia masih kelas 5 SD, lihat yang dia lakukan sekarang, kan?" protes Mama sambil menunjuk ke arah Andromeda.
Akhirnya Papa kembali berdiri kemudian mengusap-usap dengan lembut lengan istrinya, "Maafin Papa kalau kecolongan dalam mengontrol bacaan Andromeda."
Mama hanya mendecap dan berlalu meninggalkan lorong ruangan kepala sekolah, Andromeda dan Papa melihatnya pergi menghilang di ujung lorong mengarah ke tempat parkiran mobil.
Setibanya di rumah, Andromeda kira persoalan dengan Mama telah usai tapi ternyata belum. Kini Mama menduduki tubuh kecil Andromeda pada bangku kayu, Papa berdiri di belakangnya. Dengan tergesa-gesa tangan Mama mengeluarkan buku-buku yang ada di dalam tas anaknya.
"Lihat Mas, lihat!" kata Mama seraya menunjukkan sebuah buku berjudul Malam Terakhir yang ditulis oleh Leila S. Chudori dan novel tebal 1Q84 karya Haruki Murakami, "gimana dia nggak bertindak impulsif kalau kamu berikan bacaan yang seperti ini, Mas."
Papa terlihat heran karena ia tak pernah memberikan buku-buku itu kepada Andromeda, melihat Papa yang dihujani kritik pedas oleh Mama, membuat dirinya memberanikan diri untuk angkat suara di tengah pertikaian tersebut.
"Ma, Andromeda yang ngambil sendiri tanpa seizin Papa. Tolong jangan marahi Papa lagi, jangan Ma, jangan," Andromeda memohon, matanya membulat dan kedua tangannya dikepal seperti orang berdoa.
"Kamu sudah keterlaluan, mulai sekarang nggak ada buku bacaan selain buku mata pelajaran," balas Mama ketus kemudian pergi ke dapur untuk membuang buku-buku itu pada tempat sampah.
"Ini bukan sekali tetapi dua kali kamu membuat Mama dan Papa menghadap kepala sekolah padahal kami sedang bekerja. Waktu itu, Mama dan Papa dipanggil karena kamu melemparkan batu ke jendela sekolah buat nolongin burung yang terjebak di dalam kelas kosong yang dikunci. Hari ini kami dipanggil karena kamu mukulin murid lain, besok apa lagi Andromeda, besok apa?" terdengar nada suara kecewa dari tempat Mama berdiri.
Andromeda menunduk lagi. Kali ini ia bertanya-tanya, apakah Mama hanya peduli dengan nama baiknya dan bukan peduli dengan perilaku anaknya?
"Kenapa Andromeda? Kenapa kamu nggak bisa normal seperti adik kamu? Atau seperti anak-anak lain?!"
"Mama, cukup!" pekik Papa yang terkejut dengan kata-kata Mama.
Andromeda mungkin masih kecil, namun kalimat yang terlontar dari mulut Mama membuatnya merasa ciut dan tidak diterima pada lingkungannya. Air mata kembali meluncur, Andromeda menangis dalam bisu.
Ia tak berani menatap Mama-nya yang cantik dengan sepatu hak, blus putih menutupi dadanya yang padat dengan luaran blazer hitam dan rok di bawah lutut. Kata siapa bidadari itu lemah lembut? Bidarari ternyata bisa hadir dalam bentuk paling mengerikan—seperti Mama siang hari itu.
Derap langkah kaki Papa terdengar kemudian ia memeluk Mama yang turut menangis—persis seperti Andromeda saat di sekolah beberapa menit lalu.
"Aku gagal, Mas, gagal aku jadi orang tua kalau melihat dia melakukan hal-hal esktrem," aku Mama dalam dekap Papa, sementara Papa mengelus punggung Mama dengan sangat lembut lalu mengecup rambutnya yang harum.
Padahal Andromeda yang berharap diperlakukan demikian, ucapan tajam tentang anak normal membuka sebuah luka yang membuatnya perih.
"Andromeda masih butuh bimbingan kita berdua, tindakannya itu nggak lepas karena rasa penasarannya sebagai anak kecil," jelas Papa seraya membenarkan posisi kacamata yang merosot dari hidungnya, "Nah sekarang, kita berikan Andromeda dan Bermuda contoh yang lebih baik lagi. Mungkin metode kita dalam mendidik harus dievaluasi juga, Mama setuju?" pungkas Papa menyeka air mata Mama dengan kedua jempolnya lalu mengecup lembut kening istrinya yang dingin itu.
Mama mengangguk dan pergi meninggalkan dapur tanpa melihat ke arah Andromeda yang belum berani beranjak dari bangkunya, sementara luka yang diberikan oleh Mama semakin lebar dan basah. Andromeda merasakan sakit yang berasal dari hatinya.
Kini Andromeda benci dengan namanya sendiri. Ia merutuk dalam hatinya. Ia benci karena tidak bisa normal.
Bermuda melihat semua kejadian tersebut dari lantai dua, ia melongok ke bawah sebab suara gaduh yang dibuat oleh Ibu membuatnya penasaran. Namun dari semua kejadian yang diamati, Bermuda merasa iba dengan kakaknya yang murung.
Sejak saat itu, Andromeda takut jika membaca buku di depan Mama, lebih baik sembunyi daripada ketahuan. Hingga usianya menginjak 19 tahun, Andromeda semakin menjarak dari Mama, tiap kali diajak pergi atau mengobrol, Andromeda selalu beralasan atau sederhananya ia bermain gim demi mengalihkan perhatian Mama.
Andromeda merasa kehilangan sosok Mama, padahal ia kerap iri menyaksikan kasih sayang seorang Ibu yang diberikan untuk teman sebaya atau acara pada televisi.
Apalagi setelah pertengkaran Mama dan Papa yang ditonton langsung oleh Andromeda.
Amarah Papa yang meledak seperti gunung meletus membuat pandangan dan ekspektasi Andromeda tentang Papa-nya selama ini runtuh dan tercerai berai. Sejak dua bulan itu, Andromeda juga menjarak dari Papa.
Tiap malam ia selalu mengingat hangatnya kasih sayang Papa yang tak peduli betapa lelahnya pekerjaan di hari itu, dia pasti menyempatkan diri untuk bercerita dengan anak perempuan tersayangnya.
Menunjukkan nama-nama bayi yang ia bantu untuk lahiran—sebagai kepanjangan tangan dari Tuhan, dan mengucap syukur memiliki seorang putri bernama Andromeda tiap kali Papa melihat bayi perempuan menangis keluar dari rahim seorang ibu.
Andromeda tak sanggup, air matanya meluncur deras tiap mengingat kenangan bersama Papa.
Andromeda sudah terlanjur membenci namanya.
Yang dimilikinya saat ini hanyalah pelampiasan dengan bermain gim, membaca buku dan berpacaran dengan kekasihnya, Yuri, perempuan yang dahulu satu SMA juga dengan dirinya. Cinta terlarang ini berhasil ditutup rapat dan sangat rapi oleh Andromeda.
Baginya, sosok Yuri adalah manifestasi kasih sayang seorang Ibu yang selama ini tidak ia dapatkan. Setidaknya sampai ia sadar bahwa perasaan yang ia investasikan untuk Yuri sudah terlalu besar sebab, 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar.
Bagaimana dengan sosok Bermuda di hidupnya? Tidak, Andromeda tidak ingin adiknya yang sangat beprestasi, penyayang, dan penurut itu ikut terlibat dengan perasaan rumit yang dialami oleh kakaknya.
Namun sebagaimana intuisi adik dan kakak, setelah Andromeda mengakui persoalan yang menimpa orang tua mereka. Bermuda merasa bersalah meninggalkan kakaknya menyendiri di dapur.
Bermuda yang sedang berbaring di ranjang mengantukkan ponsel pada keningnya.
Sebagai hadiah perdamaian Bermuda berinisiatif untuk pergi ke dapur dan membuatkan kakaknya makan malam berupa salad yang ditambah toping potongan daging sapi. Hal ini ia lakukan karena tahu, Ibu ada acara dan Ayah sepertinya harus lembur di rumah sakit.
Bermuda memotong sayuran hijau yang ia dapat dari dalam kulkas, begitupun daging sapi yang sudah siap saji dipotong dalam bentuk kotak-kotak sehingga isinya banyak dan mudah untuk dikonsumsi. Tak lupa ia menuangkan saus khusus untuk salad buatannya itu.
Setibanya di kamar Andromeda, ia melihat ruangan itu remang-remang hanya ada cahaya biru dari monitor PC yang dibiarkan menyala menampilkan menu utama gim Elden Ring.
Bermuda memicingkan mata untuk mencari di mana kakaknya berada.
Ternyata ia tengah terlelap pada kursi khusus gaming berwarna hijau gelap, sementara penyuara jemala berwarna hitam masih terpasang pada telinganya. Bermuda berlutut di sebelah kakaknya, menggoyangkan badannya perlahan-lahan agar tidak terkejut.
Andromeda membuka matanya dengan enggan, lalu menguap dan melepaskan kacamata anti radiasi.
"Makan dulu, ini udah jam 7 malam," kata Bermuda menyodorkan semangkuk penuh salad isi daging yang menggiurkan itu.
Andromeda yang setengah sadar mengejapkan mata kemudian menerima pemberian damai adiknya lalu tersenyum ramah, "Mama sama Papa?" tanya Andromeda serak.
Bermuda membantu kakaknya untuk meminum air putih dari gelas, "sepertinya mereka agak telat pulangnya."
Andromeda hanya membalas dengan oh singkat.
Kemudian Andromeda mengajak Bermuda duduk di ranjangnya yang empuk dengan sprei lusuh, sesekali menyuapi sesendok penuh daging dan sayuran untuk Bermuda.
"Makasih ya saladnya," kata Andromeda.
Bermuda mengunyah makanan itu sebanyak 15 kunyahan, ia menelan dan mengutarakan maksud kedatangannya, "Maaf soal tadi sore ya, Kak. Aku agak emosi dan nggak bisa berpikir panjang."
"Iya, Kakak ngerti. Nggak usah dipikirin lagi ya, Mud," jawab Andromeda dengan nada khas seperti orang yang benar-benar tidak peduli.
Keduanya menatap sebuah poster berukuran besar band Guns N' Roses kesukaan Andromeda. Menurutnya, lagu-lagu yang dibawakan oleh Axl Rose dan kawan-kawan seperti terapi yang membuat Andromeda tenang.
Bermuda menganggut saat mendengarkan celotehan kakaknya.
"Apalagi November Rain, kakak suka banget lagu power ballad yang punya filosofi mendalam tentang kematian dan kehilangan itu."
Saat bercerita, binar mata Andromeda yang selama ini redup kembali menyala. Bermuda merasa tersentuh dan membiarkan rasa bahagia menyelimuti Andromeda malam itu.
"Lagunya terlalu sedih untuk didengarkan oleh jiwa yang sedang bahagia, tapi cocok sebagai penerjemah bagi mereka yang masih di tahap denial karena kehilangan orang yang disayang, begitu ya, Kak?" sahut Bermuda diikuti anggukan kepala Andromeda yang mantap.
"Kak, tahu nggak? Aku suka banget sama nama Andromeda Rafflesia, bagiku nama itu punya makna yang lebih daripada sekadar nama. Buatku, Andromeda Raffelsia itu simbol kekuatan dan ketenangan," kata Bermuda kemudian menatap mata kakaknya lekat-lekat, hal ini disambut kagum oleh Andromeda karena sadar bahwa adiknya memiliki mata Papa yang teduh dan menenangkan, "karena Andromeda Rafflesia itu simbol seorang kakak yang penyayang," pungkas Bermuda.
Andromeda menjatuhkan kepala ke pundak adiknya, "makasih ya Bermuda."
Entah apa yang merasuki adiknya malam itu, jujur saja Andromeda sangat membutuhkan kata-kata tersebut. Ia merasa tersentuh dan luka basah yang ada di dalam hatinya mulai mengering seakan ada harapan dan tujuan yang masih patut diperjuangkan olehnya.
"Apapun yang dialami Ayah dan Ibu, kita sama-sama jadi tim untuk menolong mereka ya, Kak?" kata Bermuda mantap.
"Iya Mud, Kakak setuju, makasih ya, Mud," jawab Andromeda, "makasih banyak Bermuda," lanjut Andromeda lirih.
Tanpa ia sadari pelupuknya yang berembun kini meleleh dan membasahi pipinya. Ucapan terima kasih untuk Bermuda bukanlah sembarang rasa syukur sebab, adiknya baru saja menyadarkan Andromeda untuk tidak menenggak 10 butir obat tidur secara sekaligus agar keesokan harinya ia bangun di dunia yang berbeda.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top