Prolog

Siahna Nefertiti memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Dia sempat meregangkan tubuh sebelum berdiri dari kursinya. Kuliah terakhir untuk hari ini, sudah berakhir. Tanpa sadar, dia menghela napas.

Siahna sebenarnya sangat enggan untuk pulang. Suasana di rumah yang tak pernah nyaman itu menjadi penyebabnya. Namun dia tidak memiliki tempat lain untuk dituju. Siahna harus bertahan tinggal bersama budenya yang galak dan sudah mengurusnya sejak bayi.

Kakak sulung almarhumah ibunya yang bernama Kemala itu seolah tak pernah melihat kehadiran Siahna di dunia ini sebagai berkah. Perempuan itu selalu memojokkan Siahna sebagai pembawa bencana bagi keluarganya.

Kalimat provokatif semacam itu tentulah tidak ingin didengar oleh siapa pun. Namun Siahna terpaksa menelannya diam-diam sejak kecil. Dulu, dia tidak percaya bahwa dirinya membawa kesialan dan menyebabkan kematian orang-orang yang penting baginya. Seiring berjalannya waktu, kalimat yang sangat familier itu terus digaungkan Kemala di telinganya. Hingga Siahna mulai yakin bahwa memang seperti itulah dirinya.

"Hai, Cantik!"

Sapaan dari seorang cowok yang berdiri di ambang pintu ruang kuliah yang lebar seraya menyilangkan kaki, membuat mahasiswi semester tiga itu sontak melebarkan senyum. "Kamu udah kelar kuliahnya, Ver?" tanyanya pada cowok yang menjadi pacarnya selama sebulan terakhir.

"Baru aja," sahut Verdi. "Udah mau pulang?"

"Yup." Siahna membenahi letak tas ranselnya sebelum melangkah menuju pintu.

"Masih siang, lho. Masa udah mau pulang, sih?" Verdi menunjuk ke arlojinya. "Makan dulu, yuk? Aku lapar, nih."

Siahna tidak membutuhkan waktu untuk membuat keputusan. Dia langsung mengangguk, setuju dengan usul pacarnya. "Mau makan apa?"

"Ntar deh dipikirin sambil jalan."

Verdi adalah pacar pertama Siahna. Dia sudah tertarik pada cowok itu di detik pertama kali bersitatap dengan Verdi. Cowok itu seniornya di Fakultas Ekonomi sekaligus kakak kandung salah satu teman baik Siahna di kampus, Litta. Verdi memenuhi standar sebagai sosok yang disukai gadis-gadis. Menawan, tentu saja. Meski tidak terlalu jangkung -sama tinggi dengan Siahna yang memiliki tinggi 168 sentimeter- cowok itu berkulit sawo matang dengan berat proporsional. Mungkin karena dia aktif berenang dan mengikuti setumpuk aktivitas yang berkaitan dengan alam. Saat itu, Verdi sudah duduk di semester tujuh.

"Mampir sebentar ke rumahku, ya? Mau naruh paket titipan Papa," kata Verdi, menunjuk ke ranselnya yang menggelembung. Ayah cowok itu adalah dekan di Fakultas Ekonomi. "Sekalian ngambil motor, biar ntar sekalian aku nganterin kamu pulang."

"Oke."

Siahna sudah beberapa kali mampir ke rumah Verdi, meski biasanya dia cuma duduk di teras. Cowok itu dan keluarganya menempati salah satu rumah dinas yang diperuntukkan bagi para dosen. Dari kampus, rumah cowok itu hanya berjarak sekitar setengah kilometer. Mereka berjalan kaki dengan santai, melewati pepohonan yang memberi kerindangan di sepanjang trotoar.

"Litta bilang kemarin kamu nyaris ketiduran di kelas. Iya?"

Siahna tergelak. "Iya, mata kuliah Ekonomi Mikro selalu bikin ngantuk. Kamu dulu nggak ngerasa gitu?"

"Dosennya siapa? Bu Hanifah? Aku sih dulu dosennya Pak Tommy, kuliahnya selalu asyik. Nggak sempet ngantuk."

"Wah, iri aku. Banyak yang muji-muji Pak Tommy."

"Pak Tommy memang salah satu dosen favorit di fakultas kita." Verdi mendorong pintu pagar yang berat, memberi jalan pada Siahna untuk lewat. Rumah bergaya belanda dengan cat putih itu selalu disukai Siahna. Besar dan nyaman dengan halaman berkerikil yang diteduhi beberapa pohon. Mulai dari mangga, bougenville, hingga kumpulan tanaman kuping gajah di salah satu sudut halaman.

Universitas Dharma Buana, tempat Siahna menuntut ilmu, memiliki tujuh fakultas. Perguruan tinggi itu sudah berdiri sejak empat puluh dua tahun silam. Rumah dinas untuk para dosen dengan jabatan tertentu, berada tak terlalu jauh dengan fakultas tempat mereka mengajar. Semua rumah itu menggunakan gaya arsitektur yang sama.

"Litta mana? Kita ajak makan siang bareng sekalian yuk, Ver," usul Siahna.

"Nggak tau. Tadi sih katanya mau ke rumah tanteku, bareng Mama." Verdi membuka pintu. "Kamu mau masuk?"

"Nggak ah, nunggu di sini aja," tolak Siahna. Gadis itu duduk di salah satu kursi teras.

"Oke. Sebentar, ya?"

Sepeninggal Verdi, Siahna mengecek arlojinya. Gadis itu mencela diri sendiri karena menuruti ajakan Verdi begitu saja. Seharusnya, dia segera pulang karena Kemala hafal jadwalnya. Jika Siahna terlambat pulang lebih dari setengah jam, maka telinganya akan berdengung mendengar makian atau -minimal- kata-kata kasar dari budenya. Hal itu membuat Siahna sering bertanya-tanya. Apa yang membuat Kemala begitu getir dan keras padanya? Status sebagai perawan tua yang belum berkeluarga setelah usianya menginjak setengah abad? Atau karena kebencian Kemala pada orangtua Siahna?

Kemala selalu memenuhi kebutuhan gadis itu, tidak pernah ada kendala jika berkaitan dengan uang. Kemala juga tidak pelit. Akan tetapi, selain itu Siahna hanya berhadapan dengan kesinisan dan kata-kata menyakitkan yang sudah didengarnya sejak kecil.

"Litta ternyata udah pergi sama Mama. Cuma ada si Mbak di rumah. Itu pun bentar lagi mau pulang," beri tahu Verdi saat kembali ke teras.

"Si Mbak?"

"Itu, yang kerja di rumah. Datang ke sini pagi-pagi tapi siangnya udah pulang."

"Oh." Siahna kembali teringat Kemala. "Berarti nggak ada orang di rumahmu? Hmmm, mending batal makan siangnya ya, Ver. Lagian aku juga harus pulang."

Verdi menggeleng. "Kenapa harus batal? Aku pegang kunci sendiri, kok. Yang lain pun sama. Ntar si Mbak bakalan ngunciin pintu sebelum pulang." Cowok itu mengulurkan sebuah helm. "Yuk, kita makan di sekitar sini aja. Nanti pulangnya kuantar biar cepat nyampe rumah."

Siahna akhirnya setuju. Dia pun dengan sukarela naik ke boncengan Verdi. Mereka baru hendak meningggalkan lingkungan kampus saat sebuah mobil membunyikan klakson diikuti suara kencang yang entah bicara apa. Siahna yang tadinya sempat cemas, berubah lega saat mendapati tiga wajah lumayan familier milik teman-teman Verdi.

"Ver, main ke rumahku, yuk! Lagi nggak ada orang. Ajak Siahna sekalian."

Yang bicara adalah Ashton. Cowok itu menurunkan kaca jendela mobil untuk bicara dengan Verdi. Di sebelah kirinya, duduk sang pacar yang cantik, Abel. Sementara di jok belakang, ada pasangan lain. Erry dan Nadia.

"Kami mau makan dulu. Trus setelah itu Siahna harus pulang."

"Kami juga mau pesan makanan. Yang udah jelas sih, piza dan mi tek-tek yang di dekat rumah Ashton," imbuh Erry. "Ayolah, Ver! Udah lama kita nggak pernah senang-senang bareng, kan? Terakhir kali kamu bawa..."

"Siahna belum tentu bisa," Verdi memotong dengan cepat. Cowok itu menoleh ke belakang dari balik bahu kirinya. "Kamu mau ikutan ke rumah Ashton?"

Gadis itu sedang mempertimbangkan jawabannya saat semua orang -kecuali Verdi- berusaha membuatnya menunda pulang. Abel yang paling bersemangat memengaruhi Siahna. "Yuk, ikutan Na. Kamu kan belum pernah main bareng kami sejak pacaran sama Verdi, kan? Ashton sering bikin pesta kecil-kecilan yang asyik banget."

Siahna memandang Verdi dan teman-temannya dengan ragu. "Tapi, nggak ada narkoba, kan?" tanyanya takut-takut. Sontak suara tawa pun pecah dari semua orang.

"Nggak ada yang pakai narkoba, Na. Nggak perlu parno gitu," Verdi menjawab setelah tawanya reda. "Kamu mau ikut ke rumah Ashton? Rumahnya nggak jauh dari sini."

"Ver, apa nggak buang-buang waktu udah sebulanan..."

Ashton yang kali ini memotong ucapan Erry. "Hei, jangan ngelantur, Er."

Siahna tidak mengenal dengan baik teman-teman Verdi, tapi dia tak pernah mendengar gosip negatif. Namun, karena dia dibesarkan oleh orang yang lebih banyak membahas hal-hal buruk bahkan untuk sebuah tindakan baik, Siahna menjadi orang yang waspada. Cenderung pencuriga, sebenarnya. Meski benci mengakuinya, tapi sikap itu mirip dengan Kemala.

"Maaf ya, kali ini aku nggak ikutan. Lain kali aja," tolak Siahna akhirnya. Ashton mengangkat bahu sedang Abel masih berusaha mengubah pendirian Siahna. Namun gadis itu tetap menggeleng. Dia memilih tidak ikut bersenang-senang ketimbang diomeli Kemala.

"Oke," Erry dan Abel bersuara nyaris bersamaan. Setelah itu, mobil yang dikemudikan Ashton pun kembali melaju. Sementara Verdi menyalakan motornya.

"Kalian sering pesta di rumah Ashton?" tanya Siahna yang masih merasa tidak nyaman karena baru saja menolak ajakan dari orang-orang yang bersikap ramah padanya.

"Bukan pesta, sih. Abel itu kadang lebay. Yang ada, Ashton sering pesan banyak makanan dan kami ngumpul bareng. Nggak pake narkoba atau minuman keras, kok!" balas Verdi sambil terkekeh. Motor yang dikemudikannya melaju pelan sehingga Siahna bisa mendengar perkataan pacarnya dengan jelas.

"Aku nggak nuduh, cuma nanya doang. Kamu nggak perlu marah," sahut Siahna tak enak hati. "Lagian, zaman sekarang kan banyak yang... kayak gitu."

"Aku nggak marah, kok. Wajar kamu curiga, Abel kan ngomongnya nggak jelas gitu. Yang pasti, kami memang lumayan sering ngumpul di rumah Ashton. Mama dan papanya udah cerai, dia anak tunggal. Anak yang kesepian sih, walau dia nggak bakalan mau ngaku. Ashton tinggal sama papanya, tapi dia lebih sering sendiri di rumah. Papanya sibuk banget."

Penjelasan Verdi itu seolah membuat hati Siahna diremas. Dia bisa merasakan kesepian yang dimaksud Verdi meski tentu saja tidak persis sama seperti yang dirasakan Ashton. Mereka memiliki problem yang berbeda tapi dengan poin yang sama. Ketidakhadiran orangtua dalam keseharian. Meski di mata Siahna, Ashton jauh lebih beruntung darinya.

"Kamu udah lama kenal sama Ashton dan yang lain?" tanya Siahna lagi. Motor sudah berhenti di depan warung yang menjual mi kuah udang yang difavoritkan oleh sebagian besar mahasiswa Fakultas Ekonomi. Verdi sedang membuka helm yang dikenakannya.

"Sama Ashton udah dari SMP. Mamanya dulu teman kuliah mamaku. Tapi setelah cerai, mamanya Ashton pindah ke Pontianak dan udah nikah lagi. Ashton sih penginnya tinggal sama mamanya, tapi nggak dikasih. Papanya yang menang hak asuh atau apalah. Aku nggak gitu paham, deh." Cowok itu menatap Siahna dengan alis terangkat. "Jangan bilang kalau kamu jadi naksir Ashton gara-gara yang aku ceritain tadi."

Siahna terbahak-bahak hingga wajahnya terasa panas. "Ya nggak lah! Cuma ngerasa kami agak-agak senasib aja. Yah, kamu tau sendiri kalau aku tinggal sama budeku. Sementara Ashton, meski serumah sama papanya, tapi kamu bilang dia sering ditinggal sendiri."

"Iya, bener juga," ucap Verdi.

Sejak hari itu, Siahna kian sering mendengar nama Ashton. Entah siapa yang lebih beruntung di antara mereka. Siahna yang tinggal bersama bude yang selalu mengkritiknya. Atau Ashton yang hidup bersama ayah yang terlalu sibuk.

Ashton tampaknya cowok yang baik dan luas pergaulannya. Karena Ashton juga tergolong cowok keren, wajar jika banyak yang menyukainya. Menurut Litta, Ashton memiliki sederet mantan pacar.

"Aku dulu sempat naksir Ashton juga, sih," aku Litta sambil tertawa. "Tapi Verdi ngelarang karena Ashton suka gonta-ganti pacar. Bener juga, sih. Kayaknya sama Abel aja yang rada lama pacarannya."

Siahna mendengarkan sambil manggut-manggut. Entah dengan orang lain. Namun dia punya pemikiran sendiri. Gadis itu menebak bahwa Ashton memacari banyak gadis karena melarikan diri dari kesepiannya. Andai dia bisa melakukan pengalihan semacam itu, Siahna pasti akan senang. Akan tetapi, bergonta-ganti pacar bukanlah pilihannya.

Yang Siahna tidak tahu, Ashton ternyata tak sekadar suka gonta-ganti pacar. Cowok itu, bersama Verdi dan yang lain, justru melakukan sesuatu yang jauh lebih biadab. Lupakan narkoba atau pesta minuman keras. Mereka memilih hal lain yang lebih menakutkan.

Karena melibatkan dirinya, itulah yang membuat Siahna takkan pernah memaafkan Verdi dan Ashton meski langit runtuh.

Lagu : Stronger (Kelly Clarkson)

Catatan :

Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansa sampai kondisi tokoh-tokohnya.
Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.

Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya ya.

Senin dan Selasa : I Need You - kakahy

Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo

Rabu dan Kamis : Lovesick - @IndahHanaco

Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri

Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians

Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top