Chapter 8

Siahna memang mengejutkan Renard dalam berbagai kesempatan. Tak pernah sekalipun dia mengira bahwa perempuan itu sering menghabiskan waktu di Mahadewi. Selama mereka berada di panti asuhan dan panti wreda yang berada dalam satu kompleks itu, Renard menyaksikan betapa nyamannya Siahna di sana. Sudah jelas pula perempuan itu dicintai oleh para penghuni Mahadewi.

Anak-anak mengerubungi Siahna, membuat Gwen sempat cemberut karena merasa mereka merebut Tante Nana favoritnya. Renard sampai harus membisiki putrinya beberapa kalimat untuk memberi pengertian.

Ketika mereka mendatangi panti jompo yang khusus diperuntukkan bagi kaum hawa itu, situasinya pun tak jauh berbeda. Banyak perempuan tua yang langsung memanggil nama Siahna begitu mereka tiba. Pertanyaan tentang alasan Siahna menghilang beberapa minggu pun diulang-ulang entah berapa kali. Perempuan itu menjawab jujur, bahwa dia baru menikah dan sedang disibukkan oleh setumpuk pekerjaan. Seperti yang terjadi di toko roti tadi, tak sedikit yang mengira bahwa Renard adalah suami Siahna.

"Kenapa nggak bilang kalau punya suami secakep itu?" tanya seorang nenek yang rambutnya sudah sangat menipis. "Wah, satu paket sama anak cantik itu ya, Na? Beruntung banget kamu, lho."

Siahna menanggapi gurauan semacam itu dengan tawa geli. Namun dia tak mengatakan apa-apa. Hanya pada pengurus Mahadewi saja perempuan itu memberi tahu siapa Renard.

"Maaf ya, aku nggak jelasin siapa kamu sama penghuni panti. Ntar daftar pertanyaannya tambah panjang aja. Mereka suka bergosip soalnya," Siahna tertawa geli sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. "Tapi para nenek itu semua memujamu deh, Ren. Jadi kayak hiburan untuk mata tua mereka."

Renard melongo. Namun kemudian dia merespons dengan berpura-pura cemberut. "Ha? Apa itu 'hiburan untuk mata tua' segala?"

"Mereka seneng banget karena ada kamu. Maklum, selama ini nggak ada laki-laki oke yang datang ke Mahadewi. Mereka lho yang ngomong, bukan aku," imbuh Siahna.

Renard menepuk dadanya dengan tangan kiri. "Boleh bangga dong, dipuji cewek-cewek Mahadewi? Mereka itu udah punya pengalaman bejibun, lho! Jadi, pasti nggak asal-asalan ngasih pujian."

Siahna merespons kata-kata Renard dengan tawa geli yang membuat wajahnya berubah memerah. Untuk sesaat yang terasa janggal, Renard terpaku. Saat itu, dia nyaris tersedak karena pemikiran bahwa iparnya begitu menawan saat tertawa lepas. Untungnya Gwen mendekat sehingga membuat perhatian sang ayah teralihkan.

"Pa, oma-oma yang mukanya kayak bule tadi bilang kalau Papa itu hot daddy. Itu artinya apa, sih? Aku nggak ngerti." Gwen menunjuk ke arah seorang perempuan berwajah indo yang rambutnya dicat oranye terang. Renard sempat terdiam tapi Siahna malah kembali tertawa.

"Oh, itu artinya Papa orang yang keren," kata Renard kemudian. "Kamu setuju?"

Gwen mengangguk buru-buru, mengangkat jempol kanannya dengan penuh semangat. "Papa memang paling keren sedunia."

Renard tertawa geli, mengangkat bahu saat memandang Siahna. "Mau gimana lagi, coba? Anak kecil kan makhluk paling jujur. Pendapat Gwen adalah kesimpulan semesta."

Siahna terbahak-bahak mendengarnya. Pemandangan itu, lagi-lagi, membuat Renard serupa arca batu. Saat tertawa lepas seperti itu, Siahna tampak begitu memesona. Mata sendunya lenyap begitu saja. Namun, nyaris di detik yang sama. Renard mengingatkan diri sendiri. Semenawan apa pun perempuan ini, dia tidak boleh terpaku mirip manusia imbesil tiap kali melihat Siahna tertawa.

Renard melihat sendiri cara Siahna berinteraksi dengan semua penghuni Mahadewi. Betapa luwes perempuan itu menghadapi anak-anak hingga para perempuan jompo. Siahna, sepenglihatan Renard, adalah perempuan tulus yang memiliki banyak cinta bagi orang-orang di sekitarnya. Entah keluarga hebat seperti apa yang membentuk Siahna hingga bisa seperti itu. Diam-diam Renard penasaran sekaligus heran. Karena tampaknya Siahna tidak memiliki keluarga dekat sama sekali.

Mereka meninggalkan Mahadewi pukul satu siang. Putrinya menolak untuk pulang lebih awal. Seperti yang selalu terjadi tiap kali Gwen bersamanya, telepon dari Bella pun seolah tak pernah berhenti. Minimal setiap tiga atau empat jam sekali. Selalu ada yang perlu diingatkan oleh Bella, seolah Renard tidak tahu cara mengurus putrinya sendiri.

Namun kali ini ternyata berbeda. Bella tidak membahas Gwen tapi menyebut-nyebut nama Siahna. "Kenapa sejak kemarin, tiap kali aku nelepon kamu, pasti aja ada nyebut nama iparmu. Gwen sama dialah, kamu lagi di rumah Kevin lah. Dan sekarang, yang paling aneh dari semua hal-hal gila yang kutau, kamu ngajak Gwen ke panti jompo dan panti asuhan? Dan lagi-lagi bareng iparmu? Ini ada apa, sih?" cerocos Bella begitu Renard memberi tahu apa yang baru saja mereka lakukan.

Lelaki itu menahan napas, memutuskan untuk menepikan mobil. Jika dia memutus pembicaraan dan mematikan ponsel, mungkin Bella akan mendatangi rumah Miriam dan mengamuk di sana. Jika ingin memberi penjelasan, Renard tidak mau Siahna dan Gwen mendengar kata-katanya.

"Sebentar," kata Renard pada mantan istrinya. Dia memberi isyarat pada Siahna sebelum keluar dari mobil. Bicara dengan Bella selayaknya manusia dewasa bukanlah hal yang mudah. Dia sudah bisa menebak bahwa pada akhirnya nama Siahna akan dipersoalkan Bella. Akan tetapi, tidak memberi tahu perempuan itu bahwa Gwen banyak menghabiskan waktu dengan sang ipar, akan membuat masalah baru. Gwen sudah pasti akan membicarakan Tante Nana di depan ibunya. Lalu, Bella akan bereaksi frontal karena curiga Renard menyembunyikan sesuatu dan segala macamnya. Bella selalu memiliki daya khayal yang kadang membuat Renard melongo saking herannya.

Ketika dia kembali ke mobil, Siahna sedang menunjukkan sederet foto Gwen yang tadi diambilnya. Anak itu tak henti bicara, sambil menunjuk-nunjuk ke layar ponsel. Kali ini, Gwen bersedia duduk di kursi khusus miliknya, sementara Siahna menempati jok kosong di sebelah kiri anak itu.

"Ada masalah penting, Re? Mama?" tanya Siahna begitu Renard membuka pintu mobil. Lelaki itu hanya menggeleng sebelum kembali menyetir. Hari ini, Siahna kembali ingin mengunjungi rumah mertuanya. Renard pun dengan senang hati langsung ke tempat tujuan. Gwen pasti senang sekali karena memiliki banyak waktu untuk dihabiskan dengan tante favoritnya. Renard juga merasakan hal yang sama.

Setelah tiba di rumah, Renard langsung menuju kamar. Gwen -seperti yang sudah diduga- menbuntuti Siahna menuju kamar Miriam. Anak itu bahkan memegangi ujung blus bagian belakang yang dikenakan perempuan itu, seolah takut akan ditinggal.

Gwen cukup dekat dengan Arleen dan Petty. Namun situasinya agak berbeda ketika anak itu bersama Siahna. Mungkin karena tantenya tidak memiliki buah hati yang bisa merampas konsentrasinya, seperti halnya kedua kakak kembar Renard. Petty dan Arleen sangat menyayangi Gwen, tapi mereka juga memiliki anak-anak balita yang butuh perhatian. Jadi, tak bisa sepenuhnya menuruti maunya Gwen.

Bella memang memiliki dua saudara perempuan, tapi mereka menetap di luar negeri dan sangat jarang bertemu Gwen. Otomatis, satu-satunya perempuan yang dekat dengan anak itu hanya ibunya. Karena mereka tidak pernah memiliki pengasuh. Bella cuti kuliah dan mengurus sendiri Gwen hingga berumur dua tahun. Renard sama sekali tidak merasa keberatan bertugas menjaga Gwen sepulang kerja hingga pagi. Toh, sejak kecil putri kesayangannya tidak terlalu menyusahkan.

Setelah itu, Bella memutuskan untuk menuntaskan kuliahnya dan mulai membangun bisnisnya. Perempuan itu lebih nyaman memercayakan para pengurus tempat penitipan anak yang dipilih dengan hati-hati untuk menjaga Gwen. Renard setuju dengan langkah Bella, ketimbang ribut karena kecemburuan Bella yang tak masuk akal. Itulah sebabnya mereka tak pernah mempekerjakan pengasuh atau asisten rumah tangga.

Ketika Renard melintasi ruang keluarga setelah mengganti kaus yang lembap oleh keringat, suara Gwen menguasai ruangan. Anak itu bercerita pada neneknya tentang pengalamannya mengunjungi Mahadewi. Bahkan mengutip sebutan "hot daddy" yang ditujukan kepada ayahnya dan membuat Miriam tertawa geli.

Seolah memiliki tenaga super dan tak kenal capek, Siahna malah sedang berkutat di dapur. Perempuan itu sedang mengaduk sesuatu dengan mikser ketika Renard melewati pintu dapur. Riris tidak kelihatan di mana-mana.

"Kamu lagi ngapain? Istirahat dulu dong, Na. Tadi di Mahadewi kamu nggak ada berhentinya ke sana-kemari," tegur Renard. Lelaki itu mengambil gelas di rak piring.

"Nggak apa-apa, mumpung bahan-bahannya ada semua. Aku lagi bikin cake karamel. Mama suka," balasnya tanpa mengangkat wajah. "Lagian, bentar lagi pasti diajak berenang sama diktatormu itu."

Renard tersenyum. Dia tidak pernah mengira bahwa hubungan mereka bisa secair ini. Apalagi saat mengingat bagaimana Siahna menyiramkan kopi ke arahnya karena terlalu marah oleh kata-kata provokatif dari Renard. Gwen berjasa membuat kekakuan di antara mereka meleleh tanpa disadari.

"Hmmm, ada yang mau kuomongin sama kamu, Na." Renard berdeham pelan. "Aku sebenarnya nggak pengin ngebahas ini. Cuma, untuk jaga-jaga aja. Siapa tau suatu saat nanti kamu ketemu Bella, entah sengaja atau nggak."

Kali ini, Siahna menghentikan aktivitasnya mengaduk gula yang sudah dicairkan ke dalam adonan yang tadi dikocoknya. "Bella? Mantanmu?" tanyanya dengan pupil melebar.

"He-eh. Gini, sebenarnya ini nggak masuk akal dan malu-maluin, sih. Tapi, yah... anggap aja antisipasi." Renard menggosok lehernya dengan tak nyaman. "Bella itu cemburuan. Kamu pasti udah sering dengar, kan? Meski kami udah pisah, dia kadang masih belum bisa terima. Karena itu, dia pasti berusaha nyusahin aku. Kayak kemarin, sengaja nitip Gwen padahal udah tau kalau aku ada rapat panjang yang nggak bisa ditunda. Sekarang... dia sibuk nanya, kenapa nama kamu selalu disebut tiap kali dia nelepon untuk nanyain soal Gwen."

Mata Siahna agak memicing. "Maksudmu?"

Menekan perasaan malu yang kian membesar, Renard kembali bicara. "Kalau Gwen ada di sini, Bella biasanya bolak-balik nelepon. Ngecek ini-itu. Kemarin juga sama. Waktu kubilang Gwen dijagain kamu, nggak ada masalah. Tadi pagi pas kubilang kami ke apartemenmu, juga belum ada respons aneh. Tapi pas tau kami ngikut ke Mahadewi, Bella mulai resek. Dia nanya, kenapa harus barengan istrinya Kevin mulu. Gitu deh kira-kira."

Siahna tampak keheranan. Ya, Renard takkan menyalahkan jika perempuan itu menilai Bella gila. "Kalian kan udah cerai. Kenapa..." Siahna terdiam. Mendadak, ekspresinya berubah pengertian. "Oke, aku paham."

"Siapa tau ntar kamu ketemu dia, ditanya macem-macem. Logika Bella kadang sulit untuk dirasionalkan." Renard mengangkat bahu, benar-benar tak berdaya. "Itulah sebabnya kami nggak pernah punya pembantu atau pengasuh. Kayaknya dia menganggap semua cewek bakalan tertarik sama aku. Bahkan setelah kami pisah pun, Bella masih sering nelepon ke temen kerjaku. Apa aku lagi dekat sama seseorang atau apalah."

Siahna mengulum senyum. "Kenapa nggak bohong aja? Maksudku, karena udah tau Bella bakal cemburu, bilang aja Gwen dijagain Riris. Nggak uah ngaku ke Mahadewi segala."

"Penginnya sih gitu, Na. Tapi mustahil. Kamu tau sendiri gimana si diktator itu suka pamer. Pasti dia cerita ke mamanya tentang Tante Nana yang ini-itu."

"Oh, iya. Aku lupa."

"Percaya deh, kalau bisa, aku pasti berusaha mengantisipasi semuanya. Dulu, nggak nyangka aja Bella kayak gitu. Pas pacaran, orangnya nyantai dan asik. Nggak pernah ngeribetin hal-hal nggak perlu. Tapi udahlah, nggak ada gunanya juga disesali. Kami pernah bahagia, aku nggak mungkin mengabaikan fakta itu. Sesi curhat, ditutup ya."

Siahna memandang Renard dengan tatapan yang tak berani diartikan lelaki itu. Yang pasti, dia seolah baru saja mendapat tonjokan di ulu hati yang membuat pengar. Selama Renard bertahan di dapur hingga beberapa menit kemudian, alarm peringatan bertalun di kepalanya. Dia harus menjaga jarak dari perempuan ini. Karena Siahna adalah iparnya, terlepas apa pun bentuk hubungan perempuan itu dengan Kevin.

Setelah hari itu, jika memang memungkinkan, Renard berusaha menghindari Siahna dengan cara halus. Penggeseran hari libur perempuan itu memberinya keuntungan. Karena saat Siahna datang ke rumah Miriam, Gwen tidak sedang menginap. Renard juga biasanya hanya bertemu sebentar sepulang dari kantor.

Akan tetapi, tentu saja ada saatnya Renard tak berkutik dan malah menikmati kebersamaan dengan Siahna, meski itu berarti ada anggota keluarga lain mengelilinginya. Saat itu terjadi, Renard malah lebih banyak termangu dengan mata tak lepas memandangi iparnya.

Siahna begitu mudah dicintai. Renard bisa melihat bagaimana ibunya memandangi menantu barunya dengan penuh kasih sayang. Atau kedua kakak kembarnya yang kadang mencuri waktu di sela-sela kesibukan mereka hanya untuk bertemu Siahna. Gwen? Anak itu selalu mengeluh saat menginap di rumah neneknya dan tidak bertemu tantenya. Gwen pernah beberapa kali merengek ingin kembali ke Mahadewi, tapi ketidakcocokan jadwal membuat permintaan itu belum mungkin terwujud.

Pada akhirnya, Renard menyadari bahwa Siahna memberi impak tak terduga bagi dirinya. Dia cemas, akan ada banyak hal buruk yang akan terjadi jika dia tidak menjaga jarak dari perempuan itu. Akan tetapi, hanya sekitar dua bulan kemudian, Renard merasa usahanya sia-sia. Saat itu, dia yakin bahwa perasaan fatal sudah berkembang di dadanya, jatuh cinta pada Siahna.

Lagu : How Would You Feel (Ed Sheeran)

Catatan :

Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.

Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.

Senin dan Selasa : I Need You - kakahy

Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo

Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco

Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri

Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians

Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top