Chapter 9
Tiga bulan menikah, Siahna kian jarang melihat wajah Kevin. Seolah pernikahan mereka membuat lelaki itu kian bebas bersama Razi. Siahna sama sekali tidak merasa keberatan, toh mereka berdua sama-sama saling memanfaatkan. Kevin menggunakan perkawinan mereka sebagai tameng untuk menutupi hubungan terlarang dengan Razi. Sementara Siahna pun tak jauh beda. Berumah tangga membuat perempuan itu menegakkan pagar untuk menghalau orang yang tak diinginkannya mendekat.
Meski sangat mengerti kondisi suaminya, Siahna mulai kesal karena Kevin tidak menepati janji. Lelaki itu jarang mengunjungi Miriam, membuat sang mertua pun menanyai Siahna jika dia sedang mampir.
Siahna tidak keberatan menyambangi rumah mertuanya sesering yang perempuan itu bisa. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan Miriam yang terpaksa dijawabnya dengan dusta itu yang membuat Siahna terganggu. Dia tidak tega membohongi perempuan itu. Apalagi belakangan tampaknya kesehatan Miriam kian merosot meski semua obat tetap diminum dan asupan makanan dijaga ketat.
"Kev, kamu harus lebih sering jengukin Mama. Tiap kali aku ke sana, pasti kamu duluan yang ditanyain," cetus Siahna suatu malam. Kevin pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang pribadinya. Kadang, lelaki itu menghilang selama satu minggu penuh, hanya mengirim pesan singkat tentang keberadaannya. Ketika kembali ke apartemen pun Kevin tidak pernah menginap lagi.
"Tadi aku mampir sebentar ke rumah Mama. Aku udah jelasin kalau lagi sibuk banget. Puspadanta bakalan merilis produk baru yang harus digarap serius. Nyatanya kan memang gitu," balas Kevin santai. "Aku juga bilang, setelah semua kelar, aku mau ngajak Mama liburan. Yang deket-deket ajalah. Dan Mama udah bilang oke."
Itu hal yang menggembirakan. "Bagus kalau kamu mampir. Tapi, dulu janjinya nggak kayak gitu. Di depan semua orang kamu bilang bakalan sering ke rumah Mama. Sekarang, semua nanyain kamu tiap aku ke sana. Jadi serbasalah karena aku betah di rumah Mama. Tapi kalau bolak-balik ditanyain, ya nggak enak juga, kan?" Siahna membenahi posisi duduknya di sofa.
"Aku tau, Na. Tapi situasinya memang lagi nggak memungkinkan sering-sering ke rumah Mama," sahut Kevin. Lelaki itu meletakkan tas ukuran sedang di dekat sofa. "Beneran deh, setelah peluncuran produk baru kelar, aku bakalan nepati janji. Nggak lama lagi, kok. Kurang dari sebulan. Trus setelah itu kita kudu ngerencanain 'bulan madu'. Razi ngajak ke Swiss bulan depan. Gimana, kamu mau?"
Pertanyaan itu tidak mengejutkan. Siahna tahu bahwa Razi akan selalu terlibat dalam hidup mereka. Namun, "bulan madu" bertiga rasanya terlalu berlebihan. Siahna takkan nyaman berada di antara pasangan yang sedang dimabuk asmara.
"Kurasa, nggak perlu ke mana-mana, deh. Keluargamu juga udah nggak ada yang nanyain. Lagian, aku lagi banyak kerjaan karena ada personal shopper di tokoku berhenti sejak kemarin. Jadinya klien dia dibagi-bagi ke yang lain. Aku dapat empat klien baru."
Kevin membalikkan tubuh, mengernyit ke arah Siahna. "Bukannya kalian mau nambah personal shopper? Kenapa malah ada yang berhenti?"
"Belum di-ACC sama bagian HRD." Siahna bersandar, tangan kanannya memencet remote televisi. "Temenku berhenti karena mau nikah. Trus ikut pindah ke Singapura. Calon suaminya ini duda. Dulu, mantan istrinya yang jadi klien temenku."
"Wah, apa itu salah satu cerita pagar makan tanaman?"
Siahna tertawa kecil. "Entahlah, aku nggak tau pasti."
Kevin tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan. "Yang kudengar, kamu sekarang jadi tante favoritnya Gwen, ya? Ke mana-mana pasti nyebut nama Tante Nana. Anak itu sampai ngasih nama panggilan seenaknya."
"Iya," angguk Siahna. Senyumnya melebar saat mengingat Gwen. "Aku nggak pernah dipanggil Nana."
"Berapa kali kamu ajak Renard dan Gwen ke Mahadewi?"
Mendengar nama Renard disebut, punggung Siahna menegang. "Cuma sekali itu doang. Gwen keliatannya senang banget."
Mendadak, perempuan itu mengingat beberapa pertemuan terakhirnya dengan Renard. Entah sengaja atau tidak, Renard tak sesantai biasa. Lelaki itu terkesan agak menjauh. Menjaga jarak dengan cara tak kentara. Kadang, Siahna tergoda ingin bertanya apakah dirinya membuat kesalahan tertentu. Namun Siahna mengurungkan niat itu. Mungkin dia terlalu banyak berprasangka saja.
Kevin tiba-tiba duduk di sebelah kanan Siahna. Lelaki itu menatapnya dengan serius. "Kemarin aku ketemu Bella. Dia banyak nanya tentang kamu. Jujur aja, perasaanku jadi nggak enak. Bella itu masih belum mau ngelepas Renard meski mereka udah resmi cerai. Kalau suatu hari kamu ketemu dia di mana pun itu, mending jauh-jauh dari Bella."
Kalimat Kevin itu mengejutkannya. Begitu juga dengan sikap serius lelaki itu. "Memangnya Bella ngomong apa?"
"Intinya, dia curiga kalian saling tertarik. Di mata Bella, semua perempuan pasti tergila-gila sama Renard."
"Astaga!" Siahna kehilangan kata-kata. Dia begitu terperangah mendengar ucapan suaminya. "Kamu nggak bilang kalau dia salah? Masa iya aku tertarik sama Renard, sih?"
Bahkan sebelum kalimatnya tergenapi, Siahna merasa menjadi perempuan paling munafik yang pernah ada. Namun dia mati-matian menahan diri agar tetap santai.
"Aku juga bilang gitu ke Bella. Nggak usah terlalu jauh menduga-duga. Kamu istriku. Kalaupun kalian pergi bertiga bareng Gwen, itu lebih untuk kepentingan anak itu. Kubilang juga, sekarang Renard itu pria bebas. Kalau dia tertarik sama seseorang, Bella nggak punya hak untuk komplain. Tapi yang jelas orang itu bukan istriku." Kevin menepuk punggung tangan Siahna. "Tapi kamu tetap harus hati-hati. Bella suka mempermalukan orang. Entah berapa kali dia ngelabrak cewek cuma karena ngobrol sama Renard. Perempuan gila."
"Sampai separah itu?"
Kevin menegaskan dengan anggukan. "Iya. Kalau nggak, Renard mungkin masih bertahan karena setauku dulu dia cinta banget sama Bella." Lelaki itu mengedikkan bahu. "Aku merasa jahat karena lega Renard bercerai. Tapi mau gimana lagi? Bella itu tukang siksa. Untungnya selama ini dia jadi ibu yang baik untuk Gwen. Tapi nggak tau juga ke depannya. Aku curiga dia bakalan jadiin Gwen sebagai senjata untuk nyiksa kakakku."
Kalimat senada pernah didengar Siahna dari Miriam. Namun dia memilih tidak berkomentar. Dia belum pernah bertemu Bella, tidak tahu seperti apa sebenarnya perempuan itu. Jadi, Siahna mustahil memberi penilaian objektif berdasarkan informasi dari pihak ketiga.
"Oh ya, perpustakaan di Mahadewi udah kelar? Dananya cukup, nggak?"
"Udah sembilan puluh persen. Dua minggu lalu aku sempat mampir ke sana." Siahna menatap Kevin sambil merekahkan senyum. "Sejauh ini sih, dananya cukup."
"Kalau ada yang kurang, kamu harus ngasih tau aku." Kevin meremas bahu kiri Siahna sebelum beranjak dari tempat duduknya. Kevin berjongkok di dekat sofa, berkutat dengan tasnya. Saat itulah Siahna menyadari jika lelaki itu lebih kurus dibanding sebelumnya.
"Kamu kurusan, deh. Masih rutin ke dokter, kan?"
Kevin mengangguk. "Ya iyalah, mana mungkin aku ceroboh urusan yang kayak gitu. Aku dan Razi selalu barengan."
"Kamu nggak takut ada wartawan yang ngeliat atau ketemu orang yang kamu kenal, Kev?" tanya Siahna, mendadak cemas.
"Aku tau caranya jaga diri, Na. Tenang aja. Kamu itu lama-lama udah kayak istri beneran deh. Cemas ini-itu."
Siahna tertawa geli. "Aku temenmu, Kev. Aku mau kamu sehat selalu."
Kevin menoleh ke kanan. "Iya, aku tau. Kondisiku oke. Razi yang bikin cemas. Sejak kita nikah, dia sering ngedrop. Padahal dokter bilang semuanya stabil."
"Mungkin dia pengin lebih kamu perhatiin aja, Kev. Atau, bisa jadi dia takut kamu beneran jatuh cinta sama aku." Siahna tertawa karena kata-katanya sendiri. Namun Kevin tidak. Lelaki itu menatapnya dengan serius. "Hah? Jadi beneran, Razi cemburu sama aku? Astaga!"
"Mungkin dia curiga kalau sebenarnya aku ini biseksual. Soalnya, Razi punya temen yang kayak gitu. Punya pacar cowok tapi juga bisa menikmati hubungan sama istrinya."
Siahna menutup kedua telinga dengan tangannya. "Ya udahlah, aku nyerah soal kayak gitu. Nggak tertarik pengin tau lebih detail. Bilang sama Razi, aku bukan saingannya."
Sebelum Kevin meninggalkan apartemen, Siahna sengaja mengingatkan lelaki itu sekali lagi agar meluangkan waktu untuk mengunjungi Miriam. "Jangan ngurusin Razi melulu dong, Kev. Kamu juga kudu sering-sering main ke rumah Mama."
"Iya, aku tau. Pokoknya, setelah peluncuran koleksi Puspadanta, kita liburan bareng Mama. Bila perlu, bareng sama kakak-kakakku yang lain. Biar rame."
Entah mengapa, Siahna tidak terlalu yakin bahwa Kevin akan menepati janjinya. Bukannya dia berpendapat bahwa pria itu pembohong. Namun belakangan dia melihat sendiri jika Razi berusaha memonopoli Kevin meski memakai alasan pekerjaan. Dan mungkin juga karena penyakit yang konon dideritanya. Yang manapun, Siahna mulai membayangkan bahwa Razi adalah orang yang manipulatif. Dan entah bagaimana, lelaki itu bisa merasa cemburu pada Siahna.
Perempuan itu mulai meyakini opininya setelah kesibukan Kevin tak jua berkurang usai peluncuran produk baru Puspadanta. Kevin masih sangat jarang mengunjungi Miriam. Kadang, Siahna sama sekali tidak melihat wajah suaminya dalam waktu lama. Hingga kemudian lelaki itu pamit untuk terbang ke Swiss bersama Razi, alih-alih mewujudkan rencana untuk berlibur dengan Miriam. Konon, untuk merayakan keberhasilan produk teranyar Puspadanta yang laris.
Akhirnya, hal itu memicu kemurkaan Siahna. Karena saat Kevin bersenang-senang dengan kekasihnya, Miriam mendapat serangan jantung dan harus dilarikan ke rumah sakit. Upaya Siahna menghubungi suaminya tidak membuahkan hasil. Ponsel Kevin tidak aktif.
Siahna kesal, bingung, dan juga marah pada Kevin. Di titik itu, dia menilai bahwa pria itu sungguh egois. Setelah mengabaikan janji dengan ibunya sendiri, lelaki itu bahkan mematikan ponselnya dan sama sekali tidak bisa dihubungi. Padahal, Siahna berkali-kali mengingatkan suaminya untuk selalu mengaktifkan gawainya. Salah satunya demi mengantisipasi saat-saat darurat seperti ini.
Hari pertama Miriam dirawat di rumah sakit, Siahna ikut bermalam di sana. Dia juga memaksa Arleen agar pulang saja karena Emma masih kecil dan cenderung rewel jika ibunya tidak ada. Petty tidak bisa turut menunggui Miriam sebab sang suami sedang sakit dan esoknya harus bekerja. Sementara Renard sedang berada di Medan sejak kemarin dan baru pulang besok siang.
Arleen akhirnya bersedia meninggalkan Siahna sendiri setelah mendapat kepastian dari dokter bahwa kondisi Miriam stabil. Namun perempuan itu mewanti-wanti agar Siahna menghubunginya kapan saja jika ada perkembangan baru.
"Besok aku datang lagi ya, Na," janji Arleen. "Pagi-pagi banget pokoknya. Tapi, kamu beneran nggak apa-apa ditinggal sendiri? Dua anak laki-laki Mama malah nggak ada di sini."
"Aku nggak apa-apa jaga sendirian, Mbak. Nggak bisa disebut jaga juga sih, karena ada perawat dan nggak boleh masuk ke HCU seenaknya," jawab Siahna.
Perempuan itu bergabung dengan beberapa keluarga pasien yang menghabiskan waktu di ruang tunggu. Area itu cukup luas dengan banyak sofa-sofa empuk yang lumayan nyaman. Siahna mendengarkan orang-orang bertukar cerita tentang kerabat mereka yang sedang menjalani rawat inap dengan bermacam penyakit. Sesekali, dia menimpali atau membahas tentang ibu mertuanya. Saat itu, meski sebenarnya Siahna mencemaskan Miriam, tapi dia tidak merasa sendirian. Karena orang-orang di ruangan itu pun merasakan hal yang sama.
Siahna mencoba menelepon Kevin berkali-kali. Dia sempat berniat menghubungi Razi saja, tapi baru sadar bahwa Siahna tidak menyimpan nomor pribadi bosnya. Perempuan itu sungguh kesal pada Kevin tapi tidak tahu harus melakukan apa. Hingga akhirnya teleponnya tersambung menjelang tengah malam. Siahna pun meledak.
"Kalau kamu memang sayang sama Mama, tinggalin pacarmu sebentar dan balik ke Indonesia. Mama kena serangan lagi hari ini dan dirawat di rumah sakit. Beneran deh, aku nggak paham sama kamu. Punya Mama yang sayang banget ke kamu, tapi dicuekin. Mungkin kita harus tukar tempat sesekali supaya kamu tau gimana rasanya nggak punya mama."
Usai mengomel di gawainya, Siahna memejamkan mata. Dia baru saja memarahi Kevin dengan suara tinggi dan kalimat-kalimat panjang yang emosional. Seolah semua tenaganya terkuras, Siahna bersandar di dinding rumah sakit. Dia sengaja menjauh dari ruang tunggu keluarga pasien saat Kevin akhirnya menjawab panggilan Siahna.
Beberapa detik kemudian, perempuan itu mulai mulai terisak. Yang tak pernah diduganya, seseorang mendadak memeluknya. Siahna sempat panik dan bersiap meninju pria lancang itu saat dia mendengar suara berat yang selalu membuatnya mulas.
"Kamu seharusnya nggak pernah nikah sama adikku, Na. Nggak pernah."
Lagu : I Won't Give Up (Jason Mraz)
Catatan :
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top