Chapter 7

Siahna segera mengatupkan bibirnya rapat-rapat, sadar sudah bicara terlalu banyak. Tak seharusnya Renard mendengar itu. Entah apa yang ada di benak lelaki itu sekarang. Siahna menikahi seorang gay dengan sadar serta mustahil memiliki buah hati. Jika ada yang tahu terlalu banyak rahasianya, sama artinya menyerahkan sebagian kendali pada orang tersebut.

"Kamu yakin nggak bakalan bisa punya anak? Alasannya?" tanya Renard, terkejut. "Maaf, aku nggak bermaksud mau ngorek-ngorek rahasia seseorang. Tapi, kamu bisa cerita apa aja sama aku, Na. Aku bukan ember bocor yang nggak bisa jaga kepercayaan orang."

Tawaran yang menggiurkan itu harus ditolak Siahna. "Maaf, aku nggak bisa bahas soal itu. Barusan aku cuma kelepasan."

Dia lega karena Renard tidak mendesak lebih jauh. Lelaki itu malah membahas tentang Gwen. Siahna mendengarkan dengan sungguh-sungguh, dalam hati merasa bahwa Renard mendapat banyak sekali karunia karena kehadiran putrinya. Rumah tangga lelaki itu memang tidak bisa dipertahankan. Akan tetapi, Renard diberi berlimpah berkah lain dalam hidup.

"Jadi, apa rencanamu untuk Gwen besok selain berenang?" tanya Siahna dengan tawa geli menyusul kemudian. "Anak ini demen banget nyebur di kolam."

"Mungkin dia bakalan kubiarin ngacak-ngacak seisi rumah. Biar Riris lebih sibuk," gurau Renard. "Kalau kamu dapet jatah libur akhir pekan, mainlah ke rumah Mama. Gwen senang kalau ada kamu, Na."

"Kamu kan tau hari liburku nggak selalu akhir pekan. Mulai minggu depan, malah dapat jatah Selasa-Rabu."

"Jadwalnya berubah setiap berapa minggu sekali?"

"Sebulan sekali."

Ketika mobil berhenti di halaman parkir apartemen, Siahna turun sambil menggendong Gwen. Perempuan itu menunggu Renard memundurkan jok penumpang sebelum meletakkan Gwen dengan sangat hati-hati. Renard memasangkan sabuk pengaman untuk putrinya.

Siahna menghela napas setelah mobil yang disetiri Renard meninggalkannya. Dalam banyak hal, Siahna kesulitan menerjemahkan perasaannya tiap kali bertemu dengan Renard. Reaksi fisik yang tak biasa membuatnya harus berjuang agar bisa bersikap sesantai biasa. Hal itu membutuhkan usaha keras yang tidak mudah untuk dijalani.

Saat berada di dalam apartemen yang dihuninya bersama Kevin, Siahna merasakan kekosongan yang aneh. Tidak ada siapa pun yang menunggu atau mengharapkan kehadirannya. Tidak suami, apalagi anak-anak. Dia terpaksa mengubur mimpi untuk memiliki darah daging. Itu fakta yang tidak mudah diterima, terutama karena Siahna sangat mencintai anak-anak.

Itulah sebabnya sejak lima tahun terakhir dia rutin mengunjungi Mahadewi, panti asuhan dan panti jompo yang berada di satu kompleks dan diurus oleh yayasan yang sama. Di tempat itu, dia menyalurkan cinta pada anak-anak yang tak beruntung. Serta para orangtua yang dilepaskan oleh keluarganya dengan berbagai alasan.

Di sana, Siahna merasa dibutuhkan dan berguna. Seramai apa pun Mahadewi, dia tak pernah kehilangan kenyamanan. Berbeda jika Siahna berada di tempat lain. Karena ada kalanya dia merasa sedang dinilai seperti barang seni, dijabarkan kelebihan dan kekurangannya.

Siahna tidur lebih cepat dari biasa. Dia ingin bangun pagi karena berharap bisa tiba di Mahadewi sebelum jam sarapan. Ketika alarm ponselnya berbunyi tepat pukul lima pagi, Siahna membuka mata tanpa kesulitan berarti. Dia sempat menelentang beberapa menit, menikmati keheningan yang memerangkapnya.

Perempuan itu terbiasa sendirian, sejauh yang bisa diingatnya. Kemala lebih suka menjaga jarak dari keponakannya. Begitu juga dengan kedua pamannya. Di mata keluarga ibunya, Siahna sudah menjadi malaikat maut yang mencabut nyawa sang ibu. Kesialan dianggap menyertai kehadiran Siahna di dunia ini. Karena sebelum ulang tahunnya yang kedua, nenek dan kakeknya pun berpulang.

"Oma dan Opa terlalu stres gara-gara kamu, tau! Mereka nggak pernah nyangka kalau mamamu, anak bungsu kesayangan yang selalu dipuja-puja, ternyata hamil di luar nikah. Disuruh aborsi, malah ngancem mau bunuh diri. Akhirnya, kehamilan mamamu tetap lanjut, tapi Oma dan Opa malah jadi depresi. Apalagi setelah kamu lahir, mamamu justru nggak selamat. Semua itu bikin Oma dan Opa lebih dari sekadar terpukul. Ujung-ujungnya, mulai sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal." Kemala menatap Siahna dengan pandangan ganas yang bisa membunuh semua keberanian manusia normal. "Jadi, kamu memang pembawa malapetaka untuk keluarga ini."

Usia Siahna baru lima belas tahun saat Kemala pertama kali mengucapkan kalimat panjang itu. Dia terlalu kaget mendengarnya, hingga tubuh Siahna bergetar hebat karena ngeri. Setelah hari itu, bukannya iba pada sang keponakan, Kemala tak keberatan mengulangi kata-kata senada jika Siahna dianggap membuat ulah.

Kemala adalah contoh orang yang sangat tahu caranya menyiksa mental manusia lain. Setelah masalah baru yang tercipta karena Verdi, Kemala bersikap lebih frontal. Berimbas pada kenyataan mengerikan yang harus ditanggung Siahna seumur hidup. Hingga perempuan itu harus berada dalam perawatan intensif seorang psikiater selama dua tahun penuh.

Ada kalanya Siahna bersyukur karena ternyata dia cukup tangguh, terlepas dari semua hinaan yang pernah diterimanya, fisik atau verbal. Jika tidak, menjadi gila atau bunuh diri adalah jalan yang sangat mungkin dipilih perempuan dengan problem sepertinya. Setelah mandiri secara finansial, dia menemukan cara lain untuk "menormalkan" diri. Menjadikan kunjungan ke Mahadewi menjadi bagian rutinitasnya.

Jam baru menunjukkan waktu pukul enam pagi saat Siahna sudah selesai mandi dan berdandan seadanya. Rambut panjangnya diikat satu. Perempuan itu cuma mengenakan bedak dan lipstik, bersiap meninggalkan apartemen. Siahna memeriksa isi tas dan dompetnya saat bel berbunyi. Dia keheranan, mengira Kevin sudah kembali. Namun saat mengecek via lubang intip, Siahna jauh lebih kaget lagi.

"Halo," sapanya setelah membuka pintu dengan buru-buru. Tanpa bisa diantisipasi, perutnya seolah dipelintir. "Kalian pagi banget datang ke sini. Apa ada masalah sama Mama?"

Renard menyeringai sambil menunjuk ke arah Gwen yang sedang menguap. "Diktator kecil ini sejak kemarin sibuk mengeluarkan titah. Dia pengin dibangunin pagi-pagi supaya bisa ikut Tante Nana ke acara yang dilarangnya itu."

Siahna langsung berjongkok di depan Gwen yang masih tampak mengantuk. "Halo, Sayang. Kamu mau ikut sama Tante Nana?"

Gwen mengangguk. "Bukan cuma aku. Papa juga mau ikut."

Siahna berdiri, menuntun Gwen memasuki apartemennya. "Kalian udah sarapan?"

"Belum, tapi niatnya mau beli makanan di jalan aja. Karena kamu kemarin bilang mau pergi pagi-pagi, kalau sarapan dulu takutnya telat," sahut Renard.

"Kubikinin minum dulu, ya?" Siahna menatap Renard. "Susu, kan?"

"Iya. Susu. Gwen pun sama." Renard duduk di sofa dengan santai. "Nggak diledek, nih? Karena udah setua ini cuma minum susu?"

Siahna tertawa geli, urung melangkah ke dapur. "Nggak, ah. Kamu udah terima banyak ledekan, aku nggak bakalan ikut arus. Terlalu mainstream," candanya. "Sebentar, ya."

Gwen mengekori Siahna ke dapur, tidak terlalu banyak bicara seperti biasa. Gadis cilik itu berhenti di dekat meja makan, memandangi ke seantero ruangan dengan gaya sok dewasa. "Dapurnya Tante Nana sempit, ya. Tapi rapi. Nggak kayak dapur di rumahku."

"Itu karena Tante jarang banget masak."

"Ah, mamaku juga jarang masak. Tapi wastafelnya banyak piring kotor. Mama bilang, gara-gara sibuk kerja nggak sempet ngerapiin rumah. Papa tuh yang rajin cuci piring dan bersih-bersih." Gwen berjalan ke arah pintu kamar mandi yang tertutup, membukanya dan melongok ke dalam selama sesaat. "Kamar mandinya cakep."

Siahna tertawa geli. Gwen mirip petugas yang sedang menjadi juri lomba kebersihan. "Yuk ke depan, Gwen. Nih, susunya udah siap diminum."

Renard baru selesai bicara di telepon saat Siahna bergabung di ruang tamu yang merangkap ruang keluarga itu. Hanya ada seperangkat sofa berwarna abu-abu tua dan televisi yang diletakkan di atas lemari pendek dan menempel di salah satu dinding. Keterbatasan ruangan membuat tidak banyak perabotan yang mengisi ruangan itu.

"Kita berangkat setelah susunya habis, ya. Tapi aku mau mampir ke toko roti langganan yang sudah buka sejak jam enam. Mau beli makanan untuk penghuni panti."

Renard mengangguk sembari menyimpan ponselnya di saku celana. Siahna pamit sebentar ke kamar untuk mengambil tasnya. Gwen masih mengekori perempuan itu. Gwen bahkan sempat naik ke ranjang, berguling dua kali.

Ketika mereka kembali ke ruang tamu, dengan polosnya Gwen berujar, "Kenapa Tante Nana nggak bobo di kamar Om Kevin? Dulu, Mama sama Papa selalu bobo satu kamar." Tangan kanan Gwen menunjuk pintu kamar lain yang tertutup. "Kamar Om Kevin yang itu."

Siahna sempat merasa otaknya membeku, tidak tahu harus menjawab apa. Ditatapnya Renard dengan panik, karena membayangkan Gwen bisa membuat keluarga besar Kevin mencurigai sesuatu.

"Itu cuma kamar tempat baju sama kosmetik Tante Nana. Karena kalau ditaruh di kamar Om Kevin, jadinya terlalu penuh. Kamu kan sering ke sini. Tau kan, kalau kamarnya Om Kevin itu ukurannya kecil?" Renard menguraikan dengan sabar. Sesaat kemudian, Siahna lega melihat Gwen manggut-manggut.

"Iya, ya. Kalau terlalu penuh sama baju, di mana mau bobonya?"

Dalam satu kesempatan, Siahna sempat merendahkan suara saat bicara dengan Renard. "Aku harus hati-hati, nih. Gwen ini cerdas banget."

Mereka bertiga meninggalkan apartemen hampir pukul setengah tujuh. Siahna sudah menebak bahwa mereka mungkin terlewat jam sarapan di panti jika teradang macet. Karena Gwen baru meminum susunya setelah menunggu cukup dingin. Namun dia tidak menyalahkan anak itu. Siahna justru sangat senang karena pagi-pagi sudah ada yang berkunjung. Terutama karena tamunya adalah Gwen dan... Renard.

Sebenarnya, kedatangan keduanya benar-benar menjadi kejutan bagi Siahna. Namun dia tidak berpikir dua kali untuk mengajak ayah dan putri cantiknya itu ke Mahadewi. Dia selalu menilai bahwa mengajak anak-anak ke panti asuhan atau panti wreda sejak dini, justru menjadi poin positif. Mengajari mereka untuk mengenal sisi lain kehidupan, tentang orang-orang yang terpaksa tidak bisa tinggal dengan keluarga sendiri.

Mereka membeli banyak roti dan makanan kecil lainnya, cukup untuk semua penghuni Mahadewi. Siahna sempat menolak saat Renard ingin membayar semua belanjaan mereka. Namun lelaki itu memaksa hingga Siahna pun akhirnya mengalah.

"Mbak, kamu ternyata diam-diam udah nikah dan punya anak cewek yang cantik banget, ya? Bertahun-tahun ke sini sendirian, kirain masih lajang," ujar Rani, si kasir. "Suami Mbak juga cakep. Kalau ada saudaranya yang tampilannya mirip-mirip dan masih sendiri, rekomenin aku ya," imbuhnya dengan suara pelan.

Siahna tergelak karena dugaan yang keliru itu. Namun dia tak sempat meralat karena antrean calon pembeli di belakangnya sudah lumayan panjang. Renard pun tak berkomentar. Toko roti dan kue itu memang memiliki banyak pelanggan setia. Selain karena harga yang tergolong murah, juga cita rasa makanannya yang enak.

"Udah berapa lama kamu rutin datang ke Mahadewi?" tanya Renard.

"Hmmm, sekitar lima tahunan. Kurang lebih."

"Bisa cerita gimana awalnya kamu sering ke sana? Jujur, aku nggak pernah datang ke panti asuhan. Apalagi panti jompo. Dulu, waktu kami masih kecil-kecil, kalau ada acara tertentu Mama lebih suka ngundang anak panti ke rumah."

Siahna sempat bimbang. Tadi malam dia sudah bertekad untuk tidak membuka banyak cerita masa lalunya pada Renard. Namun tampaknya lelaki ini mirip dengan putrinya meski lebih mampu menyamarkan keingintahuannya.

"Awalnya nggak sengaja. Ada teman di kosan yang sering jadi relawan di sana. Aku iseng ikutan suatu hari, ketimbang suntuk karena lagi nggak ngapa-ngapain. Nggak nyangka, akhirnya malah betah. Sayangnya, aku nggak bisa sering-sering ke sana karena kerjaanku lumayan padat." Siahna akhirnya berhasil merangkum jawaban dengan kalimat standar.

"Makin lama, kaget juga ngeliat kamu. Ternyata kamu punya banyak kejutan lho, Na." Renard tersenyum sambil melirik ke kiri sekilas. Siahna sampai harus menahan napas sembari merasakan perutnya tegang, nyaris mirip kesemutan. "Kevin pernah ikut?"

"Nggak, aku biasa sendirian aja. Cuma, belakangan aku belum sempat balik ke sana."

SUV yang dikendarai Renard akhirnya tiba di tempat tujuan pada pukul tujuh. Saat sedang berjalan melintasi halaman parkir, Siahna melihat bangunan tambahan yang sudah nyaris rampung di sayap kanan area panti jompo.

"Renard, kamu liat bangunan yang belum jadi itu? Itu bakalan jadi perpustakaan dan area santai untuk penghuni panti jompo." Siahna menatap Renard sambil tersenyum. "Dananya dari Kevin. Itu imbalan yang kuterima karena mau nikah sama dia." Jeda. "Menurutmu, level mengejutkan ala Siahna ada di angka berapa?"

Catatan :

Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.

Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.

Senin dan Selasa : I Need You - kakahy

Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo

Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco

Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri

Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians

Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top